Ade Armando, Oligarki dan Politik Identitas

Ade Armando, Oligarki dan Politik Identitas

Seperti yang kita tahu, lini massa di media sosial ramai dengan postingan-postingan tentang demo mahasiswa 11 April 2022, isi tuntutannya saya juga kurang tahu, mungkin seputar Tolak Jokowi 3 Periode, harga segala kebutuhan masyarakat yang merangkak naik dan isu-isu lainnya. Bagi mantan mahasiswa aktivis abal-abal kayak saya ini, isu-isu begini sudah tak lagi jadi garapan primer, yang primer jelas nyari duit buat keluarga. Tapi masalahnya, nyari duit sekarang susah, asli, harga serba naik, daya beli orang menurun, ekonomi jelas stagnan kan? Dan gobloknya lagi, saya ini termasuk golongan menengah kebawah secara ekonomi, bagian dari mayoritas masyarakat endonesa ini, yang sedikit-sedikit pengennya healing tapi duit pas-pasan, jelas menderita!

Sebagai mantan aktivis PMII kacangan, jelas saya tetap peduli dengan isu kerakyatan. Selain memang jadi bagian dari masyarakat yang terhimpit juga, saya melihat pemerintah saat ini agak ugal-ugalan dalam pengambilan kebijakan, ataupun dalam menanggapi kritikan. Saya sangat mendukung penuh tuntutan mahasiswa yang menolak penundaan pemilu ataupun usulan 3 periode. Tentu karena godaan kekuasaan itu sangat berat, semakin lama seseorang berkuasa, maka semakin besar potensi penyalahgunaan kekuasaan, dan disitulah akan muncul bibit-bibit otoritarianisme.

Dengan dibatasi 2 periode saja, cengkraman oligarki saat ini terasa begitu kuat. Negara serasa hanya diatur oleh segelintir orang saja. Haduh, anda bisa berselancar ria di gugel tentang mereka yang diduga kuat merupakan segelintir orang yang memegang kendali kekuasaan. Atau bisa anda lihat abuse of power yang dipraktekkan partai berkuasa saat periode kedua Presiden SBY, dimana orang-orang didalam lingkarannya banyak terlibat kasus korupsi megaproyek Hambalang. Begitulah kekuasaan memainkan kartunya, sehingga kita harus tegas MENOLAK wacana penambahan durasi kekuasaan, karena lebih besar madlorotnya daripada maslahatnya.

Harga kebutuhan pokok yang naik. Minyak goreng naik, bensin naik, besi naik dan pajak yang naik, terlepas dari apapun alasannya, tentu itu sangat tidak tepat dilakukan pada saat ini. Asli pak pak, kita ini baru saja bisa bernapas lega, lalu anda langsung cekik kami lagi. Mbok ya tahan dulu. Apalagi pemindahan ibu kota baru yang terlalu buru-buru. Kan bisa ditunda satu dua tahun lagi pak, uangnya sekarang dipake untuk membantu rakyatnya dulu pak. Sebagai pemimpin, harusnua bisa memahami sense of crisis kan pak. Apa kalo ditunda Bapaknya udah gak menjabat lagi, jadi nanti legacy-nya engga atas nama Bapak, eh, pinggir jurang.

Saya seringkali lega ketika mahasiswa mau turun kejalan untuk meneriakkan yang menjadi aspirasi rakyat, mempertanyakan kebijakan-kebijakan yang ugal-ugalan itu. Meskipun saya agak jijik ngelihat poster-poster demonstran yang terkesan hanya didesain agar masuk fyp tiktok. Asal unik, tapi tidak menyentuh esensi demonstrasi, yang penting viral, duh. Apalagi poster yang dibawa sama mbak-mbak, “LEBIH BAIK BERCINTA 3 RONDE DARIPADA HARUS 3 PERIODE”, Asu tenan.

Dulu pas mahasiswa, saya juga senang saat melihat sahabat-sahabat saya turun ke jalan, menyuarakan aspirasi. Chaos itu resiko, karena memang manajemen aksi itu ilmu yang sederhana dalam teori, tapi njelimet dalam praktek. Asli bos, jika massa sangat banyak, sangat sulit untuk menjaga barisan massa untuk tertib dan sangat sulit menjaga untuk tidak disusupi diluar massa aksi. Seperti halnya kejadian kemarin dimana ada chaos yang tidak diduga-duga, yes! Pengeroyokan Ade Armando.

Saya yakin, pengeroyokan Ade Armando bukanlah esensi dari demonstrasi mahasiswa kemarin. Ya inilah salahsatu dari chaos yang terjadi, dimana ada oknum massa yang memanfaatkan momentum demo. Sudah jadi barang maklum lah, bahwa sejak 2014 lalu, secara membabi buta kita disuguhi praktik politik identitas, menggunakan jubah agama untuk mewujudkan tujuan politik tertentu. Propaganda, caci maki dan lain-lain digunakan dalam pertarungan 2014, berlanjut di 2019. Kelompok mana? Ini sudah 2022, jadi sudah 8 tahun sejak politik identitas menggelora. Semua sudah tau siapa pemainnya. Kengerian politik identitas ini bisa anda baca di media sosial, baik twitter, facebook, youtube, dll yang penuh dengan kebencian. Takbir! Sweeping, Takbir! Ngebom, Takbir! Ngeroyok. Bagi saya, ini adalah hal nyata dalam penistaan terhadap nilai-nilai agama.

Saya juga banyak tidak suka dengan pendapat Ade Armando yang nyeleneh dan memicu kontroversi. Bahkan dalam status Prof. Mun’im Sirry disebut kekerasan verbal. Diluar dari ketidaksetujuan saya itu, pengeroyokan ini sama sekali tidak bisa dibenarkan. Yang menyedihkannya lagi, media sosial diramaikan dengan ucapan “Alhamdulillah” atas apa yang menimpa Ade Armando. Ada juga ada yang merasa terwakili dengan para penganiaya. Juga menghubung-hubungkan bahwa tragedi itu adalah azab dari Allah untuk Ade Armando. Lagi-lagi agama dijadikan pembenaran untuk menganiaya orang. Miris lah melihat komentar netizen yang dalam komentarnya seolah-olah mengesampingkan kemanusiaan. Semoga saja yang kita lihat di medsos itu adalah komentar akun-akun palsu yang diatur oleh bot, bukan orang beneran, karena komentarnya udah gak kayak orang.

Saya ini nahdliyin tapi juga mengkritik pemerintahan? Pikiran anda sempit jika memandang saya akan selalu pro kepada pemerintah karena saya NU, yang dituduh sebagai ormas penjilat pemerintah. Engga bos! Secara pribadi, saya punya sikap, saya punya otak dan saya punya hati untuk mengolah apa yang saya lihat, dengar dan rasakan dari pemerintah. Maka sikap saya tidak harus sama dengan organisasi manapun. Dan, mengenai NU, mungkin anda juga salah memahami, bahwa benar sebagian besar warga NU berperan dalam pemenangan Jokowi-KH. Ma’ruf Amin, tapi NU bukan partai politik, sehingg secara kelembagaan/keorganisasian, NU tidak ikut campur dalam urusan politik praktis, tapi NU akan terdepan jika urusannya adalah politik kebangsaan, seperti menghadang mereka yang menggunakan Politik Identitas, menjadikan agama sebagai alat kepentingan politik, atau golongan sempalan-sempalan radikal yang berani menghina para Kyai NU dan merongrong NKRI. Kikis Habis!

Semoga Indonesia aman dan damai. Sehingga kita tetap bisa beribadah dengan tenang, berpuasa dengan santuy, dan ngabuburit dengan tawa, jangan sambil sweeping apalagi ngeroyok orang. Selamat Ngabuburit.

TOLAK 3 PERIODE!
TURUNKAN HARGA-HARGA!
KATAKAN TIDAK UNTUK POLITIK IDENTITAS!

Tentang Keyakinan Saya pada NU

Tentang Keyakinan Saya pada NU

Jagat maya saat ini, khususnya media sosial memang sedang gencar-gencarnya mempertontonkan perang pengaruh, saling merebut klaim kemayoritasan, klaim paling agamis, tuding menuding, dan sejenisnya. Propaganda sekejam apapun dihalalkan. Goreng menggoreng terus dipraktekkan dalam kehidupan bermedsos sehari-hari. Banyak dugaan bermunculan apakah sebetulnya kegaduhan yang terjadi di dunia medsos kita hari ini adalah bagian dari operasi intelejen dari negara adidaya untuk menancapkan pengaruhnya di negara lain? atau bahkan menghancurkan eksistensi sebuah negara seperti yang terjadi di timur tengah? Barangkali ini bisa jadi diskursus yang menarik untuk dibahas sambil ngopi.

Salah satu organisasi yang saat ini terus menerus menjadi target serangan adalah Nahdlatul Ulama. Sebagai organisasi keagamaan islam terbesar di Indonesia, bahkan dunia, NU jelas telah menjadi sasaran empuk propaganda dan fitnah. Tujuannya jelas untuk melemahkan posisi NU sebagai salah satu pondasi penting yang berperan besar dalam memperjuangkan, mengisi dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terlebih, catatan-catatan sejarah hari ini mulai membuka kiprah besar Nahdlatul Ulama yang sebelumnya banyak tertutupi, khususnya akibat dari tekanan pemerintah orde baru yang mengerdilkan peran NU dan kader-kadernya, salah satunya? Resolusi Jihad.

Media sosial menjadi medan fitnah yang luar biasa terhadap NU dan bagian-bagian yang terkait dengannya, salah satu yang paling kencang mendapatkan serangan adalah Gerakan Pemuda Ansor dan Bansernya. Anda bisa kroscek sendiri bagaimana narasi-narasi negatif terus dilontarkan, baik di facebook, twitter, instagram, youtube, tiktok dan tak ketinggalan, grup-grup whatsapp. Propaganda yang masif itu mau tidak mau harus diakui memiliki pengaruh dalam mendistorsi persepsi terhadap NU, Ansor, Banser dan yang lainnya disebagian kalangan, meskipun saya yakini tidak banyak. Bahkan kalangan santri pun ada yang ikut nyinyir dan “membenci Ansor dan Banser”.

Saya memang belum terlalu lama berkecimpung di Nahdlatul Ulama. Saat mahasiswa, tergabung di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Kemudian saat kembali ke kampung halaman, tiba-tiba saya langsung ditunjuk menjadi Sekretaris MWC NU Kec. Rajagaluh (saya merasa sangat tidak layak), disusul dengan diberi mandat sebagai Wakil Ketua di PAC GP Ansor Kec. Rajagaluh. Dan beberapa hari ini, saya aktif mempublikasikan keterlibatan saya dalam acara DIKLATSAR BANSER yang merupakan gerbang awal bagi masyarakat yang ingin bergabung dengan Satuan Banser. Komentar yang masuk ke saya cukup beragam. Ada yang mempertanyakan, ada yang mengernyitkan dahi, terheran-heran, kenapa orang seperti saya, yang mungkin menurut mereka seperti “orang lurus” masuk ke dalam organisasi “nyeleneh” macam GP Ansor dan NU. Lagian, anda juga “nyeleneh” juga menuduh saya orang lurus, hahaha.

Lalu bagaimana posisi saya menanggapi banyaknya ujaran negatif terhadap NU? Mengenai ini, saya punya keyakinan. Bahwa NU adalah rumah besar para Ulama, khususnya beliau-beliau yang telah membimbing saya saat di Pesantren dulu. Tidak ada satupun kyai dari Pondok Pesantren almamater saya yang tidak memiliki keterlibatan dan keterkaitan dengan Nahdlatul Ulama. Jadi, jelaslah bahwa keterlibatan saya di NU adalah merupakan suatu upaya ta’dziman, takriman, taqlidan kepada Guru-guru saya di Pesantren dulu. Saya meyakini bahwa guru-guru saya di Pesantren ini tidak akan salah pilih organisasi dan tidak akan asal-asal dalam menentukan wasilah berdakwah, dari mulai di Ciamis, Pati, Brebes, Tasikmalaya dan Malang semua sama, NU!

Kenyelenehan yang mungkin terlihat dari para kyai atau tokoh NU yang seringkali menjadi bahan ‘gorengan haneut’ itu saya yakin memiliki argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Tidak hanya asal ingin beda atau ingin menciptakan sensasi. Keyakinan begini tidak berarti menumpulkan daya kritis saya kepada satu dua persoalan ya, karena pasti saya memiliki persepsi dan pendapat terhadap persoalan itu. Setuju dan tidak. Suka dan tidak. Nyaman dan tidak. Tapi persepsi saya itu tidak akan bisa mendorong saya untuk menjauhi NU. Karena sederhana saja, secara hakikat, saya sudah meyakini bahwa garis perjuangan NU dan para Kyai didalamnya merupakan suatu kebenaran yang patut saya perjuangkan. Jadi, apapun serangan cacian fitnahan yang diarahkan kepada NU, saya akan tetap mengkhidmahkan diri saya untuk ikut berpartisipasi dalam ngurip-nguripi NU, minimal di daerah tempat saya tinggal, termasuk Ansor dan Banser yang juga bagian dari keluarga besar NU, semampu saya tentunya.

Belajar dari MS GLOW dan MASWINDO

Belajar dari MS GLOW dan MASWINDO

Beberapa hari yang lalu saat skroling asik feed instagram, saya mendapati postingan mas Aswin Yanuar yang menampilkan semacam teaser tayangan Talkshow KickAndy di Metro TV yang akan menampilkan duo pasangan “Crazy Rich” Jawa Timur. Pertama Juragan 99-Shandy Purnamasari, pemilik J99 Corp. yang menjadi induk dari unit usaha MS GLOW, J99 Trans, dan yang lainnya. Kedua adalah Mas Aswin Yanuar dan Claudya Harida, pasangan kontraktor dan developer muda dengan PT. Maswindo Bumi Mas-nya yang sudah punya lebih dari 500 kantor cabang se-Indonesia dengan 10.000 lebih proyek yang sedang berjalan saat ini.

Sebetulnya saya ini jarang-jarang lah nonton kisah-kisah inspiratif. Bukan karena gak butuh inspirasi, tapi memang kadang-kadang secangkir kopi sudah cukup untuk mendapatkan inspirasi-inspirasi kehidupan, hehe. Selain itu sih waktu, mau nonton kisah inspiratif secara full gitu ya susah karena memang durasinya rata-rata panjang. Sedangkan saya, baru 10 menit duduk, Panggilan dari “Kapolda” akan tiba, hahaha. Terus kenapa sekarang saya cukup terpanggil untuk menonton kedua pasangan “gila” ini? Karena kedua pasangan ini punya urusan sama saya. Eh, kebalik, saya punya urusan sama kedua pasangan ini, eh, sama aja ya. Pertama, dengan Juragan 99 dan istrinya, istri saya sudah satu bulan bergabung menjadi reseller MSGLOW. Memang karena usaha core saya lagi agak terjun, jadi saya dan istri mencoba putar otak mencari alternatif usaha lain yang kira-kira cocok, dan terpilihlah skincare MSGLOW. Yuk temen-temen yang pengen glowing, pake MSGLOW aja, dan belinya via istri saya, banyak giftnya lho, wkwkwk. Klik sini aja deh.

Kedua, dengan Mas Aswin, sebagai pasangan muda yang masih numpang dengan orang tua, saya dan istri punya impian untuk memiliki rumah yang cakep. Sejak awal viral sampe sekarang, mantengin desain-desain Mas Aswin and the friends ini kami berdua jadi sering ngeces. Kami menjadi penonton setia desain rumah mas aswin ini jauh sebelum Maswindo punya cabang-cabang. Perlahan tapi pasti, benih-benih kepercayaan saya dan istri terhadap Maswindo “tumbuh” hingga saat Maswindo mulai membuka cabang-cabang, saya mencoba menghubungi Cabang terdekat. Dan hingga sekarang ini, calon rumah idaman saya ini alhamdulillah desainnya udah jadi, sedang proses revisi RAB. Calon rumahku ini rencananya akan dibangun oleh PT. Maswindo Bumi Mas Cabang Sumedang. Mohon doanya aja biar segera bisa MoU, dan yang terpenting, mohon doanya biar duitnya segera terkumpul, karena jiwa misqueenku sudah meronta-ronta, hahaha.

Ada banyak pelajaran yang saya ambil dari Juragan 99 dan Maswindo ini, khususnya dalam membangun pondasi bisnisnya hingga sebesar ini. Dari mas Gilang yang sepeda motor pas kuliahnya sama dengan saya itu (Jupiter MX, ckckck), beliau selalu menulis dengan detail satu persatu impiannya, lalu membuat planing terarah untuk menggapai impiannya itu. Dicatat sedetail mungkin. Dari mbak Shandy lebih mengena lagi, beliau menekankan bahwa bisnis yang dijalani itu harus benar-benar sesuai dengan passion. Karena jika sudah by passion, peluang untuk kita benar-benar mau dan serius menekuninya lebih besar. Dan ketekunan itu membuahkan hasil. Selain itu, beliau juga berkata bahwa kita harus pandai membaca peluang. Bisnis kita kalaupun ia bukan yang pertama, setidaknya harus menjadi pembeda, sehingga akan banyak orang yang mudah “notice”.

Sedangkan dari mas Aswin, saya mendapat “pukulan” motivasi yang lebih mantap lagi, bahwa kita gak boleh gengsian dalam belajar atau menekuni sesuatu, kalo gak paham tentang suatu hal ya tanya aja, cari tau sama mereka yang tau, minta pemahaman dari mereka yang udah paham. Gengsi ini kadang-kadang dianggap remeh, tapi bagi saya pun, ia adalah penyakit mental yang paling mudah menjangkiti siapapun. Tidak pandang latar belakang, suku, agama, budaya, bahkan status, mau jomblo mau yang udah laku, saya yakin banyak yang sudah pernah positif terjangkit virus gengsi ini.

Yang digarisbawahi oleh Andy F. Noya dari kedua pasang pengusaha ini adalah kedermawanannya. Sebagai orang yang sudah sukses di usia muda, mereka tak sungkan untuk berbagi kepada orang-orang yang membutuhkan. Juragan99 dengan J99 Foundation nya dan Maswindo dengan give away dan renovasi gratisnya, memberi pesan kepada kita semua untuk mau berbagi kepada sesama. Berbagi rezeki tidak harus menunggu kita kaya dulu, kita punya rezeki berapa, kita sisihkan sebagian untuk bershodaqoh. Agaknya, mereka inilah yang berhasil mengamini salah satu hadits Nabi Muhammad bahwa “maa naqoshot shodaqotun min maal”, artinya shodaqoh itu tidak akan mengurangi hartamu, malahan ia ternyata bertambah berkali-kali lipat. Bahkan shodaqoh ini juga bisa menjadi amal jariyah yang terus mengalir meskipun kita sudah meninggal dunia.

Sebagian orang ada yang menghujat bahwa apa yang dilakukan pada influencer, pengusaha yang bikin sedekah-sedekah, give away dan sejenisnya ini cuma gimmick belaka untuk meraih simpati publik dengan stategi marketing level dewa. Yah, gak ada yang tau isi hati manusia, tapi saya ber-husnudzon saja, bahwa apa yang beliau-beliau lakukan ini benar-benar tulus untuk membantu sesama. Btw, saya juga lagi butuh bantuan nih kak, duit buat bangun rumahnya masih kurang, hahahaha.

Semoga apa yang disampaikan oleh para suhu bisnis ini bisa menjadi pelecut untuk saya pribadi lebih maju lagi, lebih giat lagi, lebih keras lagi untuk mencapai kesuksesan-kesuksesan dalam dunia bisnis. Lha kok santri kedunyan sih. Lha emangnya santri gak oleh sugih ta? Yo oleh to. Alesannya? Kapan-kapan saya narasikan di tulisan lain aja lah.

Semoga semua sehat dan sejahtera, salam hangat seruput kopi, siang ini mendung cak, srupuuuuut.

Wallahu a’lam.

Digitalisasi Memang Mendesak, Tapi Jangan Cuma Gimmick Doang

Digitalisasi Memang Mendesak, Tapi Jangan Cuma Gimmick Doang

Menulis urusan digitalisasi ini udah dorongan sejak lama. Sejak saya urus-urus dokumen kelahiran anak pertama di dukcapil tahun 2019 yang lalu. Biasalah, kurang satu dua dokumen, saya harus memacu sepeda motor saya kembali ke rumah untuk mengambil berkas yang tertinggal itu. Jaraknya sekitar 20 km an lah. Bukan cuma satu balik, tapi dua balik bosss. Maknyus kan?

Jadi ya, beberapa kali lah teman bahkan saudara saya curhat sulitnya urus-urus di dukcapil itu gimana. Sampe karena kurang satu dan dua dokumen saja, harus bela-belain pulang lagi ke rumah dan berangkat lagi. Iya kalo jarak dari rumah ke kantor itu deket, saya mending cuma 20 km. Ada lho, desa-desa lain yang jarak tempuh menuju kantor disdukcapil itu waktu tempuhnya 1-2 jam. Akhirnya mereka menyerah dengan memasrahkan urus-urus KTP dan sebagainya itu ke oknum pemerintahan, eh oknum apa udah umum ya?

Padahal, di media sosial disdukcapil sendiri, kelihatannya cukup banter menginformasikan program-program digitalisasi pelayanan data kependudukan, semua bisa diurus via online, begitu katanya. Melihat dua sisi ini, dari fakta lapangan dan informasi di medsos, agaknya klaim bahwa digitalisasi di lingkungan pemerintahan ini masih banyak yang hanya “gimmick” belaka, atau gimana maksud sebenarnya?

Eh, jangan bilang saya menggeneralisir ya. Apalagi pake nuduh saya kubu cebong atau kampret yang sudah usang itu. Toh, saya juga mengapresiasi kok langkah digitalisasi yang bukan cuma “gimmick”. Misal layanan di SAMSAT, dimana pembayaran pajak bisa dibayarkan via Tokopedia dan platform lainnya yang bekerja sama, lalu kita tinggal pengesahan aja, gak perlu ke kantor, cukup cari info jadwal SAMSAT KELILING terdekat, dan selesailah urus-urus pajak kendaraan kita.

Jadi oke gini lah, bagi instansi pemerintahan macam disdukcapil bolehlah meniru gaya SAMSAT yang digitalisasinya bukan hanya klaim belaka. Beneran bisa online lho mereka. Bukan cuma “gimmick” di medsos aja. Kebutuhan digitalisasi ini penting, biar gak ada lagi tuh, guyonan di masyarakat macam gini, “katanya KTP kita ini udah elektronik, alias sudah dipasangi chip yang maha canggih, tapi mau urus ini itu tetep harus fotokopi”. Yah, meskipun sebenernya, KTP yang harus di fotokopi itu sedikit banyaknya memberi nafas kehidupan bagi para tukang fotokopi yang menjamur dimana-mana.

Modal buat bikin platform digitalisasi instansi saya kira gak sulit dan mahal-mahal banget kok. Asal ada political will dari pimpinan instansi-instansi terkait. Tidak perlu menunggu pusat. Toh, setau saya SAMSAT juga melakukannya dari tingkat daerah, misal yang tercantum di Tokped ada Jabar, Jateng, Jatim, dll. Belum semua provinsi bisa. Artinya hal tersebut bisa dilakukan dengan inisiatif daerah maupun kabupaten/kota. Yah, pokoknya bisa lah, gimana caranya agar masyarakat ini nantinya gak alergi sama urus-urus dokumen kependudukan.

Maaf ya bapak-bapak yang terhormat. Ini semua cuma curhat sebagai respon atas curhatan-curhatan sodara dan temen saya. Makanya saya gak pake data, riset atau apalah yang njelimet-njelimet itu. Yang pasti, semoga kedepan lebih baik. Wallahualam.

Ikan Manfish dan Tetek Bengek Urusan Aquarium

Ikan Manfish dan Tetek Bengek Urusan Aquarium

Setelah sekian purnama, aquarium di rumah akhirnya dibersihkan juga. Beberapa minggu yang lalu saya, bapak dan adik saya membersihkan aquarium yang kurang lebih hampir tiga tahun terbengkalai. Kata mamah sih, dulunya seringkali ikan-ikan yang dibeli dan dipajang di aquarium itu wafat setelah beberapa hari dimasukkan. Selanjutnya, ikan yang dipelihara di aquarium itu hanya ikan mas biasa. Tak cukup indah dipandang, tapi daya survive-nya luar biasa, alias gak gampang ko’it. Semakin si ikan mas itu besar, semakin terasa aquarium itu tidak eye catching. Akhirnya, dipindahlah si ikan mas itu ke balong dan air di aquarium dikosongkan, begitu ceritanya.

Tiga tahun berselang, istri saya bersabda, “Coba dong ini aquarium dimanfaatkan. masa dipajang di ruang depan, tapi kosong.” Sabda istri memang sering mujarab, seketika mampu menstimulasi otak untuk memaksa anggota tubuh lainnya untuk bergerak. Bukan apa-apa, ini demi menghindari sabda selanjutnya. Ya, dimulailah proses pengurasan aquarium itu hingga kami isi dengan 5 galon air isi ulang, hahahaha.

Mamah benar, memelihara ikan di aquarium susah susah gampang. Terutama setelah saya menonton dan membaca seputar urusan perikanan ini. Saya harus memilih mana ikan yang daya survive nya tinggi, boleh dicampur-campur atau tidak, bahkan sampai urusan filter yang ternyata harus dibarengi dengan biofilter sebagai media alami pertumbuhan bakteri nitrifikasi, dan anjuran mengambil batu-batu kecil hiasan dasar aquarium yang dapat berpotensi memicu bom amoniak yang beracun bagi si ikan, banyak sekali ilmu baru di urusan perikanan hias ini.

Korban dari proses belajar saya ngurus ikan hias ini sudah cukup banyak juga. Ada 5 ikan patin kecil yang entah kenapa mati one by one. Ada 2 ikan red eye putih (sebenernya gak tau nama aslinya) yang dilempar ke balong karena terlihat terlalu agresif terhadap ikan lain. Ada 4 ikan mas yang berakhir dilempar ke balong juga karena ya sama sekali gak aesthetic bosss. Dan terakhir ada 10 ikan manfish kecil yang mati akibat stress di bully sama 3 manfish preman dewasa. Semoga mereka semua tenang di tempat barunya, amin.

Proses belajar tentang urusan ikan hias ini masih terus berjalan. Dengan terus membaca literatur-literatur di mbah gugel dan mengamati perilaku ikan-ikannya. Melalui itu lah saya bisa menyimpulkan penyebab wafatnya 10 ikan manfish mini adalah akibat bullying para seniornya yang menyebabkan stress, mogok makan dan akhirnya wassalam.

Dan apa jenis ikan di aquarium rumah saat ini? Yes! 3 manfish preman, 2 ikan tukang sapu-sapu. Dan siang tadi saya membeli 3 ikan manfish baru. Kali ini manfishnya bukan yang kecil-kecil. Kurang lebih hampir seukuran dengan 3 manfish preman yang pertama.

Dari ikan-ikan ini, saya belajar bahwa segala sesuatu juga ada ilmunya. Yang awalnya saya berfikir kalo ngurus ikan itu kayak simpel aja gitu. Tinggal cemplung di kolam atau aquarium, lalu biarkanlah mereka dan cukup beri mereka makan diwaktu-waktu tertentu. Ternyata tidak semudah itu, kita perlu atur aerator untuk meningkatkan kadar oksigen dalam air, kita perlu atur juga arus airnya, kita perlu sistem filtrasi air yang baik juga yang disesuaikan dengan kebutuhan, kita perlu tau suhu dan pH air untuk ikan-ikan tertentu dan terakhir, kita perlu paham karakter masing-masing ikan.

Seperti beberapa hari saya perhatikan bahwa bullying yang dilakukan manfish dewasa terhadap manfish kecil adalah akibat dari karakter manfish dewasa yang bersifat teritorial, artinya ikan manfish dewasa itu merasa punya wilayah kekuasaan sendiri yang tidak boleh direnangi oleh manfish lain. Jika manfishnya kecil, jelaslah di plonga plongo, langsung dikejar dan dibully hingga gak kerasan. Kalo santri masih enak, gak kerasan bisa pulang. Kalo di aquarium, “Bleh, aku kate moleh yo moleh nandi? Aku yo wes lali omahku iki sakjane ndek ndi, ta mati ae wes.“. Begitu kira-kira ujar manfish kecil. Kalo manfish besar, adegan yang harus disensorpun terjadi, mereka berciuman dengan nafsunya. Untuk memahami akan apa yang sedang terjadi (weeeeโ€ฆ), langsung saya ketik di gugel, โ€œManfish ciumanโ€. Ternyata lagi gelut booossss. Mbuh wes karepmu. Gelut gelutooo. Karepmuuuu slurr.

Ini masih setting aquarium biasa, bukan aquascape yang tetek bengek hiasan aquariumnya lebih rumit karena melibatkan tumbuhan hidup juga. Untuk aquascape, aku mundur alon-alon wae. Hehe.

Titik Balik

Titik Balik

Hari-hari saat di pesantren adalah hari dimana fokus dan fikiran kita tidak banyak terbelah. Tujuan kita pada saat itu cuma tiga, mengaji, mengaji dan mengaji. Salah satu yang paling teringat adalah saat dikabalongkeun, yaitu dihukum dengan menyeburkan diri kedalam kolam yang (cukup) kotor selama beberapa waktu, biasanya saat saya atau santri yang lain kedapatan nundutan. Nundutan ini bahasa sunda, bahasa inggrisnya sleep while sit, hahaha. Nundutan itu, saat kita ma’nani atau ngalogatan kitab kuning di halaman 10 >tidak sadar > sadar > dan ternyata sudah sampai halaman 15. Bolonglah ma’nani itu sebanyak 4 halaman. Dihalaman 10 itu, berdiri sebuah pulau yang menjadi lokasi DAHDIR KINGDOM, hahaha.

Tradisi mengaji atau ma’nani kitab kuning itu bertahun-tahun hilang dari keseharian saya. Kalo tidak salah, kitab terakhir saya ma’nani itu adalah kitab Nashoihul Ibad saat berkuliah di Malang dulu, itupun semester satu dan dua. Setelah itu, dialektika saya dalam menyelami kutubut turots memang benar-benar luput. Selain memang saat kuliah dulu saya tidak lagi mondok, alias ngekos dan ngontrak. Memang juga saya ikut berorganisasi dan fokus di bidang jurusan kuliah saya, kimia. Dan itu berlanjut hingga saya selesai studi S2 kemarin-kemarin itu.

Jadi, bisa anda bayangkan, bab demi bab Jurumiyah, bait demi bait Imrithi dan Alfiyah harus saya recall. Dan proses recalling itu jelas sulit, karena sudah sekitar 5-6 tahunan. Astaghfirullah. Intinya saat ini, saya merasa ingin menyambungkan kembali tali yang (hampir) putus itu. Dan kemarin adalah waktu dimana saya berkesempatan menyambungkan kembali benang demi benang dari tali yang sudah hampir putus itu.

Ba’da jumat kemarin (19/11/2021), saya memulai kembali tradisi mengaji kitab kuning itu. Kali ini saya nimbrung di pengajian rutinan alumni dan muhibbin Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Bertempat di Pondok Pesantren Cabang Lirboyo V, Tegalaren, Ligung, Majalengka, saya, Bapa dan adik saya ikut mengaji bersama para alumni Lirboyo. Kitab yang dikaji adalah kitab Minhajul Abidin, karya dari Hujjatul Islam, Imam Ghazali yang menjelaskan beberapa aqobah (jalan terjal) yang harus ditempuh oleh seorang hamba untuk meningkatkan kualitas untuk beribadah kepada Allah, baik yang mahdloh maupun yang ghoir mahdloh.

Pada kesempatan itu, pengajian diisi oleh KH. Atho’illah Sholahuddin Anwar, dari Lirboyo Pusat. Kitab tasawwuf macam ini sangat tepat dikaji ditengah masyarakat, dan khususnya untuk saya sendiri. Dimana mudah-mudahan, melalui mutiara kebijaksanaan yang diuraikan dalam kitab ini dapat mentransformasi saya pribadi menjadi lebih bijaksana dan intinya lebih baik lagi dalam menjalani kehidupan yang singkat ini. Kesempatan ma’nani kitab seperti kemarin adalah titik balik saya. Dalam arti sempitnya, mengobati kerinduan saya akan tradisi nulis arab pegon kecil pake pulpen hitec-c yang harganya 20 ribu itu. Yang sekali jatuh saja, si santri itu akan pusing karena seringkali langsung macet, duh. Semoga saya istiqomah bisa mengikuti pengajian kitab ini setiap bulannya, Amiiin.

Eh, pulpen hitec-c harganya masing 20 ribu tah? Atau sudah naik? Beneran nanya.

Wallahu a’lam