Seringkali dalam beberapa obrolan suatu topik, yang terkait dengan kesehatan misalnya, ada orang yang latah menstigma begini, “Hati-hati sama obat kimia, berbahaya. Mending pake yang alami-alami, herbal, itu lebih sehat, lebih ampuh. Kalo obat-obatan kimia nanti suka ada efek sampingnya.”
Statemen macam itu jika didengar sekilas memang terdengar sangat super sekali, mereka yang bicara demikian bisa dianggap sebagai orang yang memegang warisan leluhur, menjunjung tinggi kearifan lokal dalam pengobatan tradisional, atau dalam bahasa kerennya disebut pejuang “back to nature“. Sebelum membahas lebih jauh, saya ingin mengkoreksi istilah “obat kimia”, istilah yang lebih tepat adalah “obat sintetis”. Karena pada dasarnya, yang herbal juga kimia. Dan semua yang ada di dunia ini adalah bahan kimia. Oke?
Ya, obat-obatan sintetis macam parasetamol, ibuprofen, CTM, pseudoephedrine, phenylpropanol amine, waakhwatuha seringkali di cap sebagai obat-obatan yang berbahaya bagi tubuh. Yang lebih aman adalah mengkonsumsi bahan-bahan alami, misalkan kunyit yang dibubukkan, dedaunan yang direbus, akar yang ditumbuk, dan lain lain. Begitu.
Sebagai orang yang pernah belajar ilmu kimia, saya termasuk orang yang tidak setuju dan gusar dengan pandangan tersebut. Kegusaran ini berangkat dari beberapa alasan. Pertama, Jika dilihat dari asal muasalnya, banyak obat-obatan sintesis juga pada awalnya berasal dari bahan-bahan alami. Saya ambil contoh, pseudoephedrine. Senyawa obat yang biasa digunakan sebagai obat pereda flu atau dekongestan ini pada awalnya berasal dari tumbuhan Ephedra sinica yang banyak tumbuh di daratan China. Secara tradisional, tanaman ini memang sejak dahulu digunakan sebagai obat pelega hidung dan tenggorokan. Karena khasiat tradisionalnya, kemudian para peneliti berupaya mengisolasi senyawa yang berperan dalam bioaktivitas tersebut dengan pendekatan bioassay guided isolation hingga didapatkanlah si senyawa kelompok alkaloid ini.
Karena sediaan tumbuhan Ephedra sinica yang terbatas dan rumitnya proses mengisolasi senyawa dari bahan alam. Maka dikembangkanlah mekanisme tertentu untuk mensintesis pseudoephedrine ini di laboratorium. Saat ini, sediaan pseudoephedrine ini tidak diambil dari tumbuhannya, melainkan dari hasil sintesis laboratorium. Pseudoephedrine disintesis melalui mekanisme biotransformasi yang melibatkan dextrose dan bakteri tertentu untuk mendapatkan prekursornya, kemudian diubah menjadi pseudoephedrine melalui proses aminasi reduktif. China dan India adalah dua negara yang banyak memproduksi pseudoephedrine ini dan mengekspornya ke berbagai negara.
Selain pseudoephedrine apa lagi? Masih banyak banget bos, misal morphin dari Papaver somniferum sebagai obat analgesik, vinblastin dan vinchristin dari Catharantus roseus sebagai obat antitumor, Quinine dari Chincona sp sebagai obat antimalaria, dan lain lain. Beberapa obat ini pada awalnya ditemukan dari tumbuhan, kemudian dikembangkan produksinya dengan metode sintesis agar lebih mudah didapat dan menghasilkan rendemen lebih tinggi.
Kedua, satu kandidat obat tidak dinilai dari beberapa orang yang mencoba khasiatnya, melainkan melalui banyak tahapan dalam uji, dari pra klinis hingga klinis. Contohnya saya lanjutkan dengan pseudoephedrine lagi, senyawa tersebut dilakukan uji bioaktivitas hingga uji klinis untuk memastikan efektivitas dan selektivitas kerjanya sebagai kandidat obat. Setelah melalui uji-uji yang rumit itu, barulah si pseudoephedrine ini mendapatkan izin edar/pemasaran dengan tetap mendapatkan pengawasan dan pemantauan dari pihak-pihak tertentu. Jika dalam masa edarnya ada masalah, obat ini bisa saja mengalami nasib buruk dengan ditarik dari pasaran, bisa permanen, bisa juga sementara.
Salah satu contoh obat yang pernah ditarik sementara adalah Ranitidine HCl. Obat tersebut ditarik karena adanya temuan cemaran NDMA yang diduga berasal dari tahapan produksinya. NDMA ini salah satu zat pemicu kanker. Kemudian, obat ini boleh diedarkan kembali di masyarakat karena beberapa merk dari obat ini memiliki kadar NDMA dibawah ambang batas. Fakta ini mungkin adalah salah satu dalil yang dapat digunakan untuk menghakimi obat sintetis sebagai produk yang tidak aman. Namun juga sekaligus juga menjadi dalil yang menjelaskan bahwa pengawasan terhadap obat-obatan sintetis berjalan dengan baik. Dengan kata lain, pendistribusian obat-obat sintetis diatur sedemikian rupa agar penggunaannya tepat sasaran dan tidak disalahgunakan.
Jadi intinya, menghakimi obat-obatan sintesis ini bagi saya bukan hal yang tepat dan adil. Karena pada dasarnya, meskipun saya atau anda dengan jargon “back to nature” secara bangga mempraktekkan konsumsi jamu-jamu tradisional yang diminum terus-menerus ya tidak tepat juga. Lho kok tidak tepat? Ini berhubungan dengan keterukuran atau ketepatan, baik secara dosis maupun efektivitasnya. Jamu dengan pengolahan tradisionalnya akan sulit diukur efektivitas dan selektivitasnya layaknya senyawa obat hasil isolasi maupun sintesis karena sediaannya biasanya masih berupa crude atau ekstrak kasar. Pada ekstrak kasar ini, disamping zat aktifnya, masih banyak zat-zat atau senyawa-senyawa lain yang memiliki dua kemungkinan, apakah senyawa lain itu berefek sinergis terhadap zat aktif, ataukah bersiifat antagonis/melemahkan kinerja zat aktifnya.
Ketiga, mengkonsumsi jamu tidak selalu lebih sehat dibanding obat-obatan sintetis. Mengkonsumsi jamu jika dilihat dari kajian metodologis sains memang model konsumsi yang bisa dibilang 50:50. Artinya dibalik khasiatnya yang secara turun temurun telah diturunkan dari leluhur, jika metodologi sains berperan, akan ada dua kemungkinan, bisa jadi dia benar-benar bekerja secara selektif dan efektif, bisa juga tidak. Hal ini tak lepas dari sediaannya yang berupa crude. Maka urusan perjamuan ini, BPOM punya pengkategorian tersendiri (agar tidak terlalu liar) dengan membaginya menjadi 3 kelompok, yaitu jamu, obat herbal terstandar (OHT) dan fitofarmaka dengan syarat-syarat tertentu. Untuk menjadi OHT, suatu produk jamu harus memenuhi kriteria keamanan yang ditetapkan, khasiatnya terbukti pada tahapan pra klinis, dan bahan baku nya sudah terstandarisasi dengan baik. Standarisasi bahan baku ini juga ada 3 aspek, yakni standarisasi bahan, standarisasi produk dan standarisasi proses (CPOTB). Sebagai contoh, jamunya orang pintar, si Tolak Angin kemarin-kemarin ini yang awalnya terkategorikan sebagai jamu, sekarang sudah masuk kategori obat herbal terstandar (OHT) karena sudah memenuhi kriteria keamanan yang ditetapkan.
Maksud dari penjelasan diatas, diluar sana mungkin banyak beredar jamu-jamu yang tidak memenuhi kriteria keamanan itu. Konsekuensinya, tidak ada kerangka metodologi sains yang menjamin keamanan konsumsi jamu tersebut yang menakar keterukuran dan ketepatan dosisnya. Karena dosis ini penting. Jika dosis misalnya tidak tepat, jika ternyata berlebih, akan berbahaya bagi tubuh, jika ternyata kurang, maka efek farmakologisnya tidak akan efektif. Halah, kan ada gusti Allah yang menjamin hidup kita, ra sah obat-obatan. Jika diskusinya dibawa kearah sana, kulo no komen mawon, hehe.
Keempat, jamu tidak bisa dijadikan agen utama dalam terapi pengobatan. Pada dasarnya, karena sediaan jamu rata-rata masih berupa crude atau simplisia, jadi kandungan senyawanya pun masih kompleks dan beragam, sehingga efek farmakologisnya sulit terukur dalam satu takaran tertentu, karena ada yang bersifat sinergis maupun antagonis. Hal ini menyebabkan inkonsistensi efek farmakologis dari jamu-jamuan. Sehingga biasanya, jamu akhirnya hanya digunakan sebagai penunjang dalam terapi pengobatan.
Disamping itu, diluar sana banyak penyakit-penyakit yang memang berat tidak akan bisa tertangani dengan meminum jamu saja. Artinya, penyakit itu memerlukan suatu terapi yang spesifik dari suatu senyawa obat, misal dalam kasus kanker, ya mau tidak mau ia harus melalui proses kemoterapi dengan diinjeksikan obat-obatan yang spesifik dan selektif. Dan sepengetahuan saya, saya belum menemukan mereka yang sembuh dari kanker hanya dengan meminum jamu saja. Jadi, semua ada maqom-nya masing-masing.
Inti dari tulisan ini sih begini, kita tidak usah terlalu parno sama yang disebut obat-obatan kimia, bahkan menyerang mereka dan membandingkannya dengan obat-obatan herbal. Bukan apa-apa, satu kandidat obat saja harus melalui tahap-tahap uji yang sangat sulit hingga sampai ke tahap uji klinis terhadap manusia. Dan ribuan kandidat obat diluar sana masih otw untuk bisa benar-benar disebut obat. Ada yang gagal, ada yang berhasil. Artinya untuk mendapatkan satu obat saja, perjalanannya sangatlah panjang.
Jadi, ini urusannya dengan penghargaan terhadap disiplin ilmu pengetahuan. Toh, yang terpenting adalah tidak berlebihan, atau dalam istilah adik saya yang dokter itu, sesuai dosis lah. Misal anda sakit kepala dan demam, anda minum parasetamol sesuai dosis saja. InsyaAllah aman. Atau jika anda yakin itu bisa sembuh dengan Tolak Angin, ya silahkan anda minum Tolak Angin secukupnya. Jika anda minum Tolak Anginnya langsung 5 bungkus ya entahlah apa yang terjadi, saya belum pernah coba, hehe.
Indonesia itu negara kaya dengan biodiversitas yang tinggi sekali, katanya sih no. 2 setelah Brazil. Dibalik kekayaan alam itu, nenek moyang kita meninggalkan kearifan lokal dalam dunia pengobatan klasik, misalnya terkait jamu-jamu ini. Di kampus saya dan banyak universitas lainnya, khususnya prodi yang terkait dengan kajian potensi bahan alam, beberapa memiliki paradigma penelitian yang berangkat dari kearifan lokal itu. Misal suatu tumbuhan secara lokal punya potensi ini itu, peneliti coba membuktikannya dengan bekal metodologis yang ia punya, sehingga senyawa aktif yang terkandung dalam tumbuhan lokal itu dapat diketahui. Biasanya, jika aktivitas farmakologis senyawa dari tumbuhan lokal itu sangat menjanjikan, ia akan diupayakan untuk dicarikan metode sintesisnya hingga didapatkan senyawa tunggal yang diharapkan. Atau minimal, misal dalam tumbuhan lokal itu ternyata ditemukan macam-macam senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan yang baik, maka tumbuhan itu dapat dimanfaatkan untuk dibuat menjadi jamu untuk kemudian kita konsumsi sebagai sumber antioksidan alami. Kira-kira begitu.
Maka, mari kita akhiri saja perdebatan antara obat-obatan sintetis dengan jamu ini. Karena pada dasarnya, mereka ini punya keunggulan dan kekurangan masing-masing. Obat-obatan dengan selektivitasnya, dan herbal dengan kearifannya. Wallahu a’lam.
Emosional. Kata itu yang mendeskripsikan wisuda saya kemarin. Memang jika dilihat dari berbagai sisi, studi S2 ini berbeda 360° dengan saat saya menyelesaikan studi S1 dulu. Jika dulu, urusan menyelesaikan S1 ini terbilang saya capai dengan target-target yang santai. Sejak saya masuk Jurusan Kimia di UIN Malang, saya memang realistis saja. Berangkat dari Pesantren yang notabene salaf, dimana urusan sekolah bukan prioritas utama, saya cukup keteteran untuk mengimbangi ritme pembelajaran di Jurusan Kimia. Jelas saja, yang awalnya dipesantren dulu sibuk menghafal jurumiyah hingga alfiyyah dan mengkaji kitab-kitab kuning, saya tiba-tiba harus banting setir menjadi arsitek molekul. Maka memang sejak awal, target saya gak muluk-muluk, tidak akan lulus tepat waktu, melainkan akan lulus di waktu yang tepat, hehe.
Saya menempuh studi S1 selama 10 semester, ngaret setahun dari target umum mahasiswa lain. Selain memang realistis akibat latar belakang saya diatas, saya juga bersyukur bisa memaksimalkan waktunya dengan berkecimpung di organisasi kemahasiswaan, baik di OMIK maupun di OMEK, sehingga soft-skill saya macam public speaking, menulis perjuangan nilai, manajerial dan lain-lain menjadi terasah. Dengan berbagai keriweuhan yang ada saat S1 dulu, jika meminjam istilah Tan Malaka, saya terbentur, terbentur, terbentur, lalu terbentuk. Terimakasih saya ucapkan untuk semua mentor dan rekan organisasi saya. Jadi bagi saya, lulus 10 semester bukan aib, tapi ‘kebanggaan’, hahaha. Saya jadi teringat saat saya masuk perkuliahan pertama kali, saat itu dosen menanyakan satu per satu mengenai alasan masuk Kimia UIN Malang, banyak dari teman-teman saya menjawab ‘kepleset’, sebenernya ingin masuk UB/UM/UNAIR/ITS/DLL, tapi lotrean SNMPTN menunjuknya ke UIN Malang itu, apa boleh buat. Jawaban saya berbeda dari mereka, “Bisa kuliah saja saya bersyukur terlebih di Jurusan Kimia yang di mata teman-teman saya saat MA di pesantren dulu adalah mapel yang menakutkan.”. Begitu.
Saat wisuda S1 dulu, saya merasa tidak perlu ada euforia yang menggebu-gebu. Saya pikir, ya namanya mahasiswa, selama ia tetap ada keinginan dan usaha untuk lulus, kelulusan adalah keniscayaan. Ia akan dilalui. Jadi ya biasa saja. Wisuda hanyalah perayaan atas keniscayaan itu. Begitu pikir saya. Dan saya melakukan apa yang perlu saya lakukan untuk lulus dengan lurus-lurus saja. Seminar Proposal, Ujian Komprehensif, Sidang Skripsi hingga Yudisium saya lalui tanpa emosi yang gimana-gimana gitu. Datar saja.
Tapi saat S2, ternyata pengalamannya berbeda. Saya melanjutkan studi magister kimia di UNPAD Jatinangor. Saat memulai studi, saya memang sudah menikah, bahkan saat wisuda kemarin, saya sudah punya dua bocil. Dengan kondisi yang sudah berkeluarga dan tinggal bersama orang tua, jelas cara menjalaninya sangat berbeda dengan saat S1. Setiap minggunya saya pulang pergi menempuh perjalanan 3-4 jam dari Rajagaluh ke Jatinangor dengan ‘si putih’ Vario yang setia menemani. Berangkat senin pagi, pulang jumat sore. Hal itu terjadi selama satu setengah tahun. Jelaslah kerinduan terhadap istri dan anak adalah magnet yang kuat yang menarik saya untuk tidak menghabiskan akhir pekan di Jatinangor. Apalagi jika istri mulai melantunkan rayuan-rayuan maut, meski raga masih di Jatinangor, jiwa saya sudah otw duluan, haha.
Selain itu, memang saya di rumah merintis usaha bersama istri dengan berjualan online. Yah, alhamdulillah lancar dan cukup untuk menghidupi kami dan keluarga. Karena jualan online ini modalnya otak atik marketplace, bidang ini setidaknya kapasitas dan andil saya. Mempelajari sistem, daftar promo, dekorasi toko hingga desain grafis untuk toko kurang lebih adalah jobdesc saya. Disamping itu juga, sesekali membantu meringankan pekerjaan orang tua. Jadi setiap weekend, saya istirahat dan juga, bekerja. Terlebih, dari semester 3 hingga lulus di semester 6, saya sudah tidak mendapatkan ‘beasiswa orang tua’ lagi alias biaya sendiri.
Corona pun tiba. Semuanya hampir lumpuh dan jatuh. Terlebih si corona ini juga ‘bertamu’ ke keluarga kami pada november 2020 lalu. Studi mandek, bisnis merosot, untungnya saat itu perkuliahan saya sudah selesai dan tinggal tesis saja. Tapi gak untung juga sih, karena mahasiswa kimia tugas akhirnya ya harus ngelab kan, dan laboratorium ditutup saat pandemi COVID-19 melanda. Kadang-kadang dibuka dengan protokol ketat, yang jelas menurunkan efektivitas dan produktivitas kerja lab. Efeknya, studi saya molor sampe 2 semester. Dan, SPP/UKT harus tetap dibayarkan full dengan waktu studi yang angin-anginan akibat si kopid nain tin. Keringanan? Tak seperti mahasiswa S1 yang banjir dukungan dalam keringanan pembayaran, mahasiswa pascasarjana ini bagai dianak tirikan. Bayarnya tetep full, meskipun ada toleransi dalam mekanisme pembayaran yang dibagi kedalam 2 tahap, itupun jika melakukan pengajuan.
Selesailah urusan lab, mulailah melanjutkan BAB IV dan penyusunan jurnal untuk publikasi yang harus internasional. Saya kerjakan semuanya saat mudik ke kampung halaman istri di Malang. Sebetulnya ya bukan mudik sih. Soalnya saya berangkat ke Malang dua bulan setelah hari raya idul fitri, menunggu dulu kira-kira situasi pandemi sudah cukup tertangani. Malu juga sih sama mertua, karena setiap malam mesti melekan untuk berjibaku dengan ‘sandi rumput’-nya NMR wakhwatuha. Syahdan, selesailah penyusunan tesis dan publikasi ini. Saya mendaftar untuk sidang tesis dan terselenggara di tanggal 21 Juli 2021 secara daring, dan alhamdulillah di tanggal 4 November 2021 kemarin bisa mengikuti prosesi ‘WISUDA DRAMATIS’ yang juga daring. Dramatisnya, dilain waktu mungkin akan saya dongengkan.
Berbeda juga dengan saat lulus S1 dulu, saya kurang lebih bersikap bodo amat terkait foto-foto. Mau foto-foto wisuda atau engga pun gak masalah. Cuek cuek saja. Foto-foto itu cenderung tidak penting. Yang penting itu perjuangan setelahnya, begitulah idealisnya saya pada saat itu, hahaha. Tapi sekarang ini, tensi untuk pengen foto-foto ini cukup tinggi. Mungkin efek dari nilai perjuangan untuk lulus yang lebih keras kali ya. Jadi, pagi nya prosesi wisuda, sorenya langsung meluncur ke studio foto untuk melangsungkan cekrek-cekrek bersama keluarga. Meski sebenarnya, kegupuhan foto-foto itu lebih kepada sulitnya nyari waktu di hari-hari setelahnya, kebetulan adik saya lagi persiapan pembekalan internship dokter, sedangkan toga harus segera di kembalikan ke pihak UNPAD. Oh iya, bagi saya toga UNPAD ini keren. Ada kombinasi batik dan warna yang ciamik. Katanya sih sekilas mirip jubah Sekolah Sihir Hogwarts di film Harry Potter. Jika toga sarjana berwarna merah yang mirip merahnya Gryffindor, yang magister ini mirip hijaunya Slytherin. Dan ada juga yang berwarna biru layaknya Ravenclaw.
Mungkin dari pembaca sekalian ada yang berujar, “Ah, perasaan biasa saja, gak ada perjuangannya, sok iyes aja nih,”, dll. Mungkin ini memang berangkat dari aspek yang subjektif, bahwa pergulatan yang terjadi saat studi S2, dimana harus saya bagi waktunya untuk anak istri, juga membantu orang tua atau dalam bahasa lainnya, birrul walidain, kemudian harus menjalankan bisnis untuk minimal, bisa menghidupi keluarga dan membayar uang kuliah, yang waktunya tidak bisa digunakan secara maksimal akibat kopid nain tin itu. Semua itu bagi saya sangat terasa emosional. Kelulusan itu terasa melegakan, atau dalam peribahasa sunda disebut ‘asa bucat bisul’.
Saya sadar bahwa kelulusan ini bukanlah akhir dari perjuangan hidup. Ini justru baru awal. Sama seperti S1 dulu. Lulus menjadi sarjana adalah titik awal dimana hidup yang sebenarnya dimulai. Bahkan saya dan teman-teman sering beranekdot terhadap mereka yang wisuda itu. “Wah, barisan pengangguran baru telah diluncurkan, wkwkwk.”. Tapi katanya, mereka yang melanjutkan ke jenjang magister adalah pengangguran yang terhormat, hahahaha. Dan, apakah saya akan melanjutkan ke jenjang S3 untuk melanjutkan status sebagai pengangguran terhormat? Ya, saya punya keinginan itu. Tapi belum untuk saat ini. Saya ingin mencari pengalaman dulu. Semisal berkecimpung di dunia pendidikan dengan mengajar di kampus. Semoga saja ada peluang itu.
Akhiron, apapun yang terjadi dalam hidup saya kedepan. Yang penting adalah berupaya untuk bermanfaat untuk sesama. Saya teringat dawuh dari Mbah Sahal Mahfudz ini, “Menjadi baik itu mudah, dengan diam, maka yang terlihat adalah kebaikan. Yang sulit itu menjadi bermanfaat, karena itu butuh perjuangan.”. Terimakasih saya ucapkan kepada keluarga saya, orang tua, istri, kedua anak saya, karyawan-karyawan saya yang baik hati, dan semua yang membantu dalam proses studi saya, baik secara moril dan materil. Jazaakumullah ahsanal jaza. Terimakasih juga kepada ibu Dr. Tri Mayanti, M.Si dan ibu Prof. Dr. Tati Herlina, M.Si, duet pembimbing saya yang sangat baik dan sabar dalam membimbing saya. Kepada guru-guru saya, kyai-kyai saya, dosen-dosen saya baik saat S1 maupun S2. Semoga sehat selalu, bahagia dan panjang umur. Amiiin.
Berawal dari iseng-iseng membuka aplikasi google keep di email lama, ada catatan lawas yang kembali terbaca. Tertulis di tanggal 26 Desember 2016. Sudah cukup lama, 5 tahun. Isinya adalah catatan-catatan diskusi bersama KH. Yayan Bunyamin, M.Phil. Kang Yayan, sapaan akrabnya, sekarang ini dikenal sebagai kyai muda dengan keilmuan yang mendalam dan berpengetahuan luas, khususnya dalam keaswajaan dan saat ini menjadi pemateri dari MKNU (Madrasah Kader Nahdlatul Ulama) di wilayah Jawa Barat.
Pertemuan pertama saya dengan beliau ini terjadi secara tidak sengaja saat saya masih berkuliah di UIN Malang. Kalo tidak salah, beliau menjadi utusan dari NU Jabar untuk mengikuti agenda bahtsul masail PWNU Jatim yang bertempat di rektorat UIN Malang. Detilnya saya agak lupa-lupa ingat bagaimana saya bisa bersua dan banyak belajar kepada beliau pada saat itu. Yang pasti, saat saya mengikuti MKNU beberapa bulan yang lalu dan beliau menjadi pematerinya, beliau masih ingat saya, berikut namanya juga. Padahal, saya mah apa atuh, bubuk raginang yang mungkin atau harusnya terlupakan oleh tokoh sekaliber beliau ini. Salam Takdzim saya, Kang.
Jadi, kalo tidak salah, obrolan di warung kopi bersama kang Yayan itu berkutat pada urusan begini, sebetulnya saya ini yang notabene mahasiswa non-islamic studies ini bisa berwacana apa untuk NU dan Islam pada umumnya. Wah, dongeng-dongeng dari beliau ini akhirnya murudul. Terbukti catatan-catatan saya ini lumayan sporadis dan tidak terstruktur. Artinya, obrolannya ngalor ngidul, tapi semuanya berbobot. Misal tentang pesantren, NU, keislaman kontemporer, wacana bioetika islam, transhumanisme, stem cell, hingga patung yang dianggap sebagai perwujudan Nabi Muhammad SAW yang ada di US Supreme Court. Menyoal stem cell, saya disarankan beliau untuk menonton sebuah film berjudul “Transendence”. Film ini bergenre Sci-Fi yang merupakan genre film kesukaan saya. Jadi langsung tancap saja.
Film yang dibintangi oleh Johny Depp ini bercerita seputar perkembangan teknologi kecerdasan buatan, dimana Dr. Will Caster (Johny Depp) di tembak dengan racun radiasi polonium oleh yang disebut dalam film itu sebagai kelompok teroris sehingga ia hanya punya waktu beberapa hari saja untuk hidup. Lalu ia bersama sahabatnya, Max dan pasangannya, Evelyn berupaya memindahkan kesadaran Will kedalam sistem supercomputer. Syahdan, ditengah keputusasaan Max dan Evelyn, ternyata percobaannya berhasil. Mereka berdua mampu memindahkan kesadaran Will kedalam komputer AI itu. “Manusia cenderung takut atas apa yang belum dia pahami”, adalah kutipan favorit dari film ini. Singkat cerita, Will super-AI itu berhasil membuat terobosan baru nanotechnology berupa suatu synthetic stem cell yang mampu meregenerasi jaringan rusak apapun dalam tubuh manusia. Dan sekaligus bisa memprogram dan menguasai kesadaran manusia, serta meningkatkan kemampuan fisiknya. Dibalik ‘transendence’ yang telah digapai, ada kekhawatiran dari beberapa pihak terkait dengan apa yang telah digapai Will Super-komputer itu. Will dan Evelyn dianggap melampai batas kemanusiaan dalam mengembangkan teknologinya.
Dalam dunia nyata, riset tentang stem cell ini adalah bagian yang terus diperjuangkan. Para ilmuwan memang berupaya untuk mengembangkan teknologi stem cell ini untuk digunakan dalam dunia kesehatan, atau secara luasnya, untuk membantu umat manusia bertahan hidup. Barangkali ada yang belum sempat baca, sel dalam tubuh kita itu macam-macam, ada sel darah yang terkait dengan fungsi peredaran, sel kulit untuk fungsi melindungi tubuh, sel otot untuk keperluan kontraksi, dll. Sedangkan stem cell atau sel punca adalah sel yang tidak memiliki struktur dan fungsi yang spesifik. Stem cell memiliki potensi untuk menjadi sel lain dalam tubuh. Tubuh kita menggunakan stem cell untuk mengganti sel-sel yang telah mati. Berdasarkan hal tersebut, ilmuwan mencoba terus menggali potensi stem cell tersebut untuk membuat jaringan tubuh baru yang dapat digunakan untuk mengganti organ yang rusak akibat dari cedera atau penyakit. Sejauh mana penelitiannya? Saya belum membaca sejauh itu.
Dari dongeng diatas, kita bisa mencoba untuk memunculkan pertanyaan begini, bagaimana islam sebagai agama menyikapi kemajuan-kemajuan teknologi ini? Atau misal, apa fatwa-fatwa ulama kita dalam memahami kemajuan teknologi dalam berbagai hal? Serunya, di Nahdlatul Ulama ada lembaga khusus yang mengakomodir persoalan-persoalan macam ini, bernama Lembaga Bahtsul Masail (LBM). Selain di NU, ada juga komisi fatwa MUI, atau di Mesir, ada Universitas Al Azhar, universitas islam tertua yang dianggap punya otoritas dalam menentukan hukum dari soal begini. Sebetulnya, hukum islam, atau dalam istilah lain adalah fiqih, bisa dikorelasikan dengan bioetika. Bioetika ini berbicara sejauh mana moral membatasi pengembangan teknologi dalam bidang biologi dan kesehatan. Jika kita hubungkan dengan konsep ushul fiqh, khususnya dalam enam poin maqashid syariah yang berisi landasan filosofis dari pengambilan keputusan hukum dalam islam, bioetika bisa dielaborasikan dengan fiqih ini. Karena memang urusan fiqih ini tidak hanya menyoal dimensi peribadatan belaka, melainkan dimensi sosial dan teknologi juga termasuk di dalamnya. Sehingga bisa dibilang, bioetika islam ini menjadi suatu keilmuan kontemporer yang menarik untuk dibaca dan dipelajari, karena disitu dapat didiskusikan antara pengembangan bioteknologi dan bioetika serta kaidah-kaidah fiqih islam.
Maka sesuai judulnya, kira-kira yang diharapkan adalah bagaimana kemudian ilmu fiqih dalam islam ini mampu menjadi ‘pembatas moral ideal’ dalam pengembangan bioteknologi atau teknologi secara umum, yang dalam film ‘Transendence’ tadi dianggap bahwa Will Caster telah melampaui batas moral kemanusiaan. Seperti yang dipelajari saat SMA dulu tentang simbiosis, jangan sampai simbiosis antara fiqih dan teknologi ini bersifat komensalisme atau bahkan parasitisme, namun harus berorientasi pada mutualisme, saling menguntungkan. Sehingga, apa yang dituju dalam maqashid syariah dalam konteks islam dan tujuan mulia para ilmuwan untuk membantu umat manusia ini bisa dicapai dengan baik dan efektif.
Saya sangat tertarik ketika membaca rumusan Bahtsul Masail Waqi’iyah pada saat Munas Alim Ulama dan Konbes NU yang lalu (26/9/2021), dimana muncul dua pertanyaan terkait dengan bioteknologi. Pertama, adalah terkait dengan gelatin dari kulit atau tulang babi. Kedua, adalah pertanyaan yang lebih kontemporer, yakni terkait dengan hukum mengkonsumsi daging hasil pengembangbiakan sel. Hasil putusannya apik. Dan bagi saya, sangat menunjukkan bahwa para ulama NU ini selain memiliki sanad ilmu keislaman yang terjaga, atau dalam adagium populernya adalah muhafadzoh alal qodimis sholih, tetapi juga ciamik dalam menanggapi persoalan-persoalan kontemporer, atau akhd bil jadidil ashlah. Putusan-putusan keren itu tidak bisa dihasilkan dari cara berfikir yang tertutup. Artinya harus dilandasi dengan sikap-sikap moderat dan adil dalam menyikapi persoalan. Dan untuk melatihnya, dilakukan melalui diskusi-diskusi LBM yang menjadi ruh dalam konteks fikrah dan harakah di lingkungan Nahdlatul Ulama.
Oh iya, hasil putusan tentang gelatin bisa anda baca sendiri disini. Sedangkan untuk yang daging kultur sel, anda bisa klik juga disini. Singkatnya, untuk daging hasil kultur stem cell ini diputuskan dihukumi haram. Karena sel nya diambil dari hewan yang masih hidup. Sedangkan dalam fiqih, kita sama-sama tahu bahwa daging yang boleh kita konsumsi adalah harus berasal dari hewan yang disembelih secara syar’i. Lalu bagaimana dengan motivasi ilmuwan yang berangkat dari keprihatinan melihat konsumsi daging dunia yang tinggi yang akhirnya juga berkorelasi dengan tingginya produksi daging konvensional, yang berefek buruk terhadap lingkungan karena menghasilkan emisi gas rumah kaca? Hemat saya, ini perlu i’tikad baik dari banyak pihak, karena sebenarnya, konsumsi daging berlebihan juga akan menyebabkan berbagai masalah kesehatan. Sehingga perlu dibatasi. Dan selain menjadi dalil agama, sudah menjadi standar moral yang universal juga bahwa segala hal yang berlebih-lebihan itu tidak baik. Solusi lainnya, ini adalah kesempatan juga bagi para ilmuwan islam, bagaimana semisal meneliti tentang pangan yang juga tetap berpegang pada kaidah-kaidah syariat islam. Disinilah bioetika islam dapat berperan untuk mencari solusi-solusi lain.
Terbaru, beberapa hari yang lalu saya juga membaca di instagram ada isu lain yang menarik menjadi pembahasan dalam dunia kedokteran, dimana ilmuwan di AS berhasil mentransplantasikan ginjal babi terhadap manusia. Menurut mereka, ini dilakukan karena sulitnya mendapatkan pendonor organ dari sesama manusia. Dan kemarin, saya membaca fatwa dari Al Azhar yang memperbolehkan proses xenotransplantasi ini jika dalam keadaan benar-benar mendesak. Anda bisa baca fatwanya disini. Disamping itu, tak sedikit pula pihak yang menentang xenotransplantasi babi ke manusia ini, dan hubungannya juga terkait dengan bioetika. Semisal organisasi Hak Asasi Hewan Dunia yang menentang karena dianggap sebagai keegoisan dan keserakahan manusia yang mengeksploitasi apapun yang dibutuhkannya, selain memang juga dikhawatirkan babi akan membawa virus dan patogen menular yang berbahaya terhadap manusia.
Anda boleh setuju atau tidak terhadap fatwa Al Azhar, tapi setidaknya, para ulama al azhar telah berupaya dan berdialektika demi mendapatkan solusi ditengah permasalahan umat yang kompleks. Forum-forum seperti bahtsul masail, meskipun putusannya dipandang belum solutif, belum menjawab, atau bahkan tidak menghasilkan putusan apapun, itu adalah forum yang luar biasa besar manfaatnya dalam meningkatkan intelektualitas. Seperti dalam urusan bank, saat mendengar pengajian gus baha tentang hukum bank yang melulu ada 3 qoul di kalangan ulama, yakni halal, haram dan syubhat, dan ternyata sejak dulu sampai sekarang, qoulnya ya tetap begitu, hahaha. Dengan kata lain, di luar fakta bahwa ulama berbeda-beda pendapat, disitu para ulama terus-menerus meningkatkan pengetahuannya terkait sistem bank yang juga terus berkembang. Kira-kira muncul pertanyaan begini. “Riba ini sepakat lah haram. Nah, apakah sistem bank sekarang ini bisa dikategorikan sebagai riba atau tidak? Itu persoalan yang tidak sederhana.”.
Kembali ke persoalan perkembangan bioteknologi dan ilmu fiqih. Para ulama ke depan memiliki tantangan yang lebih besar lagi dibandingkan ulama saat ini. Karena yakin, bahwa teknologi akan terus dan cepat berkembang seiring berjalannya waktu, dan tentu memunculkan persoalan-persoalan baru dalam dimensi sosial, minimal bertanya hukumnya ini apa, hukumnya itu apa. Dan ulama harus bisa menjawab itu. Dan di masa depan, ulama-ulamanya adalah santri-santri yang sekarang masih belajar di pondok pesantren. 20-30 tahun ke depan, santri yang kemudian akan bertransformasi menjadi ulama ini akan hidup di zaman yang jelas berbeda dengan sekarang ini, dengan tantangan yang jelas lebih besar. Maka, tugas santri saat ini sangat berat untuk terus belajar dan belajar, baik dari segi pengetahuan agama, maupun pengetahuan tentang teknologi.
Dan saya juga yakin, tidak semua santri akan tercetak menjadi ulama/kyai, itu adalah dawuh guru saya, dan terbukti, saya dulu santri dan saya sekarang bukan ustad, apalagi kyai, hahaha. Saya lulusan S2 Kimia UNPAD, dan beberapa hari lagi mau wisuda, hehe. Artinya, memang santri kedepan tidak melulu harus jadi ulama, santri bisa jadi dokter, apoteker, arsitek, programmer, youtuber, pebisnis, bos besar, ilmuwan kimia ataupun bioteknologi seperti yang dibahas. Sehingga, output dari riset-riset pengembangan bioteknologi tetap berpedoman pada standar moral universal dan juga kaidah-kaidah syariat islam, atau dalam bahasa kerennya, bioetika islam. Akhiron, saya minta maaf karena sudah membuat anda membaca tulisan panjang gak mutu ini. Sebenernya saya ini lagi bantu jualan di pasar, tapi sepinya luar biasa. Efek pandemi terhadap pasar konvensional memang luar biasa. Mohon doanya ya, supaya usaha saya dan keluarga tetap lancar. Haturnuhun.
Nulis judulnya juga emang agak berat sih. Menyandingkan manajemen waktu dan nahdliyyin itu macam menghadapkan dua magnet dengan kutub yang sama, pasti saling tolak menolak, hahaha. Ngapunten, niki guyon nggeh. Saat saya ke bekasi untuk jalan-jalan bersama istri, anak dan orang tua sabtu (23/10/21) lalu, saya memang wajib menyempatkan waktu untuk mengisi pelatihan keorganisasian di almamater saya, HIMASKA “Helium” UIN Maliki Malang via daring. Materinya? Manajemen Waktu.
Manajemen waktu ini sebetulnya materi yang sederhana, namun dalam prakteknya, dibutuhkan keteguhan hati untuk merealisasikannya. Dalil-dalil qur’an, hadits, kalam ulama, kata-kata dosen, nasihat orang tua tentang waktu ini sudah sangat banyak, tapi dalam praktiknya, sulitnya bukan main. Makanya saya pas diminta ngisi materi ini agak bingung. Kalo ditolak, saya gak enak. Sudah beberapa kali ada yang minta saya ngisi pelatihan via daring, saya tolak. Yang terakhir kalo tidak salah, diminta mengisi MAPABA di PMII, saya tolak karena saat itu sedang terserang flu berat. Kalo diterima, materi Manajemen Waktu ini sebetulnya kurang pas, ya karena memang saya sendiri masih belajar untuk benar-benar bisa efektif dalam memanajemen waktu. Tapi akhirnya saya terima juga, meskipun dalam forum berkali-kali saya tegaskan, disitu jangan anggap saya pemateri, tapi sekedar pemantik diskusi dan sharing bersama.
Sepengalaman saya nih ya, memang ketika berkegiatan di lingkungan Nahdlatul Ulama, baik yang kultur maupun yang struktur. Manajemen waktu saya cenderung kacau. Sebagai contoh, ada panggilan rapat kegiatan bakda maghrib, mayoritas jam 9 atau jam 10 malam baru kumpul. Pernah juga saya memenuhi undangan rapat di PCNU tertera jam 13.00, dan rapat baru mulai pukul 15.00, mantaaaap. Masalahnya, jam 15.00 ini saya sudah ada agenda lain, jadi ya, kacau.
Saya sendiri memang lahir di keluarga dengan kultur NU. Dan sebetulnya juga gak aneh-aneh amat dengan fenomena demikian. Cuma memang, fenomena itu justru tak terlihat ketika saya mondok. Di Pesantren, semua serba tersistem, baik dari segi waktu dan kegiatan apa yang dilakukan. Telat sedikit saja, misal sholat jamaah, siap-siap aja ta’ziran menanti. Kalo zaman saya mondok dulu, persinggungan antara telapak kaki dan kayu rotan adalah harmoni yang indah, haha. Kayaknya kalo zaman sekarang, orang tua santri mungkun sudah bikin laporan ke polisi.
Fenomena jam ngaret ala NU ini cukup kental terasa saat berkecimpung di organisasi saat kuliah dulu, tepatnya di PMII. Sebetulnya di PMII dibilang parah gak parah-parah amat lah. Misal acara direncanakan pukul 13.00, paling parah ngaretnya sejaman lah, jam 14.00. Kecuali rapat-rapat tahunan itu, ngaretnya bisa naudzubillah. Sebetulnya ngaret di PMII ini masih bisa ditolerir. Mungkin ada beberapa yang memang masih ada perkuliahan di kelas, praktikum, dan lain lain. Tapi tetap saja, WINU (Waktu Indonesia NU) ini bukan hanya terkenal di internal kalangan nahdliyyin saja, tapi sudah lintas organisasi, bahkan lintas iman. Begini ceritanya, teman saya suatu ketika mengundang seorang aktivis lingkungan, namanya Pak Daniel S. Stephanus, dosen Universitas Ma Chung, Malang yang beragama Kristen. Ketika saya dan teman saya nyowani beliau untuk ngisi materi pelatihan tertentu, beliau nanya begini, “Jam 8-nya ini jam 8 NU apa Muhammadiyyah? Soalnya kalo jam 8 NU, nanti saya datangnya jam 9 saja.”. Benar saja, saat acara itu digelar, pak Daniel yang sudah rawuh sejak pukul setengah 9, baru bisa menyampaikan materi pukul 9. Bagaimana tidak, saat pak Daniel datang itu, baru ada 5 kepala yang hadir di forum termasuk panitia. Jadi tak bisa kita pungkiri bahwa WINU begini ini memang sudah dikenal hingga lintas iman.
Selain di lingkup mahasiswa, ya di keluarga saya sendiri. Malam jum’at adalah waktu dimana rutinan yasinan keluarga besar. Undangannya bakda maghrib, jam 9 baru kumpul dan mulai. Hehe. Jika dibanding-bandingkan dengan kultur Muhammadiyah yang katanya sangat tepat waktu itu, tenang dulu, saya punya pembelaan untuk kaum nahdliyyin, yang didalamnya termasuk saya nih. Jadi mereka-mereka yang jadi pengurus Muhammadiyah ini rata-rata memiliki pekerjaan dengan jam kerja yang tetap setiap harinya, seperti guru, dosen, pegawai kementrian, PNS, dll. Sehingga ketika ada rapat-rapat, lebih mudah menentukan jadwalnya, karena memang jam istirahat dan pulangnya mayoritas sama. Lain halnya dengan pengurus-pengurus NU, ada yang mengurus pesantren, jadi guru ngaji, ustad, pedagang, petani, dan pekerjaan lain yang jam kerjanya notabene tidak teratur. Lebih proletar. Jadi semisal pagi-siang pengurus NU yang pedagang dan petani sibuk, yang jadi guru ngaji longgar. Sedangkan malam, pedagang-petani longgar, guru ngaji, kyai dan ustad yang sibuk. Konsekuensinya, rapat-rapat seringkali efektif diatas jam 10 malam. Begitu kira-kira alibinya. Hehe.
Intinya, stigma jam ngaret NU ini tidak semerta-merta kita bisa salahkan kepada pengurus bahkan warga nahdliyyin pada umumnya, melainkan ini adalah taqdir dari Allah Subhanahu wata’ala, yang menjadikan warga nahdliyyin ini sangat banyak dan heterogen dalam hal kesibukan dan profesi. Sehingga, ketika saya bahkan anda adalah warga nahdliyyin, kita punya tugas yang lebih berat dalam memanajemen waktu, minimal harus punya toleransi jam ngaret sekitar 2 jam perkegiatan di lingkungan NU, itu standar minimal ya, haha.
Tapi, mau bagaimanapun, jam ngaret ini bukan hal positif dan tidak boleh terus diwariskan dari generasi ke generasi. Ke depan, persaingan dalam berbagai bidang sangat terkait dengan kecepatan dan ketepatan waktu. Jadi kita tidak bisa leyeh leyeh untuk bersaing dengan yang lainnya. Maka saya selalu ‘sok bijak’ mengajak teman-teman saya di lingkungan GP Ansor Rajagaluh untuk mengadakan kegiatan dengan ketepatan waktu yang baik. Buang jauh-jauh budaya ngaret itu. Minimal itu bisa dipupuk di generasi muda macam Ansor dan IPNU-IPPNU. Karena dengan manajemen waktu yang baik, kita bisa lebih bisa produktif dan bahagia. Caranya bagaimana? Kita harus menghapus stigma macam begini, “Kalo undangan jam 8, berarti saya berangkatnya jam 9 aja, toh, kalo berangkat jam 8, pasti belum ada siapa-siapa.”. Jika semuanya berfikir demikian, jelaslah budaya ngaret ini akan senantiasa eksis hingga hari kiamat.
Untuk menjadi pribadi yang pandai mengatur atau memanajemen waktu, saya bahkan anda pasti sudah punya banyak dalil dan teorinya. Begitupula dengan motivasinya yang tinggal digali saja masing-masing. Dan sebetulnya, banyak tokoh-tokoh NU yang meraih sukses karena kepandaiannya dalam mengatur waktu. Pesantren-pesantren besar yang ada juga saya yakin dipimpin oleh kyai-kyai dengan kedisiplinan waktu yang tinggi dan banyak hal positif lainnya.
Sekali lagi ngapunten, bukan maksud saya menghina atau men-judge warga nahdliyyin atau pengurus NU. Karena yang punya budaya ngaret di NU ini juga gak semua, cuma banyak aja. Selain itu, gak masuk akal juga lah kalo saya dianggap menghina, bagi saya ini adalah otokritik, minimal untuk saya pribadi. Toh, saya juga pengurus NU yang belum bisa amanah dan seringkali tidak mampu memanajemen waktu dengan baik, sehingga saya malu kepada kyai saya karena saya masih belum bisa berkhidmat dengan maksimal di Nahdlatul Ulama. Contoh lainnya adalah di urusan nulis ini. Diawal sebetulnya saya ingin pertiga hari ada tulisan yang terpublikasi di website, tapi ternyata, hanya bisa satu tulisan saja perminggu, bahkan per dua minggu. Apalagi dalihnya selain karena memang saya belum bisa memanajemen waktu dengan baik. Makanya saya gak berani nulis dalil satupun di tulisan ini. Ketok’ekok bakal wagu. Wallahu alam bisshowab.
Sudah menjadi tradisi di daerah tempat tinggal saya jika bulan robiul awwal tiba, undangan untuk menghadiri acara maulid nabi datang bertubi-tubi. Undangan itu berasal dari jamaah musholla, majlis, lingkungan, keluarga besar, bahkan personal rumah per rumah.
Suasana maulid di kampung saya memang sangat semarak. Saya juga baru tau beberapa tahun belakangan ini. Ya, karena memang sejak kecil saya jarang ada di rumah. Dan di pesantren saya dulu, bulan maulid bukan jadwalnya libur untuk pulang kampung. Cuma libur saja, tak boleh pulang.
Terhitung sudah sekitar 4 tahunan saya mengikuti rutinitas tahunan maulid di kampung. Bahkan, rowi maulid diba macam fayaqulul haqqu waizzati, ahdiruu quluubakun dan fahtazzal arsyu itu bisa hafal dengan sendirinya, tanpa dihafal. Saking seringnya mendengar. Karena memang rowi diba ini tidak hanya dibaca saat maulid tiba, di agenda rutinan mingguan yasinan keluarga juga dibaca. Jadi, wajarlah kalo tiba-tiba hafal.
Saya tidak sedang membahas khilafiyah tentang hukum maulidan ya. Karena bagi saya, seperti yang didawuhkan oleh Habib Abu Bakar Al Adni, bahwa Kita tidak perlu dalil untuk mencintai Rasulullah SAW, sebagaimana Rasulullah SAW tidak perlu syarat untuk mencintai ummatnya. Jika untuk mencintai Rasulullah SAW saja kita masih perlu mencari dalil, layakkah kita untuk mendapatkan syafaatnya? Jadi, barangkali ada yang berbeda pendapat dengan saya terkait peringatan maulid ini, silahkan saja. Itu hak masing-masing dari anda untuk punya cara sendiri dalam mengungkapkan kecintaan terhadap Baginda Nabi Muhammad SAW, itu urusan anda. Tapi jangan usik cara kami dalam mengungkapkan rasa cinta terhadap kanjeng Nabi Muhammad SAW. Oke?
Yang membedakan maulid sekarang ini dengan tahun-tahun sebelumnya adalah ketika saya diutus menemani saudara untuk sowan-sowan kepada para kyai di wilayah cirebon. Rutenya dimulai dengan menuju daerah Susukan, kemudian daerah tegalgubug di PP. Al Anwariyah dan Arjawinangun di PP. Daruttauhid (KH. Ibnu Ubaidillah Syatori), PP. Darul Quran (KH. Ahsin Sakho Muhammad) dan PP. Darul Fikr (KH. Husein Muhammad). Selanjutnya, menuju PP. Geyongan dengan melalui lintasan yang cukup menantang. Dan alhamdulillah kami disambut dengan baik oleh pengasuh PP. Roudlotul Qur’an Geyongan, KH. Ridwan Anas Tahmid. Kesan saya, beliau adalah sosok kyai yang sangat santun dan ramah, atau dalam bahasa kerennya, sangat low profile. Masalahnya, saya baru pertama kali bertemu dengan beliau, tapi beliau dengan senang hati mengajak kami mengobrol banyak hal. Menanyai kami tentang kehidupan kami dan sesekali menceritakan hikmah dari kehidupan para kyai dan ulama terdahulu. Salam takdzim kepada beliau.
Selesai dari Geyongan, perjalanan dilanjutkan menuju PP. Tahsinul Akhlaq Winong dan PP. Kempek. Di Winong, kami sowan kepada Kyai Ulin, sedangkan di Kempek, kami sowan kepada KH. Mustofa Aqiel Siroj. Sebetulnya kami berupaya sowan kepada para kyai yang lainnya, namun mungkin beliau-beliau ini belum bisa ditemui karena kesibukannya. Destinasi pamungkas adalah Babakan, Ciwaringin yang diakhiri di PP. Kebon Jambu. Disitu kami disuguhi kopi hitam yang rasanya mantap oleh kyai muda yang luar biasa, K. Hasan Rohmat (Kang Omat, sapaan akrabnya). Haturnuhun kang.
Agenda puncak maulid di kampungku biasanya jatuh pada tanggal 8 robiul awwal. Namun karena pada tanggal tersebut ternyata hari jumat, jadi semua bersepakat untuk di majukan ke tanggal 7. Hari itu, para tamu undangan tiba, termasuk para kyai yang sebelumnya kami sowani juga alhamdulillah berkenan menghadiri. Alhamdulillah acara maulid berjalan dengan lancar, syair-syair pujian dan sejarah Nabi Muhammad SAW dilantunkan dengan syahdu dan tentu saja khidmat. Dan yang paling penting, kami selaku panitia harus memastikan, jangan sampai jamaah maulid ada yang tidak kebagian berkat, hehe.
Yang lebih mantap lagi adalah saat malam tanggal 12 robiul awwal. Di kampung saya, ada istilah mulud ider. Ider artinya berkeliling, jadi maksud ider ini nantinya ada beberapa tim yang diutus dari musholla setempat untuk ditugaskan berkeliling rumah-rumah untuk melantunkan maulid. Dan pemilik rumah akan menyiapkan suguhan-suguhan sederhana untuk tim mulud ider tersebut. Tak ketinggalan nasi tumpeng/nasi kuning disiapkan. Setelah pembacaan maulid selesai di satu rumah, tumpeng kemudian dibawa ke musholla setempat, dikumpulkan bersama tumpeng dari rumah lainnya. Mantap.
Yang lebih joss dari mulud ider di desa saya adalah di desa tetangga. Sebetulnya meskipun beda desa juga satu kampung sih, karena rumah saya ini perbatasan desa, toh saya juga jumatan di desa tetangga, karena masjidnya lebih dekat, dan rumah saya juga menghadap ke desa tetangga, hehe. Kembali ke urusan mulud ider, jika di desa saya yang dibaca per rumah hanya 3-4 rowi plus mahallul qiyam dan do’a, di desa sebelah itu, yang dibaca per rumah itu satu khataman full, misal barzanji sampai khatam, dibai, maulid azab dan syaroful anam pun demikian. Waktunya, dimulai bakda isya, selesai menjelang shubuh, mantap betul bukan? Yah, selain memang sudah tradisi, ini juga tak lepas dari besarnya mahabbah kepada Nabi Agung Muhammad SAW. Laulaaka laulaaka lamaa kholaqtul aflaaka.
Seperti di awal tulisan saya singgung, undangan menghadiri maulid itu datang bertubi-tubi, terkadang sehari ada sampai tiga tempat. Bahkan ada yang waktunya bertabrakan, sehingga harus membagi personil dengan cermat, agar berkatnya tetap bisa didapat, hahaha. Yah, begitulah tradisi maulid di daerah saya. Bagaimana di daerahmu? Saya yakin ada yang lebih militan dari kami. Selamat memperingati maulid Nabi Muhammad SAW, 12 Robiul Awwal 1443 H. Semoga shalawat dan salam selalu tercurahkan kepadanya, kepada para sahabatnya, para tabiin, atbauttabiin, para ulama salafussholih, hingga sampai kepada kita. Amiiin ya Robbal Alamin.
“Wah, bisa bikin bom dong.”, ujarnya sembari tertawa.
Deg! Statemen akang Sodikin itu memang bikin jantung saya hampir meledak layaknya TNT. Ah, sebenernya gak segitunya juga sih. Cuma akhirnya saya pengen ngelus dada sendiri, yang sebetulnya ya tinggal di elus aja, asalkan bukan dada orang lain. Jatuhnya nanti kena UU PKS. Eh, kan belum jadi UU ya.
Sebetulnya cuma gak enak aja. Masa saya ngelus dada di depan kang Sodikin. Kan sungkan. Jadi ya udahlah. Saya ikut ketawa aja. Tapi pendek, Ha ha.
Jadi, kang Sodikin ini bukan nama asli. Ini nama samaran. Tapi bukan untuk melindungi identitas pelaku dari serangan buzzer juga ya. Tapi memang saya udah gak inget siapa aja kang Sodikin ini. Biar gak bingung, maksud SODIKIN ini berarti teman. Kalo menurut ilmu nahwu, sodikin ini bentuk jama’ mudzakkar salim, yang alamat rofa’nya pake wawu, sedangkan nashob dan jer-nya pake ya. Jadi artinya teman-teman. Gitu. Bait alfiyahnya
وارفع بواو وبيا اجرر وانصب # سالم جمع عامر ومذنب
Maksud saya, SODIKIN ini menunjukkan banyaknya teman saya yang nanya pertanyaan sejenis dengan pernyataan stigma sejenis juga. Dialog itu bukan hanya terjadi sekali dua kali, tapi berkali-kali, mungkin sepanjang hidup saya, ada lah sepuluh kali lebih.
Sebetulnya pernyataan kang Sodikin ini gak masalah-masalah amat sih. Cuma agak gemes aja gitu. Sejak saya berkuliah S1 di UIN Malang sampe selesai S2 di UNPAD bulan Juli lalu, saya belum pernah dapet mata kuliah kimia tentang per-BOM-an. Kalo perlu saya jelaskan maudlu’-nya nih, pas saya kuliah dulu, Matakuliah di kimia itu terbagi ke dalam 5 sub bidang ilmu, ada kimia organik, kimia anorganik, kimia analitik, kimia fisik, dan biokimia. Dari 5 sub bidang itu juga terus terbagi lagi menjadi sub sub turunannya. Semisal bidang kimia organik yang di Indonesia populer dibagi kembali menjadi 2, yaitu Kimia Organik Bahan Alam (KOBA) dan Kimia Organik Sintesis. Ini juga gak cukup, dimasing-masing sub sub sub bidang itu, masing-masing dosen atau peneliti punya concern atau fokus riset dan keahlian tersendiri. Bisa dibilang, semakin tinggi kita bersekolah di jurusan kimia, ruang lingkup keilmuan kita mengerucut semakin sempit.
Saya kira, itu juga berlaku di berbagai disiplin keilmuan. Seperti contoh lain di dunia pesantren, meski saat di pesantren banyak disiplin keilmuan yang dipelajari dari mulai nahwu, shorof, balaghoh, fiqih, tauhid, tafsir, dan lain-lain. Semakin lama, semakin si santri itu akan berkonsentrasi pada satu atau dua bidang ilmu saja. Hal ini terjadi karena saking luasnya keilmuan yang ada. Bahkan ada satu adagium populer. “Andaikan ilmu Allah itu seluas 7 samudera. Maka ilmu yang dikuasai manusia mungkin hanya satu tetes saja,” atau mungkin saja hanya sebanding dengan 1 molekul H2O saja, atau bahkan 1 atom H nya saja, Wallahu a’lam. Maka ada kata-kata orang bijak begini, “Orang berilmu itu ada 3 tahapan. Yang pertama ia akan sombong, tahap kedua ia akan tawadhu‘. Dan ditahapan selanjutnya, ia akan merasa tidak ada apa-apanya.”.
Kembali ke urusan bom dan kimia tadi. Meskipun saya lulusan S2 kimia, saya sama sekali gak bisa ngerakit bom. Boro-boro bisa bikin bom, jenis-jenis bom aja saya gak tau. Mentok-mentok saya taunya ya bom TNT alias trinitrotoluena. Itupun bukan dari proses belajar saya dibidang ilmu kimia, tapi dari game Crash Team Racing (CTR) PS1 yang sering saya mainkan saat masih SD dulu. Atau jangan-jangan, sebetulnya dosen-dosen saya pernah juga menjelaskan tentang bom-bom kimia, tapi kebetulan saya pas bolos kuliah atau pas tidur di kelas. Oh iya, saya ingat, prinsip kerja bom atom pernah dijelaskan di kelas, saya lupa matakuliah apa, yang pasti bom nuklir adalah hasil reaksi inti atom, baik berupa reaksi fisi maupun reaksi fusi. Seperti bom uranium bernama Little Boy yang diledakkan di Hiroshima, dan bom plutonium (Fat Man) di Nagasaki yang keduanya punya daya ledak luar biasa.
Ya, sebeginilah dhoif-nya saya sebagai lulusan S2 Kimia. Masalah bom kimia saja saya kurang wawasan alias mainnya kurang jauh. Maka saya ucapkan terimakasih kepada Kang Sodikin yang sudah bertanya demikian. Memang sedetik setelah ia berseloroh bahwa yang kuliah kimia bisa ngerakit bom, saya kesal, karena ia hanya memahami kimia sebagai ilmu untuk membuat bom. Tapi detik selanjutnya, saya sadar, dibalik pertanyaan itu, ada instruksi tersirat kepada saya untuk terus belajar dan mengupgrade keilmuan saya di bidang kimia. Tak lain semerta-merta biar saya gak malu-maluin. Masa si Fawwaz yang katanya bergelar M.Si ini urusan bom aja gak ngerti. Ya meski gak bisa merakit sendiri, minimal pahamlah keilmuannya. Jadi, yang katanya bergelar Magister Kimia ini gak malu-maluin.
Dan teruntuk kang Sodikin, saya mau sedikit jelasin kang, kimia ini jangan dikonotasikan pada keilmuan bom-boman. Dikira kimiawan ini karakter bomberman di game nintendo lawas. Seingat saya pas kuliah kimia dasar 1 dulu, dijelaskan bahwa ilmu kimia adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari tentang materi, baik dari segi sifatnya, susunan dan strukturnya, beserta perubahan yang menyertainya. Materi yang dimaksud disini bukan duit atau kekayaan fisik, namun didefinisikan sebagai segala sesuatu yang memiliki massa dan menempati ruang. Gampangnya, segala yang ada disekeliling kita ini bisa dibilang adalah objek kimia, bahkan tubuh kita sendiri adalah kimia. Lebih gampangnya lagi, kurang lebih 60-70% tubuh manusia ini tersusun dari air, air ini rumus molekulnya H2O, terdiri dari 2 atom hidrogen dan 1 atom oksigen. Belum lagi kimia-kimia lainnya seperti makromolekul penting macam karbohidrat, protein, lipid dan asam nukleat. Deal ya kang?
Hai, Saya Fawwaz Muhammad Fauzi, suatu produk hasil persilangan genetik Garut-Majalengka. Menjadi Dosen Kimia adalah profesi utama saya saat ini. Selain itu, ya membahagiakan istri, anak dan orang tua. Melalui blog ini, saya ingin menuliskan kisah-kisah keseharian saya yang pasti receh. Mungkin sedikit esai-esai yang sok serius tapi gak mutu. Jadi, tolong jangan berharap ada naskah akademik atau tulisan ilmiah disini ya, hehe.
Kalau ada yang mau kontak, silahkan email ke [email protected]. Udah itu aja.