Segarnya debu pasar |
Sudah menjadi realita umum, bahwa santri/mahasiswa yang sedang libur dan pulang ke rumah, tidak akan banyak bersenang-senang. Mereka dalam kesehariannya akan banyak membantu pekerjaan orang tua. Berdagang, bertani, ber-PNS, dan lain-lain. Jika anak seorang PNS, minimal bantu-bantu tanda tangan. Entah tanda tangan berkas LPJ proyekan, atau nulisi nota-nota kosong yang bisa ditukar dengan uang negara. Eh, Sori kalo ada anak PNS yang tersinggung, soalnya saya bukan anak dari seorang PNS, jadi saya nulis tentang PNS setau saya dari berita di tipi-tipi.
Kalo saya ini seorang anak pedagang. Jadi dari pada ruangan kantor ber-AC, saya lebih tau ruang besar pasar yang berdebu. Macam nama stadion klub Real Madrid itu, Santiago berdebu. Katanya, stadion milik madrid itu mau di renovasi, dengan biaya triliunan. Ah, berapapun biayanya tidak penting bagi saya yang bukan fans Madrid, dan tidak ada hubungannya dengan debu pasar.
Setiap liburan tiba, sudah pasti saya akan lebih sering ikut membantu orang tua di pasar. Meski diakui, sejak dulu saya seringkali malas untuk ikut. Ini kan liburan, kenapa mesti kerja juga? Begitulah logika anak kecil bekerja, termasuk saya dulu.
Dalam renungan di pasar kali ini, saya memahami suatu hal, bahwa debu pasar yang sering saya hirup itu mengandung banyak pelajaran berharga. Jika debu pasar itu dianalisis di laboratorium menggunakan suatu instrumentasi, akan muncul spektra-spektra yang menggambarkan kehidupan.
Debu pasar itu, memberikan sebuah gambaran yang menarik dalam hidup. Konsep kedaulatan politik, Ekonomi berdikari dan karakter budaya ala Trisakti Bung Karno ada didalam kehidupan dan realitas sosial di pasar berdebu itu. Pedagang itu membeberkan semua yang ia miliki untuk para pembeli. Membangun sistem dan budayanya sendiri dan memiliki skala prioritas dalam penjualan, ini untuk pelanggan, ini untuk yang hanya satu sampai dua kali belanja dalam setahun. Mana yang boleh berhutang, mana yang tidak boleh berhutang.
Logikanya bermain demi kedaulatan politik bisnisnya. Pikirannya mengkalkulasi dalam proses tawar menawar harga, dimana harga yang disepakati adalah harga yang menguntungkan kedua belah pihak. Otak kanannya bermain demi membentuk sistem perdagangan yang akomodatif dan efektif. Sehingga dikemudian hari, si pembeli akan mudah mengenal si pedagang itu, dengan kekhasan budaya dan sistem jual belinya.
Dan yang paling mencolok dari hasil interpretasi spektra debu pasar tadi, adalah peran negara dan pemerintahannya. Yang terlihat, aparat-aparat negara, hanya memiliki kapasitas untuk sekedar meminta 2000 rupiah dari setiap pedagang di pasar itu, yang katanya untuk retribusi pasar. Atau 50.000 yang katanya untuk THR, sebagai bayaran jasa untuk aparat yang telah menjaga pasar itu tetap berdebu. Padahal, tanpa aparat, debu pasar akan tetap terhirup oleh kami.
Aparat negara, sama sekali tidak terlihat untuk berupaya membangun sistem kelola pasar yang baik. Seharusnya, dengan tawaran konsepnya, aparat negara bekerja sama dengan para pedagang guna menciptakan kondisi pasar yang memiliki tata kelola yang nyaman di kunjungi dan dipakai tempat jual beli.
Ah, itu hanya mimpi, kita lihat saja dalam lingkup yang lebih luas. Berbicara trisakti bung karno, pemerintahan kita ini semacam masih berdebat atas tafsir yang benar atas trisakti. Padahal, nusron sendiri sudah bilang, yang mengerti betul artinya trisakti bung karno ya bung karno sendiri, bukan orang lain. Jadi, kalo mau tau maksudnya, tanya bung karno. Atau daripada debat kusir, pemerintah ini belajar saja sama mufassir trisakti yang sudah paham dan sudah bisa merealisasikan, para pedagang di pasar berdebu itu. Dimana dia tau, kalau yang namanya bagi hasil yang baik itu saling menguntungkan satu sama lain, ibarat sama-sama dapat 50:50, atau 60:40, atau bahkan 70:30. Bukan hanya dapat 3% dari total keseluruhan, sedangkan 97% nya diberikan ke salahsatu pihak. Woy, 97:3 itu bagi hasil macam apa? Itukah ekonomi berdikari dan kedaulatan politik yang dicita-citakan? Nanti ditanya sama Mbah Jiwo Jancuk dari Republik sebelah, IQ? IQ?
Eh, kok Sujiwo Tedjo? Waduh, ternyata saya lupa, kalo saya melamun terlalu lama, membayangkan bung karno masih ada. Sekarang tahun 2016, Gagasan Trisakti sudah usang, Trisakti sekarang hanya jadi nama kampus yang pernah digunakan syuting film Pupus. Sekarang presidennya Jokowi. Gagasannya Nawa Cita. Hari ini adalah hari dimana beliau menjabat genap 2 tahun pemerintahan. Saya tak begitu paham isi nawa cita, paling isinya janji-janji. Tapi kan 89:11 dan 97:3 bukan angka yang rasional untuk seorang pedagang di pasar berdebu. Pedagang itu pasti marah-marah dan bertanya sembari mengernyitkan dahi. IQ? IQ?
Pasar TG
21/10/2016
15:31