Setiap kali ada momentum harlah PMII, yang saya ingat adalah romantika perjalanan saya menjadi aktivis PMII saat berkuliah S1 dulu, ya, saat berkuliah dulu, saya bergabung di PMII. Yang paling saya ingat ya jelas sahabat-sahabat saya saat itu, beserta kenangan-kenangan manis dan pahit saat berorganisasi dan berproses, asek. Yah, semoga mereka, sahabat-sahabat seperjuangan saya dulu itu diberi kesehatan, kebahagian dan diberi kekuatan untuk meraih impiannya masing-masing, amin.
Beberapa tahun yang lalu, saya juga pernah menulis catatan harlah PMII. Catatan itu ditulis untuk mengikuti sebuah sayembara menulis untuk semacam buku antologi “Kado Ultah PMII”. Kebetulan juga saat pengumuman, tulisan saya termasuk dari 20 tulisan yang terpilih. Sayangnya, hingga saat ini pencetakan buku antologi itu urung dilakukan, atau mungkin gak jadi dicetak. Anda bisa baca dengan klik disini. Tulisannya hanya seputar cerita bagaimana saya mulai masuk ke PMII dan bla bla bla. Jadi bisa anda lewatkan tulisan “lebay” itu.
Sebuah organisasi dimanapun itu berada, apalagi yang berasaskan ideologi tertentu akan menawarkan suatu nilai yang diperjuangkan. Nilai ini yang kemudian diharapkan dapat diterjemahkan kedalam konsep gerakan dan praksisnya. Disinilah para intelektual di organisasi berjibaku menyusun konsep, role model dan atau grand-design. Merumuskan konsepsi atau turunan praktis dari suatu nilai memang cukup pelik. Persisnya adalah ketika dihadapkan pada realitas yang rumit.
Menghadapkan keilmuan dan realitas memang seringkali timpang disatu sisi. Meskipun pada dasarnya, keilmuan lahir dari kajian atas realitas. Hanya saja, variabel yang tak terhingga pada realitas memaksa keilmuan membatasi ruang lingkupnya agar “lebih cepat” dalam menciptakan konsep/aturan.
Begitulah yang menurut saya pun terjadi pada PMII. Nilai-nilai luhur dan cita-cita perjuangan yang diusung jelas 100% adalah nilai kebaikan. Namun pengejawantahan dari nilai ke PMII an dan hubungannya terhadap realitas seringkali tidak bisa memuaskan banyak pihak. Selain memang realitas ini barang sulit, tidak sedikit juga bagian dari PMII (mis: alumni) lupa terhadap konsepsi dari nilai-nilai keorganisasian. Atau mungkin juga terdistraksi dengan persoalan lain yang lebih rumit.
Tulisan reflektif sahabat saya di link ini adalah salah satu nya. Ia mempertanyakan posisi atau bahkan keputusan strategis PMII sebagai organisasi dalam menyikapi persoalan-persoalan bangsa ini. Misalnya ketimpangan sosial, ketidakadilan hukum, pelanggaran HAM, represivitas aparat, dll. Dimana posisi PMII dalam menyikapi masalah tersebut? Apakah pro? Kontra? Mendukung? Menentang? Dan jika sikap sudah dipilih dan ditunjukkan, lalu apa yang akan dilakukan PMII sebagai sebuah organisasi pergerakan?
Lebih lanjut, sahabat saya ini menyampaikan kritik atas peran mereka yang ia sebut intelektualis PMII. Ia menyampaikan bahwa mereka itu inkonsisten, eksklusif dan tidak substantif. Sehingga dalam kerja-kerja organisasi, dan dalam menghasilkan putusan-putusan organisasi tidak pernah benar-benar strategis. Padahal jika dilihat dari aspek nilai yang diperjuangkan, PMII adalah sebuah wadah yang mengusung nilai paripurna, minimal ini anggapan saya, hehe.
Agaknya, memang begitulah kebanyakan organisasi saat ini. Dengan harapan kolektivitasnya, alih alih menghasilkan putusan atau gerakan yang dapat menjawab tantangan zaman, ia malah terjebak stagnansi akibat dari ketidakmampuan mereka untuk bertindak kolektif. Penyebabnya macam-macam, yang paling kentara bisa saja karena sulitnya membaca dan menganalisis realitas sosial yang harus dihadapi. Atau lebih parahnya, boro-boro membaca, ia terdisktraksi dengan konflik internalnya sendiri dan berputar disitu situ saja.
Apakah kemudian organisasi semacam PMII ini kemudian tidak lagi relevan dengan zaman? Atau tidak lagi mampu menjawab problematika sosial yang dihadapinya? Saya tidak tahu jawaban anda, tapi bagi saya, dengan berbagai syarat-syarat yang harus dipenuhi, PMII atau organisasi sejenisnya masih relevan. Secara nilai, PMII sudah paripurna dan non-debatable, namun subjek dari organisasi itu sendiri yang harus terus berbenah. “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.”, perkataan Pram ini menurut saya dapat menjadi pijakan ideal untuk mulai proses berbenah.
Nilai-nilai yang diusung PMII akan terasa tidak ada harganya saat tidak memiliki turunan konsep atau tawaran yang jelas dalam implementasinya. Apa transformasi gerakan yang diusung PMII? Konsep apa yang ditawarkan PMII untuk bangsa ini? Sebagai kader atau alumni misalnya, sulit menjawab pertanyaan ini. Karena dalam tataran konsep dan praksis tak semudah seperti kita menjelaskan nilai-nilai luhur itu, terlebih dengan realitas sosial yang rumit, siapa kawan, siapa lawan, siapa benar, siapa salah, siapa yang objektif, siapa yang subjektif, dan saat terdapat isu-isu tertentu, PMII punya sikap yang ajeg dan teteg dimana ia berdiri dalam isu tersebut.
Mungkin saya harus cukupkan tulisan ambigu saya yang bukan siapa-siapa ini. Intinya, di harlah PMII ke 62 ini, semoga PMII terus dewasa, menjadi organisasi yang matang secara konsep gerakan, sehingga nilai-nilai yang diperjuangkan PMII bukan hanya sebatas bahan pidato atau orasi agar mulut kita berbusa, tetapi memiliki sederet konsep ciamik untuk memperjuangkannya terhadap realitas sosial yang mudah berubah seperti saat ini.
Dirgahayu Pergerakanku! Selamat Harlah PMII ke 62, Long Live Movement !!!