
Kemarin ini sedang ramai kasus Ayam Goreng Widuran di Solo yang setelah beroperasi berpuluh-puluh tahun, barulah si empunya toko mengikhbarkan bahwa ayam yang dia jual bukan produk halal, waduh! Tetapi, tulisan ini bukan mau bahas itu, tapi bahas isu halal lain yang mungkin lebih holistik daripada kasuistik macam tadi.
Secara definisi umum, halal adalah segala sesuatu yang diperbolehkan secara syariat, sedangkan haram adalah yang tidak diperbolehkan oleh syara’, baik yang tersurat maupun yang tersirat dalam nash. Keharaman suatu makanan atau benda lain pun bisa dibagi dua: ada yang haram lidzâtihi, yaitu yang memang mutlak haram seperti babi dan khamr; dan ada yang haram lighairihi, yang keharamannya tergantung situasi—misalnya mangga yang asalnya halal, tapi jadi haram karena diambil dari hasil mencuri. Klasik. Tapi relevan.
Nah, dalam beberapa dekade terakhir, kesadaran umat Islam terhadap konsumsi produk halal meningkat drastis. Label halal kini seolah jadi jaminan mutlak bahwa sebuah makanan, obat, atau kosmetik aman dikonsumsi. Tapi… apakah benar “halal” otomatis berarti “sehat”? Apakah cukup bagi seorang Muslim hanya memastikan kehalalan, tanpa mempertimbangkan aspek kesehatan?
Mari kita mulai dari yang fundamental.
Halalan Thayyiban: Bukan Sekadar Label
Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 168:
“Yā ayyuhā al-nāsu kulū mimmā fī al-arḍi ḥalālan ṭayyiban…”
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal lagi baik yang terdapat di bumi…”.
Prof. Quraish Shihab menyebutkan bahwa kata “thayyib” dalam ayat ini bersifat relatif dan multidimensi. Baik menurut saya belum tentu baik menurut Anda. Konteksnya pun bisa berbeda: baik dari sisi rasa, gizi, efek jangka panjang, maupun keseimbangan psikologis. Jadi, “thayyib” itu bukan cuma soal halal–haram fiqhiyah, tapi juga soal maslahat.
Nah, dalam dunia kesehatan, makna “thayyib” ini sangat erat kaitannya dengan gizi seimbang, aman dikonsumsi, dan tidak membahayakan tubuh. Maka wajar jika ayat tadi menyandingkan “halal” dengan “thayyib”. Artinya, jangan sampai kita hanya puas dengan label halal, sementara kandungannya justru memicu penyakit.
Halal Tidak Selalu Sehat
Realita di lapangan tak seindah teori. Banyak produk dengan logo halal mengilap di kemasan, padahal di baliknya tersembunyi kadar gula tinggi, lemak trans, natrium berlebih, dan zat aditif sintetik yang bikin organ dalam tubuh ngelus dada (hah?). Secara fiqh: boleh. Tapi secara medis? Silakan ajak insulin Anda diskusi di depan indomaret.
Industri makanan saat ini berlomba-lomba membuat produk se-crunchy mungkin, semanis mungkin, sekenyal mungkin, se-gimmick mungkin—demi satu hal: menarik konsumen agar makan lebih banyak. Dan dari sanalah menjamur makanan Ultra-Processed Food (UPF). Makanan yang jauh dari bentuk aslinya, pengolahannya berlapis, nyaris tak bisa dikenali apa sebenarnya bahan dasar yang digunakan.
Sejak diet dua tahun yang lalu, sulit bagi saya untuk menemukan jajanan di minimarket yang bisa saya pilih. Saya cenderung lebih banyak menghabiskan waktu membaca komposisi dan menggeleng. Betapa bodohnya saya dulu, menjadi manusia buncit yang termakan iklan Mie Instan Premium dengan Packaging mewah, padahal tinggi zat aditif, natrium dan gula tersembunyi, Hahahaha.
Studi demi studi melaporkan bahwa konsumsi UPF berkorelasi dengan peningkatan risiko diabetes, hipertensi, penyakit jantung, bahkan beberapa jenis kanker. Tapi tetap: banyak dari mereka bersertifikat halal. Halal, tapi tidak thayyib. Dan jawaban mereka, halah, panganan ae kok ruwet! Teu pira dahareun tinggal dilebok! Ironis.
Saatnya Berpikir “Halal Thayyib Preventif”
Kita sering dengar adagium: mencegah lebih baik daripada mengobati. Nah, kalau mencegah bisa dimulai dari memilih makanan yang halal dan thayyib, kenapa tidak?
Karena itu, saya ada ide liar hasil merenung di WC tadi, yaitu konsep Halal Thayyib Preventif. Gagasan ini bukan cuma soal menghindari babi dan alkohol, tapi memperluas lensa halal menjadi bagian dari gaya hidup sehat dan sadar gizi. Mungkin suatu saat, kita bisa bikin label “halal hijau” (halal dan thayyib), “halal kuning” (halal tapi awas tinggi gula/sodium), dan merah untuk yang haram. Jadi beli snack nggak cuma lihat harga diskon, tapi mikir: “Ini masuk kategori mana ya?”
Peran Sains: Menghalalkan yang Logis & Maslahat
Sebagai santri laboratorium, saya percaya: laboratorium bukan hanya tempat mencampur reagen, tapi juga tempat meracik dan meramu kemaslahatan. Di sana, kita bisa menguji:
1. Apakah pewarna makanan halal tertentu berisiko toksik?
2. Apakah produk halal tertentu terlalu tinggi sodium?
3. Apakah zat alami bisa menggantikan aditif sintetik secara lebih aman?
4. Dan banyak pertanyaan lainnya.
Dengan pendekatan evidence-based halal, peneliti bisa membantu ulama dan lembaga fatwa mengambil keputusan yang bukan hanya legal, tapi juga logis dan maslahat. Misal, jika studi meta-analisis menyimpulkan bahwa konsumsi gula >20 gram per hari meningkatkan risiko diabetes 80%, maka—kenapa tidak—produk minuman manis dengan kadar gula tinggi diberi label “tidak thayyib”? Bahkan mungkin haram lighairihi.
Halal adalah Titik Awal, Bukan Titik Akhir
Di dunia modern yang serba cepat dan penuh pilihan ini, memahami halal sebagai “asal bukan babi, celeng, maupun bagong” adalah pemahaman minimalis. Kita butuh pendekatan yang lebih bijak, menyeluruh, dan berpihak pada kesehatan. Konsep Halal Preventif adalah jembatan antara nilai-nilai Islam, sains, dan kebutuhan manusia modern. Sebagai Muslim yang juga peneliti newbie, saya merasa terpanggil untuk tidak hanya meneliti zat yang “dunyawiyah“, tapi juga meneliti dengan unsur “maslahat diniyah“.
Apa S3 go to Sains Halal aja kali ya? Hahaha.
Wallahu alam.