
Beberapa hari yang lalu, saya ditodong untuk menjadi narasumber pengganti dalam agenda orientasi mahasiswa baru jurusan Tadris Kimia UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon. Sebagai dosen baru di kampus, rupanya bukan hanya maba yang di ospek, sayapun juga di ospek mahasiswa. Undangan mahasiswa diantarkan hanya 3 jam sebelum acara. Sungguh tahu bulat.
Saya diminta menyampaikan materi sejarah kimia dan integrasinya dengan Islam. Saya siapkan materi “digoreng dadakan” namun tetap kresss dan bukan asal ngacapruk. Intinya bahwa kimia yang kita kenal saintifik dan empiris banget itu embrionya sangat kental dengan nuansa mistis. Dan integrasinya dengan islam? meski aspek epistemologinya sudah cukup mapan dibahas (minimal di PTKIN), tapi cukup menarik saat ada pertanyaan dari seorang mahasiswa.
“Pak, sebenarnya kalo kita belajar sains seperti kimia ini apakah bisa membuat kita jadi semakin Islam?”, kira-kira begitu parafrase pertanyaan mahasiswa baru tadi. Seketika saya teringat dalam suatu kegiatan penguatan moderasi beragama di suatu tempat. Pada saat itu diisi oleh fasilitator dari Fahmina Institut, beliau bertanya, “Apa yang membuatmu bersyukur setiap hari?”
Beberapa peserta menjawab dengan heroik, ada yang menjawab berkaitan dengan keluarga, pekerjaan, finansial, dll. Tawa dan sorak sorai bergemuruh. Saya adalah salah satu peserta dengan jawaban yang “terlalu biasa”. Saya menjawab, “Saya bersyukur karena detik ini saya masih diberi oksigen yang pas untuk bernafas.”.
Tentu saja jawaban saya ini tak mendapat tepuk tangan atau sorakan apapun karena ya jawabannya “apaan sih”. Oksigen ya dianggap hal biasa dan lumrah saja. Manusia pasti bernafas, oksigen pasti ada, tak ada yang istimewa kan?
Bagi banyak orang, mungkin terdengar biasa. Tapi bagi orang yang mempelajari sains, oksigen adalah bahasan yang sangat panjang, dan bernafas bukanlah skema kerja tubuh yang “terlalu biasa”. 21% oksigen yang ada dan tersedia untuk kita bernapas adalah buah dari kontribusi makhluk hidup lain seperti tumbuhan dan fitoplankton. Keduanya memproduksi oksigen dengan prekursor CO2. Saat CO2, pemanasan global semakin parah, iklim kacau, semua dari kita terancam dari berbagai sisi. Dalam jangka panjang, ada potensi kadar oksigen di bumi akan berkurang juga.
Saat bumi semakin panas, gelombang panas ekstrem mengancam kesehatan manusia, permukaan laut naik menenggelamkan kawasan pesisir, sementara kekeringan, badai, dan kebakaran hutan mengganggu ketersediaan pangan. Semua ini pada akhirnya bermuara pada perebutan sumber daya yang menimbulkan instabilitas sosial.
Bukankah dengan banyaknya hubungan sebab akibat ini menjadikan oksigen dan karbon dioksida ini tak boleh disepelekan? Perannya sangat vital bagu kehidupan. Kita sangat “bermanja ria” terhadap oksigen. 1 menit saja tanpa oksigen, akan sangat fatal bagi manusia, 3 menit tanpa oksigen akan memulai fase dimana kerusakan otak mulai terjadi dan semakin lama terjadi, kematian akan menghampiri.
Bgai saya, disinilah sains & islam bertemu. Sains seringkali membuat saya berkontemplasi atas anugerah-Nya dalam hidup. Hal-hal yang menurut kita biasa saja, ternyata “sangat tidak biasa” ketika kita pahami lebih jauh konsepnya. Bagaimana milyaran sel dalam tubuh kita setiap detiknya bekerja begitu detil. Melakukan skema spesialisasi, sehingga tidak ada ceritanya sel kita salah memprogram. Yang harusnya jadi sel kulit misalnya, malah menspesialisasi menjadi sel saraf atau sel darah. Saat tubuh masih dalam proses pembentukan organ didalam janin, tidak ada pemrograman yang tertukar untuk melokalisasi organ. Hidung tetap pada tempatnya dibawah kedua mata, lokasi mata tidak tertukar dengan telinga, dll.
Disisi lain, setiap kali kita menggerakkan tubuh, sejatinya terjadi sebuah kerja sama halus antara listrik dan kimia dalam sistem saraf. Otak mengirimkan impuls listrik melalui jaringan neuron, lalu di ujung saraf sinyal ini diterjemahkan menjadi pesan kimia berupa neurotransmitter bernama asetilkolin, yang menjembatani komunikasi dengan otot. Tanpa mekanisme ini, perintah otak hanya akan berhenti sebagai “getaran listrik” tanpa makna. Di sini kita bisa melihat betapa rapuh sekaligus canggihnya tubuh manusia: gerakan sekecil mengedipkan mata saja adalah hasil orkestrasi sinyal listrik dan molekul kimia yang bekerja dalam harmoni.
Inilah refleksi saya sebagai orang yang belajar kimia dalam memahami keajaiban ciptaan-Nya. Maka merefleksikan ayat-ayat kauniyah adalah wiridnya seorang saintis, mekanisme olah batin yang penting untuk bagaimana kita mensyukuri “kerennya” anugerah Allah SWT. Disinilah letak integrasi nilai sains-islam. Refleksi atas insight fenomena sains memunculkan hikmah yang menuntun kita pada kesadaran atas makna hidup berdasar nilai kesilaman yang selanjutnya menjadi output berupa kebaikan sikap dan perilaku. Bersyukur atas hidup, menghargai sesama dan menjaga alam serta berperan menjadi seorang manusia dengan sebaik-baiknya adalah citra diri dan akhlak seorang saintis islam.
Bagi saya, disinilah sains sebagai ilmu yang seringkali dikonotasikan sebagai ilmu duniawi, ternyata sangat mendalam merefleksikan kesadaran teologis. Sederhananya, hikmah sains meningkatkan ketaqwaan kita kepada Tuhan, menjadikan kita manusia yang lebih “beragama”. Sebab sains tanpa iman hanya data, sementara iman tanpa sains bisa buta. Bila keduanya dipadukan, ia menuntun kita menjadi manusia seutuhnya.