Saya adalah tukang udud sejak lama. Ya, saya memulainya sejak kelas 1 SMA waktu di pesantren. Sebagai seorang yang cukup sulit bergaul dan bersosialisasi, alasan klise saya merokok adalah agar mudah masuk ke circle pergaulan dan gak ketinggalan tongkrongan. Dan yang merokok juga bukan cuma satu dua orang, mungkin 50% teman di pesantren saya adalah perokok. Saya masih ingat sebat pertama Class Mild yang membuat saya terbatuk-batuk itu, hahaha. Kebiasaan itu kemudian ikut saya terus sampai sekarang, tanpa perlu diseret-seret, dia nempel sendiri.

Akan tetapi, saya gak mau sok munafik. Saya paham betul bahwa ada bahaya dalam setiap kepulan asap rokok. Bahkan saat ada perokok yang berdialektika dengan Bahasa filsafat untuk menjustifikasi rokok tidak berbahaya bagi tubuh, saya cuma bisa mesem tipis. Kalaupun saya justifikasi, itu Cuma buat haha hihi, bukan dari hati beneran. Saya gak sreg pakai jurus ngeles, wkwkwk. Saya sadar penuh, rokok itu toksik.

Saya ngerti karena saya belajar kimia. Saya ngerti banget zat apa aja yang masuk ke tubuh. Terlebih, saya ngajarin juga mahasiswa farmasi tentang senyawa karsinogenik, metabolisme nikotin, dan efek fisiologis asap rokok. Ironisnya, saya teredukasi oleh edukasi saya sendiri, hahaha. Setiap kali masuk kelas dan ngomongin bahaya bahan kimia, bagian otak saya yang lain bisik-bisik, “Bos, lo tuh ngomongin diri sendiri, macam khotib saat khutbah jum’at”, dan saya jawab bisikan itu, “Hehe, iya ya.”

Saya juga bukan perokok yang semena-mena. Saya tahu diri, gak bakal saya nyebat kalau ada anak kecil, gak bakal juga asal nyalain rokok di tempat umum tanpa cek situasi. Saya itu tipe yang sebelum nyebat, saya bakal celingak celinguk kanan kiri dulu, ada orang gak, ada ibu-ibu hamil atau bayi gak, ada satpol PP gak. Bukan takut ditegur sih, tapi lebih ke… ya sadar aja, gak semua orang mau jadi perokok pasif dan terpapar sisa bahaya kepulan asap rokok kan?

Beberapa bulan ini, saya lagi mencoba berhenti. Serius. Ini perjuangan yang lebih berat dibanding saat saya ngatur pola makan saat diet sejak 2 tahun lalu . Padahal dulu saya pikir diet itu udah tantangan hidup paling kompleks setelah skripsi dan tesis. Ternyata belum. Ternyata yang namanya nglepasin rokok itu lebih dari sekadar menahan keinginan. Ini soal menolak pelarian. Menolak kebiasaan yang selama ini jadi teman dalam lamunan sepi senja bapak-bapak anak tiga, atau malah jadi alasan biar bisa bengong lima menit di tengah tumpukan kerjaan di kantor atau di sela-sela ngajar.

Saya gak janji muluk-muluk, tapi saya sedang berproses. Semoga bulan-bulan ke depan, tulisan saya soal rokok udah saya tulis dari sudut pandang mantan perokok, bukan dari “dosen kimia tukang udud”. Terlebih, saya tak ingin anak saya mengikuti kebiasaan udud bapaknya ya. Apalagi dengan fakta bahwa prevalensi perokok di Indonesia mencapai 73,2 % dengan 7,4%-nya adalah remaja usia 10-18 tahun. Mohon doanya. Biar kimia yang saya ajarkan, kesehatan yang saya terlibat di dalamnya, dan gaya hidup yang saya Jalani bisa berjalan satu frekuensi. Amin.