Menonton video pidato Presiden Prabowo di forum PBB, satu kata yang mewakili perasaan saya, “terkagum”. Terlebih, Presiden RI kedelapan ini menutup pidatonya dengan statemen berikut:

“Arab, Yahudi, Muslim, Kristen, Hindu, Buddha, semua agama, kita harus hidup sebagai satu keluarga manusia.
Indonesia berkomitmen untuk menjadi bagian dari mewujudkan visi ini.
Apakah ini mimpi? Mungkin. Tapi ini adalah mimpi indah yang harus kita wujudkan bersama.
Mari kita bekerja menuju tujuan mulia ini.
Mari kita lanjutkan perjalanan penuh harapan kemanusiaan.
Perjalanan yang dimulai oleh para pendahulu kita.
Perjalanan yang harus kita tuntaskan.”

Closing statement seperti ini meninggalkan kesan yang cukup mendalam bagi saya. Disamping cara berpidato beliau yang sangat “pas” dan secara konten juga “berisi”, n cPresiden Prabowo memang dikenal sebagai orator yang handal, berapi-api, penuh energi, dan mampu membakar semangat. Beliau berulang kali menampilkan pidato berkelas dan penuh ketegasan, seperti yang juga disampaikannya di Sidang MPR lalu. Namun, di balik kekaguman itu, gonjang-ganjing publik juga tak bisa menahan diri untuk mempertanyakan: apakah kata-kata megah dari Presiden akan benar-benar diejawantahkan dalam program nyata yang relevan dan berdampak?

Jawabannya tentu bisa iya. Program seperti MBG (Makan Bergizi Gratis), Kopdes Merah Putih, dan Danantara adalah contoh ide besar dengan konsep yang keren di atas kertas. Namun realitas di lapangan sering kali tidak semudah di konsep. Misalnya, pelaksanaan MBG akhir-akhir ini menghadapi kasus keracunan yang ramai diberitakan. Hal ini menunjukkan bahwa ide bagus pun masih menyimpan tantangan besar dalam hal detail eksekusi.

Intervensi langsung pemerintah untuk mengatasi gizi buruk itu oke, bahkan visioner. Tetapi dari ide besar harus lahir konsep turunan yang matang, teknis yang jelas, serta SOP yang ketat. Karena, seperti kata pepatah: the devil is in the details.

Saya ingin berhusnudzon. Di usia kepala 70-nya, rasanya tidak mungkin Presiden Prabowo menggadaikan sisa hidupnya untuk meninggalkan warisan buruk. Saya percaya beliau hadir dengan ide program yang lahir dari kontemplasi panjang, bukan sekadar gimmick. Saya percaya beliau ingin meninggalkan legacy baik. Tapi, ide dan niat baik saja tidak cukup. Eksekusi butuh ketelitian luar biasa. Di sinilah peran pembantu presiden jadi krusial: mereka harus eksekutor handal, bukan oportunis yang hanya aji mumpung atau sekadar ABS (asal bapak senang).

Saya jadi teringat pengalaman berorganisasi di masa mahasiswa. Pertama, ada tipe orang yang kuat di ide dan gagasan, semangat berdebat soal makna istilah dan wacana besar, bahkan sampai begadang semalaman hanya untuk meributkan diksi. Kedua, ada tipe yang fokus pada teknis dan detail: bagaimana acara berjalan, bagaimana ice breaking, bagaimana forum, tindak lanjut, sampai evaluasi. Kalau orang bertipe ini absen, bubar jalan. Ketiga, selalu ada tipe oportunis: sok asik, numpang tenar, tapi minim kontribusi.

Dalam konteks pemerintahan, Prabowo harus pintar memilah. Siapa yang cocok mengawal ide besar, siapa yang ahli detail, dan siapa yang sebaiknya dijauhkan karena hanya akan jadi beban. Pertanyaannya sekarang, apakah orang-orang di lingkaran presiden saat ini lebih banyak tipe konseptor atau eksekutor? Saya tidak tahu. Yang jelas, harapannya sederhana: semoga mereka bukan oportunis.