src: upradio.id/perayaan-hut-ke-32-rswan-gedung-igd-diresmikan/

Seumur hidup saya yang baru 30-an ini, saya sudah melalui banyak seremonial kegiatan. Zaman saya mahasiswa, gong adalah instrumen mutakhir untuk membuka acara atau program tertentu. “Dengan mengucapkan Bismillah, secara resmi acara x dibuka.”. “gooooong”. Selain itu masih banyak, ada pemotongan pita dan pelepasan balon. Atau kalau panitia lagi niat, ada pelepasan burung merpati yang langsung kabur ke arah parkiran. 

Namun, yang pasti sama dari semua peresmian dan pembukaan acara itu adalah pelaksanaannya yang tidak sekeren pembukaannya. Hahahaha. Itulah problem bangsa kita. Kita seringkali sibuk dengan seremonial membuka program, menginisiasi program, memberi ruang pejabat setinggi mungkin untuk membukanya, tapi realisasinya? tong kosong.

Kini, gong, pita hingga balon sudah mulai pensiun. Era kemajuan teknologi menggeser cara kita dan pejabat membuka program. Mereka sudah digantikan oleh sebuah layar besar dengan 3-5 animasi telapak tangan. Begitu para pejabat  meletakkan telapak tangannya disitu, operator dibelakang layar menekan tombol right arrow di keyboard untuk memunculkan slide berikutnya bertuliskan “Program Resmi Diluncurkan”. Sungguh keren dan sangar sekali, setidaknya sampai kursor mouse-nya ikut muncul di pojok layar. 

Saya menyaksikan mereka tersenyum, dengan tangan mengarah ke layar, seolah sedang menyalakan masa depan bangsa, padahal yang menyala cuma animasi PowerPoint dengan efek “fade in.” Kadang ada kursor mouse nyangkut di pojokan, tanda panik operator yang sedang berjuang menjaga momen sakral itu tetap tampak futuristik. 

Entah siapa yang pertama kali menemukan ide ini. Tapi satu yang pasti, kok saya merasa geli. Mungkin menurut mereka, ini menunjukkan simbol atas kemajuan, sebuah program keren yang dibuka secara futuristik. Tapi meletakkan telapak tangan pejabat di layar yang bahkan bukan layar sentuh rasanya kok menggelikan ya? kecuali kalo memang layarnya benar-benar touchsreen, atau sekalian pakai “fingerprint authentication” kayak buka aplikasi m-banking di smartphone kita.

Sudah mah geli di seremonial, realisasi programnya hampir nihil. Bahkan seringkali kita dikenal sebagai masyarakat yang mengesankan peresmian lebih penting dari pelaksanaan. Dalam kosmologi proyek Indonesia, foto bersama di depan backdrop lebih abadi daripada laporan progres. Programnya bisa tersendat, tapi momen tapping layar itu wajib menjadi evidence di media sosial.

Saya sering mikir, mungkin nanti kita akan punya upacara peresmian versi metaverse. Para pejabat tinggal di rumah masing-masing, mengenakan headset VR, dan bersama-sama menekan tombol virtual bertuliskan “Launch.” Lalu muncul teks holografik di udara: “Program berhasil diresmikan. Pelaksanaan menunggu anggaran.” Hahahaha.

Saya takutnya fenomena ini menjadi generalisasi dari cara kita memaknai kinerja publik, selama ada bukti foto dan video pembukaan, berarti program itu exsisting. Sedangkan substansi program itu belakangan, atau bahkan tidak perlu ada programnya, Kita tidak perlu bertanya apakah programnya berkelanjutan, yang penting ada foto, ada liputan, dan ada narasi “sinergi semua pihak.” Jangan sampai ini jadi “Indonesian Values”, miris banget soalnya.

Mungkin ritual “menyentuh layar” itu bukan soal membuka program, tapi menegaskan bahwa kita masih suka pura-pura menyentuh masa depan. Kita ingin terlihat modern, tapi masih takut benar-benar menyentuh kenyataan. Kita tidak mau jujur dengan keterbelakangan kita, atau memang kita lebih suka dengan kepura-puraan, menjadi si paling teknologi dengan menyentuh layar gede, hahaha.

Dan dalam konteks ini, rasa-rasanya kok gong terasa jauh lebih jujur ya. Setidaknya, gong berbunyi karena dipukul beneran, juga mencerminkan bahwa kita belum semaju itu, wkwkwk. Sehingga suara hasil gongnya juga beneran kedengeran, bukan dari pura-pura touchscreen dengan efek animasi dari operator yang sedang menekan tombol di belakang panggung, yang panik sampe keluar kursornya itu.

Wallahu alam.