Nulis judulnya juga emang agak berat sih. Menyandingkan manajemen waktu dan nahdliyyin itu macam menghadapkan dua magnet dengan kutub yang sama, pasti saling tolak menolak, hahaha. Ngapunten, niki guyon nggeh. Saat saya ke bekasi untuk jalan-jalan bersama istri, anak dan orang tua sabtu (23/10/21) lalu, saya memang wajib menyempatkan waktu untuk mengisi pelatihan keorganisasian di almamater saya, HIMASKA “Helium” UIN Maliki Malang via daring. Materinya? Manajemen Waktu.
Manajemen waktu ini sebetulnya materi yang sederhana, namun dalam prakteknya, dibutuhkan keteguhan hati untuk merealisasikannya. Dalil-dalil qur’an, hadits, kalam ulama, kata-kata dosen, nasihat orang tua tentang waktu ini sudah sangat banyak, tapi dalam praktiknya, sulitnya bukan main. Makanya saya pas diminta ngisi materi ini agak bingung. Kalo ditolak, saya gak enak. Sudah beberapa kali ada yang minta saya ngisi pelatihan via daring, saya tolak. Yang terakhir kalo tidak salah, diminta mengisi MAPABA di PMII, saya tolak karena saat itu sedang terserang flu berat. Kalo diterima, materi Manajemen Waktu ini sebetulnya kurang pas, ya karena memang saya sendiri masih belajar untuk benar-benar bisa efektif dalam memanajemen waktu. Tapi akhirnya saya terima juga, meskipun dalam forum berkali-kali saya tegaskan, disitu jangan anggap saya pemateri, tapi sekedar pemantik diskusi dan sharing bersama.
Sepengalaman saya nih ya, memang ketika berkegiatan di lingkungan Nahdlatul Ulama, baik yang kultur maupun yang struktur. Manajemen waktu saya cenderung kacau. Sebagai contoh, ada panggilan rapat kegiatan bakda maghrib, mayoritas jam 9 atau jam 10 malam baru kumpul. Pernah juga saya memenuhi undangan rapat di PCNU tertera jam 13.00, dan rapat baru mulai pukul 15.00, mantaaaap. Masalahnya, jam 15.00 ini saya sudah ada agenda lain, jadi ya, kacau.
Saya sendiri memang lahir di keluarga dengan kultur NU. Dan sebetulnya juga gak aneh-aneh amat dengan fenomena demikian. Cuma memang, fenomena itu justru tak terlihat ketika saya mondok. Di Pesantren, semua serba tersistem, baik dari segi waktu dan kegiatan apa yang dilakukan. Telat sedikit saja, misal sholat jamaah, siap-siap aja ta’ziran menanti. Kalo zaman saya mondok dulu, persinggungan antara telapak kaki dan kayu rotan adalah harmoni yang indah, haha. Kayaknya kalo zaman sekarang, orang tua santri mungkun sudah bikin laporan ke polisi.
Fenomena jam ngaret ala NU ini cukup kental terasa saat berkecimpung di organisasi saat kuliah dulu, tepatnya di PMII. Sebetulnya di PMII dibilang parah gak parah-parah amat lah. Misal acara direncanakan pukul 13.00, paling parah ngaretnya sejaman lah, jam 14.00. Kecuali rapat-rapat tahunan itu, ngaretnya bisa naudzubillah. Sebetulnya ngaret di PMII ini masih bisa ditolerir. Mungkin ada beberapa yang memang masih ada perkuliahan di kelas, praktikum, dan lain lain. Tapi tetap saja, WINU (Waktu Indonesia NU) ini bukan hanya terkenal di internal kalangan nahdliyyin saja, tapi sudah lintas organisasi, bahkan lintas iman. Begini ceritanya, teman saya suatu ketika mengundang seorang aktivis lingkungan, namanya Pak Daniel S. Stephanus, dosen Universitas Ma Chung, Malang yang beragama Kristen. Ketika saya dan teman saya nyowani beliau untuk ngisi materi pelatihan tertentu, beliau nanya begini, “Jam 8-nya ini jam 8 NU apa Muhammadiyyah? Soalnya kalo jam 8 NU, nanti saya datangnya jam 9 saja.”. Benar saja, saat acara itu digelar, pak Daniel yang sudah rawuh sejak pukul setengah 9, baru bisa menyampaikan materi pukul 9. Bagaimana tidak, saat pak Daniel datang itu, baru ada 5 kepala yang hadir di forum termasuk panitia. Jadi tak bisa kita pungkiri bahwa WINU begini ini memang sudah dikenal hingga lintas iman.
Selain di lingkup mahasiswa, ya di keluarga saya sendiri. Malam jum’at adalah waktu dimana rutinan yasinan keluarga besar. Undangannya bakda maghrib, jam 9 baru kumpul dan mulai. Hehe. Jika dibanding-bandingkan dengan kultur Muhammadiyah yang katanya sangat tepat waktu itu, tenang dulu, saya punya pembelaan untuk kaum nahdliyyin, yang didalamnya termasuk saya nih. Jadi mereka-mereka yang jadi pengurus Muhammadiyah ini rata-rata memiliki pekerjaan dengan jam kerja yang tetap setiap harinya, seperti guru, dosen, pegawai kementrian, PNS, dll. Sehingga ketika ada rapat-rapat, lebih mudah menentukan jadwalnya, karena memang jam istirahat dan pulangnya mayoritas sama. Lain halnya dengan pengurus-pengurus NU, ada yang mengurus pesantren, jadi guru ngaji, ustad, pedagang, petani, dan pekerjaan lain yang jam kerjanya notabene tidak teratur. Lebih proletar. Jadi semisal pagi-siang pengurus NU yang pedagang dan petani sibuk, yang jadi guru ngaji longgar. Sedangkan malam, pedagang-petani longgar, guru ngaji, kyai dan ustad yang sibuk. Konsekuensinya, rapat-rapat seringkali efektif diatas jam 10 malam. Begitu kira-kira alibinya. Hehe.
Intinya, stigma jam ngaret NU ini tidak semerta-merta kita bisa salahkan kepada pengurus bahkan warga nahdliyyin pada umumnya, melainkan ini adalah taqdir dari Allah Subhanahu wata’ala, yang menjadikan warga nahdliyyin ini sangat banyak dan heterogen dalam hal kesibukan dan profesi. Sehingga, ketika saya bahkan anda adalah warga nahdliyyin, kita punya tugas yang lebih berat dalam memanajemen waktu, minimal harus punya toleransi jam ngaret sekitar 2 jam perkegiatan di lingkungan NU, itu standar minimal ya, haha.
Tapi, mau bagaimanapun, jam ngaret ini bukan hal positif dan tidak boleh terus diwariskan dari generasi ke generasi. Ke depan, persaingan dalam berbagai bidang sangat terkait dengan kecepatan dan ketepatan waktu. Jadi kita tidak bisa leyeh leyeh untuk bersaing dengan yang lainnya. Maka saya selalu ‘sok bijak’ mengajak teman-teman saya di lingkungan GP Ansor Rajagaluh untuk mengadakan kegiatan dengan ketepatan waktu yang baik. Buang jauh-jauh budaya ngaret itu. Minimal itu bisa dipupuk di generasi muda macam Ansor dan IPNU-IPPNU. Karena dengan manajemen waktu yang baik, kita bisa lebih bisa produktif dan bahagia. Caranya bagaimana? Kita harus menghapus stigma macam begini, “Kalo undangan jam 8, berarti saya berangkatnya jam 9 aja, toh, kalo berangkat jam 8, pasti belum ada siapa-siapa.”. Jika semuanya berfikir demikian, jelaslah budaya ngaret ini akan senantiasa eksis hingga hari kiamat.
Untuk menjadi pribadi yang pandai mengatur atau memanajemen waktu, saya bahkan anda pasti sudah punya banyak dalil dan teorinya. Begitupula dengan motivasinya yang tinggal digali saja masing-masing. Dan sebetulnya, banyak tokoh-tokoh NU yang meraih sukses karena kepandaiannya dalam mengatur waktu. Pesantren-pesantren besar yang ada juga saya yakin dipimpin oleh kyai-kyai dengan kedisiplinan waktu yang tinggi dan banyak hal positif lainnya.
Sekali lagi ngapunten, bukan maksud saya menghina atau men-judge warga nahdliyyin atau pengurus NU. Karena yang punya budaya ngaret di NU ini juga gak semua, cuma banyak aja. Selain itu, gak masuk akal juga lah kalo saya dianggap menghina, bagi saya ini adalah otokritik, minimal untuk saya pribadi. Toh, saya juga pengurus NU yang belum bisa amanah dan seringkali tidak mampu memanajemen waktu dengan baik, sehingga saya malu kepada kyai saya karena saya masih belum bisa berkhidmat dengan maksimal di Nahdlatul Ulama. Contoh lainnya adalah di urusan nulis ini. Diawal sebetulnya saya ingin pertiga hari ada tulisan yang terpublikasi di website, tapi ternyata, hanya bisa satu tulisan saja perminggu, bahkan per dua minggu. Apalagi dalihnya selain karena memang saya belum bisa memanajemen waktu dengan baik. Makanya saya gak berani nulis dalil satupun di tulisan ini. Ketok’e kok bakal wagu. Wallahu alam bisshowab.