Beberapa bulan terakhir memang sedang ramai-ramainya problematika persoalan nasab. Keabsahan nasab Baalawi dipertanyakan oleh beberapa kalangan. Meski menurut beberapa sumber memang pertanyaan keabsahan itu sudah ada sejak dulu, tapi KH. Imaduddin Utsman adalah orang yang “memviralkan” polemik keabsahan nasab Baalawi ini.

Tak ada api jika tak ada yang menyulutnya, konon yang saya dengar, di beberapa kesempatan, ada oknum habib yang berstatemen kontroversial. Tak perlu saya jelaskan apa-apa yang menjadi kontroversi itu, sepertinya banyak yang sudah menyimak. Hal itulah yang menyulut kubu sebelah yang konon adalah keturunan walisongo. Mereka geram dan kemudian meng-counternya, salah satunya dengan menggulirkan isu terkait keabsahan nasab Baalawi.

Seingat saya, isu ini sudah bergulir sejak tahun lalu. Meski di level nasional sudah mulai mereda, tapi dibeberapa kalangan yang saya temui, ini masih tetap masuk ke dalam pembahasan obrolan. Saya tak terlalu ambil pusing dengan isu ini. Jujur saya cenderung menghindari dialog seputar nasab ini. Tentu karena ketidaktahuan saya dalam keilmuan nasab. Adalah hal yang membagongkan ketika seorang yang tidak punya kapasitas dalam suatu bidang kemudian berani berbicara seolah-olah ia punya kapasitas. Eh, tapi bukankah di Indonesia itu lumrah? Wkwkwk.

Terlepas dari semua yang diperdebatkan. Saya tentu pernah menyimak beberapa podcast dan dialog yang terjadi. Tentu menyenangkan menyimaknya karena ada poin-poin dalam perdebatan yang kemudian menjadi ilmu baru bagi saya yang faqir ilmu ini. Beberapa hal maupun anggapan yang salah kaprah kemudian bisa terklarifikasi, misal beberapa poin dibawah ini.

Pertama, ternyata Dzurriyah Nabi SAW bukan cuma dari klan baalawi. Asli, sebelumnya saya yang goblok ini taunya satu-satunya dzurriyah Nabi SAW di dunia ini adalah beliau-beliau yang bermarga Al Haddad, Alaydrus, bin Yahya, Baharun, Barakwan, dll. Selain itu tidak ada. Eh, ternyata ba alawi ini hanya salah satunya, masih banyak juga keturunan Nabi dari jalur lain. Ada yang jalur Maroko, Irak, dll. Saya juga baru tau ada panggilan lain untuk keturunan Nabi SAW lainnya seperti Sayyid dan Syarif. Masalahnya, term yang digunakan itu Baalawi, saya kira keturunan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, dimana istri beliau adalah Siti Fatimah. Heleh heleh.

Dan fakta lanjutannya, ternyata Walisongo pun disinyalir merupakan dzurriyah Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Yang paling mudah tentu melihat dari nama Sunan Gunung Jati yang dipanggilnya Syeikh Syarif Hidayatullah, “Syarif” ini konon merupakan panggilan untuk dzuriyah Nabi SAW yang menduduki posisi strategis tertentu di dalam masyarakat,  misal raja, gubernur, dll. Meski “keabsahannya” pun juga dipertanyakan oleh pihak baalawi, terlepas dari itu, anggaplah semua ini adalah temuan baru saya pribadi dalam memahami fenomena ini.

Kedua, ternyata keyakinan bahwa nasab yang diakui dari jalur laki-laki ini juga bagian dari tradisi arab, atau mungkin tradisi trah baalawi. Sedangkan di negara-negara lainnya, nasab dari jalur perempuan pun tetap dapat diakui. Ya memang saya yang agak “liar berpikir” ini mencoba mencari landasan argumentatif kenapa yang diakui hanya dari jalur laki-laki ini belum ketemu yang bener-bener mengena. Bagi saya legitimasi laki-laki ini bisa dibilang terlalu patriarkis. Akhirnya saya bisa memahami ya bahwa mau jalur laki-laki ataupun jalur perempuan, semua sama-sama diakui, setara dan lebih rasional.

Gak mungkin juga kan, laki-laki dengan spermanya, tanpa ada sel telur, tiba-tiba sel sperma berkembang menjadi si Udin, begitupun sebaliknya. Artinya, pekerjaan menghasilkan keturunan adalah aktivitas yang melibatkan pertemuan biologis antara dua sel, yaitu sel sperma dan sel telur. Gak mungkin fertilisasi terjadi kalo mereka gak ketemuan. Ini saya gak bicara mukjizat, kuasa Allah semisal cerita Siti Maryam ya, ini kapasitas logika untuk kita-kita ini yang levelnya tentu berbeda dari Siti Maryam dan Nabi Isa. Sunnatullahnya ya dua barang itu harus bertemu.

Artinya, sel telur dan sel sperma itu saling membutuhkan. Keduanya dalam posisi yang setara. Tidak bisa kita agung-agungkan salah satu. Bahwa sperma lebih superior dibanding sel telur, ataupun sebaliknya. Artinya saat sudah brojol itu jabang bayi, dianggap anak dari kedua orang tuanya, bin nya bisa ke ibu atau ke bapak, sama-sama mulia dan diakui secara nasab. Itu juga yang dilegitimasikan oleh KH. Asrori Surabaya dengan Al Ishaqi itu dinisbatkan kepada Maulana Ishaq yang jika diruntut hingga ke KH. Asrori, ada jalur nasab perempuan. Tapi beliau tetap mengabsahkannya untuk penisbatan. Paten!

Sebetulnya ada poin ketiga keempat kelima yang perlu saya tulis juga, tapi biar gak terlalu panjang, kalo kepanjangan jadi malas untuk baca bukan? Mungkin saya akan tulis kemudian, itupun kalau gak lupa.

Nasab bagi saya, perlu masing,masing kita tau, namun bukan untuk digembar-gemborkan ke orang lain, bahwa kita keturunan si a, si B, dan kita secara tidak langsung minta dihargai dan dihormati, pengen dipanggil habib, syarif, sayyid, kyai, gus waakhwatuha. Kita perlu mengetahui nasab kita untuk refleksi intrapersonal, sejauh mana kita dapat meneladani datuk kita apabila mereka adalah orang-orang yang sholih. Terkadang saya malu, mendengar cerita sosok kakek yang hidupnya ikhlas mengayomi masyarakat, sedang saya ini masing setengah-setengah, alias jejengkean. Tak mampu sepenuhnya meneladani.

Akhiron, terlepas kita dari kita keturunan siapa, anak siapa, cucu siapa, cicit siapa, yang membedakan antara kita semua ini adalah ketaqwaannya saja. Kalaulah ada seorang habib, ia ahli maksiat, ya masuk neraka juga, tak perlu kita ikuti. Kalaulah ada yang bukan habib, namun sholeh dan berilmu, ya kita ikuti. Begitupun sebaliknya. Mari ciptakan sejarah kita sendiri, tak perlu mengekor dan sembunyi dibalik kebesaran nasab dan keluarga.