Oleh : Fawwaz Muhammad Fauzi
“Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan benar” ~ Imam Asy-Syafi’i
Selamat Dini Hari Kota Malang, kota yang ramai akan perbedaan. Dimana hal ini sedikit banyak dipengaruhi oleh banyaknya pengungsi akademik yang hijrah ke Kota Malang. Keberagaman Kota Malang adalah hal yang tak mungkin terelakkan, berbagai macam ras, suku, budaya, dan agama berbaur dalam suatu wilayah bernama Kota Malang.
Sejatinya, tak hanya kota malang saja yang memiliki warna warni keberagaman. Dalam konteks yang paling sederhana saja, perbedaan akan sangatlah tampak apabila kita mencoba mengamatinya secara mendalam. Seperti halnya dua bersaudara yang kembar identik, apabila kita mengamatinya dengan seksama atau mungkin karena telah terbiasa, kita dapat melihat banyak perbedaan, baik dari segi fisik maupun psikis. Sehingga, dari dua bersaudara itu saja, nampaklah perbedaan dan keberagaman dari berbagai sisi. Namun, ketika kita tak mengamatinya secara seksama, kita akan menganggap sang kembar identik itu sama dengan kembarannya. Tak ada perbedaan apapun.
Dari suatu sampel diatas, semisal kita adalah orang tuanya, apa yang harus kita lakukan dalam menyikapi perbedaan dari si kembar yang katanya kembar identik? Apakah kita harus mengunggulkan salahsatunya? Apakah kita harus pilih kasih? Penulis kira, hal yang paling bijak adalah dengan bersikap toleran, moderat, seimbang dan adil terhadap keduanya. Dengan begitu, kita telah bersikap bijaksana terhadap dua hal dimana kita tidak termasuk dalam sistemnya. Dan penulis fikir, ini adalah sikap yang sedikit mudah untuk direalisasikan dalam kehidupan bersosial kita.
Lantas, bagaimana ketika dalam keberagaman, kita termasuk dalam sistem tersebut? Semisal kita adalah bagian dari si kembar identik? Apakah kita harus kemudian mengunggulkan diri sendiri dan menjatuhkan kembaran kita? Atau malah sebaliknya? Bagaimana kita bersikap? Penulis kira, sikap yang paling bijak dalam menyikapinya adalah bersikap santai dan tetap berpegang teuh pada sikap toleran, moderat, seimbang dan adil. Selain itu, kita harus pula memegang prinsip, “Maju tanpa menyingkirkan orang lain, naik tanpa menjatuhkan orang lain, dan berbahagia tanpa menyakiti orang lain”. Sehingga, kita dapat hidup secara damai dan tetap bergandengan tangan meski banyak perbedaan pada diri kita dan orang lain. Namun, hal ini agaknya lebih sulit daripada ketika kita berada diluar system seperti pada perumpamaan pertama. Didalam sistem dimana kita termasuk kedalam sebuah bagian yang harus kita pertahankan adalah menjadi PR yang besar bagi kita semua untuk menjunjung tinggi keberagaman sebagai sunnatullah. Karena apabila kita tidak mampu untuk kemudian menghargai keberagaman, dampak sosialnya akanlah sangat besar. Hal ini disebabkan karena adanya sikap primordialis dan etnosentris dari diri kita masing-masing selaku actor sosial dalam sistem.
Primordialis adalah suatu sikap dimana kita memiliki kecenderungan dalam membela suatu golongan, terlebih kita termasuk kedalam golongan tersebut. Sedangkan etnosentris adalah sikap dimana suatu permasalahan hanya dilihat dari sudut pandang subjektif si pelaku primordial. Namun, sikap primordialis bukanlah hal negatif yang harus kita jauhi. Primordialis berbicara tentang pilihan hidup, dimana hidup adalah tentang bagaimana kita memilah dan memilih dengan berbagai pertimbangan rasional maupun irasional. Ketika kita sudah memilih satu pilihan, ada nilai-nilai substansial yang harus kita perjuangkan dan pertahankan sebagai konsekuensi dari pilihan tersebut. Sehingga kita secara tidak langsung diwajibkan untuk bersikap primordialis. Seperti contoh dalam hal beragama, penulis memilih beragama Islam dan sudah barang tentu menjadi kewajiban penulis untuk memperjuangkan dan mempertahankan nilai-nilai keislaman.
Selain dalam beragama, kita juga mengenal perbedaan-perbedaan dalam perihal suku, keturunan, klan, marga, organisasi, kelompok suporter, aliran, genre music, hobby, dan lain-lain. Kesemuanya adalah hal-hal yang secara tidak langsung mewajibkan kita untuk bersikap primordialis untuk memperjuangkan nilai-nilai yang menjadi alasan primordialis kita. Sehingga, menurut penulis, bersikap primordialis adalah sesuatu yang sah sah saja dalam kehidupan bersosial.
Namun, dibalik sikap primordialis yang ada. Banyak sisi-sisi negatif yang nampak, dimana hal tersebut dipengaruhi oleh mainset-mainset etnosentris yang berlebihan. Hal ini berdampak terhadap kehidupan sosial yang menjadi kacau dan tidak equilibrium. Perbedaan yang seharusnya menjadi hal yang patut kita syukuri, berubah menjadi permusuhan yang berkepanjangan dan nyaris tanpa ujung. Sebagai contoh, kita ketahui permusuhan yang terjadi antara blok barat (kapitalisme) dan blok timur (komunisme) pada saat perang dunia I dan II. Bahkan hingga saat ini, sisa-sisa permusuhan tersebut masih sangat sering kita dengar, walau masih dalam bahasa-bahasa konspirasi. Dalam ruang lingkup yang lebih kecil, kita pasti mengetahui perseturuan antar suku di Indonesia, seperti halnya sunda dan jawa yang menurut berbagai sumber, bermula dari peristiwa perang bubat, dimana rombongan mempelai wanita dari kerajaan Sunda bernama Dyah Pitaloka yang akan dipersunting oleh Prabu Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit, dihabisi di lapangan bubat oleh prajurit Majapahit. Percaya atau tidak, hingga saat ini, sedikit sesepuh-sesepuh kita di tanah sunda dan jawa masih menganggap, pernikahan antara sunda dan jawa adalah suatu hal yang pamali untuk dilakukan. Masih dalam sampel permusuhan, kita juga mengetahui perseteruan antar organisasi mahasiswa PMII dan HMI, perseteruan antar suporter sepak bola (Viking vs The Jakmania, Aremania vs Bonek).
Dari berbagai contoh diatas, kita sejatinya dapat mengambil benang merah, dimana perseteruan-
perseteruan tersebut lahir dari sikap primordialis yang kurang bijaksana dan adanya etnosentrisme yang berlebihan. Merasa kelompoknya adalah yang paling benar dan akan membunuh siapapun yang berbeda dari apa yang dia pilih. Menurut penulis, ini adalah pemikiran yang sangat primitif dan tidak bijaksana. Hal ini wajib untuk kita tinggalkan, sikap primordialis yang tidak bijaksana.
Lantas bagaimanakah kita harus bersikap sehingga primordialisme kita tidak menyebabkan etnosentrisme berlebihan yang menyebabkan intolerasi terhadap sesama? Sebelumnya, lagi-lagi kita harus memahami, bahwa perbedaan adalah sebuah rahmat dari Allah SWT yang wajib kita syukuri. Allah juga memerintahkan kita untuk saling mengenal, mengerti dan memahami satu sama lain, tanpa perlu mengorbankan eksistensi primordialisme kita (Waja’alnakum syu’uban waqobaa’ila lita’arofuu). Seperti halnya dengan apa yang telah dilakukan oleh sahabat-sahabat dari penulis di Komunitas Gusdurian Malang, dimana sahabat-sahabat GD mengunjungi gereja dalam perayaan natal kemarin untuk menunjukkan rasa saling mengerti, memahami, dan toleran, tentunya tanpa mengorbankan eksistensi primordialis keislamannya. Mereka tetap bagian dari Islam meskipun mereka datang ke Gereja, karena tidak kemudian mengubah keyakinan mereka akan kebenaran Islam. Dengan demikian, keberagaman menjadi sesuatu yang indah, sesuatu yang sangat menyejukkan, berharga, memberikan rasa aman terhadap sesama dan patut kita syukuri bersama. Tidak kemudian menjadi modal permusuhan antar sesama, seperti yang banyak terjadi belakangan ini.
Kita sebagai bangsa Indonesia, dimana Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa, berbagai macam tradisi, dan berbagai macam keyakinan beragama, sangat rentan akan perpecahan dan konflik akibat sikap primordialis yang tidak bijaksana. Sehingga, sudah sepatutnya kita bersama-sama menghargai perbedaan atas sesama. Seperti semboyan negara kita “Bhinneka Tunggal Ika, (Berbeda-beda tapi tetap satu jua)”,mari kita bersatu dalam perbedaan, menuju Indonesia berkemajuan. Dan mari kita junjung tinggi sifat Tasamuh (toleran), Tawazun (seimbang), Tawassuth(moderat), dan Ta’addul (adil) sehingga kita dapat menjadi seorang primordialis yang bijaksana. Wallahu a’lam.
Malang, 26/12/15 03.05 WIB