Oleh : Fawwaz Muhammad Fauzi *)

sumber : aipi.or.id

70 tahun lebih Indonesia telah merdeka. Indonesia sebagai bangsa yang bhinnekatelah membuktikan, bahwa hingga saat ini, Indonesia mampu mempertahankan ke-bhinneka-an dengan semangat nasionalisme dan persatuan. Isu-isu perpecahan yang berbau SARA belum mampu untuk kemudian menggoyahkan persatuan bangsa Indonesia hingga hari ini dan mampu diselesaikan melalui dialog-dialog semangat keberagaman. Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Republik Maluku Selatan (RMS), dan Operasi Papua Merdeka (OPM) mampu terselesaikan. Meski penulis yakin, sampai hari ini, masih ada elemen-elemen yang meneriakkan semangat organisasi yang memecah belah persatuan, baik dari organ-organ kesukuan dan organ-organ yang mengatasnamakan agama macam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang bermaksud mendirikan kekhalifahan Islam. Adalah menjadi PR kita bersama untuk memberantas organ-organ yang anti-pancasila dan memecah belah persatuan. Hal tersebut harus tetap kita upayakan melalui kebijakan-kebijakan yang strategis dan visioner. Namun, alangkah baiknya perhatian kita harus pula tertuju kepada bagaimana mengembangkan bangsa ini ke depan? Bagaimana agar Indonesia diperhitungkan di kancah Internasional? Sehingga, langkah kita tidak hanya berhenti pada bagaimana kita menjaga persatuan dan mengatasi perpecahan. Namun, beriringan pula dengan upaya-upaya kolektif menuju Indonesia yang berdikari. Tentu dari berbagai aspek yang dikehendaki.

Secuil pelajaran dari raksasa-raksasa Asia
Siapa yang tidak pernah mendengar kejayaan yang pernah dicapai Kerajaan Majapahit, dengan Mahapatih Gajahmada yang terkenal itu. Pada zamannya, Majapahit adalah salahsatu dari 3 kerajaan terbesar dunia selain Turki Utsmani dan Mongolia. Para pendahulu kita adalah bangsa yang besar dan berpengaruh dalam percaturan internasional saat itu. Dari apa yang kemudian penulis pahami dalam dinamika kekuasaan dan pemerintahan, kejayaan suatu pemerintahan dan kerajaan adalah dipengaruhi oleh kebijakan. Kebijakan adalah faktor utama yang dapat menentukan kemana arah sebuah negara berjalan. Ketika kebijakannya tepat, sebuah negara dipastikan akan mencapai puncak kejayaan. Begitupun sebaliknya, ketika kebijakannya salah kaprah, tentu negara tersebut akan menemui jurang kehancuran dan keterpurukan.
Berbicara mengenai kebijakan yang tepat dan efektif, penulis mencoba belajar atas apa yang telah dilakukan oleh Jepang. Pada abad 16, Jepang mengusir semua kaitan perdagangan dengan negara lain. Para misionaris dan pedagang asal Eropa, terutama Portugis, diusir keluar. Alasannya sederhana, supaya tidak membuat keadaan politik menjadi rumit. Shogun Ieyasu Tokugawa hendak menyatukan seluruh Jepang di bawah kekuasaannya, guna menciptakan kestabilan politik. Di bawah tangannya, Jepang menjalani masa damai lebih dari 200 tahun. Identitas dan budaya Jepang tetap lestari, bahkan semakin mengakar dan berkembang. Identitas dan budaya inilah yang nantinya menjadi dasar bagi Jepang untuk mengembangkan diri, sehingga menjadi salah satu negara maju dunia sekarang ini. Pengusiran bangsa asing dipandang perlu untuk melestarikan dan mengembangkan identitas budaya serta politik.
Apa yang dilakukan jepang adalah melakukan politik menutup diri. Politik โ€œMenutup Diriโ€ disini adalah kebijakan yang diambil adalah kebijakan yang mampu dan berani mengembangkan secara penuh pembangunan mental dan material bangsa secara mandiri tanpa campur tangan asing. Jika kita menelisik lebih dalam, pola seperti ini juga ditemukan di beberapa negara di asia, seperti China, India, dan Korea Selatan.
Cina, negara dengan ukuran ekonomi terbesar kedua di dunia sekarang ini, adalah contoh selanjutnya dari apa yang disebut dengan politik menutup diri. Di bawah pemerintahan Partai Komunis Cina, mereka menutup semua campur tangan asing. Industri lokal didukung dan dikembangkan. Ketika ekonomi dan industri lokal sudah kokoh, dalam arti sudah memiliki modal sumber daya manusia maupun sumber daya ekonomi yang memadai, barulah Partai Komunis Cina membuka peluang untuk investasi asing.
Pun dengan apa yang telah dilakukan China, Korea Selatan yang hari ini terkenal karena SAMSUNG nya, menerapkan kebijakan politik menutup diri. Pada 1950-an, Korea mengalami perang. Sampai sekarang, dua negara tersebut, yakni Korea Utara dan Korea Selatan, masih terus dalam keadaan tegang. Pada awal pembangunannya, AS kerap campur tangan dalam kebijakan ekonomi maupun politik Korea Selatan. Mereka dinilai tidak mampu menghasilkan industri berat dan canggih. Namun, para pimpinan Korea Selatan menolak campur tangan AS dalam soal ini. Mereka lalu memutuskan untuk mengembangkan industri kapal, dan industri mesin-mesin lainnya. Perusahaan-perusahaan local mendapat dukungan penuh dari negara. Mereka berkembang amat pesat, dan kini menjadi salah satu perusahaan elektronik maupun otomotif terbesar di dunia. Korea Selatan menutup โ€œtelingaโ€ dari nasihat-nasihat asing yang tak selalu memiliki niat baik.
Dari secuil pelajaran tersebut, seharusnya pemerintah kita mampu dan berani untuk kemudian mengambil kebijakan strategis terkait pengembangan potensi Indonesia, yakni dengan memperhatikan kemandirian negara yang pada kenyataannya, kemandirian adalah pondasi awal yang harus dimiliki sebuah negara sebelum membuka diri untuk berkompetisi di ranah global. Political will dari pemerintahan sangat diharapkan dalam mewujudkan cita-cita ini. Sejatinya, Soekarno, Sang Bapak Proklamator adalah salahsatu penggagas kemandirian negara dengan jargon BERDIKARI alias Berdiri di Kaki sendiri. Fidel Castro, sang Proklamator Kuba pun banyak belajar dari beliau, sehingga Kuba menjadi negara dengan pelayanan kesehatan nomor 1 di dunia. Namun, semua gagasan kemandirian berakhir ketika Soekarno lengser dari kursi kepresidenan dan digantikan oleh Soeharto yang langsung membuka investasi asing ke Indonesia dengan kebijakan yang diambilnya. Dan hingga saat ini, perusahaan multi-nasional macam Freeport dan Newmont dengan nikmatnya terus menguras kekayaan sumber daya alam Indonesia.
Revolusi Mental sebagai Pondasi Awal
Dalam proses Indonesia membuat kebijakan politik menutup diri. Langkah awal yang menurut penulis perlu dilakukan adalah dengan melakukan revolusi mental. Istilah revolusi mental mulai populer di Indonesia pada saat kampanye pemilu Pilpres 2014 melalui pasangan capres-cawapres Jokowi-JK, meski sebetulnya istilah revolusi mental bukanlah hal yang baru dalam istilah sosiologi. Namun, inti dari Revolusi Mental ala Jokowi bukanlah seperti apa yang diungkapkan oleh Karl Marx yang akhirnya cenderung sekuler dan mengarah ke atheisme ketika dipahami secara tekstualis. Namun lebih kepada merevolusi mental bangsa Indonesia yang hari ini mulai tergeser identitas mentalnya dengan budaya-budaya indisipliner, korupsi, nepotisme, konsumerisme, materialisme, dan lain-lain dengan budaya-budaya asli Indonesia yang santun, ramah, mandiri, objektif dan jujur. Sehingga kemudian diharapkan bangsa Indonesia menjadi bangga dan percaya diri atas identitas keindonesiaannya.
Ada anekdot lucu yang pernah penulis dengar dari bibi penulis, bahwa pada saat beliau berada di Jepang, teman dari beliau kehilangan dompet dan melapor ke kepolisian setempat. Jawaban polisi setempat sangat mengagetkan penulis. Praduga yang diutarakan polisi tersebut menyatakan bahwa apabila dompet tersebut ditemukan oleh warga Jepang, pasti akan dikembalikan dalam waktu 1-2 hari. Namun, apabila dompet tersebut ditemukan oleh warga Indonesia atau india, jangan berharap dompetnya kembali. Dari kisah tersebut, jelas bahwa bangsa lain sangat memandang rendah moral bangsa kita. Sehingga, merevolusi mental bangsa ini adalah pondasi yang sangat penting dalam membangun identitas bangsa.
Revolusi mental disini memang masih terlalu umum, sehingga perlu kemudian diturunkan menjadi program-program nyata yang dapat dirasakan oleh kita. Hingga saat ini, penulis melihat belum ada langkah konkrit yang dilakukan pemerintah dalam merealisasikan revolusi mental melalui sebuah program strategis. Menurut penulis, revolusi mental ini bisa diawali melalui dunia pendidikan. Dengan menanamkan semangat nasionalisme pada generasi penerus, bukan hal yang sulit untuk kemudian diikuti dengan kebijakan strategis lain yang dapat memajukan bangsa ini, seperti dalam segi pengembangan ilmu pengetahuan dan perekonomian yang memang hari ini diyakini sebagai faktor yang dapat dijadikan acuan sebuah negara dikatakan sebagai negara yang maju dan sejahtera.
  
Pengembangan Potensi Biodiversitas sebagai Poros Kemandirian Bangsa
Indonesia merupakan negara dengan tingkat biodiversitas tertinggi kedua di dunia setelah Brazil. Fakta tersebut menunjukkan tingginya keanekaragaman sumber daya alam hayati yang dimiliki Indonesia. Tingginya tingkat biodiversitas Indonesia ditunjukkan dengan adanya 10% dari tanaman berbunga yang dikenal di dunia dapat ditemukan di Indonesia, 12% dari mamalia, 16% dari hewan reptil, 17% dari burung, 18% dari jenis terumbu karang, dan 25% dari hewan laut. Di bidang agrikultur, Indonesia juga terkenal atas kekayaan tanaman perkebunannya, seperti biji coklat, karet, kelapa sawit, cengkeh, dan bahkan kayu yang banyak diantaranya menempati urutan atas dari segi produksinya di dunia.  Sumber daya alam di Indonesia tidak terbatas pada kekayaan hayatinya saja. Berbagai daerah di Indonesia juga dikenal sebagai penghasil berbagai jenis bahan tambang, seperti petroleum, timah, gas alam, nikel, tembaga, bauksit, timah, batu bara, emas, dan perak. Di samping itu, Indonesia juga memiliki tanah yang subur dan baik digunakan untuk berbagai jenis tanaman. Wilayah perairan yang mencapai 7,9 juta km2 juga menyediakan potensi alam yang sangat besar (Wikipedia).
Fakta-fakta diatas menunjukkan bahwa kekayaan alam Indonesia sangatlah melimpah. Apabila kita berkaca kepada sejarah, bahwa kerajaan-kerajaan terdahulu, seperti Tarumanegara, Sriwijaya, Majapahit, Singasari, Demak mengandalkan potensi-potensi tersebut sebagai pondasi perekonomiannya dalam bentuk mentahan. Dari sini, penulis dapat menarik kesimpulan, bahwa sumber daya alam Indonesia merupakan suatu modal yang dapat menjadi kekuatan besar apabila kita dapat mengelolanya dengan baik. Problem yang ada hingga hari ini adalah terkait bagaimana seharusnya pengelolaan yang baik atas sumber daya alam kita. Yang penulis ketahui hingga hari ini, Pemerintah Indonesia sejak Soeharto berkuasa belum mampu dan berani untuk mengelola sumber daya alam secara mandiri sehingga pengelolaannya dikuasakan kepada perusahaan-perusahaan multinasional. Dalam prakteknya, perusahaan multinasional ini nyatanya malah memonopoli kekayaan alam kita dengan cara bermain mata dengan para penguasa negeri ini. Penulis kira, realita ini sudah menjadi sesuatu yang menjadi tidak aneh dalam telinga kita. Pun dengan kebijakan pemerintah kita yang telah memperpanjang kontrak Freeport yang berbarengan dengan tragedi Bom Sarinah yang kontroversial itu.
 Sudah saatnya kita sebagai bangsa Indonesia berani untuk mengambil langkah nyata untuk mengelola sumber daya alam secara mandiri. Pengelolaan disini berarti sangat luas, yakni bagaimana untuk mengembangkan riset dan penelitian dari sisi ilmu sains dan bagaimana mengembangkan riset dalam proyeksi ekonomi yang mengarah pada industrialisasi produk-produk kreatif yang dihasilkan. Langkah-langkah yang kolektif, terstruktur, sistematif dan masif harus dilakukan dalam upaya ini, yakni melakukan pengembangan ilmu pengetahuan yang relevan dengan kebutuhan pengelolaan sumber daya alam. Kita dapat meniru india yang melirik dunia telekomunikasi sebagai sektor yang ingin diupayakan untuk mereka kuasai. Pada rentang tahun 1980-1990, Pemerintah India banyak mengirimkan warganya ke AS untuk belajar mengenai ilmu-ilmu teknologi informasi. Akibat dari kebijakan tersebut, di lembah silikon Amerika Serikat yang terbentang dari San Francisco hingga San Yose itu dari sekitar 150.000 pekerja asing yang bekerja disana sebannyak 60.000 di antaranya adalah pakar software dari India. Sumber daya manusia India ini tentunya memiliki andil bagi berkembangnya industri teknologi informasi Amerika Serikat pada kurun waktu dua dasawarsa terakhir ini. Berkembangnya kekuatan India di negeri Paman Sam tersebut dilirik Narasimha Rao yang menjadi perdana menteri India pada saat itu dan menarik semua ilmuwan yang bekerja di negeri Amerika Serika untuk kembali memajukan India.
Pemerintah Indonesia dapat kemudian menerapkan kebijakan serupa untuk kemudian mengirimkan pelajar-pelajar Indonesia ke luar negeri untuk mengembangkan keilmuannya di bidang ilmu pengetahuan tentang eksplorasi sumber daya alam. Selain itu, untuk juga mengembangkan potensi SDM dalam negeri, universitas-universitas dengan studi-studi tertentu yang ada di Indonesia harus kemudian diarahkan kepada pengembangan ilmu pengetahuan pengelolaan sumber daya alam. Dapat pula dengan mendirikan beberapa instansi riset yang lokasinya berdekatan dengan objek riset, seperti sekolah riset tambang di area dekat pertambangan, sekolah riset kelautan di area dekat pesisir pantai, sekolah riset botani di area dekan perhutanan, dan lain sebagainya. 

Dalam menyongsong Satu Abad Indonesia Merdeka, kiranya itulah yang kemudian menurut penulis menjadi titik-titik penting menuju Indonesia yang BERDIKARI. Namun kemudian, untuk menjadikan Indonesia mampu bersaing di dunia internasional, adalah kembali kepada kebijakan yang diambil pemerintahan. Karena lagi-lagi, harus ada political will dari pemerintah untuk kemudian merealisasikan cita-cita ini. Ketika pemerintah hari ini tidak mampu untuk mengamini gagasan ini, mari kita pressure pemerintahan kita dengan gerakan-gerakan yang transformatif, kolektif dan visioner. Dengan begitu, penulis yakin, pemerintahan kita tidak mungkin untuk tidak mendukung dan berpartisipasi melalui kebijakan yang proaktif. Wallahuaโ€™lam.


*) Esai ini dibuat sebagai syarat mengikuti Pelatihan Kader Lanjut (PKL) XIX PMII Cabang Kota Malang.