Oleh : Fawwaz Muhammad Fauzi
Assalamualaikum, SELAMAT SIANG Kota Malang, Kota Toleransi, Kota berkumpulnya berbagai macam suku, ras, budaya, dan agama, sehingga menjadi kota yang berpenduduk sangat bhinneka, dan banyak beberapa komunitas yang mengupayakan sebuah gerakan ‘Tunggal Ika’ nya, sehingga keberagaman penduduk Kota Malang dapat menjadi pondasi persatuan antar sesama warga kota Malang dan menjadi percontohan Kota yang relatif aman dari isu perpecahan akibat konflik SARA.
SELAMAT SIANG? Ya, tulisan ini hanya berangkat dari kata “Selamat Siang”, dimana kemarin penulis menanyakan sebuah problem mata kuliah terhadap salah satu dosen dari penulis. Disini penulis mendapatkan respon yang sangat tidak penulis duga, terheran-heran, karena penulis kira, apa yang penulis sampaikan kepada beliau disampaikan dengan kalimat-kalimat yang terbilang sopan dan ta’dzim. Respon beliau menurut penulis sangat tidak perlu diungkapkan, karena ada beberapa point yang menurut penulis adalah hal yang bertentangan dengan apa yang penulis fahami selama ini.
Begitulan kira-kira percakapan penulis dengan beliau, sang dosen. Ada hal yang kemudian menjadi kegaduhan dalam benak penulis. Mengapa beliau sangat mempermasalahkan kata selamat siang? Mengapa beliau langsung mengkaitkan kata selamat siang dengan tradisi non-muslim? Mengapa beliau malah menanyakan pengakuan keislaman atas dirinya kepada saya? Menurut penulis, ini penyataan yang kacau balau dan gagal paham terkait konsep agama dan sebab musabbab dari kata “Assalamualaikum” itu sendiri.
Pertama, kata Assalamualaikum memang sangat dianjurkan oleh Rasulullah, dimana kita sunnah mengucapkannya, dan wajib kifayah bagi yang mendengarnya untuk menjawab. Ada beberapa hadits Rasulullah yang menerangkan terkait Salam, seperti hadits terkait anjuran berucap salam dan menjawabnya, tatacara mengucapkan salam dan menjawabnya, bagaimana mengucapkan salam kepada non-muslim, bagaimana mengucapkan salam ketika masuk rumah yang kosong, dan hingga hal yang menjadi keutamaan mengapa harus mengucap “Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh”.
Namun, apa yang kemudian menjadi anjuran Rasulullah SAW tidak kemudian menghilangkan sebuah tradisi-tradisi baik yang sudah ada dalam praktek kehidupan sosial pada saat itu, seperti ucapan “Shabaahal khair (Selamat Pagi)”, “Shabaahannur (Selamat Pagi)”, “Nahaaruka sa’iid (Semoga Siangmu bahagia)”, Lailatuka sa’idah (semoga malammu bahagia)”. Jadi, sesuai dengan kaidah “Al Muhaafdzatu alal qadiimisshalih, Wal Akhdu bil jadiidil ashlah”, Rasulullah tidak kemudian mengharamkan ucapan-ucapan diatas dan wajib diganti dengan ucapan “Assalamualaikum”, melainkan hanya hendak membuat ucapan yang lebih afdhal dari ucapan-ucapan tersebut. Sehingga, mengucapkan “Assalamualaikum” adalah sunnah, bukan wajib.
Kedua, tradisi ucapan selamat siang bukanlah tradisi non-muslim. Jika kita melek akan sejarah. Kata selamat siang tidak pernah di syariatkan oleh agama-agama lain. Contohnya adalah agama kristen yang mensyariatkan “Shalom Aleichim b’Shem Ha Mashiach”, Yudaisme yang mensyariatkan “Shalom aleichem”. Dimana sejatinya kedua kalimat itu adalah kalimat yang berasal dari bahasa ibrani. Dan kita perlu tahu bahwa ternyata Bahasa Arab adalah bahasa yang serumpun semitik dengan bahasa ibrani yang banyak digunakan di Timur Tengah. Selain itu, ada agama Buddha yang mensyariatkan salam “Namo Buddhaya” yang artinya “terpujilah buddha”, ada agama hindu yan mensyariatkan “Om Swastiastu” dan “Om Santi Santi Santi Om”, dan masih banyak percontohan ucapan salam agama-agama lain yang bisa pembaca gali sendiri asal muasalnya. Dalam tradisi kesukuan di Indonesia, ada ucapan sampurasun atau Wilujeng Enjing dalam tradisi sunda, ucapan Sugeng Enjing dalam bahasa Jawa, Horas dalam bahasa Batak, Tabea dalam bahasa Papua.
Dari beberapa ucapan diatas, penulis tidak menemukan satupun ucapan “Selamat Siang” yang disyariatkan oleh agama apapun, bahkan dari tradisi kesukuan. Sehingga, pemahaman terkait ucapan Selamat Siang adalah tradisi non-muslim adalah salah kaprah dan perlu diklarifikasi. Karena sejatinya, ucapan selamat siang, selamat pagi, selamat sore, selamat malam adalah ungkapan salam dalam bahasa Indonesia yang perlu digunakan untuk menjalin komunikasi antar suku bangsa Indonesia yang mempunyai keberagaman. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu bagi bangsa Indonesia. Apabila kita masih ingat terkait sumpah pemuda, kita akan menemukan sebuah ikrar ke-Indonesia-an dimana salahsatu isinya memuat ikrar Bahasa yang satu, yaitu Bahasa Indonesia.
Ketiga, eksistensi atau pengakuan agama bukanlah hal yang patut dipertanyakan kepada orang lain ataupun khalayak umum. Karena menurut pribadi penulis, keyakinan dalam beragama adalah di dalam hati, bukan didalam pengakuan orang lain, pengakuan dari eksisitensi keyakinan kita terhadap suatu agama, dalam hal ini adalah islam, cukup dengan kalimat “Syahadat”. Karena diluar itu, kita tahu dalam prakteknya, banyak wilayah khilafiyahalias berbeda-beda, termasuk dalam praktek shalat, zakat, puasa dan ibadah haji. Praktek-praktek tersebut mempunyai berbagai macam versi yang diambil dari sumber hukum yang sama namun di-ijtihadkan dengan pemahaman yang berbeda-beda oleh ulama kita, sehingga lahirlah berbagai macam ulama mujtahid.
Apabila kita lagi-lagi menelisik sejarah, dalam ilmu teologi, eksistensi yang berlebihan atas pengakuan keislaman nyatanya malah memberikan dampak buruk terhadap islam itu sendiri. Seperti halnya kita mengetahui sejarah dimana ada beberapa firqoh dalam islam yang lahir karena membutakan eksistensi pengakuan, seperti Jabariyah, Qodariyah, Muktazilah, Syiah, dan Khawarij. Dimana kesemuanya lahir atas problem-problem eksistensi ketauhidan yang ingin diakui dengan kepentingan politik pada masa itu. Sehingga adalah hal yang bodoh ketika kita ingin mengulang sejarah perpecahan tersebut dengan sikap gila eksistensi, apalagi dengan kegilaan eksistensi keimanan. Dalam 6 poin rukun iman saja, semuanya adalah tentang keyakinan hati kita sendiri, bukan keyakinan yang harus dipercayai oleh orang lain. Karena manusia tidak akan pernah mengetahui apa isi hati sesama manusia itu sendiri. Bisa saja keimanan seorang kyai adalah lebih rendah dari keimanan seorang preman. Itulah rahasia hati, dan manusia hanya bisa mengandalkan sebuah kepercayaan atas sesamanya akan hal itu.
Dari beberapa pembahasan diatas, ada beberapa hal yang menjadi penting untuk kemudian difahami bersama, bahwa kita adalah manusia, yang wajib saling melindungi satu sama lain, apalagi dengan sesama muslim. 6 point tujuan syariat islam sendiri adalah upaya untuk melindungi sesama manusia, bukan untuk saling menjatuhkan. Apalagi menjatuhkan demi eksistensi jabatan atau gelar tertentu. Maka dari itu, dalam kehiduan bersosial, perlu kiranya menjunjung tinggi nila-nilai tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran), dan ta’addul (keadilan). Sehingga terciptalah suatu kondisi dimana ukhuwwah islamiyyah, ukhuwwah wathaniyyah, ukhuwwah basyariyyah terjaga dengan baik dan memunculkan kembali wajah Islam sebagai Agama yang Rahmatan Lil Alamin. Mari bersama-sama menjaga akan hal itu, apapun peran kita, dan apapun jabatan kita. Wallahu a’lam.
“Tidak penting apapun agama atau sukumu… Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu” – GUSDUR
Malang, 12/12/2015 13.54 WIB
Joss.. Dosen e mengira bahasa indonesia serumpun sama bahasa ibrani paleng.. Haha
Ya itulah pemikiran orang yg berbeda beda.
Kata nya sih perbedaan itu indah 😊😁.
Ya mungkin dari situ kita bisa belajar dan bersikap menjadi pribadi yg lebih baik, toh kita juga punya pemikiran sendiri, dan kita juga tau mana yg baik dan mana yg gk baik😁😃😊
Makasih udah mampir sahabat sahabati, 🙂
Sama sama sahabat 😀