
Malam hari memang menjadi momentum yang pas untuk melakukan refleksi, berkontemplasi, hingga sekedar merenungi banyak hal yang telah terjadi sepanjang hari, minggu, bulan bahkan selama hidup ini. Sembari nyeruput kopi, terkadang saya masih tidak menyangka, saya sudah mencapai titik kehidupan seperti ini. Menjadi seorang dosen yang memang menjadi cita-cita saya. 10-12 tahun lalu saat S1, saya memantapkan diri bahwa saya ingin menjadi dosen, dan spesifik menjadi dosen kimia di kampus UIN, hahaha.
Kenapa UIN? Bukan Unpad, ITB atau kampus umum lainnya? Jujur saja saya agak insecure jika harus mengejar yang itu, wkwkwk. Tapi lebih daripada itu, saya merasa kampus-kampus UIN adalah yang paling match dengan purwadaksi saya. Paradigma integrasi islam dan sains yang diusung UIN adalah salah satu alasan kuat untuk saya menyemplungkan diri ke dalam keluarga besar UIN.
Mengapa integrasi ini menarik? karena dalam pikiran saya, pesantren bahkan islam secara umum belum mengarusutamakan sains sebagai salah satu kunci utama untuk mengarungi kehidupan guna menjalankan mandat dari Tuhan sebagai khalifatullah fil ardl. Bahkan dalam beberapa aspek, ada juga yang masih kaku dan menganggap sains tidak penting, ilmunya orang kafir, dll.
Saat ini, alhamdulillah saya telah menjadi bagian dari keluarga besar UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon (UIN SSC). Sungguh sebuah kehormatan bagi saya menjadi dosen pada kampus berbasis siber ini. Karena ini adalah semacam “dream comes true”, maka sepertinya saya akan bekerja pada institusi ini dengan sepenuh hati, memastikan diri ini ikut terlibat untuk mewujudkan kampus ini unggul dan mendunia seperti visinya. Amin.
Ada Turots, Jangan Langsung Loncat
Bicara wacana integrasi islam sains, memang sudah lebih dari dua dekade, UIN-UIN di Indonesia berjuang keluar dari bayang-bayang dikotomi ilmu agama dan ilmu umum. UIN Malang dengan Pohon Ilmu-nya, UIN Jogja dengan Jaring Laba-Laba Interkoneksi-nya, berhasil memberi fondasi filosofis yang kokoh. Mereka mengajarkan bahwa ilmu agama dan ilmu umum tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan menyatu dalam satu sistem keilmuan yang holistik.
Namun ada satu hal yang masih terasa menggantung. Di ruang kelas, di jurnal penelitian, dan dalam diskusi akademik, integrasi itu sering berhenti sebagai konsep. Kita masih sering sibuk mencari “ayat pasangannya” untuk setiap teori sains, sehingga ujungnya terjebak pada praktik “cocokologi.” Seolah-olah nilai sebuah penelitian hanya sah jika bisa dicantolkan langsung ke Qur’an, meski kadang sambungannya dipaksakan.
Kekayaan tradisi Islam sebenarnya menyediakan jembatan epistemik yang sering kita lupakan. Sebelum langsung melompat dari fenomena ke Qur’an, kita punya kutubutturots dan kaidah-kaidah ushul fiqh. Kaidah seperti “mā lā yudraku kulluh lā yutraku kulluh” (sesuatu yang tak bisa diraih seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya) atau “dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih” (menolak kerusakan lebih utama daripada meraih kebaikan) adalah contoh “hukum universal” yang bisa menjadi landasan interpretasi ilmiah.
Dengan jembatan ini, kita bisa menghindari jebakan cocokologi. Misalnya, penelitian tentang ekologi tidak perlu buru-buru mencari ayat tentang tumbuhan atau hewan. Lebih bermakna jika hasil penelitian itu dibaca melalui kaidah “menolak mafsadah” lalu diinternalisasi sebagai dorongan etis menjaga kelestarian alam. Sains tetap pada jalurnya, agama tetap pada marwahnya, dan keduanya bertemu dalam ruang nilai dan aksi.
Cirebon dan Warisan Sufistik Para Wali: Dari Integrasi ke Aksiologi
Cirebon adalah kota wali yang punya warisan sejarah yang kaya. Syekh Nurjati yang dipakai UIN Cirebon sebagai nama ini adalah figur ulama sufi, guru dari Sunan Gunung Jati yang jejaknya masih hidup hingga kini. Beliau dikenal sebagai pendidik sekaligus mursyid, yang mengajarkan Islam dengan pendekatan lembut dan damai. Beliau menyepi di gua untuk bermunajat, lalu mendirikan pesantren sebagai pusat pendidikan ilmu dan spiritualitas. Dakwahnya tidak menghapus budaya lokal, tapi mengolahnya menjadi wahana dakwah yang ramah dan membumi. Kita sepertinya harus bisa menggali lebih lanjut spirit sufistik Syekh Nurjati yang nantinya “mungkin” bisa menjadi landasan epistemik dari paradigma keilmuan UIN SSC.
Menyoal sufistik, ini juga bisa menjadi ruang opsi bagi UIN SSC. Disaat UIN Malang dan UIN Jogja bicara di tataran epistemologinya, UIN SSC bisa mengisi dan melengkapi wacana ini. Alih-alih menciptakan paradigma baru, UIN SSC bisa kemudian mensintesis watak yang lebih aksiologis dari integrasi sains dan islam yang bisa disuntik dengan ruh sufistik dari khazanah lokal.
Maksudnya, kita tidak boleh berhenti di tataran konsep: “Adakah relasi yang tepat antara sains dan islam?”, anggaplah itu sudah dijawab UIN Jogja dan Malang. Mari kita bergeser pada pertanyaan: “Bagaimana ilmu dipakai, bagaimana ia membentuk sikap, dan bagaimana ia mengubah kehidupan sehari-hari”. Aksiologi memberi ruh, sehingga ilmu tidak berhenti sebagai kumpulan data atau teori, tapi menjelma menjadi perilaku dan peradaban.
Sepertinya ini nantinya akan lebih asik. Karena ilmu nantinya bukan tulisan diatas kertas, tapi memastikan bahwa ilmu itu benar-benar menghidupkan laku dan akhlak. Di sinilah UIN SSC bisa menawarkan penyempurnaan. Jika Malang dan Jogja menegaskan “bagaimana ilmu dipahami,” maka Cirebon bisa menambahkan dimensi “bagaimana ilmu dihidupi.”
Ilmu yang Dihidupi: Dari Teori ke Perilaku
Kemudian pertanyaan muncul, lalu seperti apa cara kerjanya? Contohnya bisa kita lihat di berbagai disiplin ilmu. Dalam Tadris IPS, ilmu sosial bukan sekadar teori tentang masyarakat, tapi melatih mahasiswa bersikap adil, solider, dan penuh empati. Dalam Akuntansi Syariah, kejujuran dan amanah menjadi inti, sehingga laporan keuangan tidak hanya rapi secara angka, tapi juga bersih secara moral.
Di bidang Informatika, mahasiswa belajar bahwa coding dan algoritma hanyalah alat. Yang lebih penting adalah bagaimana teknologi dipakai secara etis: menjaga privasi, melawan hoax, dan menebarkan manfaat. Sedangkan dalam Teknik Industri, konsep efisiensi bukan dijalankan untuk eksploitasi, tapi sebagai wujud ihsan dalam bekerja: mengatur sumber daya agar maslahatnya meluas tanpa merusak manusia dan alam.
Analogi yang pas adalah sains data. Validitas data dan metode analisis memang penting, tapi yang paling menentukan adalah bagaimana kita menginterpretasikan data itu dengan paradigma yang tepat. Tanpa aksiologi, data bisa dipakai untuk menyehatkan masyarakat, atau sebaliknya untuk manipulasi politik. Begitu juga dengan ilmu, ia hanya bermakna bila dihidupi.
Siber sebagai Ruang Suluk Baru
Selanjutnya, bagaimana dengan branding sibernya? Dunia siber memberi tantangan etika yang sangat nyata. Hoax, ujaran kebencian, plagiarisme daring, dan kecanduan gadget adalah problem yang mengintai setiap mahasiswa.
Di sinilah sufistik bisa hadir. Disiplin dalam kuliah online adalah latihan mujahadah. Kejujuran dalam ujian daring adalah cermin amanah. Wara’ dalam berselancar di media sosial adalah praktik taqwa di ruang maya. Dengan cara ini, dunia digital menjadi ruang suluk baru, sebuah pesantren virtual di mana ilmu dan akhlak tetap bisa dipelihara.
Maka, branding “siber” tidak perlu dipaksakan masuk ke ranah filosofis. Cukup ditempatkan sebagai wasilah, yakni jalan baru untuk menguji bagaimana ilmu benar-benar dihidupi, bahkan ketika dunia bergeser ke ruang maya.
Tungtungtung
Akhiron, jika UIN Malang bicara ilmu disatukan, UIN Jogja bicara ilmu dihubungkan, UIN Cirebon bisa dengan mantap mengatakan ilmu dihidupi, hehehe. Ya entahlah apa nama kerennya. Tentu saja ini perlu upaya bersama. Lagian, siapa saya sok-sokan menawarkan paradigma baru. Saya masih anak bau kencur di kampus ini. C-nya aja belum hilang, wkwkwk. Ini hanyalah tulisan yang lahir akibat dari lamunan selepas isya sembari nyeruput kopi. Saking bosennya scrolling IG. Maap kalo judul diatas ganyambung sama isinya ya. Wallahu a’lam.