Fenomena Seremonial 5.0: Menyentuh Screen yang Bahkan Bukan Touchsreen

Fenomena Seremonial 5.0: Menyentuh Screen yang Bahkan Bukan Touchsreen

src: upradio.id/perayaan-hut-ke-32-rswan-gedung-igd-diresmikan/

Seumur hidup saya yang baru 30-an ini, saya sudah melalui banyak seremonial kegiatan. Zaman saya mahasiswa, gong adalah instrumen mutakhir untuk membuka acara atau program tertentu. “Dengan mengucapkan Bismillah, secara resmi acara x dibuka.”. “gooooong”. Selain itu masih banyak, ada pemotongan pita dan pelepasan balon. Atau kalau panitia lagi niat, ada pelepasan burung merpati yang langsung kabur ke arah parkiran. 

Namun, yang pasti sama dari semua peresmian dan pembukaan acara itu adalah pelaksanaannya yang tidak sekeren pembukaannya. Hahahaha. Itulah problem bangsa kita. Kita seringkali sibuk dengan seremonial membuka program, menginisiasi program, memberi ruang pejabat setinggi mungkin untuk membukanya, tapi realisasinya? tong kosong.

Kini, gong, pita hingga balon sudah mulai pensiun. Era kemajuan teknologi menggeser cara kita dan pejabat membuka program. Mereka sudah digantikan oleh sebuah layar besar dengan 3-5 animasi telapak tangan. Begitu para pejabat  meletakkan telapak tangannya disitu, operator dibelakang layar menekan tombol right arrow di keyboard untuk memunculkan slide berikutnya bertuliskan “Program Resmi Diluncurkan”. Sungguh keren dan sangar sekali, setidaknya sampai kursor mouse-nya ikut muncul di pojok layar. 

Saya menyaksikan mereka tersenyum, dengan tangan mengarah ke layar, seolah sedang menyalakan masa depan bangsa, padahal yang menyala cuma animasi PowerPoint dengan efek “fade in.” Kadang ada kursor mouse nyangkut di pojokan, tanda panik operator yang sedang berjuang menjaga momen sakral itu tetap tampak futuristik. 

Entah siapa yang pertama kali menemukan ide ini. Tapi satu yang pasti, kok saya merasa geli. Mungkin menurut mereka, ini menunjukkan simbol atas kemajuan, sebuah program keren yang dibuka secara futuristik. Tapi meletakkan telapak tangan pejabat di layar yang bahkan bukan layar sentuh rasanya kok menggelikan ya? kecuali kalo memang layarnya benar-benar touchsreen, atau sekalian pakai “fingerprint authentication” kayak buka aplikasi m-banking di smartphone kita.

Sudah mah geli di seremonial, realisasi programnya hampir nihil. Bahkan seringkali kita dikenal sebagai masyarakat yang mengesankan peresmian lebih penting dari pelaksanaan. Dalam kosmologi proyek Indonesia, foto bersama di depan backdrop lebih abadi daripada laporan progres. Programnya bisa tersendat, tapi momen tapping layar itu wajib menjadi evidence di media sosial.

Saya sering mikir, mungkin nanti kita akan punya upacara peresmian versi metaverse. Para pejabat tinggal di rumah masing-masing, mengenakan headset VR, dan bersama-sama menekan tombol virtual bertuliskan “Launch.” Lalu muncul teks holografik di udara: “Program berhasil diresmikan. Pelaksanaan menunggu anggaran.” Hahahaha.

Saya takutnya fenomena ini menjadi generalisasi dari cara kita memaknai kinerja publik, selama ada bukti foto dan video pembukaan, berarti program itu exsisting. Sedangkan substansi program itu belakangan, atau bahkan tidak perlu ada programnya, Kita tidak perlu bertanya apakah programnya berkelanjutan, yang penting ada foto, ada liputan, dan ada narasi “sinergi semua pihak.” Jangan sampai ini jadi “Indonesian Values”, miris banget soalnya.

Mungkin ritual “menyentuh layar” itu bukan soal membuka program, tapi menegaskan bahwa kita masih suka pura-pura menyentuh masa depan. Kita ingin terlihat modern, tapi masih takut benar-benar menyentuh kenyataan. Kita tidak mau jujur dengan keterbelakangan kita, atau memang kita lebih suka dengan kepura-puraan, menjadi si paling teknologi dengan menyentuh layar gede, hahaha.

Dan dalam konteks ini, rasa-rasanya kok gong terasa jauh lebih jujur ya. Setidaknya, gong berbunyi karena dipukul beneran, juga mencerminkan bahwa kita belum semaju itu, wkwkwk. Sehingga suara hasil gongnya juga beneran kedengeran, bukan dari pura-pura touchscreen dengan efek animasi dari operator yang sedang menekan tombol di belakang panggung, yang panik sampe keluar kursornya itu.

Wallahu alam.

Cermin Kita pada Retuntuhan Bangunan Pesantren

Cermin Kita pada Retuntuhan Bangunan Pesantren

Pergulatan duniawi akhir-akhir ini sungguh unik. Berbagai peristiwa, masifnya informasi diproduksi yang pada awalnya diharapkan menjadi landasan kecermatan dalam decision making dan menarik konklusi, malah menjadi semacam rasa takut bagi seseorang mengambil keputusan. Tetapi untuk hal-hal yang berada di luar “kepentingan”-nya, narasi dan komentar bisa lebih sadis dari peristiwa yang diinformasikan.

Fenomena ini tampak jelas dari cara kita menanggapi tragedi yang baru-baru ini menimpa dunia pesantren. Minggu ini kita disuguhkan sebuah musibah yang menyayat hati: sebuah bangunan pesantren di Sidoarjo roboh pada hari pengecoran. Nahas, sekitar 100 santri yang sedang berjamaah di lantai dasar terjebak dan tertimbun reruntuhan. Saat saya menulis ini, puing-puing sedang diangkat karena sudah tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan. Data mengenai korban dan kerusakan bisa dengan mudah ditemukan di berbagai media.

Sebagian netizen kemudian menghakimi pihak pesantren telah abai terhadap standar konstruksi bangunan. Para ahli pun menyatakan bahwa memang ada kegagalan struktur di sana. Pada titik ini, saya sepakat bahwa pesantren memang perlu memberi perhatian serius terhadap keamanan bangunan dan standar konstruksinya. Apakah ada yang harus dipidanakan? Saya bukan ahli hukum, jadi saya menyerahkannya pada pihak yang berwenang.

Sebagai seseorang yang sepertiga hidupnya dihabiskan di bilik pesantren, saya hanya ingin menyampaikan satu hal bahwa keikutsertaan santri dalam kegiatan seperti mengecor, mengaduk, atau kerja bakti bukan bentuk eksploitasi, melainkan wujud rasa khidmah kami sebagai santri. Di sana kami hanyalah “laden”, bukan “tukang”, apalagi “mandor” atau “arsitek” yang menentukan konstruksi bangunan.

Kami sama sekali tidak menganggap semua itu sebagai perbudakan atau ekploitasi tenaga kerja gratis. Mayoritas aktivitas kami tetap belajar dan mengaji. Ngecor hanya bagian kecil dari rutinitas; ngala batu cuma sepotong dari hari-hari panjang kami. Selebihnya, kami dididik untuk menjadi manusia yang percaya kepada Tuhan dan mencintai ilmu pengetahuan.

Maka ketika ada kerja bakti, gotong royong, atau santri membantu pembangunan, itu bukan eksploitasi, melainkan ekspresi kebersamaan dan rasa memiliki terhadap lembaga tempat mereka menuntut ilmu.

Perlu dipahami juga bahwa tidak semua hal bisa diukur dengan kalkulator untung-rugi. Banyak netizen menilai pesantren dengan logika efisiensi, padahal pesantren salaf seperti “Alkhoziny” justru berjuang agar pendidikan bisa dijangkau semua kalangan. Biayanya sangat terjangkau, bahkan banyak wali santri yang tetap menunggak karena kesulitan ekonomi.

Jika ini terjadi di sekolah umum, mungkin saja mereka sudah diultimatum atau bahkan dikeluarkan. Tapi dunia pesantren berbeda, para Kiai sering kali tidak tega mengeluarkan santri yang kesulitan. Beliau justru memutar otak agar pesantren tetap berjalan dengan dana seadanya, menguras rekening pribadi, menjual aset, dll.

Maksud saya, mari kita menjaga sikap. Jangan tergesa menggeneralisir bahwa pendidikan pesantren adalah eksploitasi tenaga kerja, perbudakan, atau pembodohan berbungkus agama. Mari berpikir jernih. Jika memang ada kelalaian dalam konstruksi atau pengawasan, itu kritik yang baik. Bahwa banyak nyawa yang syahid di sana dan harus dipertanggungjawabkan, silakan diproses sesuai ketentuan yang berlaku. Tidak semua hal bisa dilihat dengan kacamata hitam-putih.

Di sisi lain, ini menjadi tamparan keras bagi dunia pesantren dan kita semua. Di pesantren saya dulu, diajarkan sebuah hadits Rasulullah SAW: “Idza wusidal amru ilaa ghairi ahlihi, fantadziris sa’ah.” — Jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu. Maka, ketika kita hendak membangun bangunan, panggillah arsitek; saat sakit, pergilah ke dokter; saat merasa bodoh, belajarlah ke institusi pendidikan. Semua ada ahlinya.

Saya meyakini, banyak masalah di negeri ini bersumber dari kebiasaan menyerahkan urusan bukan kepada ahlinya. Dan seperti sabda Nabi, kehancuran akan datang bila hal itu terus terjadi. Wallahu a’lam.

Teruntuk para santri korban reruntuhan. Alfaatihah.

Secangkir Kopi, Semangkuk Sufisme, dan Tulisan Apalah Ini

Secangkir Kopi, Semangkuk Sufisme, dan Tulisan Apalah Ini

Malam hari memang menjadi momentum yang pas untuk melakukan refleksi, berkontemplasi, hingga sekedar merenungi banyak hal yang telah terjadi sepanjang hari, minggu, bulan bahkan selama hidup ini. Sembari nyeruput kopi, terkadang saya masih tidak menyangka, saya sudah mencapai titik kehidupan seperti ini. Menjadi seorang dosen yang memang menjadi cita-cita saya. 10-12 tahun lalu saat S1, saya memantapkan diri bahwa saya ingin menjadi dosen, dan spesifik menjadi dosen kimia di kampus UIN, hahaha.

Kenapa UIN? Bukan Unpad, ITB atau kampus umum lainnya? Jujur saja saya agak insecure jika harus mengejar yang itu, wkwkwk. Tapi lebih daripada itu, saya merasa kampus-kampus UIN adalah yang paling match dengan purwadaksi saya. Paradigma integrasi islam dan sains yang diusung UIN adalah salah satu alasan kuat untuk saya menyemplungkan diri ke dalam keluarga besar UIN. 

Mengapa integrasi ini menarik? karena dalam pikiran saya, pesantren bahkan islam secara umum belum mengarusutamakan sains sebagai salah satu kunci utama untuk mengarungi kehidupan guna menjalankan mandat dari Tuhan sebagai khalifatullah fil ardl. Bahkan dalam beberapa aspek, ada juga yang masih kaku dan menganggap sains tidak penting, ilmunya orang kafir, dll.

Saat ini, alhamdulillah saya telah menjadi bagian dari keluarga besar UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon (UIN SSC). Sungguh sebuah kehormatan bagi saya menjadi dosen pada kampus berbasis siber ini. Karena ini adalah semacam “dream comes true”, maka sepertinya saya akan bekerja pada institusi ini dengan sepenuh hati, memastikan diri ini ikut terlibat untuk mewujudkan kampus ini unggul dan mendunia seperti visinya. Amin.

Ada Turots, Jangan Langsung Loncat

Bicara wacana integrasi islam sains, memang sudah lebih dari dua dekade, UIN-UIN di Indonesia berjuang keluar dari bayang-bayang dikotomi ilmu agama dan ilmu umum. UIN Malang dengan Pohon Ilmu-nya, UIN Jogja dengan Jaring Laba-Laba Interkoneksi-nya, berhasil memberi fondasi filosofis yang kokoh. Mereka mengajarkan bahwa ilmu agama dan ilmu umum tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan menyatu dalam satu sistem keilmuan yang holistik.

Namun ada satu hal yang masih terasa menggantung. Di ruang kelas, di jurnal penelitian, dan dalam diskusi akademik, integrasi itu sering berhenti sebagai konsep. Kita masih sering sibuk mencari “ayat pasangannya” untuk setiap teori sains, sehingga ujungnya terjebak pada praktik “cocokologi.” Seolah-olah nilai sebuah penelitian hanya sah jika bisa dicantolkan langsung ke Qur’an, meski kadang sambungannya dipaksakan.

Kekayaan tradisi Islam sebenarnya menyediakan jembatan epistemik yang sering kita lupakan. Sebelum langsung melompat dari fenomena ke Qur’an, kita punya kutubutturots dan kaidah-kaidah ushul fiqh. Kaidah seperti “mā lā yudraku kulluh lā yutraku kulluh” (sesuatu yang tak bisa diraih seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya) atau “dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih” (menolak kerusakan lebih utama daripada meraih kebaikan) adalah contoh “hukum universal” yang bisa menjadi landasan interpretasi ilmiah.

Dengan jembatan ini, kita bisa menghindari jebakan cocokologi. Misalnya, penelitian tentang ekologi tidak perlu buru-buru mencari ayat tentang tumbuhan atau hewan. Lebih bermakna jika hasil penelitian itu dibaca melalui kaidah “menolak mafsadah” lalu diinternalisasi sebagai dorongan etis menjaga kelestarian alam. Sains tetap pada jalurnya, agama tetap pada marwahnya, dan keduanya bertemu dalam ruang nilai dan aksi.

Cirebon dan Warisan Sufistik Para Wali: Dari Integrasi ke Aksiologi

Cirebon adalah kota wali yang punya warisan sejarah yang kaya. Syekh Nurjati yang dipakai UIN Cirebon sebagai nama ini adalah figur ulama sufi, guru dari Sunan Gunung Jati yang jejaknya masih hidup hingga kini. Beliau dikenal sebagai pendidik sekaligus mursyid, yang mengajarkan Islam dengan pendekatan lembut dan damai. Beliau menyepi di gua untuk bermunajat, lalu mendirikan pesantren sebagai pusat pendidikan ilmu dan spiritualitas. Dakwahnya tidak menghapus budaya lokal, tapi mengolahnya menjadi wahana dakwah yang ramah dan membumi. Kita sepertinya harus bisa menggali lebih lanjut spirit sufistik Syekh Nurjati yang nantinya “mungkin” bisa menjadi landasan epistemik dari paradigma keilmuan UIN SSC.

Menyoal sufistik, ini juga bisa menjadi ruang opsi bagi UIN SSC. Disaat UIN Malang dan UIN Jogja bicara di tataran epistemologinya, UIN SSC bisa mengisi dan melengkapi wacana ini. Alih-alih menciptakan paradigma baru, UIN SSC bisa kemudian mensintesis watak yang lebih aksiologis dari integrasi sains dan islam yang bisa disuntik dengan ruh sufistik dari khazanah lokal. 

Maksudnya, kita tidak boleh berhenti di tataran konsep: “Adakah relasi yang tepat antara sains dan islam?”, anggaplah itu sudah dijawab UIN Jogja dan Malang. Mari kita bergeser pada pertanyaan: “Bagaimana ilmu dipakai, bagaimana ia membentuk sikap, dan bagaimana ia mengubah kehidupan sehari-hari”. Aksiologi memberi ruh, sehingga ilmu tidak berhenti sebagai kumpulan data atau teori, tapi menjelma menjadi perilaku dan peradaban. 

Sepertinya ini nantinya akan lebih asik. Karena ilmu nantinya bukan tulisan diatas kertas, tapi memastikan bahwa ilmu itu benar-benar menghidupkan laku dan akhlak. Di sinilah UIN SSC bisa menawarkan penyempurnaan. Jika Malang dan Jogja menegaskan “bagaimana ilmu dipahami,” maka Cirebon bisa menambahkan dimensi “bagaimana ilmu dihidupi.” 

Ilmu yang Dihidupi: Dari Teori ke Perilaku

Kemudian pertanyaan muncul, lalu seperti apa cara kerjanya? Contohnya bisa kita lihat di berbagai disiplin ilmu. Dalam Tadris IPS, ilmu sosial bukan sekadar teori tentang masyarakat, tapi melatih mahasiswa bersikap adil, solider, dan penuh empati. Dalam Akuntansi Syariah, kejujuran dan amanah menjadi inti, sehingga laporan keuangan tidak hanya rapi secara angka, tapi juga bersih secara moral.

Di bidang Informatika, mahasiswa belajar bahwa coding dan algoritma hanyalah alat. Yang lebih penting adalah bagaimana teknologi dipakai secara etis: menjaga privasi, melawan hoax, dan menebarkan manfaat. Sedangkan dalam Teknik Industri, konsep efisiensi bukan dijalankan untuk eksploitasi, tapi sebagai wujud ihsan dalam bekerja: mengatur sumber daya agar maslahatnya meluas tanpa merusak manusia dan alam.

Analogi yang pas adalah sains data. Validitas data dan metode analisis memang penting, tapi yang paling menentukan adalah bagaimana kita menginterpretasikan data itu dengan paradigma yang tepat. Tanpa aksiologi, data bisa dipakai untuk menyehatkan masyarakat, atau sebaliknya untuk manipulasi politik. Begitu juga dengan ilmu, ia hanya bermakna bila dihidupi.

Siber sebagai Ruang Suluk Baru

Selanjutnya, bagaimana dengan branding sibernya? Dunia siber memberi tantangan etika yang sangat nyata. Hoax, ujaran kebencian, plagiarisme daring, dan kecanduan gadget adalah problem yang mengintai setiap mahasiswa.

Di sinilah sufistik bisa hadir. Disiplin dalam kuliah online adalah latihan mujahadah. Kejujuran dalam ujian daring adalah cermin amanah. Wara’ dalam berselancar di media sosial adalah praktik taqwa di ruang maya. Dengan cara ini, dunia digital menjadi ruang suluk baru, sebuah pesantren virtual di mana ilmu dan akhlak tetap bisa dipelihara.

Maka, branding “siber” tidak perlu dipaksakan masuk ke ranah filosofis. Cukup ditempatkan sebagai wasilah, yakni jalan baru untuk menguji bagaimana ilmu benar-benar dihidupi, bahkan ketika dunia bergeser ke ruang maya.

Tungtungtung

Akhiron, jika UIN Malang bicara ilmu disatukan, UIN Jogja bicara ilmu dihubungkan, UIN Cirebon bisa dengan mantap mengatakan ilmu dihidupi, hehehe. Ya entahlah apa nama kerennya. Tentu saja ini perlu upaya bersama. Lagian, siapa saya sok-sokan menawarkan paradigma baru. Saya masih anak bau kencur di kampus ini. C-nya aja belum hilang, wkwkwk. Ini hanyalah tulisan yang lahir akibat dari lamunan selepas isya sembari nyeruput kopi. Saking bosennya scrolling IG. Maap kalo judul diatas ganyambung sama isinya ya. Wallahu a’lam.

Dari Ide Besar Ke Detail Kecil: Harapan untuk Presiden

Dari Ide Besar Ke Detail Kecil: Harapan untuk Presiden

Menonton video pidato Presiden Prabowo di forum PBB, satu kata yang mewakili perasaan saya, “terkagum”. Terlebih, Presiden RI kedelapan ini menutup pidatonya dengan statemen berikut:

“Arab, Yahudi, Muslim, Kristen, Hindu, Buddha, semua agama, kita harus hidup sebagai satu keluarga manusia.
Indonesia berkomitmen untuk menjadi bagian dari mewujudkan visi ini.
Apakah ini mimpi? Mungkin. Tapi ini adalah mimpi indah yang harus kita wujudkan bersama.
Mari kita bekerja menuju tujuan mulia ini.
Mari kita lanjutkan perjalanan penuh harapan kemanusiaan.
Perjalanan yang dimulai oleh para pendahulu kita.
Perjalanan yang harus kita tuntaskan.”

Closing statement seperti ini meninggalkan kesan yang cukup mendalam bagi saya. Disamping cara berpidato beliau yang sangat “pas” dan secara konten juga “berisi”, n cPresiden Prabowo memang dikenal sebagai orator yang handal, berapi-api, penuh energi, dan mampu membakar semangat. Beliau berulang kali menampilkan pidato berkelas dan penuh ketegasan, seperti yang juga disampaikannya di Sidang MPR lalu. Namun, di balik kekaguman itu, gonjang-ganjing publik juga tak bisa menahan diri untuk mempertanyakan: apakah kata-kata megah dari Presiden akan benar-benar diejawantahkan dalam program nyata yang relevan dan berdampak?

Jawabannya tentu bisa iya. Program seperti MBG (Makan Bergizi Gratis), Kopdes Merah Putih, dan Danantara adalah contoh ide besar dengan konsep yang keren di atas kertas. Namun realitas di lapangan sering kali tidak semudah di konsep. Misalnya, pelaksanaan MBG akhir-akhir ini menghadapi kasus keracunan yang ramai diberitakan. Hal ini menunjukkan bahwa ide bagus pun masih menyimpan tantangan besar dalam hal detail eksekusi.

Intervensi langsung pemerintah untuk mengatasi gizi buruk itu oke, bahkan visioner. Tetapi dari ide besar harus lahir konsep turunan yang matang, teknis yang jelas, serta SOP yang ketat. Karena, seperti kata pepatah: the devil is in the details.

Saya ingin berhusnudzon. Di usia kepala 70-nya, rasanya tidak mungkin Presiden Prabowo menggadaikan sisa hidupnya untuk meninggalkan warisan buruk. Saya percaya beliau hadir dengan ide program yang lahir dari kontemplasi panjang, bukan sekadar gimmick. Saya percaya beliau ingin meninggalkan legacy baik. Tapi, ide dan niat baik saja tidak cukup. Eksekusi butuh ketelitian luar biasa. Di sinilah peran pembantu presiden jadi krusial: mereka harus eksekutor handal, bukan oportunis yang hanya aji mumpung atau sekadar ABS (asal bapak senang).

Saya jadi teringat pengalaman berorganisasi di masa mahasiswa. Pertama, ada tipe orang yang kuat di ide dan gagasan, semangat berdebat soal makna istilah dan wacana besar, bahkan sampai begadang semalaman hanya untuk meributkan diksi. Kedua, ada tipe yang fokus pada teknis dan detail: bagaimana acara berjalan, bagaimana ice breaking, bagaimana forum, tindak lanjut, sampai evaluasi. Kalau orang bertipe ini absen, bubar jalan. Ketiga, selalu ada tipe oportunis: sok asik, numpang tenar, tapi minim kontribusi.

Dalam konteks pemerintahan, Prabowo harus pintar memilah. Siapa yang cocok mengawal ide besar, siapa yang ahli detail, dan siapa yang sebaiknya dijauhkan karena hanya akan jadi beban. Pertanyaannya sekarang, apakah orang-orang di lingkaran presiden saat ini lebih banyak tipe konseptor atau eksekutor? Saya tidak tahu. Yang jelas, harapannya sederhana: semoga mereka bukan oportunis.

Dari 21% Oksigen Menuju Manusia Seutuhnya

Dari 21% Oksigen Menuju Manusia Seutuhnya

Beberapa hari yang lalu, saya ditodong untuk menjadi narasumber pengganti dalam agenda orientasi mahasiswa baru jurusan Tadris Kimia UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon. Sebagai dosen baru di kampus, rupanya bukan hanya maba yang di ospek, sayapun juga di ospek mahasiswa. Undangan mahasiswa diantarkan hanya 3 jam sebelum acara. Sungguh tahu bulat.

Saya diminta menyampaikan materi sejarah kimia dan integrasinya dengan Islam. Saya siapkan materi “digoreng dadakan” namun tetap kresss dan bukan asal ngacapruk. Intinya bahwa kimia yang kita kenal saintifik dan empiris banget itu embrionya sangat kental dengan nuansa mistis. Dan integrasinya dengan islam? meski aspek epistemologinya sudah cukup mapan dibahas (minimal di PTKIN), tapi cukup menarik saat ada pertanyaan dari seorang mahasiswa.

“Pak, sebenarnya kalo kita belajar sains seperti kimia ini apakah bisa membuat kita jadi semakin Islam?”, kira-kira begitu parafrase pertanyaan mahasiswa baru tadi. Seketika saya teringat dalam suatu kegiatan penguatan moderasi beragama di suatu tempat. Pada saat itu diisi oleh fasilitator dari Fahmina Institut, beliau bertanya, “Apa yang membuatmu bersyukur setiap hari?”

Beberapa peserta menjawab dengan heroik, ada yang menjawab berkaitan dengan keluarga, pekerjaan, finansial, dll. Tawa dan sorak sorai bergemuruh. Saya adalah salah satu peserta dengan jawaban yang “terlalu biasa”. Saya menjawab, “Saya bersyukur karena detik ini saya masih diberi oksigen yang pas untuk bernafas.”.

Tentu saja jawaban saya ini tak mendapat tepuk tangan atau sorakan apapun karena ya jawabannya “apaan sih”. Oksigen ya dianggap hal biasa dan lumrah saja. Manusia pasti bernafas, oksigen pasti ada, tak ada yang istimewa kan?

Bagi banyak orang, mungkin terdengar biasa. Tapi bagi orang yang mempelajari sains, oksigen adalah bahasan yang sangat panjang, dan bernafas bukanlah skema kerja tubuh yang “terlalu biasa”. 21% oksigen yang ada dan tersedia untuk kita bernapas adalah buah dari kontribusi makhluk hidup lain seperti tumbuhan dan fitoplankton. Keduanya memproduksi oksigen dengan prekursor CO2. Saat CO2, pemanasan global semakin parah, iklim kacau, semua dari kita terancam dari berbagai sisi. Dalam jangka panjang, ada potensi kadar oksigen di bumi akan berkurang juga.

Saat bumi semakin panas, gelombang panas ekstrem mengancam kesehatan manusia, permukaan laut naik menenggelamkan kawasan pesisir, sementara kekeringan, badai, dan kebakaran hutan mengganggu ketersediaan pangan. Semua ini pada akhirnya bermuara pada perebutan sumber daya yang menimbulkan instabilitas sosial. 

Bukankah dengan banyaknya hubungan sebab akibat ini menjadikan oksigen dan karbon dioksida ini tak boleh disepelekan? Perannya sangat vital bagu kehidupan. Kita sangat “bermanja ria” terhadap oksigen. 1 menit saja tanpa oksigen, akan sangat fatal bagi manusia, 3 menit tanpa oksigen akan memulai fase dimana kerusakan otak mulai terjadi dan semakin lama terjadi, kematian akan menghampiri.

Bgai saya, disinilah sains & islam bertemu. Sains seringkali membuat saya berkontemplasi atas anugerah-Nya dalam hidup. Hal-hal yang menurut kita biasa saja, ternyata “sangat tidak biasa” ketika kita pahami lebih jauh konsepnya. Bagaimana milyaran sel dalam tubuh kita setiap detiknya bekerja begitu detil. Melakukan skema spesialisasi, sehingga tidak ada ceritanya sel kita salah memprogram. Yang harusnya jadi sel kulit misalnya, malah menspesialisasi menjadi sel saraf atau sel darah. Saat tubuh masih dalam proses pembentukan organ didalam janin, tidak ada pemrograman yang tertukar untuk melokalisasi organ. Hidung tetap pada tempatnya dibawah kedua mata, lokasi mata tidak tertukar dengan telinga, dll.

Disisi lain, setiap kali kita menggerakkan tubuh, sejatinya terjadi sebuah kerja sama halus antara listrik dan kimia dalam sistem saraf. Otak mengirimkan impuls listrik melalui jaringan neuron, lalu di ujung saraf sinyal ini diterjemahkan menjadi pesan kimia berupa neurotransmitter bernama asetilkolin, yang menjembatani komunikasi dengan otot. Tanpa mekanisme ini, perintah otak hanya akan berhenti sebagai “getaran listrik” tanpa makna. Di sini kita bisa melihat betapa rapuh sekaligus canggihnya tubuh manusia: gerakan sekecil mengedipkan mata saja adalah hasil orkestrasi sinyal listrik dan molekul kimia yang bekerja dalam harmoni.

Inilah refleksi saya sebagai orang yang belajar kimia dalam memahami keajaiban ciptaan-Nya. Maka merefleksikan ayat-ayat kauniyah adalah wiridnya seorang saintis, mekanisme olah batin yang penting untuk bagaimana kita mensyukuri “kerennya” anugerah Allah SWT. Disinilah letak integrasi nilai sains-islam. Refleksi atas insight fenomena sains memunculkan hikmah yang menuntun kita pada kesadaran atas makna hidup berdasar nilai kesilaman yang selanjutnya menjadi output berupa kebaikan sikap dan perilaku. Bersyukur atas hidup, menghargai sesama dan menjaga alam serta berperan menjadi seorang manusia dengan sebaik-baiknya adalah citra diri dan akhlak seorang saintis islam.

Bagi saya, disinilah sains sebagai ilmu yang seringkali dikonotasikan sebagai ilmu duniawi, ternyata sangat mendalam merefleksikan kesadaran teologis. Sederhananya, hikmah sains meningkatkan ketaqwaan kita kepada Tuhan, menjadikan kita manusia yang lebih “beragama”. Sebab sains tanpa iman hanya data, sementara iman tanpa sains bisa buta. Bila keduanya dipadukan, ia menuntun kita menjadi manusia seutuhnya.