ChemInsight : Makanan Halal, Tapi Apakah Thayyib? Sebuah Refleksi

ChemInsight : Makanan Halal, Tapi Apakah Thayyib? Sebuah Refleksi

Kemarin ini sedang ramai kasus Ayam Goreng Widuran di Solo yang setelah beroperasi berpuluh-puluh tahun, barulah si empunya toko mengikhbarkan bahwa ayam yang dia jual bukan produk halal, waduh! Tetapi, tulisan ini bukan mau bahas itu, tapi bahas isu halal lain yang mungkin lebih holistik daripada kasuistik macam tadi.

Secara definisi umum, halal adalah segala sesuatu yang diperbolehkan secara syariat, sedangkan haram adalah yang tidak diperbolehkan oleh syara’, baik yang tersurat maupun yang tersirat dalam nash. Keharaman suatu makanan atau benda lain pun bisa dibagi dua: ada yang haram lidzâtihi, yaitu yang memang mutlak haram seperti babi dan khamr; dan ada yang haram lighairihi, yang keharamannya tergantung situasi—misalnya mangga yang asalnya halal, tapi jadi haram karena diambil dari hasil mencuri. Klasik. Tapi relevan.

Nah, dalam beberapa dekade terakhir, kesadaran umat Islam terhadap konsumsi produk halal meningkat drastis. Label halal kini seolah jadi jaminan mutlak bahwa sebuah makanan, obat, atau kosmetik aman dikonsumsi. Tapi… apakah benar “halal” otomatis berarti “sehat”? Apakah cukup bagi seorang Muslim hanya memastikan kehalalan, tanpa mempertimbangkan aspek kesehatan?

Mari kita mulai dari yang fundamental.

Halalan Thayyiban: Bukan Sekadar Label

Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 168:

“Yā ayyuhā al-nāsu kulū mimmā fī al-arḍi ḥalālan ṭayyiban…”

“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal lagi baik yang terdapat di bumi…”.

Prof. Quraish Shihab menyebutkan bahwa kata “thayyib” dalam ayat ini bersifat relatif dan multidimensi. Baik menurut saya belum tentu baik menurut Anda. Konteksnya pun bisa berbeda: baik dari sisi rasa, gizi, efek jangka panjang, maupun keseimbangan psikologis. Jadi, “thayyib” itu bukan cuma soal halal–haram fiqhiyah, tapi juga soal maslahat.

Nah, dalam dunia kesehatan, makna “thayyib” ini sangat erat kaitannya dengan gizi seimbang, aman dikonsumsi, dan tidak membahayakan tubuh. Maka wajar jika ayat tadi menyandingkan “halal” dengan “thayyib”. Artinya, jangan sampai kita hanya puas dengan label halal, sementara kandungannya justru memicu penyakit.

Halal Tidak Selalu Sehat

Realita di lapangan tak seindah teori. Banyak produk dengan logo halal mengilap di kemasan, padahal di baliknya tersembunyi kadar gula tinggi, lemak trans, natrium berlebih, dan zat aditif sintetik yang bikin organ dalam tubuh ngelus dada (hah?). Secara fiqh: boleh. Tapi secara medis? Silakan ajak insulin Anda diskusi di depan indomaret.

Industri makanan saat ini berlomba-lomba membuat produk se-crunchy mungkin, semanis mungkin, sekenyal mungkin, se-gimmick mungkin—demi satu hal: menarik konsumen agar makan lebih banyak. Dan dari sanalah menjamur makanan Ultra-Processed Food (UPF). Makanan yang jauh dari bentuk aslinya, pengolahannya berlapis, nyaris tak bisa dikenali apa sebenarnya bahan dasar yang digunakan.

Sejak diet dua tahun yang lalu, sulit bagi saya untuk menemukan jajanan di minimarket yang bisa saya pilih. Saya cenderung lebih banyak menghabiskan waktu membaca komposisi dan menggeleng. Betapa bodohnya saya dulu, menjadi manusia buncit yang termakan iklan Mie Instan Premium dengan Packaging mewah, padahal tinggi zat aditif, natrium dan gula tersembunyi, Hahahaha.

Studi demi studi melaporkan bahwa konsumsi UPF berkorelasi dengan peningkatan risiko diabetes, hipertensi, penyakit jantung, bahkan beberapa jenis kanker. Tapi tetap: banyak dari mereka bersertifikat halal. Halal, tapi tidak thayyib. Dan jawaban mereka, halah, panganan ae kok ruwet! Teu pira dahareun tinggal dilebok! Ironis.

Saatnya Berpikir “Halal Thayyib Preventif”

Kita sering dengar adagium: mencegah lebih baik daripada mengobati. Nah, kalau mencegah bisa dimulai dari memilih makanan yang halal dan thayyib, kenapa tidak?

Karena itu, saya ada ide liar hasil merenung di WC tadi, yaitu konsep Halal Thayyib Preventif. Gagasan ini bukan cuma soal menghindari babi dan alkohol, tapi memperluas lensa halal menjadi bagian dari gaya hidup sehat dan sadar gizi. Mungkin suatu saat, kita bisa bikin label “halal hijau” (halal dan thayyib), “halal kuning” (halal tapi awas tinggi gula/sodium), dan merah untuk yang haram. Jadi beli snack nggak cuma lihat harga diskon, tapi mikir: “Ini masuk kategori mana ya?”

Peran Sains: Menghalalkan yang Logis & Maslahat

Sebagai santri laboratorium, saya percaya: laboratorium bukan hanya tempat mencampur reagen, tapi juga tempat meracik dan meramu kemaslahatan. Di sana, kita bisa menguji:

1. Apakah pewarna makanan halal tertentu berisiko toksik?

2. Apakah produk halal tertentu terlalu tinggi sodium?

3. Apakah zat alami bisa menggantikan aditif sintetik secara lebih aman?

4. Dan banyak pertanyaan lainnya.

Dengan pendekatan evidence-based halal, peneliti bisa membantu ulama dan lembaga fatwa mengambil keputusan yang bukan hanya legal, tapi juga logis dan maslahat. Misal, jika studi meta-analisis menyimpulkan bahwa konsumsi gula >20 gram per hari meningkatkan risiko diabetes 80%, maka—kenapa tidak—produk minuman manis dengan kadar gula tinggi diberi label “tidak thayyib”? Bahkan mungkin haram lighairihi.

Halal adalah Titik Awal, Bukan Titik Akhir

Di dunia modern yang serba cepat dan penuh pilihan ini, memahami halal sebagai “asal bukan babi, celeng, maupun bagong” adalah pemahaman minimalis. Kita butuh pendekatan yang lebih bijak, menyeluruh, dan berpihak pada kesehatan. Konsep Halal Preventif adalah jembatan antara nilai-nilai Islam, sains, dan kebutuhan manusia modern. Sebagai Muslim yang juga peneliti newbie, saya merasa terpanggil untuk tidak hanya meneliti zat yang “dunyawiyah“, tapi juga meneliti dengan unsur “maslahat diniyah“.

Apa S3 go to Sains Halal aja kali ya? Hahaha.

Wallahu alam.

Santri, Korupsi dan Kekuasaan

Santri, Korupsi dan Kekuasaan

Beberapa kali saya dengar seorang tokoh berkata kurang lebih begini, “Santri harus masuk dunia politik, karena santri ini sudah biasa hidup sederhana dan serba pas-pasan. Jadi, kemungkinan santri korupsi itu kecil.”

Saya setuju untuk statemen pertama bahwa santri memang harus ada yang berpolitik. Tetapi untuk alasannya, kita semua akan mendapatkan bias jika menelusuri beberapa figur santri yang ternyata juga menjadi terdakwa kasus korupsi, atau bahkan hanya terindikasi dan terbawa-bawa dalam kasus korupsi. Maka, saya pernah ditanya orang yang bukan santri, “Katanya kalo menterinya santri gak mungkin korupsi, lha kok itu ditangkap KPK?”

Mungkin ada yang akan bersilat lidah, bahwa ini kasus kriminalisasi, ataupun agenda untuk menjegal lawan politik, dikasuskan, dan lain sebagainya. Saya meyakini itu ada. Tapi saya lebih ingin mencoba mengkritisi bagian dimana “Kesederhanaan santri mengurangi potensi korupsi.”. Bagi saya, ini tak ada hubungannya.

Saya mencoba mengambil satu kutipan dari Abraham Lincoln yang berbunyi, “Hampir semua manusia bisa bertahan dalam kesulitan, tetapi jika anda ingin menguji karakter seseorang, berilah ia kekuasaan.”. Nah, bagi saya ini make sense, baik itu santri atau siapapun yang biasa hidup sederhana hingga mlarat, kebanyakan akan bisa survive. Bahkan ada yang bisa sampai melenting menjadi orang berhasil. Meminjam istilah Bambang Pacul, si Korea korea ini.

Jadi, selain santri, banyak juga figur-figur berhasil yang awalnya berangkat dari kemlaratan hidup. Tapi nyatanya saat sudah berhasil, mau santri atau bukan, jika kekuasaan sudah di tangan, itu soal lain. Seperti kata sejarawan Inggris, Lord Acton, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”, kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut juga merusak secara absolut.

Jadi, bagi saya, poin plus santri terjun ke politik itu jangan berangkat dari kesederhanaan. Akan tetapi, mungkin bisa berangkat dari keterikatannya dengan moral pesantren tempat ia dididik. “Pesantren adalah benteng moral. Setidaknya hingga sekarang, anggapannya begitu,” dawuh Buya Said Aqil Siroj di podcast AFU.

Pesantren membentuk santrinya untuk mempraktekkan nilai moral yang diajarkan melalui kitab-kitab klasik. Ada berbagai kitab akhlak yang dipelajari, dan memang penekanan banyak pesantren adalah berdasar pada “al adab fauqol ilmi”, adab itu diatas ilmu. Jadi, jangan sok sok an anda menteri, lalu merasa hebat dari kyai yang mengajari anda membaca al-Quran dan kitab kuning.

Disamping itu, figur kyai yang ada di Pesantren, menurut saya, adalah salah satu parameter yang kemungkinan besar akan menentukan perilaku santrinya. Semakin kuat keteladanannya, maka santri tak akan berani macam-macam, walaupun ia sudah alumni, walaupun Kyainya sudah meninggal. Apalagi jika punya kedekatan secara personal pada sang Kyai, itu akan menjadi tambahan kekuatan moral seorang santri untuk tidak berbuat korupsi atau perbuatan keji lainnya (dalam politik).

Saya pribadi, rasa malu terbesar saya adalah ketika berbagai hal yang diajarkan oleh kyai dulu belum bisa saya praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Saat akan berlaku buruk, saya seringkali takut jika membayangkan raut wajah kecewa guru saya saat melihat saya melakukan hal yang tidak disukainya. Walaupun guru saya sudah tidak lagi di dunia fana ini, al faatihah.

Jadi, bagi saya, yang menjadi kekuatan utama seorang santri untuk tahan godaan kekuasaan dan perilaku koruptif, bukan dari cara hidup mereka yang sederhana. Tapi lebih ke bagaimana mereka menyelami kehidupan di pesantren dengan didikan akhlak yang dominan, terlebih saat para santri punya teladan yang luar biasa dari figur Kyainya.

Maka, saat ada yang skeptis dengan perdebatan mana yang lebih penting? Sistem atau figur? Saya setuju dengan Buya Said Aqil Siroj, keduanya sama penting. Percuma sistemnya dibuat sangat baik dan hampir tanpa celah, tetapi tanpa adanya teladan yang menjalankan sistem tersebut, akan ada saja orang yang mencoba memanfaatkan celah aturan untuk berlaku tidak adil. Jika hanya figur tanpa sistem? Akan terjadi pengkultusan dan fanatisme buta yang membahayakan. Lagi-lagi, jalan tengah itu memang opsi yang lebih baik.

Semoga di masa depan, semakin banyak santri yang mampu mengambil peran dalam urusan publik. Tentu bukan hanya politik, tetapi sektor-sektor lain macam birokrasi, dunia usaha, digital, teknologi, dan lainnya. Semoga kekuatan moral yang dibangun saat di pesantren menjadi pondasi bagi kita semua yang santri untuk berlaku adil di dalam masyarakat.

Wallahu alam.

Cerita Mudik Terlama Sepanjang Sejarah

Cerita Mudik Terlama Sepanjang Sejarah

Tanpa rencana sebelumnya, istri saya mencoba merayu saya untuk mudik tahun ini. Setelah berkali-kali melamun diteras selepas tarawih. Saya putuskan untuk meng-iya-kan permintaan istri saya untuk mudik ke kampung halaman. Bukan tanpa alasan, posisi saya yang sebentar lagi diangkat menjadi CPNS membuat saya berpikir, mungkin untuk tahun depan dan tahun-tahun berikutnya, saya tak akan sefleksibel biasanya untuk menentukan kapan harus mudik, dan seterusnya. Toh, 3 tahun telah berlalu sejak pertama kali saya berlebaran di kampung halaman istri.

Awalnya ia mengajak mudik di hari sabtu, H-2 idul fitri. Bermodalkan info mudik dari berbagai platform, sepertinya saya harus menarik mundur waktu mudik. Akhirnya, hari Selasa saya iyakan untuk mudik, dan saya putuskan hari Kamis kami harus berangkat. Tentu saja untuk menghindari kemacetan arus mudik, dan juga aturan ganjil genap yang diterapkan oleh POLRI.

Kami berangkat jam 2 siang, tak seperti 3 tahun lalu dimana kami berangkat selepas sahur. Pertimbangannya bukan masalah kemacetan, tapi rasa lapar yang menghantui saat perjalanan nanti. Sudah ngantuk, tertimpa lapar, wkwkwk, itu yang terjadi saat mudik 3 tahun lalu. Jika berangkat bakda dzuhur, setidaknya setengah perjalanan kami sudah berbuka. Dan selepas isya, kami bisa kondisikan 3 toddler untuk segera terlelap. Begitu kira-kira.

Meski mendadak, untungnya saya punya orang tua yang tak mengekang, sehingga permohonan izin mendadak ini tetap beliau acc. Berangkatlah kami kamis siang itu dan mulailah kami tap etoll yang kami gunakan di pintu tol sumberjaya, daaan, wadezig! Kami disambut kemacetan yang mengular!

Walaupun telah dilakukan rekayasa lalin dengan one way, tampaknya itu tak cukup untuk mengurai kemacetan yang ada akibat membludaknya volume kendaraan. Namun, sesekali ada saat dimana mobil bisa lancar hingga kecepatan 60-80 km/jam. Juga ada kondisi ketika berhenti total bermenit-menit. Akhirnya, prediksi kami meleset! Jika lancar, seharusnya kami bisa berbuka di daerah Solo. Tetapi kami ternyata harus sudah berbuka di wilayah Tegal. Jadi, Cirebon-Tegal yang biasanya hanya kurang dari 2 jam, saat itu harus kami tempuh dengan waktu 2 kali lipat dari biasanya, wkwkwk.

Untungnya, ku tak pilih menyerah, hehehe. Kami lanjutkan perjalanan, dan volume kendaraan tak separah yang dialami sebelumnya, tegal-Semarang-Solo cukup lancar meskipun volume kendaraan tetap padat. Kami sampai semarang pukul 21.30, tiba di rest area wilayah Ngawi pukul 01.00. Dan karena tak kuat menahan kantuk, saya putuskan untuk istirahat terlebih dahulu untuk sekedar memejamkan mata selama kurleb 30 menit.

Kami lanjutkan perjalanan pukul 02.00 dengan kondisi jalan tol yang sangat lenggang, dan saya mengobrol dengan istri sembari bercanda tentang waktu tempuh mudik saat ini yang luar biasa! Total kami sudah 12 jam perjalanan saat itu, wkwkwk.

Finally, kami tiba di kampung halaman istri pukul 05.00 pagi. Sebelumnya, kami melaksanakan sahur dan sholat shubuh di rest area daerah Surabaya. Perjalanan yang cukup melelahkan yang memakan waktu hingga 16 jam. Dan ini menjadi mudik terlama sepanjang sejarah kami. Namun, yang tetap bisa kami syukuri adalah kondisi 3 toddler yang baru terbangun saat keluar exit toll Pakis, sehingga tak terjadi drama-drama yang melelahkan. Terimakasih anak-anakku.

Membaca berbagai portal berita, angka mudik tahun 2025 mengalami penurunan hingga 50 juta. Ada yang menganalisis, konon ini akibat persoalan ekonomi yang sedang merosot. Bagi kami, ink bukan sekedar isapan jempol belaka, keluarga kami juga sedang merasakan dampak kemerosotan ekonomi. Awalnya, kami pun hampir memutuskan untuk tidak mudik dengan alasan ini, salah satunya. Tapi kami putuskan mudik dengan harapan dan optimisme, semoga saja ekonomi lekas membaik dan menggeliat pasca Idul Fitri. Semoga.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1446 H, Minal aidin wal faizin, taqobbalallahu minna waminkum. Mohon maaf lahir dan batin dari kami sekeluarga.

Dari Film Adolescence, Mengatur Anak itu Penting

Dari Film Adolescence, Mengatur Anak itu Penting

Menonton film serial pendek Netflix ini, saya cukup terhenyak. Banyak insight yang didapat tentang bagaimana besarnya pengaruh media sosial yang sangat besar terhadap pertumbuhan generasi muda. Di awal cerita, kita langsung dikejutkan dengan penangkapan Jamie Miller, remaja 13 tahun yang dikenai tuduhan pembunuhan terhadap temannya, Kattie Leonard dengan pisau dapur. Singkatnya, ini persoalan yang bermula dari media sosial.

Saat ini, media sosial ataupun secara umum dunia maya memang menjadi dunia yang lebih nyata dari dunia nyata itu sendiri. Apalagi remaja, beberapa dari kita yang sudah dewasa pun bisa saja terjebak dengan ini. Kita bisa “haus” akan validasi di media sosial. Berapa follower kita, subscriber kita, viewer status dan reels kita, jumlah like postingan kita, dan lain sebagainya. Meski di sisi lain, ada orang-orang yang memang berhasil mengkapitalisasi dunia ini menjadi mata pencahariannya, tak sedikit orang yang tak beruntung di dunia ini, dan berujung frustasi. Bisa dibayangkan jika itu terjadi pada remaja dengan kontrol emosi yang belum stabil dan labil. Dan, akui saja, kita pun dalam beberapa kondisi tak sestabil yang dikira juga kan?

Kita harus akui. Ada beberapa dari circle kita, yang secara tak sadar tak memiliki tempat dalam pergaulan. Ada yang terdiskreditkan, keberadaannya seperti tak ada, tak penting, dan tak dibutuhkan. Sebagai pengamat, wkwkwk, saya beberapa kali menemukan tipe orang seperti ini, dan meski jujur saja, saya tak banyak bisa menolongnya, saya terkadang memikirkan bagaimana rasanya berada di posisi “tak diakui” seperti itu. Apakah akan bertindak gila? Di luar nalar? Dan jika hidup di dunia media sosial seperti saat ini, apa yang akan dia lakukan saat berselancar didunia maya? Dimana, mungkin dia bisa berperan menjadi “anonim” dan bermain peran disana dan “lebih diakui”.

Sepertinya ini terlalu melebar, hehe. Kembali ke “Adolescence” tadi. Dari banyaknya poin yang bisa kita pelajari dari film karya sutradara Philip Barantini ini, mulai dari Toxic Masculinity, Perundungan Digital, dlsb, saya coba mengambil satu bagian saja untuk dibahas dalam tulisan ini, yakni bagaimana kita sebagai orang tua perlu mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anak, khususnya apa yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi anak di dunia digital.

Saya, seringkali disajikan algoritma menonton konten-konten parenting zaman now yang menekankan kebebasan yang harus diberikan kepada anak. Misal saja, jangan kita bilang “tidak boleh” kepada anak. Kita harus lebih persuasif. Jangan kita mengatur anak kita mau jadi apa, biar mereka mendapatkan minatnya sendiri. Satu sisi, pendapat itu benar, satu sisi, bagi saya itu terlalu naif. Oke, bagian ini memang tak ada yang benar-benar tepat. Tapi setidaknya saya ingin memberikan apa yang menjadi standing point saja tentang parenting.

Seiring waktu berjalan, saya mencoba mengikuti logika “jangan bilang tidak boleh”, tapi ternyata tidak mudah juga, wkwkwk. Dan setelah diotak atik di otak, tampaknya mengatakan “tidak boleh” kepada anak adalah keharusan. Kita harus mendidik anak kita tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh secara tegas, bukan kasar ya, tapi tegas. Apalagi berkenaan dengan hal-hal prinsipil. Bagaimana etika saat ia bertamu ke rumah tetangga, bagaimana baiknya ia bertegur sapa dengan temannya, berempati dengan sesama, menjaga perasaan, dan lain-lain.

Mungkin sebagian besar millenial seperti saya memiliki trauma pendidikan orang tuanya yang terkesan lebih tegas dan kasar terhadap mereka. Misalkan zaman dulu saat saya di Pesantren, hukuman fisik adalah makanan sehari-hari. Sampai telapak kaki saya sudah kebal dengan sabetan gagang sapu, wkwkwk. Sehingga, kita sebagai orang tua tak mau anak kita mendapatkan hal serupa. Maka, kita saat ini sering melihat berita bagaimana guru dilaporkan oleh “orang tua milenial” karena melakukan satu dua punishment fisik atau verbal yang menurut mereka tidak bisa diterima.

Saya kira, semangat untuk tidak menggunakan lagi hukuman fisik sebagai punishment adalah satu kemajuan. Namun, bukan berarti sebagai orang tua, kita kemudian menjadi sangat lembek kepada anak kita. Kita akhirnya terlalu memanjakan mereka dan menjadi permisif dan membiarkan apapun yang mereka lakukan, bahkan membelanya, meski salah. Maka, do and dont harus ditegaskan kepada anak kita. Mengatur anak itu penting. Oke, jika “mengatur” ini kurang bisa diterima, kita boleh ganti dengan kata “meregulasi”. Meregulasi anak itu penting. Termasuk bagaimana regulasi anak mengkonsumsi konten digital. Berapa jam perhari? Apa yang boleh dan tidak boleh ditonton? Bagaimana kontrol kita sebagai orang tua? Bagian itu, kita harus tegas. Jangan sampai karena kita sibuk bekerja, kita biarkan anak kita berlama-lama didepan hp atau komputer tanpa kita tau konten digital apa yang mereka konsumsi sehari-hari.

Mengapa ini penting? Di episode terakhir “Adolescence”, orang tua Jamie mengira, Jamie yang melalukan pembunuhan terhadap temannya itu adalah didikan mereka. Padahal, karena kesibukan dan pembiaran orang tuanya akan konsumsi digital, Ia lebih terdidik oleh konten-konten digital yang tidak mendidik. Jika kita semua harus jujur, berapa jam perhari kita deeptalk dan memberi perhatian dan memperhatikan anak kita? Dan berapa jam perhari ia dididik oleh konten-konten digital? Ini bahan kontemplasi saya sendiri, jujur saja. Maka wajar jika anak-anak tak terdidik dengan didikan yang benar dari orang tuanya, miris.

Maka, untuk anak-anakku, jika suatu saat sudah besar, kalian semua membaca tulisan ini. Semua regulasi yang ayah dan bundamu buat, tak lain adalah untuk membentuk diri kalian menjadi manusia yang baik. Mendidik kalian menjadi manusia yang terdidik. Seringkali kalian bertanya, kenapa si ini gak dilarang, si itu di perbolehkan, saat ini ketika kecil, ayah hanya menjawab, mereka bukan anak ayah. Tentu saja sebenarnya, ayah hanya ingin membentuk kalian untuk hidup di dunia yang seutuhnya. Dididik dalam kenyataan, bukan fantasi dunia digital yang semu dan penuh tipuan. Tentu kami tak alergi dengan internet, tapi bijak dalam penggunaannya adalah kunci.

Apakah mengatur dan meregulasi ini berlebihan? Apakah ini artinya merenggut kebebasan? Tentu tidak! Kita hidup di dunia ini penuh dengan aturan. Dan aturan dibuat agar kita paham, hak kebebasan yang kita punya dibatasi oleh hak  kebebasan orang lain yang harus kita hormati dan hargai. Jadi, yuk, kita sama-sama meregulasi anak kita secara tepat.

Satu hal lagi, kita sering dengan parenting zaman now, biarlah anak menentukan minatnya sendiri, jangan kita atur-atur. Ini juga tidak sepenuhnya tepat. Bagaimana anda meminta anak anda yang baru berusia belasan tahun menentukan arah hidup? Peran kita sebagai orang tua tak sesederhana itu. Kita tak boleh sepenuhnya mengatur dengan logika kita seperti yang dilakukan Eddie Miller terhadap anaknya dengan logika maskulinitas, tapi satu sisi kita juga tak boleh membiarkan mereka memilih tanpa guidance yang kita berikan.

Jadi, ini cukup tricky dan saya pun masih mencoba mempelajarinya. Mungkin yang bisa dilakukan, kita bisa memperhatikan ketertarikan mereka, kemudian kita arahkan dan beri opsi-opsi dengan landasan minat mereka, sembari mensupportnya dengan cara fasilitasi dalam mendalami minat mereka. Kemudian, pada saat yang tepat, kita boleh juga jelaskan bagaimana konsekuensinya jika ia ingin mengambil peran dalam dunia yang ia pilih, entah dari sisi regulasi negara, peluang finansial, komunitas yang mendukung, dan lain-lain. Disamping ity, mungkin kita juga perlu membekali mereka beberapa keterampilan yang perlu mereka kuasai untuk menjawab tantangan di masa depan, keterampilan berbahasa, memimpin dan berkomunikasi.

Setidaknya, sejauh ini itulah yang menjadi standing point saya dalam upaya saya mendidik anak. Dan saya tak tahu, apakah ini adalah perspektif yang paling tepat atau malah salah kaprah. Saya masih terus mencoba belajar akan hal itu. Semoga anak-anak kita menjadi anak yang sholih, sholih artinya berbhat baik, dan tidak membuat kerusakan. Amin.

Wallahu alam.

Cerminan

Cerminan

Dalam suatu pengajian online, Rais Aam PBNU KH. Miftahul Achyar pernah menyatakan, bahwa pemimpin adalah cerminan diri kita selaku rakyatnya. Jika rakyatnya suka tipu-tipu, maka akan diberi pemimpin tipu-tipu. Jika rakyatnya suka korupsi, maka akan diberi pemimpin korup, bahkan dalam eskalasi yang lebih meluas.

Belakangan, kita diberi tontonan banyaknya kasus-kasus, kebijakan, sikap, cara komunikasi dari pemimpin-pemimpin kita yang jauh dari kata ideal. Kasus megakorupsi pertamina, timah, emas palsu, dlsb. Kebijakan yang terkesan cek ombak alih-alih melalui kajian akademik. Sikap dan cara komunikasi pemimpin kita yang minim empati dan kepedulian. Selain itu, tentu kita bisa penuhi tulisan ini dengan “daftar susunan” itu, tapi saya tak memilih menjabarkannya lebih lanjut.

Mereka yang duduk di Pemerintahan memang salah, dan bahasa halusnya, mungkin saja mereka inkompeten. Tapi, rakyatlah, kitalah yang melahirkan mereka semua. Kitalah yang setiap kali pemilu diadakan, sibuk mencari mana yang ada duitnya, serangan fajar mana yang paling besar, caleg mana yang berani ngasih jenset ke lingkungan A, pak RT yang mengintervensi warganya untuk memilih satu calon. Sekian banyak praktek-praktek pragmatis kita dalam menyikapi pemilu tentu saja akan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang pragmatis juga.

Jadi, mari kita protes kepada pemerintah, banyak kebijakan dan sikap mereka yang ancur-ancuran. Saat kita demonstrasi, saudara-saudara kita direpresi. Insan pers hingga tim medis ikut jadi korban pentungan aparat. Aparat yang sistem seleksinya semua orang tahu, seringkali dikonotasikan “hasil jual sawah”. Dan ini semua kita sebagai rakyat cenderung permisif dan melakukan pembiaran praktek kotor tersebut. Mari kita protes! Mari kita lawan ketidak adilan dan kedzoliman!

Tapi dibalik itu, kita harus menjernihkan hati, meluruskan pikiran. Bahwa kita sebagai rakyat harus berubah. Kita harus paham, kita tak bisa memandatkan amanah kepada mereka yang uangnya paling besar. Tapi kita harus berikan pada mereka yang kompeten, yang berkapasitas, yang berintegritas!

Ada satu teori, bahwa demokrasi, sistem yang kita pilih ini, bisa berjalan dengan baik dengan syarat banyak dari rakyatnya well educated. Selama itu tidak terpenuhi, maka sulit kita berharap pada demokrasi. Seperti kata Goenawan Muhammad pada Sujiwo Tedjo, demokrasi itu pilihan kedua terbaik yang dipilih, dimana nomor satu nya gak tahu apa. Bahasan well educated bisa panjang, tapi fakta yang paling mudah menggambarkan kondisinya, hanya 12% rakyat kita yang menempuh pendidikan hingga sarjana. Kita belum hitung 12% itu sarjana beneran? Hasil jual beli ijazah? Hasil asal kuliah?

Well educated, artinya ia terdidik, terdidik paling tidak ia mampu berpikir dengan baik. Berpikir jangka panjang, mempertimbangkan satu, dua , tiga, empat, dan lebih banyak lagi variabel, dan pengaruhnya terhadap satu, dua, tiga, dan lebih banyak variabel. Apa efeknya, apa konsekuensinya. Sayangnya, dengan kondisi pendidikan kita saat ini, dua variabel saja sudah kelabakan. Dan kita tahu, belakangan viral anak SMA yang lemot menjawab perkalian 1-10.

Saat berada di depan cermin, berdirilah. Tataplah diri kita. Jika kita teringat dengan kasus megakorupsi, lihatlah bagian diri kita, apakah kita pernah melakukan korupsi walau skalanya kecil? Pungli sekolah misal. Saat teringat dengan kebijakan cek ombak, sudahkah kita berpikir logis dalam pengambilan keputusan dengan pertimbangan rasional? Saat teringat dengan wakil rakyat yang lebih cocok disebut “wakil partai”, sudahkah kita berempati terhadap sesama dengan tulus? Atau hanya demi eksistensi organisasi atau bendera dibelakang kita?

Saya tak yakin kita semua bisa melewati pertanyaan didepan cermin itu dengan jujur. Maka, nikmati saya kebijakan para cerminan kita itu, sembari berdoa, semoga kita semua bisa berubah dan melewatinya. Wallahu alam.

Selamat berpuasa, warga +62 !