Beberapa hari ini setelah membeli HDD untuk saya pasang di PC, saya mulai merapikan file di laptop saya yang hampir over capacity, merah semua. Yang namanya beres-beres arsip, saya mengupayakan efisiensi waktu, tapi tetap saja kadang ada satu dua hal yang bisa menghambat. Lembaran lama memang seringkali mengundang kita untuk kembali mengenangnya, dan saya lalu tergoda untuk membuka kembali rekaman video sidang tesis saya beberapa tahun lalu.
Sebelum lanjut tulisannya, saya merasa perlu berterimakasih untuk semua dosen-dosen saya di UNPAD. Terimakasih kepada Prof. Tri Mayanti, Prof. Tati Herlina, Dr. Darwati, Dr. Nurlelasari, Pak Ari Hardianto, Ph.D dan seluruh dosen atas bimbingan dan masukan selama proses studi S2 lalu. Tak lupa juga pada semua rekan-rekan di Lab, Zul, Amel, Rona, teman seangkatan baik yang fastrack maupun slowtrack, hehe.
Oke, lanjut ya, saya kembali menonton presentasi & tanya jawab sidang tesis saya. Satu yang cukup mengejutkan adalah diferensiasi fisik saya, wkwkwkwk. Begitu tembemnya pipi saya, begitu ngos ngosan nya nafas saja saat presentasi, hahaha. Dan yang tak kalah penting adalah bagaimana saya memahami apa yang saya sampaikan saat itu.
Bagian pada riset saya salah satunya terdapat metode in silico, khususnya topik molecular docking. Saat itu, ternyata saya punya banyak miss understanding tentang interpretasi data hasil docking, dan secara dini menyimpulkan bahwa senyawa saya punya mekanisme antagonis non kompetitif, padahal docking sendiri adalah pendekatannya agonis/antagonis kompetitif, wkwkwkwk.
Untungnyaaaa, bumi masih berputar. Selepas lulus, saya berkesempatan untuk bekerja sebagai Dosen di Program Studi Farmasi. Sebagai seorang dosen, belajar adalah keharusan, dan pada satu titik, saya tertuntut untuk melakukan riset, dan in silico adalah riset yang paling feasible pada saat itu. Saya kembali mendalaminya dengan mengikuti beberapa short course dari mulai docking, molecular dynamics, hingga membeli buku studi QSAR. Terlebih, saya di challenge oleh rekan-rekan untuk mengampu mata kuliah Kimia Medisinal.
Disinilah semua tabir pengetahuan tentang mekanisme obat, hubungan struktur aktivitas senyawa obat, fase-fase aksi obat, mekanisme agonis, antagonis kompetitif, non kompetitif, interpretasi docking, MD, hingga bagaimana QSAR yang sebenarnya bernas dibahas. Dititik ini, saat mendengar presentasi sidang saya tadi, saya menertawakan diri saya saat dulu, wkwkwkwk, yang disisi lain, kembali saya bersyukur bahwa kesempatan berkarir sebagai dosen di Prodi Farmasi benar-benar menyenangkan. Saya mendapat banyak privilege untuk mempelajari lebih jauh tentang dunia obat-obatan.
Tentu saja semua yang saya ketahui saat ini masihlah secuil dari luasnya keilmuan Farmasi yang menantang. Dan ada potensi pemahaman saya hari ini ditertawakan oleh saya di masa depan, selama saya tetap terus belajar dan belajar. Yah, belajar bagi dosen itu memang kewajiban. Bahkan level belajarnya pun harus ekstra, karena kita bukan hanya belajar untuk kita sendiri, melainkan kita harus bisa menyampaikan dan memahamkan mahasiswa kita terhadap suatu materi.
Beberapa bulan lagi, saya mungkin akan sedikit melakukan pergeseran. Tetapi, menjadi bagian dari Prodi Farmasi di STIKes KHAS Kempek adalah bagian yang sangat sangat wajib disyukuri, karena mungkin saja jika saya tak pernah terlibat disana, keilmuan saya ya segitu-gitu aja, dan mungkin saja volatilitas keilmuan bisa terjadi. Bahkan pada satu titik, sempat terpikir untuk melanjutkan studi doktoral di bidang ini.
Terimakasih untuk semua pengalaman dan kehangatannya. Saya akan selalu mengingatnya sebagai bagian dari perjalanan hidup yang sangat berkesan. Sukses selalu untuk keluarga besar STIKes KHAS Kempek, tetaplah menjadi lentera yang menerangi asa dan cita!
Malam selepas kesibukan yang lumayan sejak pagi tadi, saya mencoba mencari hiburan ringan. Tentu saat ini hiburan bukan hal yang sulit, apalagi bagi kaum introvert. Rebahan dengan menonton film di layanan streaming adalah salah satu pilihan yang menyamankan. Cukup untuk sedikit melepas lelah aktivitas dan kerasnya kehidupan, aseek.
Saya klik Netflix di hp saya. Rutinitas biasanya, saya mencari film hingga tak jadi nonton film, wkwkwk. Tapi saat ini berbeda, seketika melihat top 10 film di Netflix, nomor 1 ada film berjudul “Home Sweet Loan”. Trailer dan sinopsis film nya berhasil membuat saya dengan cepat memutuskan untuk mengklik film tersebut. Film garapan Visinema yang menceritakan Kaluna, anak bungsu dari 3 bersaudara dimana 2 kakaknya sudah menikah dan mempunyai anak, dan mereka semuanya hidup satu rumah.
Tak sulit untuk memprediksi jika hidup satu rumah dengan beberapa unit keluarga itu tentu akan ada gesekan-gesekan. Itu salah satu cobaan dalam keluarga (besar). Di film ini, Kaluna yang diperankan dengan sangat pas oleh Yunita Siregar ini menjadi pihak yang terdesak dan selalu terpaksa mengalah oleh keberadaan keluarga kecil kedua kakaknya, dimana kondisi tersebut membuat ia bertekad untuk memiliki rumah sendiri. Yah, lebih lengkapnya bisa kalian tonton sendiri ya. Spoilernya cukup segitu aja.
Yang pasti, ada 2 hal yang bisa saya garis bawahi akan kondisi terkini kehidupan perduniawian kita semua dari film yang diadaptasi daru novel tersebut. Pertama, Kerasnya kehidupan Ibu Kota (asumsi Jakarta masih ibu Kota ya), atau paling tidak kerasnya kehidupan di Kota Metropolitan. Biaya hidup yang tinggi, tekanan pekerjaan, hingga terbatasnya pilihan-pilihan hidup, membuat sepertinya sulit bagi penduduk Kota untuk bisa mendapatkan ketenangan dalam hidup.
Ini tentu saja subjektif, saya yang sejak dulu tak sedikitpun terpikir untuk hidup di Kota Besar, akhirnya semakin mengamini bahwa hidup yang saya jalani akhir-akhir ini, seberat dan semenantang apapun adalah hidup yang sangat layak untuk disyukuri. Hidup di daerah pedesaan dengan ketenangan, kehangatan dan kesyahduannya adalah sebuah kenikmatan. Sehingga untuk saat ini bagi saya, saya merasa tak perlu hidup di Kota besar untuk menggapai “kesuksesan”.
Akan tetapi, bukan berarti saat kita hidup di daerah rural, kita lantas terbuai oleh kenikmatannya. Tetap kita harus membawa bagian penting dari mentalitas insan metropolitan, yakni ambisi, determinasi, keinginan untuk berkembang dan sifat kompetitif. Karena bagi saya, “stagnansi” dalam hidup itu seolah makruh tahrim, mwehehehe.
Kedua, beratnya perjuangan hidup kelas menengah. Yah, seperti yang banyak diberitakan di media, hampir 70% masyarakat Indonesia adalah kelas menengah, yang angkanya terus menyusut saat ini dan banyak yang mulai menjadi kelompok kelas rentan hingga miskin akibat himpitan ekonomi yang tidak sedang baik-baik saja.
Fenomena di film itu menunjukkan bagaimana sulitnya seorang pekerja kelas menengah ingin mendapatkan hunian atau rumah. Gaji yang didapat tak sebanding dengan harga properti yang terus melambung, memaksa untuk mengambil skema KPR yang tak mudah juga untuk memenuhi persyaratannya.
Bagi saya ini ironi. Rumah adalah kebutuhan primer bagi sebuah keluarga. Yakali kita terus-terusan tinggal dengan orang tua (kecuali case tertentu), atau bahkan ngontrak seumur hidup. Tapi inilah yang terjadi. Kondisi ekonomi rasanya sangat sulit untuk membuat kita bisa dengan mudah memiliki rumah impian, bahkan dengan skema cicilan. Ini yang sulit kelas menengah lho, bukan kelas miskin.
Perjuangan kelas menengah ini memang berat. Mungkin saya termasuk kelas ini. Akhir-akhir ini rasanya memang kondisi sedang serba sulit. Dan setiap saya berbincang dengan berbagai kalangan, semua mengamini kondisi buruk yang terjadi saat ini.
Ada ungkapan populer yang menarik begini, “Kita boleh kehilangan segalanya, tapi satu yang tak boleh hilang dari diri kita, yaitu Harapan, meski persentasenya kecil”. Maka, berharap, utamanya kepada Allah SWT adalab keharusan. Dan dalam konteks kehidupan bernegara, nampaknya mau tidak mau kita harus menempelkan harapan kepada Presiden baru kita, semoga di bawah Pemerintahannya, dapat membantu 70% an masyarakat Indonesia agar naik kelas.
Seperti kata mereka di media sosial, seringkali harapan itu luntur saat melihat ketidak adilan, misal mereka yang korupsi 271T, vonisnya hanya 6 tahun, jika dibagi-bagi, seharinya mengantongi sekitar 115 Miliar! Berani korupsi dong, wkwkwk. Mbak Kaluna kalau mau beli rumah, mending ikutin jejak si Muis, nabung dikit-dikit mah gak akan kebeli-kebeli. Paling dipenjara 6,5 tahun doang, aman lah, keluar penjara tetep sugeh boskuuuh. Guyon ya, hehehe.
Saya cukup menyukai desain grafis. Sejak duduk di bangku SMA di Pesantren dahulu, saya mulai mendalami keterampilan ini. Dengan posisi saya sebagai sekretaris OSIS, saya diberi privilage untuk mengakses komputer inventaris OSIS saat itu. Dan untuk mendukung kegiatan-kegiatannya, saya tertuntut untuk belajar desain grafis.
Saya agak-agak lupa, buku yang dulu saya beli kira-kira berjudul “Tutorial CorelDraw” atau “Mahir CorelDraw, saya lupa persis judulnya, tapi seingat saya, saya membelinya di gramedia saat libur pondok dan (sepertinya) diterbitkan oleh Penerbit Andi. Jangan dibayangkan belajar dulu seperti sekarang yang beli kelas online, hehe. Disitulah saya mulai belajar mendesain, garis demi garis, membuat logo indosiar, sctv, dan logo-logo lainnya. Tentu ada sosok yang menginfluence saya waktu itu, sekretaris OSIS sebelum saya, Kang Agung Arabian, semoga beliau sehat selalu.
Singkatnya, hingga tahun lalu, saya konsisten menggunakan CorelDraw sebagai software desain grafis saya. Tentu saja saya pake yang krek krek an, sobat misqueen begini mana mampu berlangganan, tho. Yang penting perdesainan beres. Saya cukup diandalkan dalam desain grafis banner, pamflet, poster hingga untuk postingan IG organisasi-organisasi yang saya ikuti. Disamping itu, dibidang jualan daring, saya juga mulai mencoba mendesain berbagai macam motif hijab, sempat juga desain saya dicetak dan cukup ramai saat itu dibeli khalayak marketplace.
Dibalik keasyikan saya berdesain grafis, saya seringkali merasa punya ganjalan saat mencoba menggunakan aset-aset grafis yang tersedia di platform macam freepik waakhwatuha. Seringkali asetnya tidak berformat .cdr, melainkan .eps dan .ai. Bisa sih dibuka di CorelDraw, hanya ya karena beda ekstensi, seringkali tidak nyaman untuk digunakan. Saya mulai berpikir untuk berpindah ke lain hati, apa saya harus berpindah menjadi pemuja produk adobe? Adakah waktu untuk mempelajarinya? Bisakah saya beradaptasi dengan Adobe Illustrator?
Akhirnya, saya menemukan momentum saat mudik ke Malang. Yasudah, saya membeli paket pelatihan Adobe Illustrator di salah satu platform, saya pelajari 1 demi 1 video yang tersedia sembari saya praktekkan guna mengisi waktu luang di kampung halaman istri. Overall, wajah saya cukup sumringah melihat fitur yang ditawarkan adobe illustrator, saya coba pula hijrah dari kaum krek krek an ke kaum berbayar, tentu dengan strategi langganan student agar lebih murah. Rasanya menyenangkan saat saya tahu semua fitur terbuka dan tersedia update sofware guna optimasi dan pengembangannya yang bisa langsung di rasakan.
Kesibukan saya sebagai dosen pada akhirnya mendistraksi proses saya dalam beradaptasi terhadap platform adobe. Saat beberapa hari yang lalu saya mencoba mendesain kembali dengan adobe illustrator, lha kok fitur yang sudah saya pelajari sebelumnya banyak yang lupa, wkwkwk. Saya cukup kesal karena harus membuka lagi video tutorial yang saya beli itu guna “beradaptasi kembali”. Disini saya kembali menyadari, bahwa adaptasi memang bukan hal yang mudah. Untuk kita benar-benar bisa dianggap telah beradaptasi, perlu pembiasaan dan pengulangan, atau dalam bahasa pesantren, perlu mudzakarah, murojaah dan tadarus secara konsisten.
Tentu saja saya tidak akan menyerah, saya akan melanjutkan proses adaptasi ini secara perlahan. Termasuk bagaimana saya menggunakan platform desain baru nan praktis berbasis android macam Canva, hingga aplikasi menggambar iPad seperti ProCreate. Saya juga mulai tertarik dengan videografi dan editing sederhana.
Disamping desain grafis ini merupakan salah satu yang saya sukai, saya harus mengamini satu nilai dalam hidup, yaitu bahwa pekerjaan manusia atau makhluk hidup lainnya yang paling wajib untuk terus dilakukan adalah pekerjaan beradaptasi. Karena satu hal yang paling konsisten dan niscaya terjadi dalam kehidupan ini adalah perubahan. Dan tidak ada pilihan lain bagi kita sebagai manusia selain keharusan untuk beradaptasi akan perubahan-perubahan itu.
Seperti halnya dalam konsep kesetimbangan kimia, kondisi reaksi yang merupakan faktor eksternal yang dinamis pastinya akan memaksa suatu reaksi kimia untuk meresponnya dengan cermat (dan bersahaja). Maka dalam suatu reaksi kesetimbangan, saat ada variabel eksternal mempengaruhinya (suhu dan tekanan), kesetimbangan reaksi bisa jadi bergeser kembali ke reaktan, atau ke produk, membentuk kesetimbangan baru, yang mungkin menguntungkan, mungkin pula merugikan. Yabegitulah sunnatullahnya kali ya, dalam merespon perubahan, manusia bahkan alam akan selalu menemukan cara untuk beradaptasi dan mencapai kesetimbangan baru, meski tak selalu mudah.
Ini adalah tulisan pertama di tahun 2025. Ternyata, butuh 14 hari berlalu untuk membuat tulisan perdana di tahun 2025 ini, hehehe. Seperti yang banyak orang bilang, tahun demi tahun, kita harus punya resolusi. Satu, dua atau beberapa hal yang ingin dicapai di tahun yang baru. Apalagi kita seorang muslim yang memiliki prinsip ajaran (yang juga universal sebenarnya), bahwa “Orang yang beruntung adalah mereka yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok lebih baik dari hari ini”.
Sabda Nabi SAW seolah mendorong kita untuk tidak bersikap statis, melainkan harus bersikap dinamis dan progresif dalam hidup. Siap menghadapi dan beradaptasi terhadap berbagai tantangan dalam fase-fase kehidupan. Belajar terus menerus untuk berkembang. Maka bagi saya, perkembangan adalah keharusan, dinamika itu keniscayaan, dan kesiapan memulai perubahan itu diperlukan. Meskipun seperti kata Yuval, manusia seringkali takut dalam menghadapi hal yang paling konsisten tersebut (baca:perubahan).
Awal tahun ini saya ditakdirkan diberi satu milestone baru dalam hidup, yakni kelulusan menjadi CPNS Dosen di salah satu perguruan tinggi. Setelah berjibaku dengan seleksi sejak akhir agustus tahun lalu, dan dari lowongan yang hanya 1 formasi, alhamdulillah saya terpilih menjadi orang yang mengisi formasi itu. Pastinya, mencapai milestone ini adalah hal yang tak mudah, perlu ketekunan dan keseriusan dalam usaha. Untungnya saya meyakini bahwa “al ujroh biqodril masyaqoh”, hasil tak akan mengkhianati proses! Saya betul-betul diilhami oleh kaidah ini.
Tentu saja saya meyakini, dibalik determinasi dan kegigihan yang saya tunjukkan untuk melalui beberapa tahapan dalam tes yang menguras tenaga dan pikiran, ada doa dan dukungan dari orang-orang tersayang. Maka saya ucapkan terima kasih untuk Istri, mamah, bapa, anak-anak, adik dan semua keluarga besar serta seluruh pihak yang mendoakan setulus hati untuk mencapai satu milestone ini. Istri yang menjadi support system luar biasa, ruang yang kau berikan untukku sangatlah berarti. Mamah bapa dengan doa “keramat”-nya demi keberhasilan anakmu ini. Anak-anak yang mengerti saat ayahnya ini perlu waktu untuk belajar dan tak bisa bermain bersama. Tak ada yang bisa saya persembahkan selain saya akan gunakan waktu hidup ini untuk bahagiakan semuanya.
Menjadi dosen memang cita-cita saya sejak dulu, tetapi jujur saja, menjadi Dosen PNS sebelumnya tak pernah terpikirkan. Dinamika dalam kehidupan lah yang membawa saya terdorong untuk mengikuti seleksi CPNS Dosen di Tahun lalu. Salah satunya adalah keinginan untuk menerima tantangan-tantangan baru dan keinginan untuk berkembang terus menerus dalam hidup, karena saya adalah “Long-Life Learner”, mwehehehe.
Ibarat karbokation yang terbentuk dalam berbagai macam reaksi organik, saat menemui kesempatan untuk membentuk karbokation yang lebih stabil, ia tak segan untuk melakukan penataan ulang dirinya, entah penataan minor seperti pergeseran hidrida, atau mayor seperti pergeseran metida, yang pasti ia ambil kesempatan itu. Dengan terbentuknya karbokation yang lebih stabil, ia punya waktu yang cukup untuk bereaksi dengan nukleofil dan membentuk produk yang lebih stabil.
Begitupun saya, pengambilan keputusan ini adalah upaya saya untuk sedikit melakukan pergeseran yang cukup berarti untuk menuju kestabilan baru dalam kehidupan dan karir saya. Kestabilan ini dibutuhkan untuk kemudian mempersiapkan diri menghadapi tahapan-tahapan reaksi (kehidupan) berikutnya.
Saya termasuk orang yang “berupaya” tak terlalu fokus dengan hasil. Karena bagi saya hasil itu buah dari proses. Jadi, nikmatilah prosesnya. Karena saat proses yang kita lalui itu proses dijalani dengan sepenuh hati, hasil akan menjadi buah manis yang dapat dipetik. Sebaliknya, saat kita menuntut hasil tanpa dibarengi dengan penikmatan terhadap proses, maka yang terjadi adalah caci maki terhadap keadaan.
Tak banyak harapan saya di tahun 2025 ini, seperti saat saya panjatkan doa kepada-Nya tentang CPNS ini. Saya tak meminta kelulusan, saya hanya meminta untuk diberikan takdir yang terbaik dari-Nya. Jikalah kelolosan adalah takdir terbaik, maka itulah yang akan Sang Maha Kuasa berikan. Jika ketidaklolosan adalah takdir terbaik, saya pun tentu akan menerima dan tetap bersyukur atas semua rahman dan rahim-Nya. Semoga 2025 senantiasa ditunjukkan takdir-takdir terbaik dari-Nya, amin ya robbal alamin.
Saat berhadapan dengan penguji dalam suatu wawancara, ada pertanyaan unik nan menarik dari salah seorang penguji. “Coba jelaskan nilai-nilai kimia yang relevan dalam tasawuf”. Seketika otak saya dituntut untuk berpikir cepat untuk mencari bahan jawaban. Seketika saya teringat akan peran nukleofil, suatu spesi kimia yang kaya elektron, yang secara sukarela memberikan elektronnya untuk berikatan dengan spesi yang kekurangan elektron dalam suatu mekanisme reaksi substitusi nukelofilik.
Akhirnya saya jelaskanlah relevansinya, bahwa dalam hidup, kita sebagai seorang yang punya kelebihan, baik berupa ilmu, harta, tenaga, dan aspek lain harus punya kepedulian untuk membantu mereka yang membutuhkan dan kekurangan. Seperti halnya nukleofil, yang rela berbagi elektronnya kepada substrat yang membutuhkan, memberikan dukungan yang berarti. Bahkan, nukleofil ini mendonorkan elektronnya seraya mengajak substrat untuk berikatan dengannya dan melepaskan belenggu ikatan sebelumnya yang tak memberikan kestabilan yang selayaknya.
Begitulah terkadang, dalam berbagi, ada yang memang benar-benar kekurangan, seperti karbokation, atau yang dia kekurangan, namun tak benar-benar memahami bahwa ia sebenarnya butuh uluran tangan, seperti spesi parsial positif.
Karena saya adalah seorang dosen dan guru, maka dimensi berbagi saya lebih banyak pada berbagi ilmu pengetahuan. Di kampus kepada mahasiswa dan di pesantren kepada para santri. Seringkali kita temukan di kelas, ada mahasiswa atau santri yang memang ia menunjukkan dirinya perlu perhatian lebih untuk memahami materi, sehingga tentu saja itu perlu kita beri tambahan pemahaman materi. Saya kira mendekati dan memahamkan jenis mahasiswa begini lebih mudah. Ibarat karbokation, secara dzohir ia memang butuh diberi elektron untuk berikatan, artinya mahasiswa tersebut perlu bonding lebih dengan kita dalam pembelajaran.
Adalagi jenis mahasiswa yang ia tidak menunjukkan atau mungkin tidak tahu bahwa ia butuh perhatian lebih dalam pemahaman materi, tetapi sebenarnya ia membutuhkannya. Satu kesamaan dari keduanya adalah mereka sama-sama membutuhkan perhatian dalam pembelajaran. Namun tentu saja yang kedua ini tantangannya lebih berat bagi seorang dosen, ibarat spesi karboh parsial positif, meminjam istilah imam algazali, ini tergolong pada kelompok “rojulun la yadri wa la yadri annahu yadri”, begitu kira-kira.
Nukleofil dalam hal ini, ia menyiapkan dua mekanisme dalam membantu kedua jenis spesi berbeda ini, yaitu dengan mekanisme SN1 dan SN2. SN1 untuk mahasiswa tipe 1 dan SN2 untuk mahasiswa tipe 2. Dari kedua mekanisme ini, anggaplah kita seorang nukleofil, kita sebagai dosen perlu menyiapkan mekanisme pembelajaran yang adaptif untuk kedua jenis mahasiswa ini, sehingga goals nya sama. Mereka dapat kita bantu meningkatkan pemahamannya dalam ilmu pengetahuan.
Saya percaya bahwa berbagi itu ada seninya, perlu strategi khusus dalam berbagi, dan ini tidak hanya berlaku pada dunia pendidikan seperti diatas. Contoh lainnya adalah dalam realitas perekonomian masyarakat Indonesia. Jikalah pemerintah ini ibarat nukleofil yang punya segudang kekuasaan untuk mensejahterakan kita, maka pemerintah sudah seharusnya memperhatikan dua tipe substrat yang harus ia bantu. Ibaratnya, spesi karbokation adalah masyarakat kelas bawah, mereka memang perlu dan harus dibantu secara ekonomi dengan mekanisme tertentu.
Disamping itu, pemerintah juga harus perhatikan juga substrat lainnya, yaitu si parsial positif tadi, atau mereka yang ada di kelas menengah. Kelas menengah ini seolah-olah tidak butuh bantuan, namun sebenarnya mereka sangat memerlukan bantuan, sepakat kan ya? Nah, pemerintah ini juga harus menyiapkan mekanisme untuk memberikan bantuan elektronnya kepada kelas menengah untuk lebih berdaya. Ini yang saya maksud berbagi itu perlu kecerdasan dan kejelian.
Yah, mungkin ada yang berekspektasi saya akan membahasnya dengan makna sufistik “mainstream” dari cerita nukleofil, tapi pada akhirnya adalah aspek ekonomi juga yang dibahas, hehehe. Meski anggapan umum tasawuf itu dimensinya endogen, tapi sebetulnya ada dimensi sosial eksogen dari tasawuf. Bagi saya, tasawuf sudah tak bisa dipahami sebagai pengasingan diri dari hal-hal duniawi. Jikalau tasawuf ini berakar dari dimensi ihsan, maka sebagai pelaku tasawuf, kita harus mampu menunjukkan keihsanan kita dalam kehidupan sosial kita.
Saya teringat definisi ihsan “an ta’budallaha kannaka tarohu, fain lam takun tarohu fainnahu yaroka, beribadah seolah-olah kita melihat-Nya. Kalu tidak begitu, beribadahlah dengan meyakini bahwa Allah melihat kita.”. Kalo memahami ihsan dari definisi tersebut, ihsan berkaitan dengan ibadah, dimana jenis ibadah yang kita lakukan tentu saja tak hanya ibadah personal, ada juga ibadah sosial yang mengisi relung-relung kemasyarakat.
Maka, tasawuf zaman sekarang harus dipahami lebih luas, harus berangkat dari dimensi pribadi ke dimensi sosial, dari endogen ke eksogen. Peduli pada berbagai isu, seperti climate change, pangan, perkembangan AI, ekonomi global dan regional, termasuk PPN 12%, hehehe. Jadi seorang sufi zaman now haram bersikap asosial, wkwkwk.
Kembali ke bahasan semangat berbagi, mari kita belajar berbagi pada nukleofil, dimana berbagi butuh strategi dan seni, tidak bisa monoton dan asal-asalan. Wallahu a’lam.
Hai, Saya Fawwaz Muhammad Fauzi, suatu produk hasil persilangan genetik Garut-Majalengka. Menjadi Dosen Kimia adalah profesi utama saya saat ini. Selain itu, ya membahagiakan istri, anak dan orang tua. Melalui blog ini, saya ingin menuliskan kisah-kisah keseharian saya yang pasti receh. Mungkin sedikit esai-esai yang sok serius tapi gak mutu. Jadi, tolong jangan berharap ada naskah akademik atau tulisan ilmiah disini ya, hehe.
Kalau ada yang mau kontak, silahkan email ke [email protected]. Udah itu aja.