Adaptif dengan Musik

Adaptif dengan Musik

Melihat satu postingan instagram gus Nadir yang berisi potongan video suasana Synchronize Fest dimana Hadad Alwi bersenandung melantunkan tembang “Rindu Muhammadku”, disitu terdapat sekelompok anak muda yang dengan semangatnya mengikuti alunan musik dan ikut melafalkan lirik yang berisi sholawat. Yang menarik adalah terdapat seorang wanita yang tak berhijab berurai air mata, menangis sendu, mungkin saking ia meresapi lirik demi lirik yang disampaikan.

Dari sini, saya tak akan membuat caption yang sama dengan gus Nadir tentunya. Saya justru ingin berbagi pengalaman pribadi betapa saya aneh terhadap diri sendiri. Disaat orang-orang terkadang punya preferensi genre musik yang disukai, bahkan musik yang ia benci. Beberapa orang pernah mengaku secara langsung bahwa ia tak menyukai dangdut koplo karena goyangan biduan yang seringkali tak senonoh. Saya malah tak bisa tak menyukai satu atau dua jenis musik. 

Tentu saja saya hanyalah penikmat musik, bukan vokalis, pengguna alat musik ataupun musisi. Saya hanya penikmat. Memang, ada masa-masa dimana saya merasa memiliki suara yang bagus, apalagi ketika flu, kebindengan membuat suara lebih merdu, wkwkwk. Saat itu, saya merasa suara saya sebelas duabelas dengan Pasha Ungu. Namun, setelah mendengar saran teman saya untuk merekam suara sendiri, kemudian didengarkan sendiri, ternyata suara yang saya bangga-banggakan saat flu itu fales banget, hahaha.

Ya, tapi memang begitulah. Saya menyukai semua jenis musik. Sejak SD dulu, diera-era ketika musik Indonesia didominasi Band macam Slank, Peterpan, Ungu, Naff, ST12, dan sejenisnya, saya menyukai semua lagunya. Bahkan terkadang, satu dua kali saya dengar terasa kurang bisa dinikmati, tiga empat lima ternyata enak juga. Apalagi saat kita coba menerka dan memperhatikan lirik demi lirik yang dilantunkan. Ada yang bikin mesem-mesem karena relate, ada juga yang bikin sedih karena dalam, adapula berlirik sedih, namun full joget menertawakan kesedihan macam koplo. Hahaha.

Bahkan, selama ini saat berkendara dengan orang tua, saya khatamkan itu tembang-tembang kenangan, macam lagu “Aku masih seperti yang dulu”-nya Dian Pieshesha, “Surat untuk Kekasih”-nya Tommy J. Pisa, “Jangan Ada Dusta Diantara Kita”- nya Broery Marantika & Dewi Yull, Koes Plus, dan lain-lain, banyak banget. Saya tak merasa itu tak kekinian dan aneh. Saya menikmatinya. Lagu-lagu Negeri tetangga macam lagu “Tayammum”-nya Iklim juga suka-suka aja. Lagu-lagu Barat, saya tak masalah selain lirik yang kurang saya pahami. Tapi beberapa lagu Barat ini sempat ada yang saya translate saking keingintahuan saya memahami artinya.

Hingga beberapa tahun belakangan inipun, saat ada yang menghujat lagu-lagu koplo, ada yang mengkritik lagu-lagu alumni Indonesia Idol, saya malah menikmati semuanya, dari Denny Caknan sampai Tiara Andini, bahkan ketika mereka berdua duet. Its awesome. K-Pop? Tanpa koreonya, banyak nada-nada lagunya yang menyenangkan kok. Lagu-lagu galau dan mellow macam Bernadya, atau penyanyi lain yang naik daun sekarang ini seperti Sal Priadi, Nadin Amizah, Fortwnty, Banda Neira, Fiersa Besari saya tak ada alasan untuk tak menyukainya. Nada-nadanya menyenangkan, liriknya mungkin ada yang relate, ada yang terlalu mellow, terlalu berlebihan, bagi saya, ya itulah karya seni, dimana dalam seni, orang bebas untuk mengekspresikan isi kepala.

Jadi, ini memang untuk saya pribadi. Ada banyak alasan untuk menyukai sebuah karya daripada untuk tak menyukainya. Andai liriknya tak paham pun, masih ada nada dan irama yang bisa kita sukai, saat nadanya tak begitu masuk ditelinga, ada lirik yang begitu indah untuk dinikmati. Seperti dalam sholawat, terkadang karena berbahasa arab, kita tak memahami artinya. Saat membaca maulid, mahallul qiyam, ia berisikan sejarah yang disampaikan dengan seni sastra yang indah. Mungkin, saat wanita muda dalam video yang diunggah Gus Nadir itu membaca dan memahami kata demi kata dalam beberapa kita maulid seperti barzanji, diba’i, simtudduror hingga burdah, saya cukup yakin air matanya akan mengucur lebih deras.

Ini adalah apa yang saya rasakan sebagai penikmat, bukan berarti mereka yang punya preferensi, menyukai yang ini, tak menyukai yang itu, adalah orang yang tak menghargai karya seni dan musik. Karena orang tentu punya hak untuk suka dan tidak suka dong. Apalagi mereka yang berprofesi sebagai musisi atau mahir dalam alat musik, pasti punya penilaian yang lebih baik dan objektif daripada saya kan? Toh, kritik pun diperlukan dalam sastra. Jadi, saya yang terlalu adaptif dengan musik dan hampir menyukai semuanya termasuk lagu India dan DJ OKE GAS-nya Prabowo ini apakah anomali? Ataukah ada juga yang sama dengan saya?

Sikap Meremehkan Ilmu dan Pendidikan

Sikap Meremehkan Ilmu dan Pendidikan

gambar hanya pemanis

Di era yang serba digital ini, ilmu sudah bukan menjadi barang langka. Kita bisa dengan mudah search di google untuk apapun yang ingin kita ketahui. Terlebih, fitur artificial intelegence (AI) macam chatgpt yang luar biasa canggih. Meski tak sepenuhnya akurat, ia bisa menjadi alat bantu yang baik untuk pengetahuan.

Saya adalah bagian dari pengguna yang merasa terbantu dengan kehadiran teknologi yang semakin berkembang. Dengan prompt atau keywords yang tepat, apapun yang kita ingin kita tanyakan akan dijawab oleh teknologi, entah melalui google, chatgpt, youtube, fyp tiktok, dll. Algoritma mengaturnya secara epik.

Jika ada yang bilang kepada saya, “Jangan belajar dari google, youtube, dsj karena belajar itu harus ada gurunya, belajar dengan google akan menyebabkan kita digurui oleh setan, kita akan tersesat.”. Saya tak sepenuhnya setuju dengan pernyataan ini. Disatu sisi ada benarnya, namun dengan panduan dan cara penggunaan yang tepat, teknologi informasi adalah alat bantu yang luar biasa. Tak semerta-merta kita belajar ke setan. Asal kita paham, informasi yang diunggah ke internet banyak mengandung kebenaran, tergantung dari bagaimana kita menverifikasi, memvalidasi dan memprofiling sumbernya, dan tentu saja jangan menjadikannya sebagai rujukan primer. Jika anda menjadikan info di grup WA keluarga sebagai rujukan utama, falyatabawwa’ maq’adahu minannar, hahaha.

Dibalik kemudahan-kemudahan mengakses ilmu pengetahuan, ada aspek negatif yang lebih saya khawatirkan daripada mengenai sumber kredibel yang diperdebatkan,  yaitu tentang atensi manusia terhadap ilmu pengetahuan dan pendidikan di generasi mendatang. Saya melihat, generasi saat ini, paling tidak di circle pergaulan saya sehari-hari, terdapat indikasi dimana mereka seperti tidak lagi menghargai ilmu pengetahuan, bahkan cenderung meremehkan.

Saking mudahnya sehari-hari kita mengakses sumber pengetahuan, kita seolah-olah meremehkan proses belajar yang harus ditempuh. Kita cenderung menggampangkan segala hal. Semuanya hanya tinggal browsing dan ketemulah jawabannya. Contoh pertama, di suatu kelas mahasiswa saya, ada sesi presentasi, sudah mah makalah dan ppt dibuat dengan asal-asalan tanpa rujukan buku-buku dan sumber yang baik karena hasil chatgpt atau downloadan scribd, saat tanya jawab, mereka mendadak browsing jawabannya saat kelas berlangsung lalu membacakannya tanpa pemahaman. Saya rasa ini adalah salah satu sikap yang mendegradasi marwah keilmuan.

Contoh kedua, saat mengobrol dengan seseorang, saya cukup kesal jika ditanya adakah perkuliahan (S1 atau S2) yang tidak perlu masuk kelas, tidak perlu skripsi, tinggal menunggu dan langsung lulus dapat ijazah? Toh, semua yang diajarkan di kuliah sudah ada di internet. Ini adalah pertanyaan yang cukup sering ditanyakan kepada saya oleh sebagian orang. Kita tau bahwa pendidikan di Indonesia memang punya segudang persoalan kronis. Tapi jangan kita perparah dengan kita ikut serta dengan praktek demikian. Memang, seperti dalam teori ekonomi, supply praktek jual beli gelar itu ada akibat dari adanya demand di masyarakat. Namun, kita harus hentikan ini paling tidak dimulai dari diri kita sendiri.

Gelar bagi saya juga memang tak penting. Tak penting dari sisi penyebutan oleh orang lain atau bangga-banggaan. Namun jika untuk diri kita sendiri, kita yang menyandang gelar ini harus punya refleksi mendalam pada diri kita masing-masing. Sudahkan kita menguasai keilmuan sesuai dengan tuntutan gelar yang kita miliki? Kita punya tanggungjawab moral untuk terus memantaskan diri kita memiliki gelar tersebut. Memiliki gelar akademik berarti menginformasikan kepada masyarakat bahwa kita punya kompetensi dalam bidang tersebut. Jika kita ternyata tak punya kompetensinya, bukankah kita dzolim dan tak menghargai pendidikan?

Contoh ketiga, joki skripsi. Contoh keempat, Gaji honorer. Contoh kelima, keenam, dan masih banyak lagi. Persoalan pendidikan di Indonesia memang multi multi. Tentu saja tak bisa kita selesaikan sendiri. Selemah-lemahnya usaha, paling tidak jangan biarkan kita ikut-ikutan menjadi pihak yang meremehkan ilmu dan pendidikan, dengan tidak menggampang-gampangkan.

Saya tau di era teknologi informasi ini semua serba gampang. Mari jadikan kemajuan teknologi dan kemudahan yang diberikannya ini sebagai media bagi kita untuk terus berkembang. Bukan kemudian kita bersembunyi dibalik kemajuan teknologi dan menyombongkan diri, padahal kita kosong dan tak berisi. Menggampangkan adalah sifat sombong terhadap ilmu. Bukankah Syekh Azzarnuji dalam Ta’limul Muta’allim mensyaratkan bahwa salah satu cara mengagungkan ilmu adalah dengan cara menghindari kita bersikap sombong terhadap ilmu?

Wallahu a’lam.

Menyelenggarakan Kaderisasi Ansor

Menyelenggarakan Kaderisasi Ansor

Kaderisasi adalah hal yang wajib dilakukan oleh sebuah organisasi. Tentu saja untuk pengembangan SDM dan regenerasi organisasi. Kader (Cadre) berasal dari bahasa Yunani berarti Bingkai. Artinya perkumpulan orang yang dibingkai untuk dibina demi tujuan tertentu.

Maka, demi mencapai apa yang dituju oleh GP Ansor, GP Ansor punya mekanisme kaderisasi bagi anggota yang dapat diikuti, dari mulai PKD (Pelatihan Kepemimpinan Dasar), PKL (Lanjut), hingga PKN (Nasional) bahkan LI (Latihan Instruktur). Dan, alhamdulillah, PAC GP Ansor Rajagaluh yang saya pimpin telah berhasil menyelenggarakan PKD yang diikuti total 70 peserta pada tanggal 31 agustus-1 september lalu di PP. Mansyaut thullab, Rajagaluhlor asuhan KH. Jazaul Ihsan.

Saat mahasiswa, saya diberi pemahaman bahwa jenis kaderisasi ada 3, yaitu formal, informal dan non formal. Formal seperti agenda PKD, PKL, dan sejenisnya, informal seperti pelatihan softskill, dan non-formal macam ngopi-ngopi dan ngaliwet. Artinya, PKD Ansor ini bukan hal aneh. Sudah kewajiban yang harus dilakukan, dan merupakan agenda rutinan.

Meski sudah rutinan, konsolidasi organisasi menjadi kunci untuk penyelenggaraan PKD. Karena tanpa ada tim atau kepanitiaan yang kompak, agenda kaderisasi tak akan bisa berjalan dengan baik. Hal yang paling penting adalah terkait dengan rekrutmen peserta dan strateginya. Ini sangatlah rumit, karena untuk mengajak orang untuk bergabung di organisasi bukan hal mudah, apalagi organisasi macam Ansor ini bersifat non-profit.

3 bulan kita lakukan serangkaian strategi untuk bagaimana dapat merekrut calon-calon kader yang diharapkan dapat membersamai bahkan melanjutkan estafet organisasi. Alhamdulillah, serangkaian strategi rekrutmen yang kami laksanakan membuahkan hasil 71 kader baru GP Ansor, dimana 80% diantaranya adalah putra daerah asli Rajagaluh, yang tentunya ke depan akan mewarnai pergerakan GP Ansor di wilayah Kecamatan Rajagaluh.

Tugas yang sebenarnya baru saja akan dimulai. Pengalaman berbicara, fase pasca pelatihan adalah fase krusial dimana kader baru itu akan tetap aktif atau menghilang. Mengapa demikian? Fakta di beberapa organisasi menunjukkan bahwa justru setelah pelatihan, banyak kader yang awalnya semangat, kemudian menghilang. Padahal seharusnya, setelah diberikan materi ideologisasi dan pengembangan diri, kader bisa lebih ideologis dan skillfull. Seharusnya. Tapi fakta ternyata berkata lain. Ini sebetulnya perlu dilakukan studi terkait mengapa itu bisa terjadi, yang menyebabkan rasa-rasanya kok agenda kaderisasi yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, pikiran, bahkan cuan yang tidak sedikit tidak berefek signifikan terhadap militansi kader.

Terkait studi, itu soal lain. Tapi yang perlu kita lakukan adalah bagaimana kita memastikan gejala ini tak berulang di GP Ansor Rajagaluh. Maka kita akan siapkan pendampingan-pendampingan di fase pasca kaderisasi, melalui kaderisasi informal macam penambahan pengetahuan dan soft skill, atau kaderisasi non-formal macam ngopi-ngopi dan ngaliwet. Karena untuk kebutuhan saat ini, meski organisasi macam Ansor dan NU ini kita yakini penuh dengan barokah, itu saja tidak cukup. Kita perlu siapkan Ansor menjadi ruangan yang nyaman untuk pengembangan diri, media yang tepat untuk membangun jejaring, tempat yang indah untuk menjalin persaudaraan dalam perjuangan.

Maka saya sepakat dengan agenda ketum Addin Jauharudin dengan platform ASTA BISA, Bisnis, Inovasi Teknologi Media, SDM dan Anak Muda, itu harus diwujudkan dan direalisasikan hingga akar rumput. Terlebih, terdapat planning program bernama ANSOR UNIVERSITY dibawah komando Sahabat Dwi Winarno, saya cukup optimis meski ada pesimis-pesimisnya, hahaha. PR masih banyak, seperti pembentukan ranting dan rekrutmen anggota Banser. Mohon doa, semoga Sahabat Ansor di Rajagaluh dapat tetap kompak dan berkembang menuju Ansor Masa Depan BISA!

Salah Kita Juga!

Salah Kita Juga!

Minggu-minggu ini kita saksikan bersama, pengkhiatan demokrasi yang dilakukan DPR kita. Gambar burung garuda berlatar biru mewarnai jagat maya. Kita, sebagai rakyat, ditinggalkan oleh para dewan terhormat itu. Sungguh praktek berdemokrasi yang menyesakkan, terlebih ini semua dilakukan konon untuk melayani seseorang yang disebut Bahlil sebagai “Raja Jawa”.

Tapi bagi saya, ini tidak sepenuhnya salah mereka. Ini salah kita juga! Salah kita yang memilih mereka karena iming-iming uang 100 ribu, salah kita yang mencoblos mereka karena turunnya bansos, salah kita karena secara terang-terangan menormalisasi politik transaksional dan politik logistik.

Kita akan pilih si A, si B, si C atau yang lainnya berdasarkan siapa bawa duit berapa? Mana duitnya yang lebih besar? Tak pernah kita jadikan gagasan mereka, ideologi mereka, rekam jejak mereka sebagai pertimbangan utama untuk menentukan pilihan. Jikapun ada, kita akan nyinyir ke mereka, “hilih, idealis amat lu!”

Maka, ketika mereka telah menjadi anggota DPR yang terhormat, mereka merasa telah melunasi janjinya kepada kita selaku rakyat. Karena janjinya hanyalah serangan fajar berisi pecahan 100 ribu yang didistribusikan sesaat sebelum pencoblosan. Ia telah menanam hingga 5M untuk menjadi anggota DPR. Suara kita telah dibeli sebesar 100.000 rupiah perorang untuk 5 tahun. Untuk apa mereka repot-repot njagani kita? Toh, kita sudah lunas dibeli!

Seperti kata pepatah! Apa yang kita tuai adalah hasil dari apa yang kita tanam. Jadi, selamat menuai, wahai sesama bangsa Indonesia. Semoga ada secercah harapan.

Selamat 29, Istriku!

Selamat 29, Istriku!

Setahun lagi, usiamu akan menginjak kepala tiga. Tentu saja aku lebih dulu melaluinya. Kini usiaku sudah 31 tahun. Setelah aku mempersuntingmu 6 tahun lalu, sepanjang hidup, kita akan selalu bergandengan tangan, berbagi cerita, berjuang bersama dalam mengarungi fase-fase kehidupan.

Tulisan ini bukan sesuatu yang istimewa, dan entah apakah tahun depan aku akan menulis catatan seperti ini atau tidak, tapi aku hanya ingin mengucapkan 2 hal kepadamu seperti pada sambutan-sambutan para pejabat. Satu, terimakasih, ya, terimakasih untuk seluruh waktu dan perhatianmu selama ini, kepadaku, anak-anak, mamah, bapa dan semuanya. Aku tau itu semua bukan hal yang mudah, terlebih, kamu kubawa ke tempat yang jauh dari tempat asalmu di timur sana. Namun ketegaran dan keteguhanmu akan cinta, menguatkan langkahmu untuk tetap berada disampingku.

Tentu saja semuanya tak semulus yang orang kira. Pastinya kita punya banyak perbedaan, punya segudang penyikapan yang berbeda atas suatu persoalan. Tak jarang juga kita saling kesal. Namun, aku selalu ingat nasihat sesaat setelah ijab qobul itu. Pernikahan itu harus rebutan mengalah, mengalah dari ego, mengalah dari rasa selalu benar, mengalah untuk lebih dulu meminta maaf.

Maka menyambung pada hal kedua yang ingin aku sampaikan, yaitu Maaf. Aku meminta maaf, hingga saat ini belum dapat menjadi suami yang bisa membahagiakanmu sepenuhnya. Terkadang aku tak cukup sabar, selalu tak bisa romantis dan terlalu cuek, mungkin saja aku tak bersikap adil, dan tentunya aku belum menjadi sosok yang dapat menjadi imam dan panutan dalam arti sesungguhnya. Ambisiku, keinginanku, dan keyakinanku akan suatu hal mungkin saja memaksamu untuk berusaha memaklumi semuanya. Meski itu berat bagimu, kau jalani dengan sekuat-kuatnya hati. Akupun terkadang merasa tak sampai hati, di matamu aku lihat beban yang cukup berat. Tapi inilah kenyataan pahitnya, hidup adalah perjuangan. Maka setiap derap langkah kita, harus dikuatkan dengan tekad perjuangan.

29 tahun usiamu, 6 tahun pernikahan kita, alhamdulilah semua kita lalui bersama. Meski terkadang ada angin kencang yang tidak memihak kita, tapi yakinlah, Allah akan tiupkan semilirnya angin sederhana yang menyejukkan kita, mendamaikan perasaan kita, menenangkan hati kita, menapaki jalan-jalan kehidupan yang menguras keringat. Hal yang perlu kita berdua ingat adalah, jangan lupa untuk kita bersama-sama menarik nafas dan menghelanya secara perlahan. Memberi waktu pada hati kita untuk saling berbicara disela semua pergulatan kehidupan yang tentu saja melelahkan.


Bagiku, bertambahnya usia adalah berkurangnya jatah kehidupan kita di dunia. Demi untuk hidup lebih lama, bersamamu, bersama anak-anak kita, aku telah lakukan beberapa langkah dalam hidup untuk menuju kesana. Semoga kedepan kita ditakdirkan untuk mendampingi anak kita terus tumbuh besar, menikah, lalu kita berdua menimang cucu kita, lalu tumbuh besar, membuka lembaran kehidupannya sendiri, hingga saat itu, semoga kita masih diberi kesempatan oleh Sang Maha Berkehendak.

Ini bukan rayuan gombal, kamu tau sendiri aku bukan orang yang romantis. Aku yakin seyakin yakinnya bahwa kamulah pelabuhan terakhir, aku ingin melukiskan sejarah kehidupan bersamamu dan keluarga kecil kita, dan aku ingin menutup mata untuk terakhir kalinya dipelukanmu. Maka tentu saja, kamu adalah cinta sejatiku.

Selamat ulang tahun yang ke-29 istriku. Semoga yang disemogakan akan tersemogakan, doa-doa terbaik untukmu dan keluarga kita. Allah Maha Mendengar, Maha Pemberi. Ya Allah, berilah rahmatmu kepada keluarga kami, lindungilah keluarga kami, berilah kami umur yang panjang, kesehatan, keluasan rizki, kesuksesan, dan hiasilah kehidupan kami dengan kebaikan yang tak terhingga. Amin.