Dari Ide Besar Ke Detail Kecil: Harapan untuk Presiden

Dari Ide Besar Ke Detail Kecil: Harapan untuk Presiden

Menonton video pidato Presiden Prabowo di forum PBB, satu kata yang mewakili perasaan saya, “terkagum”. Terlebih, Presiden RI kedelapan ini menutup pidatonya dengan statemen berikut:

“Arab, Yahudi, Muslim, Kristen, Hindu, Buddha, semua agama, kita harus hidup sebagai satu keluarga manusia.
Indonesia berkomitmen untuk menjadi bagian dari mewujudkan visi ini.
Apakah ini mimpi? Mungkin. Tapi ini adalah mimpi indah yang harus kita wujudkan bersama.
Mari kita bekerja menuju tujuan mulia ini.
Mari kita lanjutkan perjalanan penuh harapan kemanusiaan.
Perjalanan yang dimulai oleh para pendahulu kita.
Perjalanan yang harus kita tuntaskan.”

Closing statement seperti ini meninggalkan kesan yang cukup mendalam bagi saya. Disamping cara berpidato beliau yang sangat “pas” dan secara konten juga “berisi”, n cPresiden Prabowo memang dikenal sebagai orator yang handal, berapi-api, penuh energi, dan mampu membakar semangat. Beliau berulang kali menampilkan pidato berkelas dan penuh ketegasan, seperti yang juga disampaikannya di Sidang MPR lalu. Namun, di balik kekaguman itu, gonjang-ganjing publik juga tak bisa menahan diri untuk mempertanyakan: apakah kata-kata megah dari Presiden akan benar-benar diejawantahkan dalam program nyata yang relevan dan berdampak?

Jawabannya tentu bisa iya. Program seperti MBG (Makan Bergizi Gratis), Kopdes Merah Putih, dan Danantara adalah contoh ide besar dengan konsep yang keren di atas kertas. Namun realitas di lapangan sering kali tidak semudah di konsep. Misalnya, pelaksanaan MBG akhir-akhir ini menghadapi kasus keracunan yang ramai diberitakan. Hal ini menunjukkan bahwa ide bagus pun masih menyimpan tantangan besar dalam hal detail eksekusi.

Intervensi langsung pemerintah untuk mengatasi gizi buruk itu oke, bahkan visioner. Tetapi dari ide besar harus lahir konsep turunan yang matang, teknis yang jelas, serta SOP yang ketat. Karena, seperti kata pepatah: the devil is in the details.

Saya ingin berhusnudzon. Di usia kepala 70-nya, rasanya tidak mungkin Presiden Prabowo menggadaikan sisa hidupnya untuk meninggalkan warisan buruk. Saya percaya beliau hadir dengan ide program yang lahir dari kontemplasi panjang, bukan sekadar gimmick. Saya percaya beliau ingin meninggalkan legacy baik. Tapi, ide dan niat baik saja tidak cukup. Eksekusi butuh ketelitian luar biasa. Di sinilah peran pembantu presiden jadi krusial: mereka harus eksekutor handal, bukan oportunis yang hanya aji mumpung atau sekadar ABS (asal bapak senang).

Saya jadi teringat pengalaman berorganisasi di masa mahasiswa. Pertama, ada tipe orang yang kuat di ide dan gagasan, semangat berdebat soal makna istilah dan wacana besar, bahkan sampai begadang semalaman hanya untuk meributkan diksi. Kedua, ada tipe yang fokus pada teknis dan detail: bagaimana acara berjalan, bagaimana ice breaking, bagaimana forum, tindak lanjut, sampai evaluasi. Kalau orang bertipe ini absen, bubar jalan. Ketiga, selalu ada tipe oportunis: sok asik, numpang tenar, tapi minim kontribusi.

Dalam konteks pemerintahan, Prabowo harus pintar memilah. Siapa yang cocok mengawal ide besar, siapa yang ahli detail, dan siapa yang sebaiknya dijauhkan karena hanya akan jadi beban. Pertanyaannya sekarang, apakah orang-orang di lingkaran presiden saat ini lebih banyak tipe konseptor atau eksekutor? Saya tidak tahu. Yang jelas, harapannya sederhana: semoga mereka bukan oportunis.

Dari 21% Oksigen Menuju Manusia Seutuhnya

Dari 21% Oksigen Menuju Manusia Seutuhnya

Beberapa hari yang lalu, saya ditodong untuk menjadi narasumber pengganti dalam agenda orientasi mahasiswa baru jurusan Tadris Kimia UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon. Sebagai dosen baru di kampus, rupanya bukan hanya maba yang di ospek, sayapun juga di ospek mahasiswa. Undangan mahasiswa diantarkan hanya 3 jam sebelum acara. Sungguh tahu bulat.

Saya diminta menyampaikan materi sejarah kimia dan integrasinya dengan Islam. Saya siapkan materi “digoreng dadakan” namun tetap kresss dan bukan asal ngacapruk. Intinya bahwa kimia yang kita kenal saintifik dan empiris banget itu embrionya sangat kental dengan nuansa mistis. Dan integrasinya dengan islam? meski aspek epistemologinya sudah cukup mapan dibahas (minimal di PTKIN), tapi cukup menarik saat ada pertanyaan dari seorang mahasiswa.

“Pak, sebenarnya kalo kita belajar sains seperti kimia ini apakah bisa membuat kita jadi semakin Islam?”, kira-kira begitu parafrase pertanyaan mahasiswa baru tadi. Seketika saya teringat dalam suatu kegiatan penguatan moderasi beragama di suatu tempat. Pada saat itu diisi oleh fasilitator dari Fahmina Institut, beliau bertanya, “Apa yang membuatmu bersyukur setiap hari?”

Beberapa peserta menjawab dengan heroik, ada yang menjawab berkaitan dengan keluarga, pekerjaan, finansial, dll. Tawa dan sorak sorai bergemuruh. Saya adalah salah satu peserta dengan jawaban yang “terlalu biasa”. Saya menjawab, “Saya bersyukur karena detik ini saya masih diberi oksigen yang pas untuk bernafas.”.

Tentu saja jawaban saya ini tak mendapat tepuk tangan atau sorakan apapun karena ya jawabannya “apaan sih”. Oksigen ya dianggap hal biasa dan lumrah saja. Manusia pasti bernafas, oksigen pasti ada, tak ada yang istimewa kan?

Bagi banyak orang, mungkin terdengar biasa. Tapi bagi orang yang mempelajari sains, oksigen adalah bahasan yang sangat panjang, dan bernafas bukanlah skema kerja tubuh yang “terlalu biasa”. 21% oksigen yang ada dan tersedia untuk kita bernapas adalah buah dari kontribusi makhluk hidup lain seperti tumbuhan dan fitoplankton. Keduanya memproduksi oksigen dengan prekursor CO2. Saat CO2, pemanasan global semakin parah, iklim kacau, semua dari kita terancam dari berbagai sisi. Dalam jangka panjang, ada potensi kadar oksigen di bumi akan berkurang juga.

Saat bumi semakin panas, gelombang panas ekstrem mengancam kesehatan manusia, permukaan laut naik menenggelamkan kawasan pesisir, sementara kekeringan, badai, dan kebakaran hutan mengganggu ketersediaan pangan. Semua ini pada akhirnya bermuara pada perebutan sumber daya yang menimbulkan instabilitas sosial. 

Bukankah dengan banyaknya hubungan sebab akibat ini menjadikan oksigen dan karbon dioksida ini tak boleh disepelekan? Perannya sangat vital bagu kehidupan. Kita sangat “bermanja ria” terhadap oksigen. 1 menit saja tanpa oksigen, akan sangat fatal bagi manusia, 3 menit tanpa oksigen akan memulai fase dimana kerusakan otak mulai terjadi dan semakin lama terjadi, kematian akan menghampiri.

Bgai saya, disinilah sains & islam bertemu. Sains seringkali membuat saya berkontemplasi atas anugerah-Nya dalam hidup. Hal-hal yang menurut kita biasa saja, ternyata “sangat tidak biasa” ketika kita pahami lebih jauh konsepnya. Bagaimana milyaran sel dalam tubuh kita setiap detiknya bekerja begitu detil. Melakukan skema spesialisasi, sehingga tidak ada ceritanya sel kita salah memprogram. Yang harusnya jadi sel kulit misalnya, malah menspesialisasi menjadi sel saraf atau sel darah. Saat tubuh masih dalam proses pembentukan organ didalam janin, tidak ada pemrograman yang tertukar untuk melokalisasi organ. Hidung tetap pada tempatnya dibawah kedua mata, lokasi mata tidak tertukar dengan telinga, dll.

Disisi lain, setiap kali kita menggerakkan tubuh, sejatinya terjadi sebuah kerja sama halus antara listrik dan kimia dalam sistem saraf. Otak mengirimkan impuls listrik melalui jaringan neuron, lalu di ujung saraf sinyal ini diterjemahkan menjadi pesan kimia berupa neurotransmitter bernama asetilkolin, yang menjembatani komunikasi dengan otot. Tanpa mekanisme ini, perintah otak hanya akan berhenti sebagai “getaran listrik” tanpa makna. Di sini kita bisa melihat betapa rapuh sekaligus canggihnya tubuh manusia: gerakan sekecil mengedipkan mata saja adalah hasil orkestrasi sinyal listrik dan molekul kimia yang bekerja dalam harmoni.

Inilah refleksi saya sebagai orang yang belajar kimia dalam memahami keajaiban ciptaan-Nya. Maka merefleksikan ayat-ayat kauniyah adalah wiridnya seorang saintis, mekanisme olah batin yang penting untuk bagaimana kita mensyukuri “kerennya” anugerah Allah SWT. Disinilah letak integrasi nilai sains-islam. Refleksi atas insight fenomena sains memunculkan hikmah yang menuntun kita pada kesadaran atas makna hidup berdasar nilai kesilaman yang selanjutnya menjadi output berupa kebaikan sikap dan perilaku. Bersyukur atas hidup, menghargai sesama dan menjaga alam serta berperan menjadi seorang manusia dengan sebaik-baiknya adalah citra diri dan akhlak seorang saintis islam.

Bagi saya, disinilah sains sebagai ilmu yang seringkali dikonotasikan sebagai ilmu duniawi, ternyata sangat mendalam merefleksikan kesadaran teologis. Sederhananya, hikmah sains meningkatkan ketaqwaan kita kepada Tuhan, menjadikan kita manusia yang lebih “beragama”. Sebab sains tanpa iman hanya data, sementara iman tanpa sains bisa buta. Bila keduanya dipadukan, ia menuntun kita menjadi manusia seutuhnya.

Dari Asap ke Azam: Berjuang Berhenti Nyebat

Dari Asap ke Azam: Berjuang Berhenti Nyebat

Saya adalah tukang udud sejak lama. Ya, saya memulainya sejak kelas 1 SMA waktu di pesantren. Sebagai seorang yang cukup sulit bergaul dan bersosialisasi, alasan klise saya merokok adalah agar mudah masuk ke circle pergaulan dan gak ketinggalan tongkrongan. Dan yang merokok juga bukan cuma satu dua orang, mungkin 50% teman di pesantren saya adalah perokok. Saya masih ingat sebat pertama Class Mild yang membuat saya terbatuk-batuk itu, hahaha. Kebiasaan itu kemudian ikut saya terus sampai sekarang, tanpa perlu diseret-seret, dia nempel sendiri.

Akan tetapi, saya gak mau sok munafik. Saya paham betul bahwa ada bahaya dalam setiap kepulan asap rokok. Bahkan saat ada perokok yang berdialektika dengan Bahasa filsafat untuk menjustifikasi rokok tidak berbahaya bagi tubuh, saya cuma bisa mesem tipis. Kalaupun saya justifikasi, itu Cuma buat haha hihi, bukan dari hati beneran. Saya gak sreg pakai jurus ngeles, wkwkwk. Saya sadar penuh, rokok itu toksik.

Saya ngerti karena saya belajar kimia. Saya ngerti banget zat apa aja yang masuk ke tubuh. Terlebih, saya ngajarin juga mahasiswa farmasi tentang senyawa karsinogenik, metabolisme nikotin, dan efek fisiologis asap rokok. Ironisnya, saya teredukasi oleh edukasi saya sendiri, hahaha. Setiap kali masuk kelas dan ngomongin bahaya bahan kimia, bagian otak saya yang lain bisik-bisik, “Bos, lo tuh ngomongin diri sendiri, macam khotib saat khutbah jum’at”, dan saya jawab bisikan itu, “Hehe, iya ya.”

Saya juga bukan perokok yang semena-mena. Saya tahu diri, gak bakal saya nyebat kalau ada anak kecil, gak bakal juga asal nyalain rokok di tempat umum tanpa cek situasi. Saya itu tipe yang sebelum nyebat, saya bakal celingak celinguk kanan kiri dulu, ada orang gak, ada ibu-ibu hamil atau bayi gak, ada satpol PP gak. Bukan takut ditegur sih, tapi lebih ke… ya sadar aja, gak semua orang mau jadi perokok pasif dan terpapar sisa bahaya kepulan asap rokok kan?

Beberapa bulan ini, saya lagi mencoba berhenti. Serius. Ini perjuangan yang lebih berat dibanding saat saya ngatur pola makan saat diet sejak 2 tahun lalu . Padahal dulu saya pikir diet itu udah tantangan hidup paling kompleks setelah skripsi dan tesis. Ternyata belum. Ternyata yang namanya nglepasin rokok itu lebih dari sekadar menahan keinginan. Ini soal menolak pelarian. Menolak kebiasaan yang selama ini jadi teman dalam lamunan sepi senja bapak-bapak anak tiga, atau malah jadi alasan biar bisa bengong lima menit di tengah tumpukan kerjaan di kantor atau di sela-sela ngajar.

Saya gak janji muluk-muluk, tapi saya sedang berproses. Semoga bulan-bulan ke depan, tulisan saya soal rokok udah saya tulis dari sudut pandang mantan perokok, bukan dari “dosen kimia tukang udud”. Terlebih, saya tak ingin anak saya mengikuti kebiasaan udud bapaknya ya. Apalagi dengan fakta bahwa prevalensi perokok di Indonesia mencapai 73,2 % dengan 7,4%-nya adalah remaja usia 10-18 tahun. Mohon doanya. Biar kimia yang saya ajarkan, kesehatan yang saya terlibat di dalamnya, dan gaya hidup yang saya Jalani bisa berjalan satu frekuensi. Amin.

Sanad Kimia

Sanad Kimia

Di dunia pesantren, sanad adalah hal yang penting, bahkan ada sebuah istilah populer bahwa “al isnadu minaddin, laulal isnad laqola man sya’a wa ma sya’a”, sanad adalah bagian dari agama itu sendiri, kalau tidak ada sanad, maka orang akan ngomong karepe dewe. Maka dalam tradisi pesantren, saat berpendapat dan berucap “menurut saya”, itu adalah semacam hal yang tabu. Karena sebagai ahli ilmu, berpendapat itu harus bersandar kepada keilmuan itu sendiri, jadi titik komprominya adalah “menurut pemahaman saya” dari kitab A, bla bla bla.

Sebagian orang berpendapat, pola semacam itu membatasi kebebasan berpikir. Bagi saya tidak. Karena dalam kita mensintesa pemikiran/pendapat, kita harus mendasarkannya pada referensi-referensi yang dapat dipertanggungjawabkan. Tidak boleh ngawur. Berkata “menurut saya” mungkin sah-sah saja, asal ia melanjutkan “berdasarkan pada ….”. Inilah yang bagi saya, antara dunia pesantren dan dunia akademik modern punya titik temu yang sama. Ia sama-sama menghargai mata rantai  keilmuan. Pesantren dengan sanad sedangkan akademik dengan sitasi, pesantren dengan hujjah ulama sedangkan akademik dengan argumentasi berlandaskan literatur, pesantren dengan kitab kuning, akademik dengan peer-reviewed journal.

Dalam belajar ilmu agama, sering kita dengar bahwa guru yang paling banyak mendapatkan pahala adalah guru yang mengajarkan alif ba ta hingga lancar surat al-Fatihah. Rasionalisasinya beragam, tapi satu hal yang pasti, huruf hijaiyyah, sepanjang ia belajar keislaman dari literatur kitab kuning, semuanya berdasar pada kemampuan dasar pengenalan alif ba ta. Aplikasi yang interdisipliner ini membuat “guru alif ba ta”-lah yang panen pahala di masa depan, kira-kira Kyai yang mengajari ia alfiyah beserta syarah-syarahnya itu pahalanya lebih kecil dari kyai kampung alif ba ta.

Begitupun saat saya mempelajari ilmu kimia, kesukaan saya pada ilmu kimia bermula saat sekolah di Madrasah Aliyah dengan guru yang menyenangkan saat itu. Pak Unang dan Ibu Susi namanya. Bu Susi mengajarkan SPU hingga deret homolog alkana dengan nadzam-nadzam ala lalaran yang familiar dengan santri. Pak Unang memberi banyak insight tentang kimia yang membuat saya pada akhirnya mantap memilih Kimia sebagai program studi prioritas saat berkuliah nanti.

Saat melanjutkan studi S-1 di Kimia UIN Malang, meski sempat terseok-seok di awal, dibawah bimbingan dosen disana, seperti Pak Tri, Bu Diana, Pak Naim, Pak Hanapi, Bu Rahma, Bu Elok, dll, alhamdulillah saya berhasil menyelesaikan studi. Kira-kira, guru alif ba ta kimia saya adalah pak Unang dan Bu Susi saat MA dan para Dosen Kimia UIN Malang. Maka, saya akan tegas mengatakan bahwa Sanad Kimia saya berasal dari Kimia UIN Malang. Bu Susi dan Pak Unang mengajarkan saya bedanya ba, ta, tsa, jim, ha, kho berdasarkan titik-titik yang ada, Dosen Kimia UIN Malang mengajarkan saya alfatihahnya sehingga saya memutuskan untuk melanjutkan S2 di Kimia juga karena sudah kadung cinta dengan bidang ilmu ini.

Kemarin (5/6/2025) adalah titik dimana saya telah ditetapkan sebagai CPNS Dosen Tadris Kimia UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon. Tentu ada rasa bahagia atas semua proses yang telah saya jalani hingga saya pada akhirnya bisa tiba pada “Titik Awal” impian saya ini. Selain kepada orang tua, istri dan semua keluarga yang mendoakan, saya juga harus haturkan banyak terimakasih pada semua guru dan dosen kimia saya. Karena dari beliau-beliau lah sanad kimia saya dapatkan. Tentu saja saya ucapkan terimakasih kepada Bapak/Ibu Dosen S2 Kimia UNPAD, Prof Tri, Prof Tati, Bu Lela, Bu Desi, Bu Darwati, Prof Unang, Pak Ari dan semuanya. Dari beliaulah saya lebih lanjut bisa maknani/ngafsahi kimia lebih lanjut, khususnya maknani spektra 2D-NMR, hingga mensyarahi hasil running in silico hehehe, terimakasih!

Akhiron, semoga semua guru dan dosen saya di bidang Kimia dan bidang lainnya diberi kesehatan dan panjang umur, diberkahi dalam sepanjang hidupnya. Dan doakan saya semoga bisa menjadi seperti beliau-beliau yang dapat menelurkan murid-murid hebat, menjadikan ilmunya bermanfaat dan meluas di dunia akademik dan di masyarakat, amin ya robbal alamin.

Salam ta’dzim.

Disrupsi AI dan Kita yang Masih ingin Ngopi

Disrupsi AI dan Kita yang Masih ingin Ngopi

Ada kutipan populer dari Sapiens yang sering diucapkan, “Manusia cenderung takut perubahan karena takut akan ketidakpastian, tapi ternyata, satu hal yang paling konsisten terjadi sepanjang sejarah dunia ini adalah perubahan itu sendiri”. Maka dari itu, perubahan hingga versi ekstrimnya, disrupsi, adalah sahabat karib manusia yang selalu menyertai, apalagi di era teknologi informasi seperti sekarang ini

Beberapa dekade terakhir, hidup kita seperti terus diacak-acak oleh perubahan. Baru saja merasa nyaman dengan satu teknologi, datang lagi yang lain. Baru menguasai satu skillset suatu teknologi, datang lagi teknologi yang baru, yang membuat kita harus belajar kembali skillset baru, padahal skilset sebelumnya belum benar-benar terpakai maksimal. Dunia digital fluidiity nya luar biasa. Apa-apa sangat cepat berubah. Disrupsi tak pernah mau istirahat, padahal sering tak ajak duduk ngopi, duh.

AI, pelaku disrupsi yang awalnya hanya angan-angan di film fiksi ilmiah, kini menjadi terobosan teknologi paling mutakhir yang mendisrupsi berbagai lini kehidupan. Kehadiran ChatGPT waakhwatuha menjadi tonggak dimulainya era kejayaan AI. Kehadirannya mendisrupsi cara kota menulis, membaca, mencari informasi, bahkan cara kita berpikir. Dan seperti disrupsi lainnya, ini kemudian akan dianggap biasa oleh manusia.

Dalam dunia AI, konon ada tiga jenis pengguna. Pertama, everyday user seperti saya dan kebanyakan orang. Kedua, praktisi atau prompter pro, yang memahami cara bertanya ke AI jawaban yang keluar adalah jawaban yang “daging semua.”, bahkan user jenis ini yang akhir-akhir ini banyak mengoptimasi penggunaan Veo 3 yang super keren itu. Ketiga, AI creators, para jenius yang bikin sistemnya dari awal.

Mayoritas dari kita jelas di kelompok pertama. Tapi bukan berarti saya user yang newbie banget ya. Saya sendiri sudah beberapa kali mencoba AI buat bantu bikin kerangka tulisan, ngobrolin ide-ide, sampai cek pemahaman. Bahkan di dunia akademik, Platform seperti SciSpace, Elicit, Paperpal, dan sejenisnya sangat membantu peneliti untuk menyusun paper. Tapi tentu aja hasilnya wajib bagi AI user menverifikasi dan memeriksa ulang has-hasil kerja. AI bukan dosen, bukan kiai. Dia nggak kasih berkah, dia kasih bantuan teknis aja. Jadi tetap kita yang harus pegang kendali.

Selain itu, bukan berarti karena adanya AI, kita menganggap enteng semuanya, kita tetap harus growing, mengembangkan kapasitas dan kompetensi diri. Anggaplah AI itu adalah Tools macam pisau dapur. Ditangan orang yang tidak punya skill, mentok-mentok pisau dapur hanya untuk masak mie rebus yang potongan sayurnya gak presisi. Tapi ditangan koki handal, dapat dihasilkan masakan kelas dunia.

Dan di era saat ini, diskusi pun sekarang tidak hanya bisa dilakukan bersama manusia. Kadang sayapun curhat ide atau gagasan ke AI, kadang ngetes struktur tulisan, kadang cuma iseng ngulik jokes receh. Dan ini semua saya lakukan tanpa berlangganan. Masih gratisan. Gak ada duit, hahaha. Tapi ya tetap berguna. Fitur gratisan pun sudah bisa banyak bantu, tinggal kita mau maksimalkan atau enggak.

Lalu pertanyaannya, apakah AI akan menggantikan teman diskusi manusia? Bisa iya, bisa enggak. Tapi jelas, AI udah mulai ambil peran. Kita belakangan disajikan berita yang menyatakan bahwa insinyur-insinyur AI Microsoft yang di PHK akibat AI ciptaanya sendiri yang dapat mengefisiensi kinerja perusahaan terkait SDM.

Maka, AI mungkin dalam satu kondisi bukan masalah menggantikan kita, tapi mengisi celah yang sebelumnya kita nggak sadar ada. Ngobrol sama AI bikin kita reflektif, lebih tenang, kadang lebih jujur, karena nggak ada yang menghakimi. Tapi ya itu, jangan sampai jadi lupa caranya ngobrol beneran sama manusia.

Perubahan besar sedang berlangsung. AI bukan sekadar alat, tapi bisa jadi lensa baru melihat dunia. Selama kita sadar bahwa alat ini tetap alat—bukan guru, bukan nabi, bukan panutan mutla, maka dia akan tetap di tempatnya. Dan kita pun tetap bisa jadi manusia yang berpikir dengan jernih. Dan saya yakin, kedepan, perkembangan AI akan lebih gila-gilaan, mendisrupsi cara kita hidup. Tidak ada cara lain, pilihan kita adalah bersiap akan perubahan dan disrupsi yang akan terjadi. Kita harus bersiap.

Tulisan saya diatas ini juga saya coba masukkan ke Chat GPT, kemudian saya beri prompt begini, “Sempurnakan tulisan ini dari sisi penyusunan bahasa, tapi jangan ubah-ubah alur dan gaya kepenulisan khas saya. Sebagai referensi, anda dapat mengakses beberapa tulisan saya di fawwazmf.com.”. Kurang dari 5 detik, tulisan hasil chatGPT sudah keluar. Tapi hasilnya saya kurang suka, jadi ini adalah murni tulisan saya. Judulnya lah yang saya ambil dari AI, meski tetep saya edit juga, hehehe. Selain itu, gambar ilustrasi tulisan ini juga dihasilkan dari chatGPT gratisan dengan prompt tertentu. Terus saya lakukan faceswap, hahaha. Lumayan kan?

Apakah kedepan tulisan dari chat GPT benar-benar bisa 80-90% plek ketiplek sesuai dengan preferensi yang saya harapkan? Saya tak mau denial, mungkin saja itu bisa terjadi. Kita tunggu dan bersiap.