Minggu-minggu ini kita saksikan bersama, pengkhiatan demokrasi yang dilakukan DPR kita. Gambar burung garuda berlatar biru mewarnai jagat maya. Kita, sebagai rakyat, ditinggalkan oleh para dewan terhormat itu. Sungguh praktek berdemokrasi yang menyesakkan, terlebih ini semua dilakukan konon untuk melayani seseorang yang disebut Bahlil sebagai “Raja Jawa”.
Tapi bagi saya, ini tidak sepenuhnya salah mereka. Ini salah kita juga! Salah kita yang memilih mereka karena iming-iming uang 100 ribu, salah kita yang mencoblos mereka karena turunnya bansos, salah kita karena secara terang-terangan menormalisasi politik transaksional dan politik logistik.
Kita akan pilih si A, si B, si C atau yang lainnya berdasarkan siapa bawa duit berapa? Mana duitnya yang lebih besar? Tak pernah kita jadikan gagasan mereka, ideologi mereka, rekam jejak mereka sebagai pertimbangan utama untuk menentukan pilihan. Jikapun ada, kita akan nyinyir ke mereka, “hilih, idealis amat lu!”
Maka, ketika mereka telah menjadi anggota DPR yang terhormat, mereka merasa telah melunasi janjinya kepada kita selaku rakyat. Karena janjinya hanyalah serangan fajar berisi pecahan 100 ribu yang didistribusikan sesaat sebelum pencoblosan. Ia telah menanam hingga 5M untuk menjadi anggota DPR. Suara kita telah dibeli sebesar 100.000 rupiah perorang untuk 5 tahun. Untuk apa mereka repot-repot njagani kita? Toh, kita sudah lunas dibeli!
Seperti kata pepatah! Apa yang kita tuai adalah hasil dari apa yang kita tanam. Jadi, selamat menuai, wahai sesama bangsa Indonesia. Semoga ada secercah harapan.
Setahun lagi, usiamu akan menginjak kepala tiga. Tentu saja aku lebih dulu melaluinya. Kini usiaku sudah 31 tahun. Setelah aku mempersuntingmu 6 tahun lalu, sepanjang hidup, kita akan selalu bergandengan tangan, berbagi cerita, berjuang bersama dalam mengarungi fase-fase kehidupan.
Tulisan ini bukan sesuatu yang istimewa, dan entah apakah tahun depan aku akan menulis catatan seperti ini atau tidak, tapi aku hanya ingin mengucapkan 2 hal kepadamu seperti pada sambutan-sambutan para pejabat. Satu, terimakasih, ya, terimakasih untuk seluruh waktu dan perhatianmu selama ini, kepadaku, anak-anak, mamah, bapa dan semuanya. Aku tau itu semua bukan hal yang mudah, terlebih, kamu kubawa ke tempat yang jauh dari tempat asalmu di timur sana. Namun ketegaran dan keteguhanmu akan cinta, menguatkan langkahmu untuk tetap berada disampingku.
Tentu saja semuanya tak semulus yang orang kira. Pastinya kita punya banyak perbedaan, punya segudang penyikapan yang berbeda atas suatu persoalan. Tak jarang juga kita saling kesal. Namun, aku selalu ingat nasihat sesaat setelah ijab qobul itu. Pernikahan itu harus rebutan mengalah, mengalah dari ego, mengalah dari rasa selalu benar, mengalah untuk lebih dulu meminta maaf.
Maka menyambung pada hal kedua yang ingin aku sampaikan, yaitu Maaf. Aku meminta maaf, hingga saat ini belum dapat menjadi suami yang bisa membahagiakanmu sepenuhnya. Terkadang aku tak cukup sabar, selalu tak bisa romantis dan terlalu cuek, mungkin saja aku tak bersikap adil, dan tentunya aku belum menjadi sosok yang dapat menjadi imam dan panutan dalam arti sesungguhnya. Ambisiku, keinginanku, dan keyakinanku akan suatu hal mungkin saja memaksamu untuk berusaha memaklumi semuanya. Meski itu berat bagimu, kau jalani dengan sekuat-kuatnya hati. Akupun terkadang merasa tak sampai hati, di matamu aku lihat beban yang cukup berat. Tapi inilah kenyataan pahitnya, hidup adalah perjuangan. Maka setiap derap langkah kita, harus dikuatkan dengan tekad perjuangan.
29 tahun usiamu, 6 tahun pernikahan kita, alhamdulilah semua kita lalui bersama. Meski terkadang ada angin kencang yang tidak memihak kita, tapi yakinlah, Allah akan tiupkan semilirnya angin sederhana yang menyejukkan kita, mendamaikan perasaan kita, menenangkan hati kita, menapaki jalan-jalan kehidupan yang menguras keringat. Hal yang perlu kita berdua ingat adalah, jangan lupa untuk kita bersama-sama menarik nafas dan menghelanya secara perlahan. Memberi waktu pada hati kita untuk saling berbicara disela semua pergulatan kehidupan yang tentu saja melelahkan.
Bagiku, bertambahnya usia adalah berkurangnya jatah kehidupan kita di dunia. Demi untuk hidup lebih lama, bersamamu, bersama anak-anak kita, aku telah lakukan beberapa langkah dalam hidup untuk menuju kesana. Semoga kedepan kita ditakdirkan untuk mendampingi anak kita terus tumbuh besar, menikah, lalu kita berdua menimang cucu kita, lalu tumbuh besar, membuka lembaran kehidupannya sendiri, hingga saat itu, semoga kita masih diberi kesempatan oleh Sang Maha Berkehendak.
Ini bukan rayuan gombal, kamu tau sendiri aku bukan orang yang romantis. Aku yakin seyakin yakinnya bahwa kamulah pelabuhan terakhir, aku ingin melukiskan sejarah kehidupan bersamamu dan keluarga kecil kita, dan aku ingin menutup mata untuk terakhir kalinya dipelukanmu. Maka tentu saja, kamu adalah cinta sejatiku.
Selamat ulang tahun yang ke-29 istriku. Semoga yang disemogakan akan tersemogakan, doa-doa terbaik untukmu dan keluarga kita. Allah Maha Mendengar, Maha Pemberi. Ya Allah, berilah rahmatmu kepada keluarga kami, lindungilah keluarga kami, berilah kami umur yang panjang, kesehatan, keluasan rizki, kesuksesan, dan hiasilah kehidupan kami dengan kebaikan yang tak terhingga. Amin.
Sering kali dalam obrolan ringan di warung kopi, saya mendengar banyak orang meremehkan gelar akademik. Mereka berpandangan, kultur pendidikan formal dari SD hingga SMA, bahkan hingga perguruan tinggi, tidak punya kemampuan untuk mencetak lulusan yang sesuai dengan kompetensinya.
Lho, sejak SMP belajar Bahasa Inggris, tapi hingga keluar SMA masih belum juga bisa bahasa inggris, begitupun lulusan Perguruan tinggi, masih nihil. Itu paling tidak adalah salah satu argumentasi untuk “mendelegitimasi” sistem pendidikan formal.
Pada akhirnya, mereka berpikir, intinya sekolah itu bukan mencari ilmu, tapi cukup orientasikan saja untuk mencari gelar dan mendapatkan ijazah, dimana ijazah bisa digunakan sebagai prasyarat untuk melamar pekerjaan. Semua pembelajaran sekolah “tidak penting”, yang penting ijazahnya.
Maka belakangan, banyak fenomena orang mencari tempat kuliah gratis, atau bahkan kuliah berbayar, tapi langsung skripsian, parahnya lagi, skripsinya dikerjakan oleh seorang joki, kita tinggal duduk manis dan menikmati hasilnya. Mirisnya, hal ini banyak dinormalisasi, paling tidak dalam obrolan-obrolan kecil sirkel warung kopi atau masyarakat kecil. Saya tidak bisa berword-word jika menemukan hal seperti ini.
Sebenarnya, ini semua tidak sepenuhnya salah dari masyarakat. Sistem pendidikan di Indonesia yang masih carut marut, kesejahteraan pendidik, mahalnya biaya pendidikan, conflict of interest, politisasi, perubahan aturan yang sporadis, melengkapi mendungnya masa depan pendidikan di Indonesia. Namun, meski dengan banyak kekurangan, seperti dalam adagium populer santri, “ma la yudraku kulluh, la yutraku kulluh,”, sesuatu yang tidak dapat kita raih sepenuhnya, jangan kita tinggalkan sepenuhnya pula.
Artinya, meski pendidikan di Indonesia masih jauh dari kata ideal, kita tak boleh menggeneralisir bahwa semua tahapan pendidikan yang ada itu tidak berguna, sehingga kita menganggap semuanya tidak penting dan tidak berharga, gelar akademik hanya berguna untuk melamar kerja, bodo amat dengan beban pengetahuan yang diemban.
Kita harus paham, bahwa gelar yang kita punya mengandung beban moral dan beban pengetahuan. Orang dengan gelar dr. didepan namanya tentu akan dianggap cakap dan kompeten untuk mendiagnosis penyakit dan mengobati orang, terlepas ia tak serius saat kuliah. Orang dengan gelar S.Pd akan dianggap cakap dan kompeten dalam mengajar dan mendidik, terlepas ijazahnya hasil beli jutaan maupun skripsinya hasil jokian.
Maka ketika kita memiliki gelar, namun tak punya kompetensi yang sepadan, kita telah membohongi publik dan masyarakat, kita telah dzolim kepada diri sendiri dan orang lain. Kita tidak bersikap adil (menempatkan sesuatu pada tempatnya), dan bisa dikatakan, standar moral kita sangatlah rendah dan tak tahu malu. Eh, bukankah ini memang lumrah ada di konoha?
Terlepas dari ketidaksempurnaan sistem pendidikan nasional kita, mari kita tingkatkan kompetensi keilmuan, mari kita pantaskan diri kita atas gelar yang kita punya, mari kita hargai ilmu pengetahuan, mari kita muliakan kedudukan ilmu, terlepas dari carut marut yang ada. Dan, untuk kaum santri, berhenti untuk mendikotomi ilmu agama dan ilmu umum, mergo wes ora usum. Semua harus sama-sama serius dipelajari dan dipahami, karena pada dasarnya, semua ilmu adalah ilmu Allah, memiliki nilai kemanfaatan untuk masing-masing bidangnya. Jangan mendiskreditkan satu sama lain.
Jangan biarkan Indonesia menjadi krisis kompetensi. Banyak orang memiliki gelar akademik, namun nihil kompetensi. Sudah mah orang indonesia yang mampu menyelesaikaย pendidikan tinggi hanya 10%, misal 30% diantaranya inkompeten, ini akan jadi kiamat akademik dan krisis kompetensi. Serius masih yakin Indonesia Emas 2045?
Saya sudah dua kali di Wisuda, tentu yang saya hitung adalah wisuda sarjana dan magister. Wisuda TK, meski dulu saya juga pakai toga, tidak saya masukkan hitungan. Konon, wisuda ini berasal dari bahasa Sanskerta, ‘visuddha’ yang berarti selesai. Lulus dari TK masa iya sekolahnya udahan, hahaha.
Perbedaan dari dua wisuda yang saya ikuti, seperti yang saya tulis di tulisan lama, wisuda sarjana terkesan biasa saja, namun saat magister, rasanya memang emosional! Terlepas dari itu, ada satu kesamaan dari kedua wisuda yang pernah saya ikuti, saya tak benar-benar mengikuti dan memahami rangkaian prosesinya! Yang penting saya duduk manis, lalu hape-an, dan tentu saja, nundutan, wkwkwk. Apalagi saat wisuda S2, beuuuh, daring bosss, atasan toga, bawahan kolor, ngenes!
Sialnya, kira-kira dua bulan yang lalu, di Kampus tempat saya mengajar, saya didapuk menjadi Ketua Panitia Wisuda, dan rumitnya lagi, itu adalah Wisuda Perdana untuk lulusan angkatan pertama dimana kampus belum pernah sekalipun menyelenggarakan wisuda. Tentu saja saya tak punya modal legacy, misal draft-draft atau pedoman wisuda yang bisa saya pegang. Saya dan tim panitia harus berupaya keras merancang konsep dan atribut wisuda dari nol, bahkan kami mendadak merancang Mars dan Hympe Kampus! Bagaimana susunan acaranya, bagaimana toga wisudanya, untuk mahasiswa, pimpinan, siapa saja yang diundang, dan tetek bengek lainnya.
Syukurlah, panitia bentukan kami bermental baja. Dengan semangat “Kami adalah perintis, bukan pewaris” seperti sabda bokong truk, kami jalan terus, segala aral merintang kita hadapi. Persiapan demi persiapan kita jalani. Dan alhamdulillah, tepat pada hari kamis, 18 Juli 2024 lalu, kegiatan wisuda itu rampung terlaksana, sukses, meriah dan menggelegar! Beruntunglah saya dikelilingi tim yang kompak dan keren. Tim kesekretariatan yang gercep, tim media yang professional, tim protokoler yang sigap, dan tim keamanan, konsumsi dan lainnya yang siaga dan rela ngelembur-ngelembur demi kesuksesan acara perdana ini.
Wisuda perdana yang diselenggarakan di Sapphire Grand Ballroom, Aston Hotel Cirebon itu menjadi catatan sejarah epik, dimana wisuda perdana kampus kami berjalan dengan lancar dan meriah. InsyaAllah tidak memalukan untuk dijadikan barometer pada pelaksanaan wisuda berikutnya. Legacy yang cukup layak! Terimakasih kepada seluruh panitia, dosen, petugas acara, wisudawan, dzurriyah KHAS Kempek yang senantiasa kompak bekerja bersama. Karena tentu saja, ketua panitia tanpa anggota yang solid tak akan bisa mensukseskan suatu acara. Dan yang paling penting, terimakasih untuk inisiatif penyewaan Handy-Talky di H-1 yang sangat-sangat berguna. Hahaha.
Selamat untuk 70 wisudawan wisudawati Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan KHAS Kempek dari Program Studi Farmasi dan Gizi. Seperti kata banyak orang, wisuda itu bukan akhir, justru awal untuk anda semua memulai langkah hidup dengan gelar yang menempel dibelakang nama. Gelar itu menyimpan beban moral yang berat. Semoga anda semua dapat menjadi orang yang adil, dapat mengaplikasikan dan mempertanggungjawabkan gelar yang anda miliki dengan keterampilan dan pengetahuan yang sepadan. See all of you on top! Semoga Allah senantiasa merahmati dan membimbing kita semua. Amin ya robb.
Sejak munculnya platform jual beli online. Perilaku konsumen dalam berbelanja juga berubah. Disrupsi Teknologi dalam praktek ekonomi keseharian rakyat ini benar-benar mentransformasi konsumen dalam pengambilan keputusan membeli suatu barang.
Saat pasar luring berjaya, momentum liburan sekolah akan membuat pasar dipadati lautan manusia yang memburu aneka produk incarannya, dari mulai fashion hingga makanan. Pasar menjadi tempat utama spending money pada saat itu. Era teknologi informasi mendisrupsinya. Munculnya terminologi healing, menjamurnya wisata-wisata baru yang semakin terjangkau, didukung dengan produksi konten-konten marketing wisata instagrammable dari para influencer, membuat orang yang awalnya liburan itu belanja ke pasar, menjadi healing ke tempat wisata.
Disisi lain, muncul pula disrupsi dalam bentuk lainnya berbentuk marketplace. Bagi saya, Shopee yang muncul di tahun 2015 dapat dikatakan sebagai platform tersukses yang menjadi aktor utama disrupsi ini. Promo gratis ongkir, diskon-diskon kemudian menjadi daya tarik luar biasa untuk konsumen mengambil keputusan. Konsumen pada akhirnya terbiasa dengan berbelanja online hingga saat ini, termasuk saya. Pasar konvensional terpukul mundur, tentu saja karena kalah saing. Harga yang ditawarkan penjual online jauh lebih murah dibandingkan yang ditawarkan penjual offline. Gratis ongkir pula. Nikmat mana lagi yang kau dustakan.
Kedua faktor inilah bagi saya yang menyebabkan banyak pasar tradisional menjadi bak tak berpenghuni. Lalu lalang manusia di banyak pasar tradisional di Indonesia dapat dihitung jari. Omzet menurun. Penjual kemudian mengeluh. Media memberitakan. Tapi apapun itu, ini adalah reformasi dari perkembangan teknologi informasi. Banyak orang bijak berkata, sekuat apapun kau melawan arus, kau akan tetap terombang-ambing. Lebih baik, ikutilah arus, lalu beradaptasi. Maksudnya, ya sudah yang jualan di pasar ikut buka toko online saja, jadi sama-sama jalan kan?
Keluarga saya adalah salah satu contohnya. Melalui saya dan istri, 2018 saya memulai membuka toko di shopee. Alhamdulillah, masih teringat euforia saat orderan pertama itu datang. Selanjutnya disusul dengan membuka banyak toko di platform marketplace lain macam lazada, tokopedia, dan terakhir adalah TikTok. Semuanya berjalan baik hingga datanglah aturan biaya admin dari marketplace, disusul mulai munculnya banyak pesaing diantara seller online.
Dibarengi dengan COVID-19 yang mempengaruhi daya beli masyarakat. Penjualan baik online maupun offline banyak yang sepi. Ya mungkin tak semua kategori produk, produk macam skincare sedang merajalela, tapi fashion? Merosot! Untuk apa beli baju baru, hijab baru, sepatu baru sedang saat COVID kita tak bisa jalan-jalan dan foto-foto dengan fashion baru itu. Produsen juga ikut sengsara. Akibatnya, banyak produsen ikut mencoba direct langsung ke konsumen, memutus jalur distribusi. Konsekuensinya, namanya produsen, ia dapat menjualnya dengan harga yang lebih murah. Ditahap inilah, banyak dari mereka para reseller dan dropshipper menyerah tanpa syarat, sebagian dari mereka ada yang tetap survive dengan mengurangi margin keuntungan.
Persaingan antar platform marketplace juga ikut memanas, mereka mencoba membuat tawaran promosi kepada para seller untuk berlomba-lomba menjual dengan harga murah. Jika ada yang tak ikut serta mengikuti promo, algoritma tak akan menaikkan produk jualan para seller. Disamping itu, marketplace juga telah kehabisan momentum untuk terus membakar uangnya, sehingga menerapkan biaya admin yang cukup “mencekik” kepada seller. Mau tidak mau, seller pun mengikutinya dengan mengurangi margin keuntungan. Menurut beberapa orang, margin keuntungan yang sehat paling tidak jangan kurang dari 10% dari harga barang. Sekarang? Saya tidak bisa berword-word, wkwkwk.
Masih terus berlanjut, dengan persaingan antar seller yang semakin sengit dengan perang harga. Iklan adalah satu opsi yang harus dipilih karena mereka tak bisa menggantungkan tokonya dengan traffic organik. Mereka harus mengalokasikan anggaran dari margin keuntungan yang sudah tipis itu untuk beriklan. Konsekuensinya, keuntungannya semakin menipis, belum lagi kalau ia tak punya skill mengelola ads. Yang ada mereka rugi dan boncosss!!!
Fakta-fakta inilah yang menurut saya menyebabkan efek domino bagi perekonomian masyarakat kecil. Perang harga menyebabkan margin keuntungan seller menipis. Dengan keuntungan yang menipis, tentu mereka akan lebih selektif untuk berbelanja barang sehingga perputaran ekonomi terus melambat. Akhirnya, seller ini juga yang terkena dampaknya, mereka kesulitan menjual produknya karena calon konsumennya (yang mungkin juga sesama seller) tak punya uang berlebih.
Jika memang benar bahwa 99,99% atau 65 juta pelaku usaha di Indonesia adalah UMKM, maka saya kira mayoritas dari mereka ini juga merupakan seller online. Jika melihat statistik itu, dengan penyerapan tenaga kerja di UMKM yang mencapai 97%, agaknya kita berada dalam situasi ekonomi yang tidak sehat. Jika banyak UMKM kolaps, baik yang offline (yang sudah lebih dulu lesu), maupun yang online (akibat perang harga), maka perekonomian Indonesia dapat dikatakan tidak baik-baik saja. Belum lagi ada isu akan datangnya platform marketplace asal Tiongkok yang dapat menjual produk secara direct ke konsumen dikirim langsung dari sana. Kiamat kiamat, wkwkwk.
Menurut saya, perlu ada kebijakan strategis yang diambil pemerintah untuk mengatasi kondisi ini, agar efek dominonya tak meluas dan berdampak kepada kejatuhan ekonomi. Eh, tapi menurut Najwa Shihab, kita masyarakat ini gak penting di mata pemerintah ya? Lha wong data kita dicuri aja Menkominfo masih tak mau mundur, dan malah berkata Alhamdulillah, hahahaha.
Diakhir tulisan, saya disclaimer dulu. Saya bukan ahli ekonomi, pemerhati UMKM ataupun pakar bisnis. Saya hanya melihatnya dari kacamata orang biasa yang juga berprofesi sebagai seller online. Jadi analisisnya mungkin acakadut, wkwkwk. Saat cangkrukan dengan banyak teman sesama pedagang, mereka banyak sekali mengeluh terkait kondisi sekarang dimana omzet saat ini terjun bebas. Itu juga yang saya alami. Disaat semua harga kebutuhan pokok naik, ekonomi UMKM terjepit. Rumit. Semoga yang disemogakan dapat tersemogakan. Indonesia Emas 2045?
Hai, Saya Fawwaz Muhammad Fauzi. Saya berasal dari Majalengka, Jawa Barat. Jualan daring adalah profesi saya saat ini. Selain itu, ya membahagiakan istri, anak dan orang tua. Melalui blog ini, saya ingin menuliskan kisah-kisah keseharian saya yang pasti receh. Mungkin sedikit esai-esai yang sok serius tapi gak mutu.
Kalau ada yang mau kontak, silahkan email ke [email protected]. Udah itu aja.