Saya tercengang ketika melihat susunan acara masa orientasi santri baru yang tertulis bahwa saya harus mengisi materi “Menjadi Wirausahawan Muda”. Bagaimana tidak, saya hanyalah pedagang daring kecil yang terombang-ambil dengan persaingan yang semakin sengit. Disamping itu, 90% perdagangan itu telah dihandle oleh istri saya. Saat ini saya lebih dominan menyibukkan diri dengan menjadi dosen dan guru dengan segala beban administrasinya.
Praktis, saya memutar otak untuk mencoba mencari landasan-landasan pemikiran yang unik guna memberikan sudut pandang yang baik agar santri punya geliat mengembangkan jiwa enterpreneurshipnya. Minimal jangan seperti saya lah, hehehe.
Disamping dari beberapa pengajian yang saya ikuti, dalam pencarian, saya mendapatkan sudut pandang yang unik tentang bagaimana Islam memandang kekayaan materiil yang mungkin berbeda dari pandangan umum. Mari kita runut dari hulunya.
Tugas Manusia
Terdapat 2 tugas dari Allah swt bagi manusia di muka bumi ini, yaitu abdullah dan khalifatullah. Abdullah berlandaskan pada ayat “Wamaa kholaqtul jinna wal insa illa liya’budun.”, sedangkan khalifatullah berlandaskan pada ayat, “Waidz qoola robbuka lil malaikati inni jailun fil ardli kholifah”, kholifah disini diartikan sebagai “penugasan Allah kepada manusia untuk memakmurkan bumi.”. Singkatnya, abdillah mewakili hablumminallah (dimensi peribadatan), khalifatullah mewakili habluminannas dan hablumminal alam (dimensi sosial-lingkungan).
Sebagai abdullah, ini sudah non-debatable, paling tidak laksanakan sebaik-baiknya 5 rukun islam, yakini sepenuh hati akan 6 rukun iman, maka kita sudah dianggap sebagai abdullah ya baik. Namun khalifatullah ada aspek yang cukup rumit dan dapat menjadi diskursus yang sangat menarik untuk dibahas.
Menjadi khalifatullah, memakmurkan bumi, bisa dibilang bagaimana kita sebagai manusia bersosial, berinteraksi dengan sesama manusia. Selain itu juga bagaimana kita mengelola anugerah alam dengan sebaik-baiknya. Dari sini kita dapat mengambil benang merah bahwa menjadi khalifatullah berarti kita harus mengambil peran dalam kehidupan dimuka bumi ini. Kita masing-masing pribadi harus memiliki profesi sebagai pengejawantahan dari tugas manusia sebagai khalifatullah fil ardl.
Profesi dalam kehidupan manusia ini kita tahu bermacam-macam dan dinamis mengikuti perkembangan zaman. Salah satu profesi yang masih eksis hari ini adalah menjadi seorang enterpreneur, pebisnis, pedagang, dan sejenisnya. Dalam islam, bisnis adalah sesuatu yang tergolong mu’amalah dan hukumnya boleh dengan kaidah-kaidah tertentu. Profesi berdagang jika sukses, maka kita akan memiliki jumlah kekayaan materiil atau uang yang berlimpah, sehingga kita akan dikenal sebagai konglomerat, OKB, atau bahkan istilah saat ini, Crazy Rich.
Disisi lain, dalam pembahasan dibanyak pesantren bahkan madrasah, seringkali kita diberi tahu untuk tidak perlu mengejar kekayaan materiil yang “sifatnya duniawi”, lebih baik kejarlah hal-hal yang “sifatnya akhirat.”. Pada prinsipnya, pernyataan seorang ustadz (misal) demikian itu tak dapat disalahkan. Namun terkadang, statemen itu malah dijadikan dalih dan tameng akan ketidakmampuan kita dalam mencapai kekayaan materiil. “Sudahlah, dalam hidup kita tidak perlu menjadi kaya, banyak uang, yang penting barokah, perbanyak ibadah, mati husnul khotimah, toh, harta gak dibawa mati!”, tegas seorang ustadz di Kampung.
Bagi saya, dari statemen ini kita dapat menggarisbawahi dua hal. Pertama adalah kita tidak perlu menjadi kaya. Kedua, harga tidak dibawa mati. Temuan saya akan mencoba memunculkan diskursus akan kedua hal tersebut, karena ternyata, Islam menganjurkan kita untuk menjadi orang kaya, dan Islam juga menyatakan bahwa harta itu dibawa mati!
Kita Harus Jadi Orang Kaya
Pertama, kita dianjurkan menjadi kaya secara finansial, paling tidak, seorang Muslim harus mandiri secara finansial. Kita dapat mencontoh Rasulullah soal kemandirian, sudah yatim sejak kecil, Rasulullah muda berjualan hingga ke syam (suriah), hingga akibat dari aktivitas niaganya, bertemu dengan Siti Khadijah yang kemudian menjadi istrinya. Mahal Rasulullah kepada Khadijah juga tidak main-main, 20 ekor unta betina dan 350 gram emas, yang jika dirupiahkan nominalnya setara 1,4 Miliar! Apakah mahar demikian bisa kita kategorikan sebagai mahar dari seorang mempelai miskin? Tentu tidak! Maka Rasulullah adalah juga seorang yang kaya dan mandiri secara finansial.
Ada satu ayat menyatakan, “waidza qudhiyati sholatu, fantasyiru fil ardl, wabtaghu min fadlillah”, artinya silahkan manusia bertebaran di muka bumi untuk mencari rezeki. Disamping itu, dengan kita memiliki harta yang melimpah, kita dapat bersedekah di jalan dakwah, berkontribusi dalam banyak hal untuk kebaikan agama, misal memberikan sumbangsih pengembangan pesantren, beasiswa pendidikan, santunan yatim dan dhuafa, dan lain-lain. Tanpa kekayaan, dapatkah kita melakukan itu semua? Sahabat Rasulullah saja, macam Utsman bin Affan, Abdurrohman bin auf dan yang lainnya adalah konglomerat, sultan, alias crazy rich, sehingga beliau-beliau ini dapat banyak membantu dakwah Rasulullah, khususnya yang terkait dengan sokongan finansial.
Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj menyatakan, nafsu ghodobiyah itu jangan dibuang, tapi harus dikelola hingga menjadi Himmah. Nafsu ghodobiyyah, jika di manage, diganti niatnya menjadi niat-niat kebaikan, motivasi-motivasi kebajikan, maka itu bisa menjadi Himmah atau Cita-cita. Himmah untuk kita menjadi Kaya, Himmah untuk menjadi Sukses. “SAYA HARUS KAYA, SAYA HARUS NOMOR 1, dll.”
Harta Ternyata Dibawa Mati
Kedua, harta itu ternyata dibawa mati! Dari mana saya simpulkan itu? Dari hadits “Idza matabnu adama, inqothoa amaluhum, illa tsalatah, shodaqotun jariyatun, wailmu ….. dst.”. Menurut hadits yang diriwayatkan Imam Muslim ini, jika seorang manusia mati, maka terputuslah semua amalnya. Ia sepenuhnya akan mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya di dunia. Jika sering berlaku buruk, maka amal buruk dominan, siksa kubur menanti. Begitupun sebaliknya. Manusia tersebut tidak bisa lagi menambah amalnya untuk menutupi kekurangan-kekurangan amal baik di dunia agar dapat meringankan hukuman yang di terimanya.
Untungnya, kita adalah ummat kanjeng Nabi Muhammad SAW, dimana banyak diskresi yang diberikan, termasuk dalam perihal ini. Jika kita sudah tidak punya opsi memperbanyak amal. Kita harus pandai melakukan cheating, yaitu berinvestasi dengan portofolio keuntungan 100%. Bentuk investasinya ada 3, yakni shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat secara kontinyu, dan anak sholih yang senantiasa mendoakan.
Dari ketiga profil investasi tersebut, yang mungkin kinerjanya berada dalam kontrol kita adalah shodaqoh jariyah. Mengapa? Ilmu yang bermanfaat dan doa anak sholeh itu lebih dominan berada di luar kontrol kita. Kita mengajarkan ilmu agar bermanfaat, belum tentu murid kita memanfaatkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari. Seperti saya contohnya, tidak semua murid saya mengamalkan ilmu kimianya dalam kehidupan sehari-hari bukan? Yang mungkin manfaat adalah mengajarkan ilmu agama untuk ibadah praktis. Sayangnya tak semua orang punya waktu dan kapasitas mengajarkan ilmu agama.
Doa anak sholeh yang mendoakan. Yakinkah kita bahwa anak kita tak akan lupa untuk senantiasa mendoakan? Tentu harapan kita begitu. Tapi lagi-lagi, itu diluar kontrol kita. Kita boleh mendidik dan mengajarkan anak kita sebagai birrul walidain, tetapi lagi-lagi, itu bergantung kepada anak kita, di luar kontrol kita.
Maka, satu-satunya investasi amal dengan return yang dapat terprediksi dengan baik adalah shodaqoh jariyah, alias shodaqoh yang memberikan kemanfaatan berkelanjutan bahkan hingga kita telah meninggal dunia. Membantu pembangunan masjid, pengembangan lembaga pendidikan pesantren, mensupport kegiatan keagamaan adalah bentuk jariyah yang tepat selama anda memilih profil masjid, sekolah, pesantren dan organisasi keagamaan yang tepat. Ya tentu anda harus lihat, siapa pemimpinnya, siapa pelaku-pelakunya, siapa yang mendapat manfaatnya, dan bagaimana portofolionya, serta “return per year” nya.
Sepanjang dan sejauh saya memperhatikan, belum pernah saya temui masjid bangkrut. Dari 500 lembaga pendidikan, paling hanya 1-2 saja yang tak berlanjut, karena banyak sekali ustadz-ustadz kampung yang ikhlas mengajar tanpa meminta kontribusi dalam bentuk uang kepada orang tua muridnya. Organisasi keagamaan? Jika ia telah eksis hingga puluhan tahun bahkan satu abad macam NU dan Muhammadiyah, anda tak perlu ragu untuk jariyah melalui mereka. Maka, investasi jariyah demikian adalah pilihan tepat.
Sayangnya untuk bershodaqoh jariyah, kita harus menjadi seorang yang mapan secara finansial. Bagaimana anda bisa jariyah dengan nyaman jika untuk menyambung hidup saja anda kesulitan. Yang ada anda tervonis hadits “Kaadal faqru an yakuna kufron”, kefakiran mendekatkan diri kepada kekafiran. Entah faqir disini mau dianggap faqir harta maupun faqir hati. Saya sulit melepaskan keyakinan bahwa yang faqir harta akan lebih banyak yang faqir hati. Maka, menjadi kaya seperti pada poin pertama adalah salah satu prasyarat penting sebelum kita bisa shodaqoh jariyah.
Dengan manajemen nafsu ghodobiyah menjadi himmah, ambisi dan keinginan untuk meraih kemapanan finansial untuk mendukung aktivitas dakwah islam adalah hal yang dianjurkan. Maka silahkan anda-anda semua “fantasyiru fil ardl”, jangan termakan dawuh bahwa harta tidak penting. Karena jika kita orang yang kaya secara finansial, kita akan lebih leluasa untuk shodaqoh jariyah, untuk pesantren A 10 M, untuk masjid 20 M, untuk NU 10 M. Dimana shodaqoh jariyah pahalanya mengalir hingga kita mati. Dengan beginilah, dapat kita asumsikan bahwa harta yang kita investasikan sebagai shodaqoh jariyah, pahala jariyahnya akan dibawa mati, dan senantiasa menemani kita selama kemanfaatan dari jariyah itu masih terus berlanjut dari generasi ke generasi. Sebaliknya, harta yang anda investasikan dalam perbuatan-perbuatan buruk juga akan dimintai pertanggungjawaban. Pada intinya, semua harta akan dibawa mati, dipertanyakan oleh Sang Maha Kaya.
Maka, mari kita berlomba-lomba menjadi pribadi yang memiliki kekayaan finansial, tentu dengan motivasi dan tujuan yang baik, dengan sebuah himmah. Kita jangan terjebak dalam pengkotak-kotakan duniawi dan ukhrowi yang rigid. Bahwa harta adalah duniawi, sholat adalah ukhrowi. “Kam min amalin yatashowwaru bisuroti a’amaliddunya, fashoro min a’malil akhiroh bihusninniyyat, wakam Kam min amalin yatashowwaru bisuroti a’amalil akhiroh, fashoro min a’maliddunya bisu’inniyyat.”
Beberapa bulan terakhir memang sedang ramai-ramainya problematika persoalan nasab. Keabsahan nasab Baalawi dipertanyakan oleh beberapa kalangan. Meski menurut beberapa sumber memang pertanyaan keabsahan itu sudah ada sejak dulu, tapi KH. Imaduddin Utsman adalah orang yang “memviralkan” polemik keabsahan nasab Baalawi ini.
Tak ada api jika tak ada yang menyulutnya, konon yang saya dengar, di beberapa kesempatan, ada oknum habib yang berstatemen kontroversial. Tak perlu saya jelaskan apa-apa yang menjadi kontroversi itu, sepertinya banyak yang sudah menyimak. Hal itulah yang menyulut kubu sebelah yang konon adalah keturunan walisongo. Mereka geram dan kemudian meng-counternya, salah satunya dengan menggulirkan isu terkait keabsahan nasab Baalawi.
Seingat saya, isu ini sudah bergulir sejak tahun lalu. Meski di level nasional sudah mulai mereda, tapi dibeberapa kalangan yang saya temui, ini masih tetap masuk ke dalam pembahasan obrolan. Saya tak terlalu ambil pusing dengan isu ini. Jujur saya cenderung menghindari dialog seputar nasab ini. Tentu karena ketidaktahuan saya dalam keilmuan nasab. Adalah hal yang membagongkan ketika seorang yang tidak punya kapasitas dalam suatu bidang kemudian berani berbicara seolah-olah ia punya kapasitas. Eh, tapi bukankah di Indonesia itu lumrah? Wkwkwk.
Terlepas dari semua yang diperdebatkan. Saya tentu pernah menyimak beberapa podcast dan dialog yang terjadi. Tentu menyenangkan menyimaknya karena ada poin-poin dalam perdebatan yang kemudian menjadi ilmu baru bagi saya yang faqir ilmu ini. Beberapa hal maupun anggapan yang salah kaprah kemudian bisa terklarifikasi, misal beberapa poin dibawah ini.
Pertama, ternyata Dzurriyah Nabi SAW bukan cuma dari klan baalawi. Asli, sebelumnya saya yang goblok ini taunya satu-satunya dzurriyah Nabi SAW di dunia ini adalah beliau-beliau yang bermarga Al Haddad, Alaydrus, bin Yahya, Baharun, Barakwan, dll. Selain itu tidak ada. Eh, ternyata ba alawi ini hanya salah satunya, masih banyak juga keturunan Nabi dari jalur lain. Ada yang jalur Maroko, Irak, dll. Saya juga baru tau ada panggilan lain untuk keturunan Nabi SAW lainnya seperti Sayyid dan Syarif. Masalahnya, term yang digunakan itu Baalawi, saya kira keturunan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, dimana istri beliau adalah Siti Fatimah. Heleh heleh.
Dan fakta lanjutannya, ternyata Walisongo pun disinyalir merupakan dzurriyah Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Yang paling mudah tentu melihat dari nama Sunan Gunung Jati yang dipanggilnya Syeikh Syarif Hidayatullah, “Syarif” ini konon merupakan panggilan untuk dzuriyah Nabi SAW yang menduduki posisi strategis tertentu di dalam masyarakat, misal raja, gubernur, dll. Meski “keabsahannya” pun juga dipertanyakan oleh pihak baalawi, terlepas dari itu, anggaplah semua ini adalah temuan baru saya pribadi dalam memahami fenomena ini.
Kedua, ternyata keyakinan bahwa nasab yang diakui dari jalur laki-laki ini juga bagian dari tradisi arab, atau mungkin tradisi trah baalawi. Sedangkan di negara-negara lainnya, nasab dari jalur perempuan pun tetap dapat diakui. Ya memang saya yang agak “liar berpikir” ini mencoba mencari landasan argumentatif kenapa yang diakui hanya dari jalur laki-laki ini belum ketemu yang bener-bener mengena. Bagi saya legitimasi laki-laki ini bisa dibilang terlalu patriarkis. Akhirnya saya bisa memahami ya bahwa mau jalur laki-laki ataupun jalur perempuan, semua sama-sama diakui, setara dan lebih rasional.
Gak mungkin juga kan, laki-laki dengan spermanya, tanpa ada sel telur, tiba-tiba sel sperma berkembang menjadi si Udin, begitupun sebaliknya. Artinya, pekerjaan menghasilkan keturunan adalah aktivitas yang melibatkan pertemuan biologis antara dua sel, yaitu sel sperma dan sel telur. Gak mungkin fertilisasi terjadi kalo mereka gak ketemuan. Ini saya gak bicara mukjizat, kuasa Allah semisal cerita Siti Maryam ya, ini kapasitas logika untuk kita-kita ini yang levelnya tentu berbeda dari Siti Maryam dan Nabi Isa. Sunnatullahnya ya dua barang itu harus bertemu.
Artinya, sel telur dan sel sperma itu saling membutuhkan. Keduanya dalam posisi yang setara. Tidak bisa kita agung-agungkan salah satu. Bahwa sperma lebih superior dibanding sel telur, ataupun sebaliknya. Artinya saat sudah brojol itu jabang bayi, dianggap anak dari kedua orang tuanya, bin nya bisa ke ibu atau ke bapak, sama-sama mulia dan diakui secara nasab. Itu juga yang dilegitimasikan oleh KH. Asrori Surabaya dengan Al Ishaqi itu dinisbatkan kepada Maulana Ishaq yang jika diruntut hingga ke KH. Asrori, ada jalur nasab perempuan. Tapi beliau tetap mengabsahkannya untuk penisbatan. Paten!
Sebetulnya ada poin ketiga keempat kelima yang perlu saya tulis juga, tapi biar gak terlalu panjang, kalo kepanjangan jadi malas untuk baca bukan? Mungkin saya akan tulis kemudian, itupun kalau gak lupa.
Nasab bagi saya, perlu masing,masing kita tau, namun bukan untuk digembar-gemborkan ke orang lain, bahwa kita keturunan si a, si B, dan kita secara tidak langsung minta dihargai dan dihormati, pengen dipanggil habib, syarif, sayyid, kyai, gus waakhwatuha. Kita perlu mengetahui nasab kita untuk refleksi intrapersonal, sejauh mana kita dapat meneladani datuk kita apabila mereka adalah orang-orang yang sholih. Terkadang saya malu, mendengar cerita sosok kakek yang hidupnya ikhlas mengayomi masyarakat, sedang saya ini masing setengah-setengah, alias jejengkean. Tak mampu sepenuhnya meneladani.
Akhiron, terlepas kita dari kita keturunan siapa, anak siapa, cucu siapa, cicit siapa, yang membedakan antara kita semua ini adalah ketaqwaannya saja. Kalaulah ada seorang habib, ia ahli maksiat, ya masuk neraka juga, tak perlu kita ikuti. Kalaulah ada yang bukan habib, namun sholeh dan berilmu, ya kita ikuti. Begitupun sebaliknya. Mari ciptakan sejarah kita sendiri, tak perlu mengekor dan sembunyi dibalik kebesaran nasab dan keluarga.
Seringkali saya katakan, bahwa bisnis online shop bukanlah bisnis tanpa modal seperti yang diduga banyak orang. Mereka mengira, kita cukup duduk santai menunggu orderan tiba, kita cukup ngopi sembari membuka toko online kita yang dibuka secara gratis, tak perlu sewa toko seperti halnya jualan klasik. Ini tentu anggapan yang tidak tepat. Disinilah disrupsi terjadi. Kami-kami yang berjualan ini tentu perlu modal. Perangkat Handphone, Koneksi Internet, Laptop/PC, Biaya Admin, Biaya Iklan, yang kira-kira jika dikalkulasi tahunan, angkanya hampir setara dengan sewa toko tahunan pula, setidaknya jika dibandingkan dengan harga pasaran sewa toko di daerah tempat saya tinggal.
Sebagai contoh, koneksi internet untuk live shopping(Tiktok) itu perlu stabil. Jika tak stabil, live akan ngelag dan konsekuensinya, calon konsumen akan dengan mudah scroll up live kami ke live toko lainnya. Maka saya spending uang yang cukup besar untuk biaya langganan internet 100 Mbps di angka 850 ribuan perbulan. Angka itu setara dengan sewa toko bulanan di tempat saya. Ini baru wifi, belum biaya admin marketplace, biaya iklan mingguan, dan lain-lain.
Salah satu modal yang dibutuhkan adalah belanja sarana prasarana. Beberapa minggu yang lalu, CEO perusahaan sekaligus istri saya mengeluh perihal laptop. Ya, laptop yang biasa dia gunakan untuk bekerja di rumah, kini digunakan oleh karyawan untuk proses orderan dan tersimpan di gudang toko. Sedangkan malam-malam selepas menidurkan ummat, sang CEO ingin membuka-buka akun marketplace, tapi laptop seringkali terlupa dan tertinggal di gudang toko. Ini menyebabkan CEO tak bisa produktif untuk mengoptimasi toko online.
Laptop yang digunakan karyawan sebelumnya sudah super lemot dan terpaksa saya jual. Ya karena memang, speknya saja cuma AMD A4 dengan RAM 4GB, meski sudah upgrade RAM ke SSD SATA, tak merubah kecepatannya secara signifikan. Maka, kita berdua berdiskusi untuk menjajaki kans untuk menghadirkan Laptop baru. Setelah menimbang-nimbang, melakukan kalkulasi mendang mending, alih-alih laptop, kita putuskan untuk membeli PC saja. Selain untuk bekerja, PC diharapkan bisa menjadi jangkar semua gadget yang kita punya. Menjadi pusat backup semua data, seperti yang telah disabdakan Jagat Review. Dimana, opsi ugrade storage dan tetek bengeknya dengan mudah dapat diatur sendiri, tak seperti laptop yang punya banyak keterbatasan.
Jika yang menjadi interest adalah “opsi upgrade”, maka PC yang dibeli tentu bukan all in one atau built up, melainkan PC rakitan, karena sekali lagi, kita butuh fleksibilitas upgrade yang futureproof. Masalahnya, meski saya cukup punya antusiasme dengan teknologi, saya tak pernah punya pengalaman rakit PC. Disinilah keyakinan diuji, karena budget pas-pasan, saya putuskan untuk memberanikan diri saja mengambil opsi ini, setidaknya tak perlu bayar biaya merakit jika bisa rakit sendiri, lebih hemat. Mulailah saya melakukan tirakat. Mencari ilmu tentang rakit PC, mencari pengetahuan tentang komponen-komponen PC, mencari tempat untuk yang cocok untuk membeli komponen PC dengan interest utama khas kaum mendang-mending, harus Value for Money, Worth it & Affordable.
Hidup di era teknologi yang berkembang pesat tentulah menjadi keuntungan tersendiri. Singkat cerita, saya akhirnya putuskan untuk membeli komponen PC secara online melalui website EnterKomputer. Alasannya adalah toko ini sudah direkomendasikan banyak orang, dan yang paling menyenangkan adalah fasilitas di websitenya yang membuat kita dapat mensimulasikan komponen yang pas untuk PC rakitan kita sekaligus mengecek kompatibilitasnya. Saya memilih AMD Ryzen 5 7600x sebagai otak PC, Asrock B650M Pro RS sebagai Mobonya, RAM 32GB dan SSD NVME 512GB dari ADATA, dan beberapa komponen lainnya dibawah ini.
Tak perlu waktu lama, dalam waktu 2 hari yang mendebarkan, akhirnya paket dari EnterKomputer tiba. 2 hari berselang saya memulai merakitnya. Dengan bermodalkan belajar via Youtube, saya rakit mulai dari pemasangan processor, pasang RAM, SSD, cooler, dan yang tersulit adalah memasang kabel-kabel dari PSU ke Mobo. Bagian itu cukup melelahkan, namun akhirnya PC saya bisa hidup dan bisa masuk laman BIOS-nya. Disitu alhamdulillah semua komponen yang terpasang dapat terdeteksi dengan baik. Selanjutnya tentu install Windows 11 Home, bagian ini adalah bagian yang menyenangkan dan bikin saya mesam mesem sendiri. Akhirnya sejak saya punya ketertarikan rakit PC sejak SMA, baru saat ini bisa kesampaian, hehehe.
Setelah 2 hari ini, PC berjalan dengan baik, hidup dengan aman dan nyaman, dan kecepatannya tentu tak diragukan lagi, cukup untuk penggunaan sang CEO sehari-hari, daaan yaah, kedepan pastinya cukup kuat untuk sekedar editing foto dan grafis macam Photoshop dan CorelDraw, bahkan editing video dengan Premiere tipis-tipis, dan yang paling utama sih, bisa menjadi pusat penyimpanan semua data dari semua gadget keluarga saya, tinggal nambahin HDD boskuh.
Begitulah cerita rakit PC perdana saya. Tentu saya tertolong oleh banyaknya konten-konten keren dari banyak kreator yang ada di Youtube, sehingga jika merakit PC zaman dulu adalah momok yang menakutkan bagi saya, saat ini jika saya harus rakit PC lagi, saya tentu akan dengan sombongnya berujar, “Rakit PC sendiri? Gaskeun dong! Hahahaha.”. Yah, semoga PC keluarga saya ini bisa awet dan bertahan lama, dan tentu berfungsi sesuai dengan yang diharapkan saat membelinya, mengakselerasi kinerja dari CEO Perusahaan kami untuk bisa lebih produktif dan maju dalam menghasilkan cuan-cuan merah bergambar Sang Proklamator. Amin amin ya robbal alamin.
Organisasi mahasiswa, organisasi kemasyarakatan, LSM dan sejenisnya kebanyakan adalah organisasi non-profit, alias tidak berorientasi pada keuntungan materiil. Kerja-kerja organisasi tersebut biasanya didanai oleh swadaya atau iuran anggota, sumbangan dari loyalis atau simpatisan, hingga pengajuan proposal pada instansi tertentu. Terminologi wajib dalam sumbang menyumbang di organisasi ini adalah “Halal dan Tidak Mengikat”.
Sialnya, iuran anggota tak selalu efektif. Banyak anggota enggan menyumbang karena berbagai faktor, entah memang kurang percaya pada pengurus organisasi, atau memang kere. Sumbangan dari simpatisan, ini paling menarik, sayangnya zaman sekarang orang tak lagi seideologis dulu, loyalis yang militan menjadi semakin berkurang. Proposal? Selain pengurus organisasi wajib bermuka tebal, biasanya mengandung klausul-klausul. Jika ada klausul, tentu itu melanggar term “Tidak Mengikat”, hehe. Selain itu, tentu ada segudang alasan yang akhirnya berkesimpulan bahwa mencari dana untuk menghidupi organisasi bukan hal yang mudah.
Saat aktivitas organisasi terkendala operasional, muncullah berbagai macam ide, seperti mendirikan badan usaha milik organisasi, atau usaha kecil-kecilan, tiada lain tiada bukan adalah untuk membiayai kegiatan-kegiatan organisasi. Dicetuskanlah dalam rapat kerja atau sejenisnya, program kerja kewirausahaan, dengan semangat kemandirian ekonomi organisasi, agar tidak bergantung pada proposal, jamaah atau loyalis, bahkan iuran pengurus.
Lagi-lagi, sayangnya, tak banyak wirausaha organisasi itu yang bisa berhasil, bertumbuh dan berkembang. Paling baik ya stagnan, buruknya, lebih banyak yang “laa yamutu walaa yahya”. Kegagalan ini juga banyak faktor, namun ada dua penyebab kegagalan yang menurut saya cukup fundamental. Pertama, Kepemilikan usaha dan hilangnya semangat. Usaha itu milik organisasi, sehingga pengurus organisasi itu enggan totalitas untuk pengembangannya karena itu bukan miliknya, meski jika ditarik secara ideologis, harusnya dengan keyakinannya itu kita mau totalitas, tapi misal melihat rekan sesama pengurus yang tidak punya semangat yang sama, akhirnya semangat kita pun ikut luntur.
Mengapa tak punya semangat? Tentu karena profitnya tak 100% mengalir untuk dirinya, sekian persen harus direlakan untuk organisasi. Selain itu, tentu ia pun punya usaha sendiri yang butuh perhatian lebih, karena itu adalah jantung perekonomian keluarga, sehingga usaha organisasi ala kadarnya saja.
Kedua, Penyelewengan. Katakanlah poin pertama itu tidak ada, usaha organisasi maju dan berkembang. Ada tangan-tangan iseng yang mencoba bermain-main dengan uang organisasi. Meski awalnya karena kepepet kebutuhan, pinjem bentar misal, lama-lama keenakan dan terjadilah penyelewengan. Penyelewengan ini macam-macam bentuknya, ada korupsi, ada juga yang cuma gak mbayar, dan ini banyak.
Misal, sebuah organisasi memutuskan untuk berjualan kaos atau merchandise. Kemudian ada beberapa anggota bahkan pengurus organisasi memesan, setelah beres, mereka ambil kaosnya, tapi tak mau membayar dengan seribu alasan. Masak ada yang begitu? Banyak, hahaha. Ada yang merasa begitu disini?
Dengan adanya fakta-fakta demikian, saat ada proker wirausaha dicanangkan kepengurusan organisasi, saya lebih sering skeptis dan optimis jika proker itu akan gagal, hahaha. Paling tidak dengan model peristiwa diatas, entah hilang ghiroh atau adanya penyelewengan.
Lalu bagaimana baiknya organisasi agar punya kemandirian? Saya pun belum punya pengalaman yang memuaskan, tentu ada yang berhasil, tapi tak sampai sesuai harapan. Apakah saya akan terus pesimis? Tentu tidak. Saya menulis ini karena saya ingin tercerahkan, siapa tau ada yang membaca tulisan ini, lalu menginformasikan ke saya beberapa contoh wirausaha organisasi yang berhasil dan berkelanjutan.
Jika harus dicari teladan wirausaha organisasi, saya bisa sebut organisasi Persyarikatan Muhammadiyah. Melalui amal usahanya, Muhammadiyah terlihat mampu menjalankan aktivitas organisasinya dengan pendanaan mandiri. Tak terhitung sekolah dan kampus yang terkelola secara profesional, profit dan tentu berdampak. Tentu saya melihat Muhammadiyah dari sudut pandang orang luar, saya belum paham dalam-dalamnya, seperti kata pepatah, rumput tetangga biasanya terlihat lebih hijau. Aslinya saya tidak tahu, bisa saja terdapat penyelewengan atau hilangnya ghiroh, sama seperti organisasi lainnya. Tapi sejauh pengamatan saya, saya melihat Muhammadiyah adalah teladan kemandirian ekonomi organisasi. Ya, tentu saja saya bisa salah menyimpulkan, mungkin saya kurang membaca atau ngopinya kurang jauh dengan sahabat-sahabat di Muhammadiyah.
Dalam tradisi keislaman di Indonesia, kata barokah sangatlah tidak asing di telinga. Seringkali itu diucapkan sebagai bagian dari doa-doa kebaikan untuk kita sendiri maupun orang lain. Bahkan, tak terhitung berapa toko-toko, warung-warung, perusahaan-perusahaan, dari berbagai segmen, berbagai level, menggunakan kata “barokah”, atau “berkah” sebagai identitasnya. Jika ada orang atau instansi yang mau melakukan sensus penduduk Indonesia yang menggunakan kata barokah untuk nama bisnisnya, saya jamin angkanya akan lebih dari 1 juta.
Tak terhitung pula berapa redaksi doa-doa sehari-hari yang dilantunkan mengandung kata barokah, bahkan doa mau makan pun ada kata barokahnya, doa minta rezeki, doa menyambut bulan ramadhan, doa saat khutbah Jumat, hingga doa untuk pernikahan. Semuanya berkah. Apalagi di kalangan santri, meminum kopi atau teh bekas kyai, mencium tangan kyai, orang tua guru, maupun ustad, dan mungkin akhir-akhir ini, berfoto dengan kyai dan tokoh besar, biasanya kita dimotivasi karena ingin mendapatkan barokahnya.
Namun, apa arti sesungguhnya dari kata barokah? Apakah sesuatu yang bersifat klenik? Dorongan spiritual? Hal Gaib? Aura positif? Atau mungkin laduni? Seperti yang seringkali disampaikan oleh para pendakwah, ketika kita sering berkumpul dengan orang-orang sholeh, orang-orang yang berilmu, maka nantinya kita akan mendapatkan barokahnya. Ketika kita mencium tangan kyai, lalu bibir kita akan fasih dalam berbicara dan presentasi? Atay ketika kita tempelkan kening kita pada tangan guru kita, maka pikiran kita menjadi terbuka menerima ilmu?
Ya, semua itu tak perlu dipertentangkan dengan rasionalitas. Kebanyakan dari keyakinan-keyakinan itu ada dalilnya, ada riwayatnya. Namun, jika kita ingin lebih mengenal kata “barokah” dengan lebih progresif dan “rasional”, maka tradisi intelektual islam juga telah memiliki penjelasannya. Siapa tau anda-anda yang membaca tulisan ini berprofil lebih rational oriented yang “kurang” percaya dengan penafsiran klenik dari kata barokah.
Imam Ghazali menafsirkan “Barokah” sebagai “زيادة الخير” yang berarti bertambahnya kebaikan. Adapula ulama lain yang menyebutkan bahwa البركة هي الزيادة والنماء في الخير yang berarti “Bertambah dan bertumbuhnya kebaikan”. Dari kedua definisi ini, saya kira cukup clear bahwa barokah harus punya implikasi atau dampak, yakni kebaikan yang bertambah, dan kebaikan yang terus bertumbuh dan seterusnya. Maka, semisal beberapa waktu lalu kita baru bertemu seorang ulama, mengharap berkahnya, kita cium tangannya, berfoto dengannya, tetapi setelah itu kita masih malas untuk belajar, malas untuk bekerja, malas untuk berbuat baik, maka sejatinya kita belum mendapatkan berkah dari pertemuan itu.
Sehingga, untuk mendapatkan semangat meraih barokah dari seorang tokoh/kyai, kita harus punya konstruksi dalam pikiran untuk menghadirkan motivasi meniru dan meneladani keberhasilan dan keilmuan kyai/tokoh tersebut. Pelajari profilnya, bagaimana upayanya hingga mendapatkan kedudukan seperti saat ini, lalu motivasi diri kita, lakukan kebaikan-kebaikan yang paling tidak sama dengan yang telah diteladankan. Tidak bisa anda dapatkan barokah hanya dari sekedar mengaji sembari ketiduran atau main hape, lalu anda kebagian nyeruput kopi kyai, lalu anda tidur/main hape lagi. Artinya, barokah bukanlah sesuatu yang mudah dicapai, barokah bukan barang murahan, dan barokah tidaklah “GRATIS”.
Meminjam istilah Ketua PW GP Ansor Jawa Barat, Kang Deni Ahmad Haedari dalam suatu kesempatan, barokah ini ibarat “Laba” didalam bisnis. Jika kita ingin mendapatkan laba, ya kita harus jualan dulu. Dan kita tau, mendapatkan laba besar dari berjualan bukanlah sesuatu yang mudah, perlu usaha ekstra, perlu upaya yang cerdas dan cermat. Mana mungkin anda tidak berjualan lalu anda berharap langsung dapat laba. Begitupun untuk mendapatkan keberkahan atau barokah yang hakiki, tak bisa anda dapatkan dengan hanya kita mencium tangan kyai, lalu kita berlalu seolah tak termotivasi apapun. Barokah bisa kita dapatkan ketika setelah mencium tangan kyai, kemudian muncul semangat dan motivasi untuk meneladani, lalu kita melakukan upaya-upaya yang sudah diteladankan oleh beliau-beliau. Itulah hakikat barokah yang “paling tidak” saya yakini.
Maka, dalam setiap doa-doa barokah yang dipanjatkan, sejatinya ada makna yang sangat mendalam. Memohon ilmu yang barokah, berarti mengharap ilmu yang didapatkan dapat berdampak dan bermanfaat secara luas. Rizki yang barokah, maka rezeki yang didapatkan bisa dialokasikan untuk kerja-kerja kebaikan yang meluas. Rumah tangga yang barokah, berarti suami istri, anak, cucu mampu berperilaku baik dan meneladani kebaikan-kebaikan rumah tangga pendahulu, dan seterusnya. Dan saya kira, untuk mencapai ilmu, rizki, rumah tangga yang barokah semacam itu bukan hal yang mudah, banyak godaan, cobaan, ujian yang merintangi. Begitulah barokah, mudah diucapkan bahkan menjadi nama bagi jutaan warung di Indonesia, akan tetapi untuk mendapatkannya, butuh upaya yang tak mudah, kita harus konsisten melakukan kerja-kerja kebaikan, menambah perbuatan baik, menumbuhkan perilaku baik, layaknya pohon yang terus menerus menumbuhkan cabang dan rantingnya.
Akhiron, hemat saya baiknya kita mencoba tak mendangkalkan makna barokah dengan menafsirkannya sekedar mencium tangan kyai kemudian berlalu begitu saja. Barokah lebih progresif dari itu. Cium tangannya, ambil motivasinya, tiru semangatnya, raih dan tumbuhkan kebaikannya. Sekali lagi saya tegaskan, tak ada salahnya berkeyakinan “barokah cium tangan wolak walik”, tapi lebih dari itu, karena kita tasawwufnya imam ghazali, bukankah antara hakikat dan syariat harus proporsional? Yuk, makan siang di Warung Barokah depan Rumah, hehe.
Hai, Saya Fawwaz Muhammad Fauzi, suatu produk hasil persilangan genetik Garut-Majalengka. Menjadi Dosen Kimia adalah profesi utama saya saat ini. Selain itu, ya membahagiakan istri, anak dan orang tua. Melalui blog ini, saya ingin menuliskan kisah-kisah keseharian saya yang pasti receh. Mungkin sedikit esai-esai yang sok serius tapi gak mutu. Jadi, tolong jangan berharap ada naskah akademik atau tulisan ilmiah disini ya, hehe.
Kalau ada yang mau kontak, silahkan email ke [email protected]. Udah itu aja.