Tulisan kali ini tak lebih dari sekedar curhatan pribadi. Namanya manusia, pasti punya sisi emosional. Kadang emosi ini harus diluapkan. Namun peluapan emosi ini bermacam-macam cara, dan saya memilih menulis untuk meluapkan emosi saya.

Kejadian ini bermula sekitar 4 minggu yang lalu. Saya setiap hari jum’at mengemban tugas negara, tepatnya membantu orang tua jualan di pasar, menjadi kuli panggul kerudung-kerudung yang kami jual. Prosesnya diawali dengan pengepakan barang di rumah. Ini cukup berat. Saya harus karungi satu persatu dengan total 8 karung plus printilan kresek ukuran 50 yang cukup banyak pula. Satu mobil granmax terisi penuh. Tidak ada karyawan di rumah. Praktis hanya saya dan adik saya yang mengerjakan. Sebentar. Saya bukan sedang mengeluh akibat dipekerjakan orang tua. Saya dan adik tentu ikhlas melakukannya, karena mau bagaimanapun, ini adalah bentuk bakti kami kepada orang tua. Ini rutinitas yang sudah bertahun-tahun kami jalani.

Setelah sampai ke pasar. Barang dari mobil harus diangkat ke tempat kami jualan. Proses pengangkutan barang dari mobil ke los tempat kami jualan sebetulnya cukup dekat, hanya sekitar 20 meter, dan ada tukang becak yang menjadi kuli panggul membantu mengangkut barang dari mobil. Ini sama sekali bukan masalah, saya dan partner kerja hanya bertugas membongkar barang jualan itu karung demi karung.

Proses packaging saat pulang lah yang menjadi tantangan yang besar. Karena tempat jualan kami ini berbentuk los yang mengharuskan kami membawa pulang semua barang jualan kami. Dahulu kala, proses pengepakan barang saat pulang tidak terlalu berat, karena ada jalan pintas yang bisa digunakan untuk mengemas barang jualan ke dalam mobil. Namun sekitar tahun lalu, jalan pintas itu telah tertutup, yang membuat kami harus mengambil jalan memutar untuk mengangkut barang ke dalam mobil. Prosesnya pun cukup panjang. Kami harus mentransitkan barang tersebut sebanyak 2 kali, plus proses pengepakan kresek demi kresek, karung demi karung.

Apesnya, dari 5 karyawan yang ada, kini hanya tersisa 3 orang, 2 cewe, 1 cowo Dan si cowo ini terhitung karyawan baru dan seringkali gak masuk kerja. Tentulah saya dan Bapak yang harus menjalani pengepakan barang seabrek itu. Sangat melelahkan. Kami seringkali tepar seharian setelah menjalani sore yang berat itu. Tukang becak? Sore sudah pulang semua.

Akhirnya, bapak dan saya memutuskan untuk merenovasi los tempat kami jualan, dibuat tertutup dengan membuat rangka besi dan plat dengan pintu yang bisa tertutup, sehingga kami tak perlu membawa barang jualan ketika akan pulang di sore hari. Dan, kami akhirnya mendapatkan tukang las yang siap untuk mengerjakan proyek itu. Bos tukang las ini terlihat cukup ramah dan berdasarkan penuturannya tecitrakan sebagai “ahli ibadah”, rajin puasa dan sering mengikuti istighosah.

Setelah berdiskusi dan memproses perizinan ke pihak pengelola pasar. Bos tukang las itu menuturkan bahwa proyek akan selesai satu minggu. Saya cukup bernafas lega, meskipun biayanya cukup besar, paling tidak kami bisa nyaman berjualan tanpa dihantui beban berat pengepakan barang untuk dibawa pulang. Namun, dari sinilah ‘prank’ itu dimulai.

Keesokan harinya di hari sabtu, saya meninjau lokasi proyek, belum ada pengerjaan apapun. Saat dihubungi, katanya masih proses belanja. Alasan yang cukup logis, mengingat baru hari pertama. Di hari selasa, kami tinjau kembali ke lokasi, pengerjaannya ternyata baru sekitar 15%! Disinilah kami mulai panik. Apakah proyeknya bisa selesai saat hari jum’at ketika kami berjualan? Dan ternyata, BELUM! Akhirnya di jumat itu, kami menjalani aktivitas packing pulang yang melelahkan lagi. Yasudahlah, kadangkala di negeri Wakanda ini, telat sudah jadi budaya yang dijunjung tinggi, mungkin minggu depannya sudah bisa 100% selesai.

Sabtu lagi, kami tinjau lagi, tidak ada pekerja yang mengerjakan proyek kami. Kami coba telp lagi, alasannya, sabtu masih hari pasar, sulit untuk membawa material ke lokasi. Selasa kami tinjau lagi, proyek tenyata baru berjalan sekitar 50%. Tentu kami panik lagi, kemungkinan besar jum’at belum bisa selesai 100%. Dan benar saja, kami di prank lagi di minggu kedua. Jum’at lelah kami jalani kembali. Ngelus dada, emosi, tapi apa daya, mau marah-marah pun bagaimana, toh sistemnya borongan, bukan harian. Kadang saya berpikir, kalo saya yang borong, tentu saya akan kerjakan dengan cepat, agar uangnya cepat cair, proyek cepat selesai, dan bisa menuju proyek-proyek lainnya untuk mendapatkan uang lagi. Apa bos proyeknya sudah tidak “hubbudduya”? Subhanallah.

Sabtu selanjutnya, kami tinjau lagi. Nihil. Dan si bos tak bisa dihubungi. Selasa kami lihat sudah proses pemasangan keramik, rangka dan plat sudah terpasang. Tinggal gerbang, 85%. Dan, kami menerka-nerka, bisakah selesai di hari jumat? Masih BELUM! Dihari rabu, si bos membalas WA, katanya ia sedang sakit, begitupun karyawannya. Apes lagi kami. Di prank lagi di minggu ketiga. Emosi semakin memuncak, namun apa daya, alasannya SAKIT. Tentu tak bisa disalahkan, tapi tentu kami nggrundel didalam hati, 2 minggu yang lalu kenapa kerjanya super lelet. Asem tenan.

Sudah bisa anda tebak, besok akan menjadi hari yang melelahkan lainnya. 3 minggu kami di prank oleh tukang las itu. Saya pasrah, entah itu akan selesai minggu depan ataupun setahun lagi terserah lah. Toh, rutinitas ini sudah bertahun-tahun saya jalani. Saya yang salah karena berharap kepada selain Tuhan. Ya, menaruh harapan kepada makhluk adalah sebuah kesalahan. Ampuni saya ya Rob.

Namun jika dilihat dari aspek professionalitas kerja. Tentu tindakan tukang las ini sangat tidak professional. Kemoloran pengerjaan ini tentu mengikis kepercayaan kami pada pelayanannya. Singkatnya, saya tidak akan merekomendasikan jasanya kepada orang lain, ataupun untuk saya gunakan lagi sendiri. Dari citranya sebagai orang yang rigid dari sisi “hablumminallah”, harusnya ia juga penuhi dengan “hablumminannas” yang konon katanya harus lebih didahulukan pemenuhannya.

Professionalitas ini memang menjadi isu yang cukup memprihatinkan di negeri ini. Tukang las ini hanya bagian kecil dari banyaknya tindakan unprofessional di belahan Wakanda lainnya. Tentu kita masih belum lupa dengan kasus yang melanda salah satu institusi penegak hukum di Wakanda. Kasus penembakan, peredaran narkoba, dan kesalahan penanganan massa pertandingan sepakbola wakanda adalah contoh besar dari tindakan unprofessional yang terjadi. Semoga tukang las ini hanya oknum dari sekian banyak tukang las lain yang punya jiwa professional yang tinggi. Eh, kata “oknum” ini sudah terlalu sering dijadikan tameng ya? Engga kok engga, takut ah, takut diciduk. Segitu dulu curhatan “Prank” nya, makasih udah mau baca sampai akhir. Salam professional, hehe.