Kemarin ini sedang ramai kasus Ayam Goreng Widuran di Solo yang setelah beroperasi berpuluh-puluh tahun, barulah si empunya toko mengikhbarkan bahwa ayam yang dia jual bukan produk halal, waduh! Tetapi, tulisan ini bukan mau bahas itu, tapi bahas isu halal lain yang mungkin lebih holistik daripada kasuistik macam tadi.
Secara definisi umum, halal adalah segala sesuatu yang diperbolehkan secara syariat, sedangkan haram adalah yang tidak diperbolehkan oleh syara’, baik yang tersurat maupun yang tersirat dalam nash. Keharaman suatu makanan atau benda lain pun bisa dibagi dua: ada yang haram lidzâtihi, yaitu yang memang mutlak haram seperti babi dan khamr; dan ada yang haram lighairihi, yang keharamannya tergantung situasi—misalnya mangga yang asalnya halal, tapi jadi haram karena diambil dari hasil mencuri. Klasik. Tapi relevan.
Nah, dalam beberapa dekade terakhir, kesadaran umat Islam terhadap konsumsi produk halal meningkat drastis. Label halal kini seolah jadi jaminan mutlak bahwa sebuah makanan, obat, atau kosmetik aman dikonsumsi. Tapi… apakah benar “halal” otomatis berarti “sehat”? Apakah cukup bagi seorang Muslim hanya memastikan kehalalan, tanpa mempertimbangkan aspek kesehatan?
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal lagi baik yang terdapat di bumi…”.
Prof. Quraish Shihab menyebutkan bahwa kata “thayyib” dalam ayat ini bersifat relatif dan multidimensi. Baik menurut saya belum tentu baik menurut Anda. Konteksnya pun bisa berbeda: baik dari sisi rasa, gizi, efek jangka panjang, maupun keseimbangan psikologis. Jadi, “thayyib” itu bukan cuma soal halal–haram fiqhiyah, tapi juga soal maslahat.
Nah, dalam dunia kesehatan, makna “thayyib” ini sangat erat kaitannya dengan gizi seimbang, aman dikonsumsi, dan tidak membahayakan tubuh. Maka wajar jika ayat tadi menyandingkan “halal” dengan “thayyib”. Artinya, jangan sampai kita hanya puas dengan label halal, sementara kandungannya justru memicu penyakit.
Halal Tidak Selalu Sehat
Realita di lapangan tak seindah teori. Banyak produk dengan logo halal mengilap di kemasan, padahal di baliknya tersembunyi kadar gula tinggi, lemak trans, natrium berlebih, dan zat aditif sintetik yang bikin organ dalam tubuh ngelus dada (hah?). Secara fiqh: boleh. Tapi secara medis? Silakan ajak insulin Anda diskusi di depan indomaret.
Industri makanan saat ini berlomba-lomba membuat produk se-crunchy mungkin, semanis mungkin, sekenyal mungkin, se-gimmick mungkin—demi satu hal: menarik konsumen agar makan lebih banyak. Dan dari sanalah menjamur makanan Ultra-Processed Food (UPF). Makanan yang jauh dari bentuk aslinya, pengolahannya berlapis, nyaris tak bisa dikenali apa sebenarnya bahan dasar yang digunakan.
Sejak diet dua tahun yang lalu, sulit bagi saya untuk menemukan jajanan di minimarket yang bisa saya pilih. Saya cenderung lebih banyak menghabiskan waktu membaca komposisi dan menggeleng. Betapa bodohnya saya dulu, menjadi manusia buncit yang termakan iklan Mie Instan Premium dengan Packaging mewah, padahal tinggi zat aditif, natrium dan gula tersembunyi, Hahahaha.
Studi demi studi melaporkan bahwa konsumsi UPF berkorelasi dengan peningkatan risiko diabetes, hipertensi, penyakit jantung, bahkan beberapa jenis kanker. Tapi tetap: banyak dari mereka bersertifikat halal. Halal, tapi tidak thayyib. Dan jawaban mereka, halah, panganan ae kok ruwet! Teu pira dahareun tinggal dilebok! Ironis.
Saatnya Berpikir “Halal Thayyib Preventif”
Kita sering dengar adagium: mencegah lebih baik daripada mengobati. Nah, kalau mencegah bisa dimulai dari memilih makanan yang halal dan thayyib, kenapa tidak?
Karena itu, saya ada ide liar hasil merenung di WC tadi, yaitu konsep Halal Thayyib Preventif. Gagasan ini bukan cuma soal menghindari babi dan alkohol, tapi memperluas lensa halal menjadi bagian dari gaya hidup sehat dan sadar gizi. Mungkin suatu saat, kita bisa bikin label “halal hijau” (halal dan thayyib), “halal kuning” (halal tapi awas tinggi gula/sodium), dan merah untuk yang haram. Jadi beli snack nggak cuma lihat harga diskon, tapi mikir: “Ini masuk kategori mana ya?”
Peran Sains: Menghalalkan yang Logis & Maslahat
Sebagai santri laboratorium, saya percaya: laboratorium bukan hanya tempat mencampur reagen, tapi juga tempat meracik dan meramu kemaslahatan. Di sana, kita bisa menguji:
1. Apakah pewarna makanan halal tertentu berisiko toksik?
2. Apakah produk halal tertentu terlalu tinggi sodium?
3. Apakah zat alami bisa menggantikan aditif sintetik secara lebih aman?
4. Dan banyak pertanyaan lainnya.
Dengan pendekatan evidence-based halal, peneliti bisa membantu ulama dan lembaga fatwa mengambil keputusan yang bukan hanya legal, tapi juga logis dan maslahat. Misal, jika studi meta-analisis menyimpulkan bahwa konsumsi gula >20 gram per hari meningkatkan risiko diabetes 80%, maka—kenapa tidak—produk minuman manis dengan kadar gula tinggi diberi label “tidak thayyib”? Bahkan mungkin haram lighairihi.
Halal adalah Titik Awal, Bukan Titik Akhir
Di dunia modern yang serba cepat dan penuh pilihan ini, memahami halal sebagai “asal bukan babi, celeng, maupun bagong” adalah pemahaman minimalis. Kita butuh pendekatan yang lebih bijak, menyeluruh, dan berpihak pada kesehatan. Konsep Halal Preventif adalah jembatan antara nilai-nilai Islam, sains, dan kebutuhan manusia modern. Sebagai Muslim yang juga peneliti newbie, saya merasa terpanggil untuk tidak hanya meneliti zat yang “dunyawiyah“, tapi juga meneliti dengan unsur “maslahat diniyah“.
Dulu saya belajar ilmu nahwu di pesantren. Kyai saya menjelaskan, dibalik ilmu gramatika bahasa Arab yang diajarkan, bait demi bait alfiyah ibn malik punya nilai filosofis yang mendalam. Sebagai contoh, ada bait alfiyah berikut.
ولا يجوز الإبتدا بالنكرة # مالم تفد كعند زيد نمرة
Bait ini secara nahwu menjelaskan bahwa kita tidak boleh menjadikan isim nakiroh sebagai mubtada, kecuali jika ia dapat memberikan makna, seperti lafadz, Inda Zaidin Namiroh. Hukum awalnya, mubtada harus dibuat dari isim ma’rifat.
Begitupun kita dalam memilih pemimpin atau memberikan amanah kepada orang, pilihlah orang yang benar-benar ma’rifat alias berpengetahuan luas dan beridentitas. Tidak boleh memilih orang yang tidak jelas asal usulnya, tidak jelas rekam jejaknya, pengetahuannya, kapabilitasnya, dll. The right man in the right place, jangan karena ia berjasa untuk kita, kita beri ia jabatan, padahal dia tidak punya kapasitas di bidang itu. Begitu kira-kira.
Tampaknya, Kimia, ilmu yang menjadi bagian dari hidup saya saat ini juga memiliki banyak nilai filosofis yang menarik untuk dibahas.
Salah satu yang dipelajari dalam ilmu kimia adalah ikatan kimia. Ikatan kimia ini terbagi dalam beberapa macam, ada ikatan intramolekuler dan ikatan intermolekuler. Intramolekuler ada ikatan kovalen, kovalen koordinasi dan ionik. Sedangkan ikatan intermolekuler ada ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, van der waals, dipol-dipol, dll.
Ikatan intermolekuler lebih akrab disebut interaksi/gaya antar molekul, karena meski sejenis ikatan, kekuatan ikatannya lebih rendah daripada ikatan intramolekul macam kovalen.
Kovalen dengan kekuatan ikatan mencapai 40-140 kkal/mol menyebabkan ikatannya sulit diputus dan membuat sifat ikatannya irreversible. Sederhananya, ia tidak bisa putus nyambung putus nyambung selabil pacaran anak ABG, hehe. Ia macam ikatan pernikahan yang penuh komitmen dan perjuangan, widiiih.
Berbeda dengan kovalen, ikatan ionik hingga interaksi intermolekul cenderung lemah, kira-kira kekuatannya hanya dalam rentang 1-5 kkal/mol saja yang menyebabkan ia seperti plin plan, sekarang putus, besok nyambung lagi, putus lagi, nyambung lagi. Begitu terus sampe Indonesia bebas korupsi, upsss.
Dalam kajian interaksi obat dan reseptor dalam tubuh kita, ternyata ikatan kimia ini punya peran yang penting, karena ternyata interaksi molekul obat terhadap protein dalam tubuh kita prinsipnya didasarkan pada ikatan kimia.
Jika salah satu ikatan jenisnya ikatan ionik atau ikatan hidrogen misalkan, maka interaksi keduanya reversible. Jika yang dihasilkan adalah ikatan kovalen, maka yang terjadi adalah irreversible.
Alih alih ikatan irreversible, ternyata ikatan yang lebih menguntungkan adalah ikatan reversible. Karena ikatan irreversible menyebabkan interaksi obat-reseptor terlalu lama terjadi dan dapat menyebabkan terjadinya toksisitas terhadap tubuh. Sedangkan yang reversible, waktu interaksinya terbatas sehingga setelah menimbulkan respon biologis, interaksi akan terlepas dan molekul obat kemudian akan dimetabolisme lebih lanjut untuk dieksresikan.
Dari fakta ini kita dapat mengambil satu pelajaran bahwa dalam kehidupan kita tidak boleh terlalu mengikat dan menggantungkan kebahagiaan dan harapan terhadap manusia lain, mencintai secara proporsional, juga jika ada yang kita benci atau tidak sukai, bencilah secara proporsional.
Saya jadi teringat hadits Nabi SAW berikut.
أحبب حبيبك هونا ما عسى أن يكون بغيضك يوما ما، وأبغض بغيضك هونا ما عسى أن يكون حبيبك يوما ما
“Cintailah kekasihmu yang sedang-sedang saja, siapa tahu suatu hari nanti dia akan jadi orang yang kamu benci. Bencilah orang yang kamu benci yang sedang-sedang saja, siapa tahu suatu hari nanti dia akan menjadi orang yang kamu cintai.”
Yah, jadi jika kita menjalin suatu hubungan, ikatan cintanya kira-kira sampe 5 kkal/mol aja seperti ikatan ionik atau hidrogen, agar ketika ia pergi meninggalkan kita, kita masih bisa move on. Janganlah bucin terlalu bucin, bucin itu toksik, hahaha. Cukuplah ikatan kovalen kita hanya dengan Gusti Allah, karena yakin Allah tidak akan pernah meninggalkan kita selaku hamba-Nya.
Seperti dawuh Sayidina Ali KW, “Aku pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup. Namun, tiada hal yang lebih pahit selain berharap kepada manusia.”.
Beberapa hari ini setelah membeli HDD untuk saya pasang di PC, saya mulai merapikan file di laptop saya yang hampir over capacity, merah semua. Yang namanya beres-beres arsip, saya mengupayakan efisiensi waktu, tapi tetap saja kadang ada satu dua hal yang bisa menghambat. Lembaran lama memang seringkali mengundang kita untuk kembali mengenangnya, dan saya lalu tergoda untuk membuka kembali rekaman video sidang tesis saya beberapa tahun lalu.
Sebelum lanjut tulisannya, saya merasa perlu berterimakasih untuk semua dosen-dosen saya di UNPAD. Terimakasih kepada Prof. Tri Mayanti, Prof. Tati Herlina, Dr. Darwati, Dr. Nurlelasari, Pak Ari Hardianto, Ph.D dan seluruh dosen atas bimbingan dan masukan selama proses studi S2 lalu. Tak lupa juga pada semua rekan-rekan di Lab, Zul, Amel, Rona, teman seangkatan baik yang fastrack maupun slowtrack, hehe.
Oke, lanjut ya, saya kembali menonton presentasi & tanya jawab sidang tesis saya. Satu yang cukup mengejutkan adalah diferensiasi fisik saya, wkwkwkwk. Begitu tembemnya pipi saya, begitu ngos ngosan nya nafas saja saat presentasi, hahaha. Dan yang tak kalah penting adalah bagaimana saya memahami apa yang saya sampaikan saat itu.
Bagian pada riset saya salah satunya terdapat metode in silico, khususnya topik molecular docking. Saat itu, ternyata saya punya banyak miss understanding tentang interpretasi data hasil docking, dan secara dini menyimpulkan bahwa senyawa saya punya mekanisme antagonis non kompetitif, padahal docking sendiri adalah pendekatannya agonis/antagonis kompetitif, wkwkwkwk.
Untungnyaaaa, bumi masih berputar. Selepas lulus, saya berkesempatan untuk bekerja sebagai Dosen di Program Studi Farmasi. Sebagai seorang dosen, belajar adalah keharusan, dan pada satu titik, saya tertuntut untuk melakukan riset, dan in silico adalah riset yang paling feasible pada saat itu. Saya kembali mendalaminya dengan mengikuti beberapa short course dari mulai docking, molecular dynamics, hingga membeli buku studi QSAR. Terlebih, saya di challenge oleh rekan-rekan untuk mengampu mata kuliah Kimia Medisinal.
Disinilah semua tabir pengetahuan tentang mekanisme obat, hubungan struktur aktivitas senyawa obat, fase-fase aksi obat, mekanisme agonis, antagonis kompetitif, non kompetitif, interpretasi docking, MD, hingga bagaimana QSAR yang sebenarnya bernas dibahas. Dititik ini, saat mendengar presentasi sidang saya tadi, saya menertawakan diri saya saat dulu, wkwkwkwk, yang disisi lain, kembali saya bersyukur bahwa kesempatan berkarir sebagai dosen di Prodi Farmasi benar-benar menyenangkan. Saya mendapat banyak privilege untuk mempelajari lebih jauh tentang dunia obat-obatan.
Tentu saja semua yang saya ketahui saat ini masihlah secuil dari luasnya keilmuan Farmasi yang menantang. Dan ada potensi pemahaman saya hari ini ditertawakan oleh saya di masa depan, selama saya tetap terus belajar dan belajar. Yah, belajar bagi dosen itu memang kewajiban. Bahkan level belajarnya pun harus ekstra, karena kita bukan hanya belajar untuk kita sendiri, melainkan kita harus bisa menyampaikan dan memahamkan mahasiswa kita terhadap suatu materi.
Beberapa bulan lagi, saya mungkin akan sedikit melakukan pergeseran. Tetapi, menjadi bagian dari Prodi Farmasi di STIKes KHAS Kempek adalah bagian yang sangat sangat wajib disyukuri, karena mungkin saja jika saya tak pernah terlibat disana, keilmuan saya ya segitu-gitu aja, dan mungkin saja volatilitas keilmuan bisa terjadi. Bahkan pada satu titik, sempat terpikir untuk melanjutkan studi doktoral di bidang ini.
Terimakasih untuk semua pengalaman dan kehangatannya. Saya akan selalu mengingatnya sebagai bagian dari perjalanan hidup yang sangat berkesan. Sukses selalu untuk keluarga besar STIKes KHAS Kempek, tetaplah menjadi lentera yang menerangi asa dan cita!
Ini adalah tulisan pertama di tahun 2025. Ternyata, butuh 14 hari berlalu untuk membuat tulisan perdana di tahun 2025 ini, hehehe. Seperti yang banyak orang bilang, tahun demi tahun, kita harus punya resolusi. Satu, dua atau beberapa hal yang ingin dicapai di tahun yang baru. Apalagi kita seorang muslim yang memiliki prinsip ajaran (yang juga universal sebenarnya), bahwa “Orang yang beruntung adalah mereka yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok lebih baik dari hari ini”.
Sabda Nabi SAW seolah mendorong kita untuk tidak bersikap statis, melainkan harus bersikap dinamis dan progresif dalam hidup. Siap menghadapi dan beradaptasi terhadap berbagai tantangan dalam fase-fase kehidupan. Belajar terus menerus untuk berkembang. Maka bagi saya, perkembangan adalah keharusan, dinamika itu keniscayaan, dan kesiapan memulai perubahan itu diperlukan. Meskipun seperti kata Yuval, manusia seringkali takut dalam menghadapi hal yang paling konsisten tersebut (baca:perubahan).
Awal tahun ini saya ditakdirkan diberi satu milestone baru dalam hidup, yakni kelulusan menjadi CPNS Dosen di salah satu perguruan tinggi. Setelah berjibaku dengan seleksi sejak akhir agustus tahun lalu, dan dari lowongan yang hanya 1 formasi, alhamdulillah saya terpilih menjadi orang yang mengisi formasi itu. Pastinya, mencapai milestone ini adalah hal yang tak mudah, perlu ketekunan dan keseriusan dalam usaha. Untungnya saya meyakini bahwa “al ujroh biqodril masyaqoh”, hasil tak akan mengkhianati proses! Saya betul-betul diilhami oleh kaidah ini.
Tentu saja saya meyakini, dibalik determinasi dan kegigihan yang saya tunjukkan untuk melalui beberapa tahapan dalam tes yang menguras tenaga dan pikiran, ada doa dan dukungan dari orang-orang tersayang. Maka saya ucapkan terima kasih untuk Istri, mamah, bapa, anak-anak, adik dan semua keluarga besar serta seluruh pihak yang mendoakan setulus hati untuk mencapai satu milestone ini. Istri yang menjadi support system luar biasa, ruang yang kau berikan untukku sangatlah berarti. Mamah bapa dengan doa “keramat”-nya demi keberhasilan anakmu ini. Anak-anak yang mengerti saat ayahnya ini perlu waktu untuk belajar dan tak bisa bermain bersama. Tak ada yang bisa saya persembahkan selain saya akan gunakan waktu hidup ini untuk bahagiakan semuanya.
Menjadi dosen memang cita-cita saya sejak dulu, tetapi jujur saja, menjadi Dosen PNS sebelumnya tak pernah terpikirkan. Dinamika dalam kehidupan lah yang membawa saya terdorong untuk mengikuti seleksi CPNS Dosen di Tahun lalu. Salah satunya adalah keinginan untuk menerima tantangan-tantangan baru dan keinginan untuk berkembang terus menerus dalam hidup, karena saya adalah “Long-Life Learner”, mwehehehe.
Ibarat karbokation yang terbentuk dalam berbagai macam reaksi organik, saat menemui kesempatan untuk membentuk karbokation yang lebih stabil, ia tak segan untuk melakukan penataan ulang dirinya, entah penataan minor seperti pergeseran hidrida, atau mayor seperti pergeseran metida, yang pasti ia ambil kesempatan itu. Dengan terbentuknya karbokation yang lebih stabil, ia punya waktu yang cukup untuk bereaksi dengan nukleofil dan membentuk produk yang lebih stabil.
Begitupun saya, pengambilan keputusan ini adalah upaya saya untuk sedikit melakukan pergeseran yang cukup berarti untuk menuju kestabilan baru dalam kehidupan dan karir saya. Kestabilan ini dibutuhkan untuk kemudian mempersiapkan diri menghadapi tahapan-tahapan reaksi (kehidupan) berikutnya.
Saya termasuk orang yang “berupaya” tak terlalu fokus dengan hasil. Karena bagi saya hasil itu buah dari proses. Jadi, nikmatilah prosesnya. Karena saat proses yang kita lalui itu proses dijalani dengan sepenuh hati, hasil akan menjadi buah manis yang dapat dipetik. Sebaliknya, saat kita menuntut hasil tanpa dibarengi dengan penikmatan terhadap proses, maka yang terjadi adalah caci maki terhadap keadaan.
Tak banyak harapan saya di tahun 2025 ini, seperti saat saya panjatkan doa kepada-Nya tentang CPNS ini. Saya tak meminta kelulusan, saya hanya meminta untuk diberikan takdir yang terbaik dari-Nya. Jikalah kelolosan adalah takdir terbaik, maka itulah yang akan Sang Maha Kuasa berikan. Jika ketidaklolosan adalah takdir terbaik, saya pun tentu akan menerima dan tetap bersyukur atas semua rahman dan rahim-Nya. Semoga 2025 senantiasa ditunjukkan takdir-takdir terbaik dari-Nya, amin ya robbal alamin.
Saat berhadapan dengan penguji dalam suatu wawancara, ada pertanyaan unik nan menarik dari salah seorang penguji. “Coba jelaskan nilai-nilai kimia yang relevan dalam tasawuf”. Seketika otak saya dituntut untuk berpikir cepat untuk mencari bahan jawaban. Seketika saya teringat akan peran nukleofil, suatu spesi kimia yang kaya elektron, yang secara sukarela memberikan elektronnya untuk berikatan dengan spesi yang kekurangan elektron dalam suatu mekanisme reaksi substitusi nukelofilik.
Akhirnya saya jelaskanlah relevansinya, bahwa dalam hidup, kita sebagai seorang yang punya kelebihan, baik berupa ilmu, harta, tenaga, dan aspek lain harus punya kepedulian untuk membantu mereka yang membutuhkan dan kekurangan. Seperti halnya nukleofil, yang rela berbagi elektronnya kepada substrat yang membutuhkan, memberikan dukungan yang berarti. Bahkan, nukleofil ini mendonorkan elektronnya seraya mengajak substrat untuk berikatan dengannya dan melepaskan belenggu ikatan sebelumnya yang tak memberikan kestabilan yang selayaknya.
Begitulah terkadang, dalam berbagi, ada yang memang benar-benar kekurangan, seperti karbokation, atau yang dia kekurangan, namun tak benar-benar memahami bahwa ia sebenarnya butuh uluran tangan, seperti spesi parsial positif.
Karena saya adalah seorang dosen dan guru, maka dimensi berbagi saya lebih banyak pada berbagi ilmu pengetahuan. Di kampus kepada mahasiswa dan di pesantren kepada para santri. Seringkali kita temukan di kelas, ada mahasiswa atau santri yang memang ia menunjukkan dirinya perlu perhatian lebih untuk memahami materi, sehingga tentu saja itu perlu kita beri tambahan pemahaman materi. Saya kira mendekati dan memahamkan jenis mahasiswa begini lebih mudah. Ibarat karbokation, secara dzohir ia memang butuh diberi elektron untuk berikatan, artinya mahasiswa tersebut perlu bonding lebih dengan kita dalam pembelajaran.
Adalagi jenis mahasiswa yang ia tidak menunjukkan atau mungkin tidak tahu bahwa ia butuh perhatian lebih dalam pemahaman materi, tetapi sebenarnya ia membutuhkannya. Satu kesamaan dari keduanya adalah mereka sama-sama membutuhkan perhatian dalam pembelajaran. Namun tentu saja yang kedua ini tantangannya lebih berat bagi seorang dosen, ibarat spesi karboh parsial positif, meminjam istilah imam algazali, ini tergolong pada kelompok “rojulun la yadri wa la yadri annahu yadri”, begitu kira-kira.
Nukleofil dalam hal ini, ia menyiapkan dua mekanisme dalam membantu kedua jenis spesi berbeda ini, yaitu dengan mekanisme SN1 dan SN2. SN1 untuk mahasiswa tipe 1 dan SN2 untuk mahasiswa tipe 2. Dari kedua mekanisme ini, anggaplah kita seorang nukleofil, kita sebagai dosen perlu menyiapkan mekanisme pembelajaran yang adaptif untuk kedua jenis mahasiswa ini, sehingga goals nya sama. Mereka dapat kita bantu meningkatkan pemahamannya dalam ilmu pengetahuan.
Saya percaya bahwa berbagi itu ada seninya, perlu strategi khusus dalam berbagi, dan ini tidak hanya berlaku pada dunia pendidikan seperti diatas. Contoh lainnya adalah dalam realitas perekonomian masyarakat Indonesia. Jikalah pemerintah ini ibarat nukleofil yang punya segudang kekuasaan untuk mensejahterakan kita, maka pemerintah sudah seharusnya memperhatikan dua tipe substrat yang harus ia bantu. Ibaratnya, spesi karbokation adalah masyarakat kelas bawah, mereka memang perlu dan harus dibantu secara ekonomi dengan mekanisme tertentu.
Disamping itu, pemerintah juga harus perhatikan juga substrat lainnya, yaitu si parsial positif tadi, atau mereka yang ada di kelas menengah. Kelas menengah ini seolah-olah tidak butuh bantuan, namun sebenarnya mereka sangat memerlukan bantuan, sepakat kan ya? Nah, pemerintah ini juga harus menyiapkan mekanisme untuk memberikan bantuan elektronnya kepada kelas menengah untuk lebih berdaya. Ini yang saya maksud berbagi itu perlu kecerdasan dan kejelian.
Yah, mungkin ada yang berekspektasi saya akan membahasnya dengan makna sufistik “mainstream” dari cerita nukleofil, tapi pada akhirnya adalah aspek ekonomi juga yang dibahas, hehehe. Meski anggapan umum tasawuf itu dimensinya endogen, tapi sebetulnya ada dimensi sosial eksogen dari tasawuf. Bagi saya, tasawuf sudah tak bisa dipahami sebagai pengasingan diri dari hal-hal duniawi. Jikalau tasawuf ini berakar dari dimensi ihsan, maka sebagai pelaku tasawuf, kita harus mampu menunjukkan keihsanan kita dalam kehidupan sosial kita.
Saya teringat definisi ihsan “an ta’budallaha kannaka tarohu, fain lam takun tarohu fainnahu yaroka, beribadah seolah-olah kita melihat-Nya. Kalu tidak begitu, beribadahlah dengan meyakini bahwa Allah melihat kita.”. Kalo memahami ihsan dari definisi tersebut, ihsan berkaitan dengan ibadah, dimana jenis ibadah yang kita lakukan tentu saja tak hanya ibadah personal, ada juga ibadah sosial yang mengisi relung-relung kemasyarakat.
Maka, tasawuf zaman sekarang harus dipahami lebih luas, harus berangkat dari dimensi pribadi ke dimensi sosial, dari endogen ke eksogen. Peduli pada berbagai isu, seperti climate change, pangan, perkembangan AI, ekonomi global dan regional, termasuk PPN 12%, hehehe. Jadi seorang sufi zaman now haram bersikap asosial, wkwkwk.
Kembali ke bahasan semangat berbagi, mari kita belajar berbagi pada nukleofil, dimana berbagi butuh strategi dan seni, tidak bisa monoton dan asal-asalan. Wallahu a’lam.
Karena suatu alasan, saya harus mencari argumentasi dan bukti yang menguatkan bahwa saya punya kapasitas berbicara dalam bahasa arab. Tentu saja saya cukup memahami, meski tak seperti alumni gontor dan pesantren bahasa, presentasi adalah sesuatu yang dipersiapan, by design, sehingga dengan basic yang cukup. Kita bisa melakukannya.
Kebetulan saja saya adalah seorang santri yang dulu cukup concern mempelajari gramatika bahasa arab, nahwu, shorof dan (sedikit) balaghoh. Kekurangannya santri salaf, tentu saja dari aspek speaking, kalo aspek reading sudah paling jago mereka. Tapi lemah bukan berarti tidak bisa sama sekali, bisa dipersiapkan, bisa dilatih, bisa disetting.
Saat pembukaan pendaftaran seminar proposal skripsi saat S1 dulu, terdapat edaran bahwa presentasi dapat disampaikan menggunakan bahasa arab atau inggris atau indonesia. Melihat itu, saya mulai tertarik dan berpikir untuk melakukan presentasi menggunakan bahasa arab. Ada beberapa alasan mengapa saya memilih bahasa arab. Pertama, tentu saja men-challenge diri. Tantangannya tentu saja bagaimana mentranslate istilah-istilah kimia ke dalam bahasa arab. Google translate menjadi salah satu opsi, tapi tentu saja saya harus mengecek kembali istilah sebenarnya melalui riset kata per kata. Karena jangan sampai, misal saya translate “Lidah buaya” ke dalam bahasa inggris jadi “Crocodile tongue” atau “Lisanut Timsal”, wkwkwk.
Kedua, ingin berbeda dari yang lain. Terbukti di satu angkatan saya, hanya saya sendiri yang mempresentasikan proposal skripsi hingga sidang skripsi dengan bahasa arab, hehe. Sombong amat. Ketiga, agar tak banyak dikomen penguji terkait performa presentasi, wkwkwk. Tapi ini tak terlalu ampuh, karena dosen sudah punya naskah skripsi saya yang berbahasa indonesia, dan secara konteks, slide per slide mereka paham apa yang sedang saya jelaskan. Jadi pertanyaan-pertanyaan penguji tetap saja horor, hahaha.
Yes! Jadi itulah pengalaman saya mempresentasikan Kimia dalam bahasa arab. Ya, ternyata bisa-bisa saja. Karena pasti di timur tengah sana pun, bahasa pengantar pembelajaran ilmu kimia maupun ilmu alam, teknik hingga kesehatan dengan bahasa arab juga bukan?
Hai, Saya Fawwaz Muhammad Fauzi, suatu produk hasil persilangan genetik Garut-Majalengka. Menjadi Dosen Kimia adalah profesi utama saya saat ini. Selain itu, ya membahagiakan istri, anak dan orang tua. Melalui blog ini, saya ingin menuliskan kisah-kisah keseharian saya yang pasti receh. Mungkin sedikit esai-esai yang sok serius tapi gak mutu. Jadi, tolong jangan berharap ada naskah akademik atau tulisan ilmiah disini ya, hehe.
Kalau ada yang mau kontak, silahkan email ke [email protected]. Udah itu aja.