Pergulatan duniawi akhir-akhir ini sungguh unik. Berbagai peristiwa, masifnya informasi diproduksi yang pada awalnya diharapkan menjadi landasan kecermatan dalam decision making dan menarik konklusi, malah menjadi semacam rasa takut bagi seseorang mengambil keputusan. Tetapi untuk hal-hal yang berada di luar “kepentingan”-nya, narasi dan komentar bisa lebih sadis dari peristiwa yang diinformasikan.
Fenomena ini tampak jelas dari cara kita menanggapi tragedi yang baru-baru ini menimpa dunia pesantren. Minggu ini kita disuguhkan sebuah musibah yang menyayat hati: sebuah bangunan pesantren di Sidoarjo roboh pada hari pengecoran. Nahas, sekitar 100 santri yang sedang berjamaah di lantai dasar terjebak dan tertimbun reruntuhan. Saat saya menulis ini, puing-puing sedang diangkat karena sudah tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan. Data mengenai korban dan kerusakan bisa dengan mudah ditemukan di berbagai media.
Sebagian netizen kemudian menghakimi pihak pesantren telah abai terhadap standar konstruksi bangunan. Para ahli pun menyatakan bahwa memang ada kegagalan struktur di sana. Pada titik ini, saya sepakat bahwa pesantren memang perlu memberi perhatian serius terhadap keamanan bangunan dan standar konstruksinya. Apakah ada yang harus dipidanakan? Saya bukan ahli hukum, jadi saya menyerahkannya pada pihak yang berwenang.
Sebagai seseorang yang sepertiga hidupnya dihabiskan di bilik pesantren, saya hanya ingin menyampaikan satu hal bahwa keikutsertaan santri dalam kegiatan seperti mengecor, mengaduk, atau kerja bakti bukan bentuk eksploitasi, melainkan wujud rasa khidmah kami sebagai santri. Di sana kami hanyalah “laden”, bukan “tukang”, apalagi “mandor” atau “arsitek” yang menentukan konstruksi bangunan.
Kami sama sekali tidak menganggap semua itu sebagai perbudakan atau ekploitasi tenaga kerja gratis. Mayoritas aktivitas kami tetap belajar dan mengaji. Ngecor hanya bagian kecil dari rutinitas; ngala batu cuma sepotong dari hari-hari panjang kami. Selebihnya, kami dididik untuk menjadi manusia yang percaya kepada Tuhan dan mencintai ilmu pengetahuan.
Maka ketika ada kerja bakti, gotong royong, atau santri membantu pembangunan, itu bukan eksploitasi, melainkan ekspresi kebersamaan dan rasa memiliki terhadap lembaga tempat mereka menuntut ilmu.
Perlu dipahami juga bahwa tidak semua hal bisa diukur dengan kalkulator untung-rugi. Banyak netizen menilai pesantren dengan logika efisiensi, padahal pesantren salaf seperti “Alkhoziny” justru berjuang agar pendidikan bisa dijangkau semua kalangan. Biayanya sangat terjangkau, bahkan banyak wali santri yang tetap menunggak karena kesulitan ekonomi.
Jika ini terjadi di sekolah umum, mungkin saja mereka sudah diultimatum atau bahkan dikeluarkan. Tapi dunia pesantren berbeda, para Kiai sering kali tidak tega mengeluarkan santri yang kesulitan. Beliau justru memutar otak agar pesantren tetap berjalan dengan dana seadanya, menguras rekening pribadi, menjual aset, dll.
Maksud saya, mari kita menjaga sikap. Jangan tergesa menggeneralisir bahwa pendidikan pesantren adalah eksploitasi tenaga kerja, perbudakan, atau pembodohan berbungkus agama. Mari berpikir jernih. Jika memang ada kelalaian dalam konstruksi atau pengawasan, itu kritik yang baik. Bahwa banyak nyawa yang syahid di sana dan harus dipertanggungjawabkan, silakan diproses sesuai ketentuan yang berlaku. Tidak semua hal bisa dilihat dengan kacamata hitam-putih.
Di sisi lain, ini menjadi tamparan keras bagi dunia pesantren dan kita semua. Di pesantren saya dulu, diajarkan sebuah hadits Rasulullah SAW: “Idza wusidal amru ilaa ghairi ahlihi, fantadziris sa’ah.” — Jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu. Maka, ketika kita hendak membangun bangunan, panggillah arsitek; saat sakit, pergilah ke dokter; saat merasa bodoh, belajarlah ke institusi pendidikan. Semua ada ahlinya.
Saya meyakini, banyak masalah di negeri ini bersumber dari kebiasaan menyerahkan urusan bukan kepada ahlinya. Dan seperti sabda Nabi, kehancuran akan datang bila hal itu terus terjadi. Wallahu a’lam.
Teruntuk para santri korban reruntuhan. Alfaatihah.
Malam hari memang menjadi momentum yang pas untuk melakukan refleksi, berkontemplasi, hingga sekedar merenungi banyak hal yang telah terjadi sepanjang hari, minggu, bulan bahkan selama hidup ini. Sembari nyeruput kopi, terkadang saya masih tidak menyangka, saya sudah mencapai titik kehidupan seperti ini. Menjadi seorang dosen yang memang menjadi cita-cita saya. 10-12 tahun lalu saat S1, saya memantapkan diri bahwa saya ingin menjadi dosen, dan spesifik menjadi dosen kimia di kampus UIN, hahaha.
Kenapa UIN? Bukan Unpad, ITB atau kampus umum lainnya? Jujur saja saya agak insecure jika harus mengejar yang itu, wkwkwk. Tapi lebih daripada itu, saya merasa kampus-kampus UIN adalah yang paling match dengan purwadaksi saya. Paradigma integrasi islam dan sains yang diusung UIN adalah salah satu alasan kuat untuk saya menyemplungkan diri ke dalam keluarga besar UIN.
Mengapa integrasi ini menarik? karena dalam pikiran saya, pesantren bahkan islam secara umum belum mengarusutamakan sains sebagai salah satu kunci utama untuk mengarungi kehidupan guna menjalankan mandat dari Tuhan sebagai khalifatullah fil ardl. Bahkan dalam beberapa aspek, ada juga yang masih kaku dan menganggap sains tidak penting, ilmunya orang kafir, dll.
Saat ini, alhamdulillah saya telah menjadi bagian dari keluarga besar UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon (UIN SSC). Sungguh sebuah kehormatan bagi saya menjadi dosen pada kampus berbasis siber ini. Karena ini adalah semacam “dream comes true”, maka sepertinya saya akan bekerja pada institusi ini dengan sepenuh hati, memastikan diri ini ikut terlibat untuk mewujudkan kampus ini unggul dan mendunia seperti visinya. Amin.
Ada Turots, Jangan Langsung Loncat
Bicara wacana integrasi islam sains, memang sudah lebih dari dua dekade, UIN-UIN di Indonesia berjuang keluar dari bayang-bayang dikotomi ilmu agama dan ilmu umum. UIN Malang dengan Pohon Ilmu-nya, UIN Jogja dengan Jaring Laba-Laba Interkoneksi-nya, berhasil memberi fondasi filosofis yang kokoh. Mereka mengajarkan bahwa ilmu agama dan ilmu umum tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan menyatu dalam satu sistem keilmuan yang holistik.
Namun ada satu hal yang masih terasa menggantung. Di ruang kelas, di jurnal penelitian, dan dalam diskusi akademik, integrasi itu sering berhenti sebagai konsep. Kita masih sering sibuk mencari “ayat pasangannya” untuk setiap teori sains, sehingga ujungnya terjebak pada praktik “cocokologi.” Seolah-olah nilai sebuah penelitian hanya sah jika bisa dicantolkan langsung ke Qur’an, meski kadang sambungannya dipaksakan.
Kekayaan tradisi Islam sebenarnya menyediakan jembatan epistemik yang sering kita lupakan. Sebelum langsung melompat dari fenomena ke Qur’an, kita punya kutubutturots dan kaidah-kaidah ushul fiqh. Kaidah seperti “mā lā yudraku kulluh lā yutraku kulluh” (sesuatu yang tak bisa diraih seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya) atau “dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih” (menolak kerusakan lebih utama daripada meraih kebaikan) adalah contoh “hukum universal” yang bisa menjadi landasan interpretasi ilmiah.
Dengan jembatan ini, kita bisa menghindari jebakan cocokologi. Misalnya, penelitian tentang ekologi tidak perlu buru-buru mencari ayat tentang tumbuhan atau hewan. Lebih bermakna jika hasil penelitian itu dibaca melalui kaidah “menolak mafsadah” lalu diinternalisasi sebagai dorongan etis menjaga kelestarian alam. Sains tetap pada jalurnya, agama tetap pada marwahnya, dan keduanya bertemu dalam ruang nilai dan aksi.
Cirebon dan Warisan Sufistik Para Wali: Dari Integrasi ke Aksiologi
Cirebon adalah kota wali yang punya warisan sejarah yang kaya. Syekh Nurjati yang dipakai UIN Cirebon sebagai nama ini adalah figur ulama sufi, guru dari Sunan Gunung Jati yang jejaknya masih hidup hingga kini. Beliau dikenal sebagai pendidik sekaligus mursyid, yang mengajarkan Islam dengan pendekatan lembut dan damai. Beliau menyepi di gua untuk bermunajat, lalu mendirikan pesantren sebagai pusat pendidikan ilmu dan spiritualitas. Dakwahnya tidak menghapus budaya lokal, tapi mengolahnya menjadi wahana dakwah yang ramah dan membumi. Kita sepertinya harus bisa menggali lebih lanjut spirit sufistik Syekh Nurjati yang nantinya “mungkin” bisa menjadi landasan epistemik dari paradigma keilmuan UIN SSC.
Menyoal sufistik, ini juga bisa menjadi ruang opsi bagi UIN SSC. Disaat UIN Malang dan UIN Jogja bicara di tataran epistemologinya, UIN SSC bisa mengisi dan melengkapi wacana ini. Alih-alih menciptakan paradigma baru, UIN SSC bisa kemudian mensintesis watak yang lebih aksiologis dari integrasi sains dan islam yang bisa disuntik dengan ruh sufistik dari khazanah lokal.
Maksudnya, kita tidak boleh berhenti di tataran konsep: “Adakah relasi yang tepat antara sains dan islam?”, anggaplah itu sudah dijawab UIN Jogja dan Malang. Mari kita bergeser pada pertanyaan: “Bagaimana ilmu dipakai, bagaimana ia membentuk sikap, dan bagaimana ia mengubah kehidupan sehari-hari”. Aksiologi memberi ruh, sehingga ilmu tidak berhenti sebagai kumpulan data atau teori, tapi menjelma menjadi perilaku dan peradaban.
Sepertinya ini nantinya akan lebih asik. Karena ilmu nantinya bukan tulisan diatas kertas, tapi memastikan bahwa ilmu itu benar-benar menghidupkan laku dan akhlak. Di sinilah UIN SSC bisa menawarkan penyempurnaan. Jika Malang dan Jogja menegaskan “bagaimana ilmu dipahami,” maka Cirebon bisa menambahkan dimensi “bagaimana ilmu dihidupi.”
Ilmu yang Dihidupi: Dari Teori ke Perilaku
Kemudian pertanyaan muncul, lalu seperti apa cara kerjanya? Contohnya bisa kita lihat di berbagai disiplin ilmu. Dalam Tadris IPS, ilmu sosial bukan sekadar teori tentang masyarakat, tapi melatih mahasiswa bersikap adil, solider, dan penuh empati. Dalam Akuntansi Syariah, kejujuran dan amanah menjadi inti, sehingga laporan keuangan tidak hanya rapi secara angka, tapi juga bersih secara moral.
Di bidang Informatika, mahasiswa belajar bahwa coding dan algoritma hanyalah alat. Yang lebih penting adalah bagaimana teknologi dipakai secara etis: menjaga privasi, melawan hoax, dan menebarkan manfaat. Sedangkan dalam Teknik Industri, konsep efisiensi bukan dijalankan untuk eksploitasi, tapi sebagai wujud ihsan dalam bekerja: mengatur sumber daya agar maslahatnya meluas tanpa merusak manusia dan alam.
Analogi yang pas adalah sains data. Validitas data dan metode analisis memang penting, tapi yang paling menentukan adalah bagaimana kita menginterpretasikan data itu dengan paradigma yang tepat. Tanpa aksiologi, data bisa dipakai untuk menyehatkan masyarakat, atau sebaliknya untuk manipulasi politik. Begitu juga dengan ilmu, ia hanya bermakna bila dihidupi.
Siber sebagai Ruang Suluk Baru
Selanjutnya, bagaimana dengan branding sibernya? Dunia siber memberi tantangan etika yang sangat nyata. Hoax, ujaran kebencian, plagiarisme daring, dan kecanduan gadget adalah problem yang mengintai setiap mahasiswa.
Di sinilah sufistik bisa hadir. Disiplin dalam kuliah online adalah latihan mujahadah. Kejujuran dalam ujian daring adalah cermin amanah. Wara’ dalam berselancar di media sosial adalah praktik taqwa di ruang maya. Dengan cara ini, dunia digital menjadi ruang suluk baru, sebuah pesantren virtual di mana ilmu dan akhlak tetap bisa dipelihara.
Maka, branding “siber” tidak perlu dipaksakan masuk ke ranah filosofis. Cukup ditempatkan sebagai wasilah, yakni jalan baru untuk menguji bagaimana ilmu benar-benar dihidupi, bahkan ketika dunia bergeser ke ruang maya.
Tungtungtung
Akhiron, jika UIN Malang bicara ilmu disatukan, UIN Jogja bicara ilmu dihubungkan, UIN Cirebon bisa dengan mantap mengatakan ilmu dihidupi, hehehe. Ya entahlah apa nama kerennya. Tentu saja ini perlu upaya bersama. Lagian, siapa saya sok-sokan menawarkan paradigma baru. Saya masih anak bau kencur di kampus ini. C-nya aja belum hilang, wkwkwk. Ini hanyalah tulisan yang lahir akibat dari lamunan selepas isya sembari nyeruput kopi. Saking bosennya scrolling IG. Maap kalo judul diatas ganyambung sama isinya ya. Wallahu a’lam.
Beberapa hari yang lalu, saya ditodong untuk menjadi narasumber pengganti dalam agenda orientasi mahasiswa baru jurusan Tadris Kimia UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon. Sebagai dosen baru di kampus, rupanya bukan hanya maba yang di ospek, sayapun juga di ospek mahasiswa. Undangan mahasiswa diantarkan hanya 3 jam sebelum acara. Sungguh tahu bulat.
Saya diminta menyampaikan materi sejarah kimia dan integrasinya dengan Islam. Saya siapkan materi “digoreng dadakan” namun tetap kresss dan bukan asal ngacapruk. Intinya bahwa kimia yang kita kenal saintifik dan empiris banget itu embrionya sangat kental dengan nuansa mistis. Dan integrasinya dengan islam? meski aspek epistemologinya sudah cukup mapan dibahas (minimal di PTKIN), tapi cukup menarik saat ada pertanyaan dari seorang mahasiswa.
“Pak, sebenarnya kalo kita belajar sains seperti kimia ini apakah bisa membuat kita jadi semakin Islam?”, kira-kira begitu parafrase pertanyaan mahasiswa baru tadi. Seketika saya teringat dalam suatu kegiatan penguatan moderasi beragama di suatu tempat. Pada saat itu diisi oleh fasilitator dari Fahmina Institut, beliau bertanya, “Apa yang membuatmu bersyukur setiap hari?”
Beberapa peserta menjawab dengan heroik, ada yang menjawab berkaitan dengan keluarga, pekerjaan, finansial, dll. Tawa dan sorak sorai bergemuruh. Saya adalah salah satu peserta dengan jawaban yang “terlalu biasa”. Saya menjawab, “Saya bersyukur karena detik ini saya masih diberi oksigen yang pas untuk bernafas.”.
Tentu saja jawaban saya ini tak mendapat tepuk tangan atau sorakan apapun karena ya jawabannya “apaan sih”. Oksigen ya dianggap hal biasa dan lumrah saja. Manusia pasti bernafas, oksigen pasti ada, tak ada yang istimewa kan?
Bagi banyak orang, mungkin terdengar biasa. Tapi bagi orang yang mempelajari sains, oksigen adalah bahasan yang sangat panjang, dan bernafas bukanlah skema kerja tubuh yang “terlalu biasa”. 21% oksigen yang ada dan tersedia untuk kita bernapas adalah buah dari kontribusi makhluk hidup lain seperti tumbuhan dan fitoplankton. Keduanya memproduksi oksigen dengan prekursor CO2. Saat CO2, pemanasan global semakin parah, iklim kacau, semua dari kita terancam dari berbagai sisi. Dalam jangka panjang, ada potensi kadar oksigen di bumi akan berkurang juga.
Saat bumi semakin panas, gelombang panas ekstrem mengancam kesehatan manusia, permukaan laut naik menenggelamkan kawasan pesisir, sementara kekeringan, badai, dan kebakaran hutan mengganggu ketersediaan pangan. Semua ini pada akhirnya bermuara pada perebutan sumber daya yang menimbulkan instabilitas sosial.
Bukankah dengan banyaknya hubungan sebab akibat ini menjadikan oksigen dan karbon dioksida ini tak boleh disepelekan? Perannya sangat vital bagu kehidupan. Kita sangat “bermanja ria” terhadap oksigen. 1 menit saja tanpa oksigen, akan sangat fatal bagi manusia, 3 menit tanpa oksigen akan memulai fase dimana kerusakan otak mulai terjadi dan semakin lama terjadi, kematian akan menghampiri.
Bgai saya, disinilah sains & islam bertemu. Sains seringkali membuat saya berkontemplasi atas anugerah-Nya dalam hidup. Hal-hal yang menurut kita biasa saja, ternyata “sangat tidak biasa” ketika kita pahami lebih jauh konsepnya. Bagaimana milyaran sel dalam tubuh kita setiap detiknya bekerja begitu detil. Melakukan skema spesialisasi, sehingga tidak ada ceritanya sel kita salah memprogram. Yang harusnya jadi sel kulit misalnya, malah menspesialisasi menjadi sel saraf atau sel darah. Saat tubuh masih dalam proses pembentukan organ didalam janin, tidak ada pemrograman yang tertukar untuk melokalisasi organ. Hidung tetap pada tempatnya dibawah kedua mata, lokasi mata tidak tertukar dengan telinga, dll.
Disisi lain, setiap kali kita menggerakkan tubuh, sejatinya terjadi sebuah kerja sama halus antara listrik dan kimia dalam sistem saraf. Otak mengirimkan impuls listrik melalui jaringan neuron, lalu di ujung saraf sinyal ini diterjemahkan menjadi pesan kimia berupa neurotransmitter bernama asetilkolin, yang menjembatani komunikasi dengan otot. Tanpa mekanisme ini, perintah otak hanya akan berhenti sebagai “getaran listrik” tanpa makna. Di sini kita bisa melihat betapa rapuh sekaligus canggihnya tubuh manusia: gerakan sekecil mengedipkan mata saja adalah hasil orkestrasi sinyal listrik dan molekul kimia yang bekerja dalam harmoni.
Inilah refleksi saya sebagai orang yang belajar kimia dalam memahami keajaiban ciptaan-Nya. Maka merefleksikan ayat-ayat kauniyah adalah wiridnya seorang saintis, mekanisme olah batin yang penting untuk bagaimana kita mensyukuri “kerennya” anugerah Allah SWT. Disinilah letak integrasi nilai sains-islam. Refleksi atas insight fenomena sains memunculkan hikmah yang menuntun kita pada kesadaran atas makna hidup berdasar nilai kesilaman yang selanjutnya menjadi output berupa kebaikan sikap dan perilaku. Bersyukur atas hidup, menghargai sesama dan menjaga alam serta berperan menjadi seorang manusia dengan sebaik-baiknya adalah citra diri dan akhlak seorang saintis islam.
Bagi saya, disinilah sains sebagai ilmu yang seringkali dikonotasikan sebagai ilmu duniawi, ternyata sangat mendalam merefleksikan kesadaran teologis. Sederhananya, hikmah sains meningkatkan ketaqwaan kita kepada Tuhan, menjadikan kita manusia yang lebih “beragama”. Sebab sains tanpa iman hanya data, sementara iman tanpa sains bisa buta. Bila keduanya dipadukan, ia menuntun kita menjadi manusia seutuhnya.
Di dunia pesantren, sanad adalah hal yang penting, bahkan ada sebuah istilah populer bahwa “al isnadu minaddin, laulal isnad laqola man sya’a wa ma sya’a”, sanad adalah bagian dari agama itu sendiri, kalau tidak ada sanad, maka orang akan ngomong karepe dewe. Maka dalam tradisi pesantren, saat berpendapat dan berucap “menurut saya”, itu adalah semacam hal yang tabu. Karena sebagai ahli ilmu, berpendapat itu harus bersandar kepada keilmuan itu sendiri, jadi titik komprominya adalah “menurut pemahaman saya” dari kitab A, bla bla bla.
Sebagian orang berpendapat, pola semacam itu membatasi kebebasan berpikir. Bagi saya tidak. Karena dalam kita mensintesa pemikiran/pendapat, kita harus mendasarkannya pada referensi-referensi yang dapat dipertanggungjawabkan. Tidak boleh ngawur. Berkata “menurut saya” mungkin sah-sah saja, asal ia melanjutkan “berdasarkan pada ….”. Inilah yang bagi saya, antara dunia pesantren dan dunia akademik modern punya titik temu yang sama. Ia sama-sama menghargai mata rantai keilmuan. Pesantren dengan sanad sedangkan akademik dengan sitasi, pesantren dengan hujjah ulama sedangkan akademik dengan argumentasi berlandaskan literatur, pesantren dengan kitab kuning, akademik dengan peer-reviewed journal.
Dalam belajar ilmu agama, sering kita dengar bahwa guru yang paling banyak mendapatkan pahala adalah guru yang mengajarkan alif ba ta hingga lancar surat al-Fatihah. Rasionalisasinya beragam, tapi satu hal yang pasti, huruf hijaiyyah, sepanjang ia belajar keislaman dari literatur kitab kuning, semuanya berdasar pada kemampuan dasar pengenalan alif ba ta. Aplikasi yang interdisipliner ini membuat “guru alif ba ta”-lah yang panen pahala di masa depan, kira-kira Kyai yang mengajari ia alfiyah beserta syarah-syarahnya itu pahalanya lebih kecil dari kyai kampung alif ba ta.
Begitupun saat saya mempelajari ilmu kimia, kesukaan saya pada ilmu kimia bermula saat sekolah di Madrasah Aliyah dengan guru yang menyenangkan saat itu. Pak Unang dan Ibu Susi namanya. Bu Susi mengajarkan SPU hingga deret homolog alkana dengan nadzam-nadzam ala lalaran yang familiar dengan santri. Pak Unang memberi banyak insight tentang kimia yang membuat saya pada akhirnya mantap memilih Kimia sebagai program studi prioritas saat berkuliah nanti.
Saat melanjutkan studi S-1 di Kimia UIN Malang, meski sempat terseok-seok di awal, dibawah bimbingan dosen disana, seperti Pak Tri, Bu Diana, Pak Naim, Pak Hanapi, Bu Rahma, Bu Elok, dll, alhamdulillah saya berhasil menyelesaikan studi. Kira-kira, guru alif ba ta kimia saya adalah pak Unang dan Bu Susi saat MA dan para Dosen Kimia UIN Malang. Maka, saya akan tegas mengatakan bahwa Sanad Kimia saya berasal dari Kimia UIN Malang. Bu Susi dan Pak Unang mengajarkan saya bedanya ba, ta, tsa, jim, ha, kho berdasarkan titik-titik yang ada, Dosen Kimia UIN Malang mengajarkan saya alfatihahnya sehingga saya memutuskan untuk melanjutkan S2 di Kimia juga karena sudah kadung cinta dengan bidang ilmu ini.
Kemarin (5/6/2025) adalah titik dimana saya telah ditetapkan sebagai CPNS Dosen Tadris Kimia UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon. Tentu ada rasa bahagia atas semua proses yang telah saya jalani hingga saya pada akhirnya bisa tiba pada “Titik Awal” impian saya ini. Selain kepada orang tua, istri dan semua keluarga yang mendoakan, saya juga harus haturkan banyak terimakasih pada semua guru dan dosen kimia saya. Karena dari beliau-beliau lah sanad kimia saya dapatkan. Tentu saja saya ucapkan terimakasih kepada Bapak/Ibu Dosen S2 Kimia UNPAD, Prof Tri, Prof Tati, Bu Lela, Bu Desi, Bu Darwati, Prof Unang, Pak Ari dan semuanya. Dari beliaulah saya lebih lanjut bisa maknani/ngafsahi kimia lebih lanjut, khususnya maknani spektra 2D-NMR, hingga mensyarahi hasil running in silico hehehe, terimakasih!
Akhiron, semoga semua guru dan dosen saya di bidang Kimia dan bidang lainnya diberi kesehatan dan panjang umur, diberkahi dalam sepanjang hidupnya. Dan doakan saya semoga bisa menjadi seperti beliau-beliau yang dapat menelurkan murid-murid hebat, menjadikan ilmunya bermanfaat dan meluas di dunia akademik dan di masyarakat, amin ya robbal alamin.
Kemarin ini sedang ramai kasus Ayam Goreng Widuran di Solo yang setelah beroperasi berpuluh-puluh tahun, barulah si empunya toko mengikhbarkan bahwa ayam yang dia jual bukan produk halal, waduh! Tetapi, tulisan ini bukan mau bahas itu, tapi bahas isu halal lain yang mungkin lebih holistik daripada kasuistik macam tadi.
Secara definisi umum, halal adalah segala sesuatu yang diperbolehkan secara syariat, sedangkan haram adalah yang tidak diperbolehkan oleh syara’, baik yang tersurat maupun yang tersirat dalam nash. Keharaman suatu makanan atau benda lain pun bisa dibagi dua: ada yang haram lidzâtihi, yaitu yang memang mutlak haram seperti babi dan khamr; dan ada yang haram lighairihi, yang keharamannya tergantung situasi—misalnya mangga yang asalnya halal, tapi jadi haram karena diambil dari hasil mencuri. Klasik. Tapi relevan.
Nah, dalam beberapa dekade terakhir, kesadaran umat Islam terhadap konsumsi produk halal meningkat drastis. Label halal kini seolah jadi jaminan mutlak bahwa sebuah makanan, obat, atau kosmetik aman dikonsumsi. Tapi… apakah benar “halal” otomatis berarti “sehat”? Apakah cukup bagi seorang Muslim hanya memastikan kehalalan, tanpa mempertimbangkan aspek kesehatan?
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal lagi baik yang terdapat di bumi…”.
Prof. Quraish Shihab menyebutkan bahwa kata “thayyib” dalam ayat ini bersifat relatif dan multidimensi. Baik menurut saya belum tentu baik menurut Anda. Konteksnya pun bisa berbeda: baik dari sisi rasa, gizi, efek jangka panjang, maupun keseimbangan psikologis. Jadi, “thayyib” itu bukan cuma soal halal–haram fiqhiyah, tapi juga soal maslahat.
Nah, dalam dunia kesehatan, makna “thayyib” ini sangat erat kaitannya dengan gizi seimbang, aman dikonsumsi, dan tidak membahayakan tubuh. Maka wajar jika ayat tadi menyandingkan “halal” dengan “thayyib”. Artinya, jangan sampai kita hanya puas dengan label halal, sementara kandungannya justru memicu penyakit.
Halal Tidak Selalu Sehat
Realita di lapangan tak seindah teori. Banyak produk dengan logo halal mengilap di kemasan, padahal di baliknya tersembunyi kadar gula tinggi, lemak trans, natrium berlebih, dan zat aditif sintetik yang bikin organ dalam tubuh ngelus dada (hah?). Secara fiqh: boleh. Tapi secara medis? Silakan ajak insulin Anda diskusi di depan indomaret.
Industri makanan saat ini berlomba-lomba membuat produk se-crunchy mungkin, semanis mungkin, sekenyal mungkin, se-gimmick mungkin—demi satu hal: menarik konsumen agar makan lebih banyak. Dan dari sanalah menjamur makanan Ultra-Processed Food (UPF). Makanan yang jauh dari bentuk aslinya, pengolahannya berlapis, nyaris tak bisa dikenali apa sebenarnya bahan dasar yang digunakan.
Sejak diet dua tahun yang lalu, sulit bagi saya untuk menemukan jajanan di minimarket yang bisa saya pilih. Saya cenderung lebih banyak menghabiskan waktu membaca komposisi dan menggeleng. Betapa bodohnya saya dulu, menjadi manusia buncit yang termakan iklan Mie Instan Premium dengan Packaging mewah, padahal tinggi zat aditif, natrium dan gula tersembunyi, Hahahaha.
Studi demi studi melaporkan bahwa konsumsi UPF berkorelasi dengan peningkatan risiko diabetes, hipertensi, penyakit jantung, bahkan beberapa jenis kanker. Tapi tetap: banyak dari mereka bersertifikat halal. Halal, tapi tidak thayyib. Dan jawaban mereka, halah, panganan ae kok ruwet! Teu pira dahareun tinggal dilebok! Ironis.
Saatnya Berpikir “Halal Thayyib Preventif”
Kita sering dengar adagium: mencegah lebih baik daripada mengobati. Nah, kalau mencegah bisa dimulai dari memilih makanan yang halal dan thayyib, kenapa tidak?
Karena itu, saya ada ide liar hasil merenung di WC tadi, yaitu konsep Halal Thayyib Preventif. Gagasan ini bukan cuma soal menghindari babi dan alkohol, tapi memperluas lensa halal menjadi bagian dari gaya hidup sehat dan sadar gizi. Mungkin suatu saat, kita bisa bikin label “halal hijau” (halal dan thayyib), “halal kuning” (halal tapi awas tinggi gula/sodium), dan merah untuk yang haram. Jadi beli snack nggak cuma lihat harga diskon, tapi mikir: “Ini masuk kategori mana ya?”
Peran Sains: Menghalalkan yang Logis & Maslahat
Sebagai santri laboratorium, saya percaya: laboratorium bukan hanya tempat mencampur reagen, tapi juga tempat meracik dan meramu kemaslahatan. Di sana, kita bisa menguji:
1. Apakah pewarna makanan halal tertentu berisiko toksik?
2. Apakah produk halal tertentu terlalu tinggi sodium?
3. Apakah zat alami bisa menggantikan aditif sintetik secara lebih aman?
4. Dan banyak pertanyaan lainnya.
Dengan pendekatan evidence-based halal, peneliti bisa membantu ulama dan lembaga fatwa mengambil keputusan yang bukan hanya legal, tapi juga logis dan maslahat. Misal, jika studi meta-analisis menyimpulkan bahwa konsumsi gula >20 gram per hari meningkatkan risiko diabetes 80%, maka—kenapa tidak—produk minuman manis dengan kadar gula tinggi diberi label “tidak thayyib”? Bahkan mungkin haram lighairihi.
Halal adalah Titik Awal, Bukan Titik Akhir
Di dunia modern yang serba cepat dan penuh pilihan ini, memahami halal sebagai “asal bukan babi, celeng, maupun bagong” adalah pemahaman minimalis. Kita butuh pendekatan yang lebih bijak, menyeluruh, dan berpihak pada kesehatan. Konsep Halal Preventif adalah jembatan antara nilai-nilai Islam, sains, dan kebutuhan manusia modern. Sebagai Muslim yang juga peneliti newbie, saya merasa terpanggil untuk tidak hanya meneliti zat yang “dunyawiyah“, tapi juga meneliti dengan unsur “maslahat diniyah“.
Beberapa kali saya dengar seorang tokoh berkata kurang lebih begini, “Santri harus masuk dunia politik, karena santri ini sudah biasa hidup sederhana dan serba pas-pasan. Jadi, kemungkinan santri korupsi itu kecil.”
Saya setuju untuk statemen pertama bahwa santri memang harus ada yang berpolitik. Tetapi untuk alasannya, kita semua akan mendapatkan bias jika menelusuri beberapa figur santri yang ternyata juga menjadi terdakwa kasus korupsi, atau bahkan hanya terindikasi dan terbawa-bawa dalam kasus korupsi. Maka, saya pernah ditanya orang yang bukan santri, “Katanya kalo menterinya santri gak mungkin korupsi, lha kok itu ditangkap KPK?”
Mungkin ada yang akan bersilat lidah, bahwa ini kasus kriminalisasi, ataupun agenda untuk menjegal lawan politik, dikasuskan, dan lain sebagainya. Saya meyakini itu ada. Tapi saya lebih ingin mencoba mengkritisi bagian dimana “Kesederhanaan santri mengurangi potensi korupsi.”. Bagi saya, ini tak ada hubungannya.
Saya mencoba mengambil satu kutipan dari Abraham Lincoln yang berbunyi, “Hampir semua manusia bisa bertahan dalam kesulitan, tetapi jika anda ingin menguji karakter seseorang, berilah ia kekuasaan.”. Nah, bagi saya ini make sense, baik itu santri atau siapapun yang biasa hidup sederhana hingga mlarat, kebanyakan akan bisa survive. Bahkan ada yang bisa sampai melenting menjadi orang berhasil. Meminjam istilah Bambang Pacul, si Korea korea ini.
Jadi, selain santri, banyak juga figur-figur berhasil yang awalnya berangkat dari kemlaratan hidup. Tapi nyatanya saat sudah berhasil, mau santri atau bukan, jika kekuasaan sudah di tangan, itu soal lain. Seperti kata sejarawan Inggris, Lord Acton, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”, kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut juga merusak secara absolut.
Jadi, bagi saya, poin plus santri terjun ke politik itu jangan berangkat dari kesederhanaan. Akan tetapi, mungkin bisa berangkat dari keterikatannya dengan moral pesantren tempat ia dididik. “Pesantren adalah benteng moral. Setidaknya hingga sekarang, anggapannya begitu,” dawuh Buya Said Aqil Siroj di podcast AFU.
Pesantren membentuk santrinya untuk mempraktekkan nilai moral yang diajarkan melalui kitab-kitab klasik. Ada berbagai kitab akhlak yang dipelajari, dan memang penekanan banyak pesantren adalah berdasar pada “al adab fauqol ilmi”, adab itu diatas ilmu. Jadi, jangan sok sok an anda menteri, lalu merasa hebat dari kyai yang mengajari anda membaca al-Quran dan kitab kuning.
Disamping itu, figur kyai yang ada di Pesantren, menurut saya, adalah salah satu parameter yang kemungkinan besar akan menentukan perilaku santrinya. Semakin kuat keteladanannya, maka santri tak akan berani macam-macam, walaupun ia sudah alumni, walaupun Kyainya sudah meninggal. Apalagi jika punya kedekatan secara personal pada sang Kyai, itu akan menjadi tambahan kekuatan moral seorang santri untuk tidak berbuat korupsi atau perbuatan keji lainnya (dalam politik).
Saya pribadi, rasa malu terbesar saya adalah ketika berbagai hal yang diajarkan oleh kyai dulu belum bisa saya praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Saat akan berlaku buruk, saya seringkali takut jika membayangkan raut wajah kecewa guru saya saat melihat saya melakukan hal yang tidak disukainya. Walaupun guru saya sudah tidak lagi di dunia fana ini, al faatihah.
Jadi, bagi saya, yang menjadi kekuatan utama seorang santri untuk tahan godaan kekuasaan dan perilaku koruptif, bukan dari cara hidup mereka yang sederhana. Tapi lebih ke bagaimana mereka menyelami kehidupan di pesantren dengan didikan akhlak yang dominan, terlebih saat para santri punya teladan yang luar biasa dari figur Kyainya.
Maka, saat ada yang skeptis dengan perdebatan mana yang lebih penting? Sistem atau figur? Saya setuju dengan Buya Said Aqil Siroj, keduanya sama penting. Percuma sistemnya dibuat sangat baik dan hampir tanpa celah, tetapi tanpa adanya teladan yang menjalankan sistem tersebut, akan ada saja orang yang mencoba memanfaatkan celah aturan untuk berlaku tidak adil. Jika hanya figur tanpa sistem? Akan terjadi pengkultusan dan fanatisme buta yang membahayakan. Lagi-lagi, jalan tengah itu memang opsi yang lebih baik.
Semoga di masa depan, semakin banyak santri yang mampu mengambil peran dalam urusan publik. Tentu bukan hanya politik, tetapi sektor-sektor lain macam birokrasi, dunia usaha, digital, teknologi, dan lainnya. Semoga kekuatan moral yang dibangun saat di pesantren menjadi pondasi bagi kita semua yang santri untuk berlaku adil di dalam masyarakat.
Hai, Saya Fawwaz Muhammad Fauzi, suatu produk hasil persilangan genetik Garut-Majalengka. Menjadi Dosen Kimia adalah profesi utama saya saat ini. Selain itu, ya membahagiakan istri, anak dan orang tua. Melalui blog ini, saya ingin menuliskan kisah-kisah keseharian saya yang pasti receh. Mungkin sedikit esai-esai yang sok serius tapi gak mutu. Jadi, tolong jangan berharap ada naskah akademik atau tulisan ilmiah disini ya, hehe.
Kalau ada yang mau kontak, silahkan email ke [email protected]. Udah itu aja.