Kemarin ini sedang ramai kasus Ayam Goreng Widuran di Solo yang setelah beroperasi berpuluh-puluh tahun, barulah si empunya toko mengikhbarkan bahwa ayam yang dia jual bukan produk halal, waduh! Tetapi, tulisan ini bukan mau bahas itu, tapi bahas isu halal lain yang mungkin lebih holistik daripada kasuistik macam tadi.
Secara definisi umum, halal adalah segala sesuatu yang diperbolehkan secara syariat, sedangkan haram adalah yang tidak diperbolehkan oleh syara’, baik yang tersurat maupun yang tersirat dalam nash. Keharaman suatu makanan atau benda lain pun bisa dibagi dua: ada yang haram lidzâtihi, yaitu yang memang mutlak haram seperti babi dan khamr; dan ada yang haram lighairihi, yang keharamannya tergantung situasi—misalnya mangga yang asalnya halal, tapi jadi haram karena diambil dari hasil mencuri. Klasik. Tapi relevan.
Nah, dalam beberapa dekade terakhir, kesadaran umat Islam terhadap konsumsi produk halal meningkat drastis. Label halal kini seolah jadi jaminan mutlak bahwa sebuah makanan, obat, atau kosmetik aman dikonsumsi. Tapi… apakah benar “halal” otomatis berarti “sehat”? Apakah cukup bagi seorang Muslim hanya memastikan kehalalan, tanpa mempertimbangkan aspek kesehatan?
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal lagi baik yang terdapat di bumi…”.
Prof. Quraish Shihab menyebutkan bahwa kata “thayyib” dalam ayat ini bersifat relatif dan multidimensi. Baik menurut saya belum tentu baik menurut Anda. Konteksnya pun bisa berbeda: baik dari sisi rasa, gizi, efek jangka panjang, maupun keseimbangan psikologis. Jadi, “thayyib” itu bukan cuma soal halal–haram fiqhiyah, tapi juga soal maslahat.
Nah, dalam dunia kesehatan, makna “thayyib” ini sangat erat kaitannya dengan gizi seimbang, aman dikonsumsi, dan tidak membahayakan tubuh. Maka wajar jika ayat tadi menyandingkan “halal” dengan “thayyib”. Artinya, jangan sampai kita hanya puas dengan label halal, sementara kandungannya justru memicu penyakit.
Halal Tidak Selalu Sehat
Realita di lapangan tak seindah teori. Banyak produk dengan logo halal mengilap di kemasan, padahal di baliknya tersembunyi kadar gula tinggi, lemak trans, natrium berlebih, dan zat aditif sintetik yang bikin organ dalam tubuh ngelus dada (hah?). Secara fiqh: boleh. Tapi secara medis? Silakan ajak insulin Anda diskusi di depan indomaret.
Industri makanan saat ini berlomba-lomba membuat produk se-crunchy mungkin, semanis mungkin, sekenyal mungkin, se-gimmick mungkin—demi satu hal: menarik konsumen agar makan lebih banyak. Dan dari sanalah menjamur makanan Ultra-Processed Food (UPF). Makanan yang jauh dari bentuk aslinya, pengolahannya berlapis, nyaris tak bisa dikenali apa sebenarnya bahan dasar yang digunakan.
Sejak diet dua tahun yang lalu, sulit bagi saya untuk menemukan jajanan di minimarket yang bisa saya pilih. Saya cenderung lebih banyak menghabiskan waktu membaca komposisi dan menggeleng. Betapa bodohnya saya dulu, menjadi manusia buncit yang termakan iklan Mie Instan Premium dengan Packaging mewah, padahal tinggi zat aditif, natrium dan gula tersembunyi, Hahahaha.
Studi demi studi melaporkan bahwa konsumsi UPF berkorelasi dengan peningkatan risiko diabetes, hipertensi, penyakit jantung, bahkan beberapa jenis kanker. Tapi tetap: banyak dari mereka bersertifikat halal. Halal, tapi tidak thayyib. Dan jawaban mereka, halah, panganan ae kok ruwet! Teu pira dahareun tinggal dilebok! Ironis.
Saatnya Berpikir “Halal Thayyib Preventif”
Kita sering dengar adagium: mencegah lebih baik daripada mengobati. Nah, kalau mencegah bisa dimulai dari memilih makanan yang halal dan thayyib, kenapa tidak?
Karena itu, saya ada ide liar hasil merenung di WC tadi, yaitu konsep Halal Thayyib Preventif. Gagasan ini bukan cuma soal menghindari babi dan alkohol, tapi memperluas lensa halal menjadi bagian dari gaya hidup sehat dan sadar gizi. Mungkin suatu saat, kita bisa bikin label “halal hijau” (halal dan thayyib), “halal kuning” (halal tapi awas tinggi gula/sodium), dan merah untuk yang haram. Jadi beli snack nggak cuma lihat harga diskon, tapi mikir: “Ini masuk kategori mana ya?”
Peran Sains: Menghalalkan yang Logis & Maslahat
Sebagai santri laboratorium, saya percaya: laboratorium bukan hanya tempat mencampur reagen, tapi juga tempat meracik dan meramu kemaslahatan. Di sana, kita bisa menguji:
1. Apakah pewarna makanan halal tertentu berisiko toksik?
2. Apakah produk halal tertentu terlalu tinggi sodium?
3. Apakah zat alami bisa menggantikan aditif sintetik secara lebih aman?
4. Dan banyak pertanyaan lainnya.
Dengan pendekatan evidence-based halal, peneliti bisa membantu ulama dan lembaga fatwa mengambil keputusan yang bukan hanya legal, tapi juga logis dan maslahat. Misal, jika studi meta-analisis menyimpulkan bahwa konsumsi gula >20 gram per hari meningkatkan risiko diabetes 80%, maka—kenapa tidak—produk minuman manis dengan kadar gula tinggi diberi label “tidak thayyib”? Bahkan mungkin haram lighairihi.
Halal adalah Titik Awal, Bukan Titik Akhir
Di dunia modern yang serba cepat dan penuh pilihan ini, memahami halal sebagai “asal bukan babi, celeng, maupun bagong” adalah pemahaman minimalis. Kita butuh pendekatan yang lebih bijak, menyeluruh, dan berpihak pada kesehatan. Konsep Halal Preventif adalah jembatan antara nilai-nilai Islam, sains, dan kebutuhan manusia modern. Sebagai Muslim yang juga peneliti newbie, saya merasa terpanggil untuk tidak hanya meneliti zat yang “dunyawiyah“, tapi juga meneliti dengan unsur “maslahat diniyah“.
Beberapa kali saya dengar seorang tokoh berkata kurang lebih begini, “Santri harus masuk dunia politik, karena santri ini sudah biasa hidup sederhana dan serba pas-pasan. Jadi, kemungkinan santri korupsi itu kecil.”
Saya setuju untuk statemen pertama bahwa santri memang harus ada yang berpolitik. Tetapi untuk alasannya, kita semua akan mendapatkan bias jika menelusuri beberapa figur santri yang ternyata juga menjadi terdakwa kasus korupsi, atau bahkan hanya terindikasi dan terbawa-bawa dalam kasus korupsi. Maka, saya pernah ditanya orang yang bukan santri, “Katanya kalo menterinya santri gak mungkin korupsi, lha kok itu ditangkap KPK?”
Mungkin ada yang akan bersilat lidah, bahwa ini kasus kriminalisasi, ataupun agenda untuk menjegal lawan politik, dikasuskan, dan lain sebagainya. Saya meyakini itu ada. Tapi saya lebih ingin mencoba mengkritisi bagian dimana “Kesederhanaan santri mengurangi potensi korupsi.”. Bagi saya, ini tak ada hubungannya.
Saya mencoba mengambil satu kutipan dari Abraham Lincoln yang berbunyi, “Hampir semua manusia bisa bertahan dalam kesulitan, tetapi jika anda ingin menguji karakter seseorang, berilah ia kekuasaan.”. Nah, bagi saya ini make sense, baik itu santri atau siapapun yang biasa hidup sederhana hingga mlarat, kebanyakan akan bisa survive. Bahkan ada yang bisa sampai melenting menjadi orang berhasil. Meminjam istilah Bambang Pacul, si Korea korea ini.
Jadi, selain santri, banyak juga figur-figur berhasil yang awalnya berangkat dari kemlaratan hidup. Tapi nyatanya saat sudah berhasil, mau santri atau bukan, jika kekuasaan sudah di tangan, itu soal lain. Seperti kata sejarawan Inggris, Lord Acton, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”, kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut juga merusak secara absolut.
Jadi, bagi saya, poin plus santri terjun ke politik itu jangan berangkat dari kesederhanaan. Akan tetapi, mungkin bisa berangkat dari keterikatannya dengan moral pesantren tempat ia dididik. “Pesantren adalah benteng moral. Setidaknya hingga sekarang, anggapannya begitu,” dawuh Buya Said Aqil Siroj di podcast AFU.
Pesantren membentuk santrinya untuk mempraktekkan nilai moral yang diajarkan melalui kitab-kitab klasik. Ada berbagai kitab akhlak yang dipelajari, dan memang penekanan banyak pesantren adalah berdasar pada “al adab fauqol ilmi”, adab itu diatas ilmu. Jadi, jangan sok sok an anda menteri, lalu merasa hebat dari kyai yang mengajari anda membaca al-Quran dan kitab kuning.
Disamping itu, figur kyai yang ada di Pesantren, menurut saya, adalah salah satu parameter yang kemungkinan besar akan menentukan perilaku santrinya. Semakin kuat keteladanannya, maka santri tak akan berani macam-macam, walaupun ia sudah alumni, walaupun Kyainya sudah meninggal. Apalagi jika punya kedekatan secara personal pada sang Kyai, itu akan menjadi tambahan kekuatan moral seorang santri untuk tidak berbuat korupsi atau perbuatan keji lainnya (dalam politik).
Saya pribadi, rasa malu terbesar saya adalah ketika berbagai hal yang diajarkan oleh kyai dulu belum bisa saya praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Saat akan berlaku buruk, saya seringkali takut jika membayangkan raut wajah kecewa guru saya saat melihat saya melakukan hal yang tidak disukainya. Walaupun guru saya sudah tidak lagi di dunia fana ini, al faatihah.
Jadi, bagi saya, yang menjadi kekuatan utama seorang santri untuk tahan godaan kekuasaan dan perilaku koruptif, bukan dari cara hidup mereka yang sederhana. Tapi lebih ke bagaimana mereka menyelami kehidupan di pesantren dengan didikan akhlak yang dominan, terlebih saat para santri punya teladan yang luar biasa dari figur Kyainya.
Maka, saat ada yang skeptis dengan perdebatan mana yang lebih penting? Sistem atau figur? Saya setuju dengan Buya Said Aqil Siroj, keduanya sama penting. Percuma sistemnya dibuat sangat baik dan hampir tanpa celah, tetapi tanpa adanya teladan yang menjalankan sistem tersebut, akan ada saja orang yang mencoba memanfaatkan celah aturan untuk berlaku tidak adil. Jika hanya figur tanpa sistem? Akan terjadi pengkultusan dan fanatisme buta yang membahayakan. Lagi-lagi, jalan tengah itu memang opsi yang lebih baik.
Semoga di masa depan, semakin banyak santri yang mampu mengambil peran dalam urusan publik. Tentu bukan hanya politik, tetapi sektor-sektor lain macam birokrasi, dunia usaha, digital, teknologi, dan lainnya. Semoga kekuatan moral yang dibangun saat di pesantren menjadi pondasi bagi kita semua yang santri untuk berlaku adil di dalam masyarakat.
Tanpa rencana sebelumnya, istri saya mencoba merayu saya untuk mudik tahun ini. Setelah berkali-kali melamun diteras selepas tarawih. Saya putuskan untuk meng-iya-kan permintaan istri saya untuk mudik ke kampung halaman. Bukan tanpa alasan, posisi saya yang sebentar lagi diangkat menjadi CPNS membuat saya berpikir, mungkin untuk tahun depan dan tahun-tahun berikutnya, saya tak akan sefleksibel biasanya untuk menentukan kapan harus mudik, dan seterusnya. Toh, 3 tahun telah berlalu sejak pertama kali saya berlebaran di kampung halaman istri.
Awalnya ia mengajak mudik di hari sabtu, H-2 idul fitri. Bermodalkan info mudik dari berbagai platform, sepertinya saya harus menarik mundur waktu mudik. Akhirnya, hari Selasa saya iyakan untuk mudik, dan saya putuskan hari Kamis kami harus berangkat. Tentu saja untuk menghindari kemacetan arus mudik, dan juga aturan ganjil genap yang diterapkan oleh POLRI.
Kami berangkat jam 2 siang, tak seperti 3 tahun lalu dimana kami berangkat selepas sahur. Pertimbangannya bukan masalah kemacetan, tapi rasa lapar yang menghantui saat perjalanan nanti. Sudah ngantuk, tertimpa lapar, wkwkwk, itu yang terjadi saat mudik 3 tahun lalu. Jika berangkat bakda dzuhur, setidaknya setengah perjalanan kami sudah berbuka. Dan selepas isya, kami bisa kondisikan 3 toddler untuk segera terlelap. Begitu kira-kira.
Meski mendadak, untungnya saya punya orang tua yang tak mengekang, sehingga permohonan izin mendadak ini tetap beliau acc. Berangkatlah kami kamis siang itu dan mulailah kami tap etoll yang kami gunakan di pintu tol sumberjaya, daaan, wadezig! Kami disambut kemacetan yang mengular!
Walaupun telah dilakukan rekayasa lalin dengan one way, tampaknya itu tak cukup untuk mengurai kemacetan yang ada akibat membludaknya volume kendaraan. Namun, sesekali ada saat dimana mobil bisa lancar hingga kecepatan 60-80 km/jam. Juga ada kondisi ketika berhenti total bermenit-menit. Akhirnya, prediksi kami meleset! Jika lancar, seharusnya kami bisa berbuka di daerah Solo. Tetapi kami ternyata harus sudah berbuka di wilayah Tegal. Jadi, Cirebon-Tegal yang biasanya hanya kurang dari 2 jam, saat itu harus kami tempuh dengan waktu 2 kali lipat dari biasanya, wkwkwk.
Untungnya, ku tak pilih menyerah, hehehe. Kami lanjutkan perjalanan, dan volume kendaraan tak separah yang dialami sebelumnya, tegal-Semarang-Solo cukup lancar meskipun volume kendaraan tetap padat. Kami sampai semarang pukul 21.30, tiba di rest area wilayah Ngawi pukul 01.00. Dan karena tak kuat menahan kantuk, saya putuskan untuk istirahat terlebih dahulu untuk sekedar memejamkan mata selama kurleb 30 menit.
Kami lanjutkan perjalanan pukul 02.00 dengan kondisi jalan tol yang sangat lenggang, dan saya mengobrol dengan istri sembari bercanda tentang waktu tempuh mudik saat ini yang luar biasa! Total kami sudah 12 jam perjalanan saat itu, wkwkwk.
Finally, kami tiba di kampung halaman istri pukul 05.00 pagi. Sebelumnya, kami melaksanakan sahur dan sholat shubuh di rest area daerah Surabaya. Perjalanan yang cukup melelahkan yang memakan waktu hingga 16 jam. Dan ini menjadi mudik terlama sepanjang sejarah kami. Namun, yang tetap bisa kami syukuri adalah kondisi 3 toddler yang baru terbangun saat keluar exit toll Pakis, sehingga tak terjadi drama-drama yang melelahkan. Terimakasih anak-anakku.
Membaca berbagai portal berita, angka mudik tahun 2025 mengalami penurunan hingga 50 juta. Ada yang menganalisis, konon ini akibat persoalan ekonomi yang sedang merosot. Bagi kami, ink bukan sekedar isapan jempol belaka, keluarga kami juga sedang merasakan dampak kemerosotan ekonomi. Awalnya, kami pun hampir memutuskan untuk tidak mudik dengan alasan ini, salah satunya. Tapi kami putuskan mudik dengan harapan dan optimisme, semoga saja ekonomi lekas membaik dan menggeliat pasca Idul Fitri. Semoga.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1446 H, Minal aidin wal faizin, taqobbalallahu minna waminkum. Mohon maaf lahir dan batin dari kami sekeluarga.
Dulu saya belajar ilmu nahwu di pesantren. Kyai saya menjelaskan, dibalik ilmu gramatika bahasa Arab yang diajarkan, bait demi bait alfiyah ibn malik punya nilai filosofis yang mendalam. Sebagai contoh, ada bait alfiyah berikut.
ولا يجوز الإبتدا بالنكرة # مالم تفد كعند زيد نمرة
Bait ini secara nahwu menjelaskan bahwa kita tidak boleh menjadikan isim nakiroh sebagai mubtada, kecuali jika ia dapat memberikan makna, seperti lafadz, Inda Zaidin Namiroh. Hukum awalnya, mubtada harus dibuat dari isim ma’rifat.
Begitupun kita dalam memilih pemimpin atau memberikan amanah kepada orang, pilihlah orang yang benar-benar ma’rifat alias berpengetahuan luas dan beridentitas. Tidak boleh memilih orang yang tidak jelas asal usulnya, tidak jelas rekam jejaknya, pengetahuannya, kapabilitasnya, dll. The right man in the right place, jangan karena ia berjasa untuk kita, kita beri ia jabatan, padahal dia tidak punya kapasitas di bidang itu. Begitu kira-kira.
Tampaknya, Kimia, ilmu yang menjadi bagian dari hidup saya saat ini juga memiliki banyak nilai filosofis yang menarik untuk dibahas.
Salah satu yang dipelajari dalam ilmu kimia adalah ikatan kimia. Ikatan kimia ini terbagi dalam beberapa macam, ada ikatan intramolekuler dan ikatan intermolekuler. Intramolekuler ada ikatan kovalen, kovalen koordinasi dan ionik. Sedangkan ikatan intermolekuler ada ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, van der waals, dipol-dipol, dll.
Ikatan intermolekuler lebih akrab disebut interaksi/gaya antar molekul, karena meski sejenis ikatan, kekuatan ikatannya lebih rendah daripada ikatan intramolekul macam kovalen.
Kovalen dengan kekuatan ikatan mencapai 40-140 kkal/mol menyebabkan ikatannya sulit diputus dan membuat sifat ikatannya irreversible. Sederhananya, ia tidak bisa putus nyambung putus nyambung selabil pacaran anak ABG, hehe. Ia macam ikatan pernikahan yang penuh komitmen dan perjuangan, widiiih.
Berbeda dengan kovalen, ikatan ionik hingga interaksi intermolekul cenderung lemah, kira-kira kekuatannya hanya dalam rentang 1-5 kkal/mol saja yang menyebabkan ia seperti plin plan, sekarang putus, besok nyambung lagi, putus lagi, nyambung lagi. Begitu terus sampe Indonesia bebas korupsi, upsss.
Dalam kajian interaksi obat dan reseptor dalam tubuh kita, ternyata ikatan kimia ini punya peran yang penting, karena ternyata interaksi molekul obat terhadap protein dalam tubuh kita prinsipnya didasarkan pada ikatan kimia.
Jika salah satu ikatan jenisnya ikatan ionik atau ikatan hidrogen misalkan, maka interaksi keduanya reversible. Jika yang dihasilkan adalah ikatan kovalen, maka yang terjadi adalah irreversible.
Alih alih ikatan irreversible, ternyata ikatan yang lebih menguntungkan adalah ikatan reversible. Karena ikatan irreversible menyebabkan interaksi obat-reseptor terlalu lama terjadi dan dapat menyebabkan terjadinya toksisitas terhadap tubuh. Sedangkan yang reversible, waktu interaksinya terbatas sehingga setelah menimbulkan respon biologis, interaksi akan terlepas dan molekul obat kemudian akan dimetabolisme lebih lanjut untuk dieksresikan.
Dari fakta ini kita dapat mengambil satu pelajaran bahwa dalam kehidupan kita tidak boleh terlalu mengikat dan menggantungkan kebahagiaan dan harapan terhadap manusia lain, mencintai secara proporsional, juga jika ada yang kita benci atau tidak sukai, bencilah secara proporsional.
Saya jadi teringat hadits Nabi SAW berikut.
أحبب حبيبك هونا ما عسى أن يكون بغيضك يوما ما، وأبغض بغيضك هونا ما عسى أن يكون حبيبك يوما ما
“Cintailah kekasihmu yang sedang-sedang saja, siapa tahu suatu hari nanti dia akan jadi orang yang kamu benci. Bencilah orang yang kamu benci yang sedang-sedang saja, siapa tahu suatu hari nanti dia akan menjadi orang yang kamu cintai.”
Yah, jadi jika kita menjalin suatu hubungan, ikatan cintanya kira-kira sampe 5 kkal/mol aja seperti ikatan ionik atau hidrogen, agar ketika ia pergi meninggalkan kita, kita masih bisa move on. Janganlah bucin terlalu bucin, bucin itu toksik, hahaha. Cukuplah ikatan kovalen kita hanya dengan Gusti Allah, karena yakin Allah tidak akan pernah meninggalkan kita selaku hamba-Nya.
Seperti dawuh Sayidina Ali KW, “Aku pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup. Namun, tiada hal yang lebih pahit selain berharap kepada manusia.”.
Ini adalah tulisan pertama di tahun 2025. Ternyata, butuh 14 hari berlalu untuk membuat tulisan perdana di tahun 2025 ini, hehehe. Seperti yang banyak orang bilang, tahun demi tahun, kita harus punya resolusi. Satu, dua atau beberapa hal yang ingin dicapai di tahun yang baru. Apalagi kita seorang muslim yang memiliki prinsip ajaran (yang juga universal sebenarnya), bahwa “Orang yang beruntung adalah mereka yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok lebih baik dari hari ini”.
Sabda Nabi SAW seolah mendorong kita untuk tidak bersikap statis, melainkan harus bersikap dinamis dan progresif dalam hidup. Siap menghadapi dan beradaptasi terhadap berbagai tantangan dalam fase-fase kehidupan. Belajar terus menerus untuk berkembang. Maka bagi saya, perkembangan adalah keharusan, dinamika itu keniscayaan, dan kesiapan memulai perubahan itu diperlukan. Meskipun seperti kata Yuval, manusia seringkali takut dalam menghadapi hal yang paling konsisten tersebut (baca:perubahan).
Awal tahun ini saya ditakdirkan diberi satu milestone baru dalam hidup, yakni kelulusan menjadi CPNS Dosen di salah satu perguruan tinggi. Setelah berjibaku dengan seleksi sejak akhir agustus tahun lalu, dan dari lowongan yang hanya 1 formasi, alhamdulillah saya terpilih menjadi orang yang mengisi formasi itu. Pastinya, mencapai milestone ini adalah hal yang tak mudah, perlu ketekunan dan keseriusan dalam usaha. Untungnya saya meyakini bahwa “al ujroh biqodril masyaqoh”, hasil tak akan mengkhianati proses! Saya betul-betul diilhami oleh kaidah ini.
Tentu saja saya meyakini, dibalik determinasi dan kegigihan yang saya tunjukkan untuk melalui beberapa tahapan dalam tes yang menguras tenaga dan pikiran, ada doa dan dukungan dari orang-orang tersayang. Maka saya ucapkan terima kasih untuk Istri, mamah, bapa, anak-anak, adik dan semua keluarga besar serta seluruh pihak yang mendoakan setulus hati untuk mencapai satu milestone ini. Istri yang menjadi support system luar biasa, ruang yang kau berikan untukku sangatlah berarti. Mamah bapa dengan doa “keramat”-nya demi keberhasilan anakmu ini. Anak-anak yang mengerti saat ayahnya ini perlu waktu untuk belajar dan tak bisa bermain bersama. Tak ada yang bisa saya persembahkan selain saya akan gunakan waktu hidup ini untuk bahagiakan semuanya.
Menjadi dosen memang cita-cita saya sejak dulu, tetapi jujur saja, menjadi Dosen PNS sebelumnya tak pernah terpikirkan. Dinamika dalam kehidupan lah yang membawa saya terdorong untuk mengikuti seleksi CPNS Dosen di Tahun lalu. Salah satunya adalah keinginan untuk menerima tantangan-tantangan baru dan keinginan untuk berkembang terus menerus dalam hidup, karena saya adalah “Long-Life Learner”, mwehehehe.
Ibarat karbokation yang terbentuk dalam berbagai macam reaksi organik, saat menemui kesempatan untuk membentuk karbokation yang lebih stabil, ia tak segan untuk melakukan penataan ulang dirinya, entah penataan minor seperti pergeseran hidrida, atau mayor seperti pergeseran metida, yang pasti ia ambil kesempatan itu. Dengan terbentuknya karbokation yang lebih stabil, ia punya waktu yang cukup untuk bereaksi dengan nukleofil dan membentuk produk yang lebih stabil.
Begitupun saya, pengambilan keputusan ini adalah upaya saya untuk sedikit melakukan pergeseran yang cukup berarti untuk menuju kestabilan baru dalam kehidupan dan karir saya. Kestabilan ini dibutuhkan untuk kemudian mempersiapkan diri menghadapi tahapan-tahapan reaksi (kehidupan) berikutnya.
Saya termasuk orang yang “berupaya” tak terlalu fokus dengan hasil. Karena bagi saya hasil itu buah dari proses. Jadi, nikmatilah prosesnya. Karena saat proses yang kita lalui itu proses dijalani dengan sepenuh hati, hasil akan menjadi buah manis yang dapat dipetik. Sebaliknya, saat kita menuntut hasil tanpa dibarengi dengan penikmatan terhadap proses, maka yang terjadi adalah caci maki terhadap keadaan.
Tak banyak harapan saya di tahun 2025 ini, seperti saat saya panjatkan doa kepada-Nya tentang CPNS ini. Saya tak meminta kelulusan, saya hanya meminta untuk diberikan takdir yang terbaik dari-Nya. Jikalah kelolosan adalah takdir terbaik, maka itulah yang akan Sang Maha Kuasa berikan. Jika ketidaklolosan adalah takdir terbaik, saya pun tentu akan menerima dan tetap bersyukur atas semua rahman dan rahim-Nya. Semoga 2025 senantiasa ditunjukkan takdir-takdir terbaik dari-Nya, amin ya robbal alamin.
Saat berhadapan dengan penguji dalam suatu wawancara, ada pertanyaan unik nan menarik dari salah seorang penguji. “Coba jelaskan nilai-nilai kimia yang relevan dalam tasawuf”. Seketika otak saya dituntut untuk berpikir cepat untuk mencari bahan jawaban. Seketika saya teringat akan peran nukleofil, suatu spesi kimia yang kaya elektron, yang secara sukarela memberikan elektronnya untuk berikatan dengan spesi yang kekurangan elektron dalam suatu mekanisme reaksi substitusi nukelofilik.
Akhirnya saya jelaskanlah relevansinya, bahwa dalam hidup, kita sebagai seorang yang punya kelebihan, baik berupa ilmu, harta, tenaga, dan aspek lain harus punya kepedulian untuk membantu mereka yang membutuhkan dan kekurangan. Seperti halnya nukleofil, yang rela berbagi elektronnya kepada substrat yang membutuhkan, memberikan dukungan yang berarti. Bahkan, nukleofil ini mendonorkan elektronnya seraya mengajak substrat untuk berikatan dengannya dan melepaskan belenggu ikatan sebelumnya yang tak memberikan kestabilan yang selayaknya.
Begitulah terkadang, dalam berbagi, ada yang memang benar-benar kekurangan, seperti karbokation, atau yang dia kekurangan, namun tak benar-benar memahami bahwa ia sebenarnya butuh uluran tangan, seperti spesi parsial positif.
Karena saya adalah seorang dosen dan guru, maka dimensi berbagi saya lebih banyak pada berbagi ilmu pengetahuan. Di kampus kepada mahasiswa dan di pesantren kepada para santri. Seringkali kita temukan di kelas, ada mahasiswa atau santri yang memang ia menunjukkan dirinya perlu perhatian lebih untuk memahami materi, sehingga tentu saja itu perlu kita beri tambahan pemahaman materi. Saya kira mendekati dan memahamkan jenis mahasiswa begini lebih mudah. Ibarat karbokation, secara dzohir ia memang butuh diberi elektron untuk berikatan, artinya mahasiswa tersebut perlu bonding lebih dengan kita dalam pembelajaran.
Adalagi jenis mahasiswa yang ia tidak menunjukkan atau mungkin tidak tahu bahwa ia butuh perhatian lebih dalam pemahaman materi, tetapi sebenarnya ia membutuhkannya. Satu kesamaan dari keduanya adalah mereka sama-sama membutuhkan perhatian dalam pembelajaran. Namun tentu saja yang kedua ini tantangannya lebih berat bagi seorang dosen, ibarat spesi karboh parsial positif, meminjam istilah imam algazali, ini tergolong pada kelompok “rojulun la yadri wa la yadri annahu yadri”, begitu kira-kira.
Nukleofil dalam hal ini, ia menyiapkan dua mekanisme dalam membantu kedua jenis spesi berbeda ini, yaitu dengan mekanisme SN1 dan SN2. SN1 untuk mahasiswa tipe 1 dan SN2 untuk mahasiswa tipe 2. Dari kedua mekanisme ini, anggaplah kita seorang nukleofil, kita sebagai dosen perlu menyiapkan mekanisme pembelajaran yang adaptif untuk kedua jenis mahasiswa ini, sehingga goals nya sama. Mereka dapat kita bantu meningkatkan pemahamannya dalam ilmu pengetahuan.
Saya percaya bahwa berbagi itu ada seninya, perlu strategi khusus dalam berbagi, dan ini tidak hanya berlaku pada dunia pendidikan seperti diatas. Contoh lainnya adalah dalam realitas perekonomian masyarakat Indonesia. Jikalah pemerintah ini ibarat nukleofil yang punya segudang kekuasaan untuk mensejahterakan kita, maka pemerintah sudah seharusnya memperhatikan dua tipe substrat yang harus ia bantu. Ibaratnya, spesi karbokation adalah masyarakat kelas bawah, mereka memang perlu dan harus dibantu secara ekonomi dengan mekanisme tertentu.
Disamping itu, pemerintah juga harus perhatikan juga substrat lainnya, yaitu si parsial positif tadi, atau mereka yang ada di kelas menengah. Kelas menengah ini seolah-olah tidak butuh bantuan, namun sebenarnya mereka sangat memerlukan bantuan, sepakat kan ya? Nah, pemerintah ini juga harus menyiapkan mekanisme untuk memberikan bantuan elektronnya kepada kelas menengah untuk lebih berdaya. Ini yang saya maksud berbagi itu perlu kecerdasan dan kejelian.
Yah, mungkin ada yang berekspektasi saya akan membahasnya dengan makna sufistik “mainstream” dari cerita nukleofil, tapi pada akhirnya adalah aspek ekonomi juga yang dibahas, hehehe. Meski anggapan umum tasawuf itu dimensinya endogen, tapi sebetulnya ada dimensi sosial eksogen dari tasawuf. Bagi saya, tasawuf sudah tak bisa dipahami sebagai pengasingan diri dari hal-hal duniawi. Jikalau tasawuf ini berakar dari dimensi ihsan, maka sebagai pelaku tasawuf, kita harus mampu menunjukkan keihsanan kita dalam kehidupan sosial kita.
Saya teringat definisi ihsan “an ta’budallaha kannaka tarohu, fain lam takun tarohu fainnahu yaroka, beribadah seolah-olah kita melihat-Nya. Kalu tidak begitu, beribadahlah dengan meyakini bahwa Allah melihat kita.”. Kalo memahami ihsan dari definisi tersebut, ihsan berkaitan dengan ibadah, dimana jenis ibadah yang kita lakukan tentu saja tak hanya ibadah personal, ada juga ibadah sosial yang mengisi relung-relung kemasyarakat.
Maka, tasawuf zaman sekarang harus dipahami lebih luas, harus berangkat dari dimensi pribadi ke dimensi sosial, dari endogen ke eksogen. Peduli pada berbagai isu, seperti climate change, pangan, perkembangan AI, ekonomi global dan regional, termasuk PPN 12%, hehehe. Jadi seorang sufi zaman now haram bersikap asosial, wkwkwk.
Kembali ke bahasan semangat berbagi, mari kita belajar berbagi pada nukleofil, dimana berbagi butuh strategi dan seni, tidak bisa monoton dan asal-asalan. Wallahu a’lam.
Hai, Saya Fawwaz Muhammad Fauzi, suatu produk hasil persilangan genetik Garut-Majalengka. Menjadi Dosen Kimia adalah profesi utama saya saat ini. Selain itu, ya membahagiakan istri, anak dan orang tua. Melalui blog ini, saya ingin menuliskan kisah-kisah keseharian saya yang pasti receh. Mungkin sedikit esai-esai yang sok serius tapi gak mutu. Jadi, tolong jangan berharap ada naskah akademik atau tulisan ilmiah disini ya, hehe.
Kalau ada yang mau kontak, silahkan email ke [email protected]. Udah itu aja.