oleh fawwazmf | Okt 18, 2015 | Asam, Garam
 |
Khofifah Indar Parawansa (Menteri Sosial RI) Tokoh Wanita Insprirattif |
|
Selamat Pagi Indonesia, Selamat Pagi Kota Malang. Selamat Pagi Mahasiswi. Ya, mahasiswi, penulis kali ini memang sedikit akan mengulas terkait kepemimpinan mahasiswi, atau dalam konteks global adalah kepemimpinan wanita. Sebelumnya penulis memang sempat lama hilang dari dunia kepenulisan karena terlalu sibuk mengurusi tujuan utama datang ke Malang, apalagi selain duduk manis mendengarkan retorika manusia yang sedang menjalankan kewajibannya sebagai pengajar mahasiswa, Dosen. Intinya, penulis sibuk melakukan gerakan akademik bernama kuliah. Di weekend kali ini sebetulnya ada beberapa tugas perkuliahan yang harus penulis kerjakan, namun karena renungan dan obrolan ringan malam tadi membuat penulis berhasrat dan bersemangat untuk sedikit mengkhayal tentang wanita yang menurut seorang ahli wanita adalah objek bacaan yang tak pernah habis. Namun disini, sesuai dengan ulasan diatas, penulis membatasi bacaan penulis terhadap wanita dalam konteks kepemimpinan saja, tidak sampai kedalam organ-organ intim wanita seperti penjelasan dalam kitab-kitab reproduksi konsumsi mahasiswa biologi, Ups. Meskipun penulis seorang pejantan tangguh, tak elok kiranya ketika penulis tak memperdulikan kaum hawa yang juga bagian dari kehidupan penulis sendiri, hehe. (Sok peduli).
Penulis sering menemukan beberapa fakta yang menurut pribadi penulis memprihatinkan terkait partisipasi mahasiswi dalam organisasi-organisasi yang ada di kampus. Khususnya di UIN Maliki Malang, persentase partisipasi aktif mahasiswi dalam organisasi kemahasiswaan masih terlihat minim dan masih didominasi oleh para pejantan. Padahal, penulis mengamati di kampus-kampus umum seperti di UB, ITS, UNAIR dan beberapa kampus lain, peran mahasiswi dalam organisasi kemahasiswaan cukup tinggi dibandingkan dengan di UIN (baca: UIN Maliki). Terlepas apakah temuan penulis ini komprehensif atau tidak, itulah yang penulis temukan di berbagai event keorganisasian yang pernah penulis ikuti, bahkan organisasi yang penulis geluti didalamnya. Karena penulis sendiri belum pernah meneliti secara statisik terkait partisipasi mahasiswi dalam organisasi kemahasiswaan di UIN, baik dari segi kualitatif (partisipasi aktif) maupun kuantitatif (partisipasi pasif alias numpang nama). Ada apa dengan mahasiswi UIN? Mengapa mahasiswi UIN enggan menunjukkan eksistensinya sebagai mahasiswi yang sebetulnya juga bisa mengeksplor kapasitasnya sebagai mahasiswi yang Ulul Albab (Dzikir, Fikir, Amal Sholeh) dan bersaing dengan mahasiswi-mahasiswi di kampus lain? Apakah terdapat stigma negatif? Apakah terdapat pengaruh dominan dari norma-norma, budaya, maupun agama? Penulis juga tidak mengetahui secara pasti apa yang melatar belakangi realita ini. Namun disini, penulis hanya ingin sedikit sharing atas apa yang penuli ketahui, bahwa pada intinya, mahasiswi atau dalam konteks universalnya wanita, juga mempunyai hak yang sama dalam mengembangkan dirinya, baik dari segi potensi, bakat, maupun jiwa kepemimpinan, yang notabene kesemuanya bisa didapatkan dengan berpartisipasi dalam suatu wadah bernama organisasi. Pada kesempatan kali ini, penulis akan lebih terfokus pada pembahasan kepemimpinan seorang wanita yang merupakan esensi hasil utama dari berorganisasi, khususnya di organisasi kemahasiswaan.
Perspektif Islam dalam Kepemimpinan Wanita
Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamintidak melarang seorang wanita untuk mengembangkan diri dan memimpin. Memang ada beberapa ayat maupun hadits yang menyebutkan bahwa wanita dilarang memimpin. Wacana ini biasanya dikarenakan terdapatnya hadits Rasulullah SAW yang telah menyebar luas di masyarakat kita, yaitu :
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan negara pada wanita”, (HR. Bukhori).
Perlu diketahui, setiap hadits mempunyai sebab musabbab turunnya hadits yang disebut asbabul wurud. Asbabul wurudsendiri adalah salah satu aspek yang juga digunakan sebagai referensi untuk menentukan hukum suatu perkara, selain juga kualitas perawi dari hadits tersebut. Mengenai hadits diatas, hadits tersebut muncul berkenaan dengan suatu peristiwa dimana pada saat itu, Rasulullah mengirimkan utusan ke negeri Persia dan memberikan mereka surat tentang ajakan mengikuti ajaran Rasulullah SAW. Namun, Pimpinan Persia yang pada saat itu dipimpin oleh seorang wanita bernama Putri Kisro menolak mentah-mentah ajakan tersebut dan merobek-robek surat Rasulullah SAW sehingga Rasulullah SAW bersabda demikian. Dan hal tersebut terbukti terjadi karena selanjutnya Rasulullah SAW berhasil menang berperang melawan Persia yang pada saat itu dipimpin Putri Kisro yang memang dikenal sangat lalim dan khianatterhadap kaumnya.
Jumhur Ulama’ bersepakat bahwa seorang wanita dilarang untuk dijadikan seorang pemimpin, namun para jumhur ulama menyepakati ini dengan berbagai illat dari masing-masing pendapatnya. Misalkan, Syekh Yusuf Qordlowi menjelaskan, bahwa wanita tidak diperbolehkan menjadi pemimpin negara (Khilafah). Namun tidak dalam konteks pemimpin negara dalam era modern saat ini. Karena kepemimpinan pada saat ini tidak seperti kepemimpinan pada era kekhalifahan yang notabene terkesan monarkhy dan dinasty yang mempunyai wewenang penuh terhadap fungsi legislastif, eksekutif dan yudikatif. Kepemimpinan hari ini, misalkan presiden, hanya mempunyai wewenang sebagai eksekutif saja, tidak kemudian memegang kendali legislatif dan yudikatif. Sehingga dalam konteks ini, wanita dan pria mempunyai posisi yang sama di lapangan kepemimpinan. Sama halnya seperti kewajiban wanita dan pria sebagai seorang mukallaf (orang yang diberi beban oleh Allah SWT) untuk tunduk dan patuh dalam beribadah kepada Allah SWT dan amar ma’ruf nahyil munkar.
Lajnah Bahtsul Masail NU pada tahun 1999 pernah bermusyawaroh terkait kebolehan wanita menjadi seorang pemimpin negara. Dalam pertemuan tersebut, para kyai berpendapat bahwa kepemimpinan negara pada era demokrasi tidak bisa disamakan dengan kepemimpinan zaman dulu. Kepemimpinan saat ini bisa disamakan dengan jabatan qadhi untuk memutuskan perkara harta, dimana menurut Imam Abu Hanifah, perempuan diperbolehkan menjadi hakim/qadhi dalam konteks pengurusan harta. Imam Ath-Thabari bahkan membolehkan wanita menjadi hakim dalam segara hal. Kedua alasan ini terdapat dalam kitab Bidayatul Mujtahid karangan Ibnu Rusyd.
Jadi, secara garis besar, hadits diatas tidak boleh kita maknai secara tekstual tanpa kita mengetahui asbabul wurud hadits tersebut, karena akan menyebabkan terjadinya diskriminasi antara fakta psikis wanita dan pria yang sebetulnya sama-sama memiliki hak yang sepadan dalam berbagai hal, terutama dalam konteks kepemimpinan. Mari kita fahami hadits tersebut secara komprehensif sehingga wanita juga mempunyai kesempatan yang sama dalam konteks memegang tampuk kekuasaan negara. Asalkan, wanita tersebut adalah representasi kontekstual mafhum mukholafah dari asbabul wurudhadits diatas. Yakni, wanita yang tidak lalim dan tidak berkhianat kepada rakyatnya. Dalam arti lain, wanita tersebut mempunyai integritas yang dapat dipertanggungjawabkan dan mampu menjadi seorang pemimpin yang dapat menciptakan kesejahteraan rakyat dan rahmatan lil alamin.
Kepemimpinan Wanita dalam Sejarah Dunia
Sejarah adalah sesuatu yang bisa kita jadikan cermin atas apa yang harus kita lakukan saat ini. termasuk dalam hal peran wanita dalam organisasi dan kepemimpinan. Fakta sejarah membuktikan bahwa tidak semua wanita mempunyai sifat BAPER dan PMS berlebih sepeti yang sering dijadikan brand oleh para pria terhadap wanita saat ini. kita semua pasti mengenal kepemimpinan wanita yang berhasil membawa negerinya menjadi makmur dan sejahtera, seperti kepemimpinan Cleopatra, Corie Aquino, Margareth Theacher, Benazir Butho, dan yang jauh lebih hebat lagi adalah kepemimpinan Ratu Balqis yang mampu membawa kemakmuran bagi negaranya sehingga hampir menandingi kerajaan Nabi Sulaiman AS yang kemudian termaktub dalam Al-Qur’an sebagai Baldatul Toyyibatul Warabbun Ghofur.
Selain itu, kita pasti mengenal Siti Aisyah RA, istri Rasulullah SAW yang mempunyai intelektualitas yang diakui oleh para Sahabat dan mempunyai jiwa kepemimpinan yang patut dibanggakan. Beliau juga adalah seorang muslimah yang paling banyak meriwayatkan hadits Rasulullah SAW. Sehingga banyak dari para sahabat yang sering meminta pendapat beliau ketika hendak mencari solusi atas suatu permasalahan.
Di Indonesia saat ini, ada pula banyak tokoh perempuan yang mampu menjadi pemimpin seperti Ibu Tri Rismaharini yang memimpin Kota Surabaya dengan mendapat banyak penghargaan atas kepemimpinannya. Selain itu, Ibu Khofifah Indar Parawansa yang dengan gagah berani menjadi penantang Pak Karwo dalam memperebutkan posisi orang nomor satu di Jawa Timur dan saat ini menjadi Menteri Sosial dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK.
Dari beberapa fakta sejarah yang telah diuraikan, penulis meyakini bahwa wanita bukanlah kaum yang lemah, bukan golongan kelas dua setelah pria, bukan hanya dikodratkan sebagai penghuni dapur dan kasur seperti pandangan yang melekat pada mayoritas masyarakat umum hingga saat ini. Sesuai dengan teori gender, bahwa wanita memang berbeda dengan pria secara biologis, namun tidak berbeda secara psikologis. Wanita sama halnya dengan pria dalam hal keberanian, intelektualitas, dan juga kepemimpinan. Jadi, pantas dan sah-sah saja ketika seorang wanita menjadi seorang pemimpin. Terkait atas apa yang menjadi pandangan umum saat ini, itu dipengaruhi karena adanya budaya patriarki, yaitu suatu budaya yang lebih mengedepankan peran pria diatas wanita. Dan ternyata, banyak wanita yang secara tidak langsung “mengamini” adanya hal tersebut. Ketika kita memahami sejarah dan ajaran islam secara komprehensif, penulis meyakini bahwa hal itu sudah tidak relevan lagi saat ini. Karena sejatinya, islam sangat memulyakan peran wanita dan eksistensi wanita pada era ini juga diperlukan dalam kontribusinya membangun agama, nusa dan bangsa.
Bangkitlah Wahai Wanita Ulul Albab Penerus Bangsa
Paparan diatas adalah apa yang ingin penulis sharekepada para wanita pada umumnya,
 |
Tri Rismaharini (Walikota Kota Surabaya) |
mahasiswi UIN pada khususnya. Dengan harapan, uraian diatas menjadi motivasi dan membakar ghiroh mahasiswi semua dalam mengembangkan diri dan tidak terbatas pada stigma negatif dan pandangan diskriminatif yang membunuh semangat wanita muda dalam pengembangan dirinya dari segi intelektualitas dan kepemimpinan. Jangan ragu untuk kemudian belajar memimpin dan belajar berorganisasi. Warnai organisasi kemahasiswaan di kampus dengan kapabilitas sahabati yang mampu dibuktikan melalui aktualisasi diri di organisasi. Sehingga organisasi kemahasiswaan di UIN Maliki Malang akan lebih terlihat luar biasa karena kemudian dapat mencetak kader-kader wanita pergerakan yang mempunyai integritas dan mampu menjadi pemimpin bangsa ini. Jangan ragu untuk menjadi aktivis mahasiswa karena status biologis, Ibu Khofifah dan Ibu Risma dulunya adalah aktivis mahasiswa yang sangat luar biasa. Beliau terus mengasah kapasitas kepemimpinannya di organisasi sehingga hari ini mampu berpartisipasi aktif dalam mewujudkan Indonesia yang lebih baik lagi.
Penulis juga pernah mempelajari bahwa kepemimpinan bukan hanya tentang jabatan tinggi saja seperti yang telah diuraikan diatas, kepemimpinan juga berbicara tentang jiwa. Jabatan tidak lebih penting dari jiwa kepemimpinan. Jabatan mempunyai batas waktu, namun jiwa kepemimpinan tak kenal waktu dan akan mengantarkan sahabati menjadi wanita yang luar biasa. Sehingga dalam ruang lingkup kecil seperti rumah tangga, sahabati mampu mendidik generasi kecilsahabati secara tepat dengan jiwa kepemimpinan yang dimiliki sahabati dan menjadikan keturunannya sebagai generasi penerus bangsa yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap, dan bertanggungjawab dalam mengamalkan ilmunya, serta berkomitmen dalam memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam ruang lingkup yang lebih luas, kapasitas kepemimpinan sahabati akan memberikan manfaat bagi masyarakat dan mengantarkan Indonesia menjadi Baldatun Thoyyibatun Warabbun Ghofuur. Semoga. Mari Berorganisasi, wahai Mahasiswi UIN Maliki Malang, buktikan bahwa sahabati adalah generasi muslimah penerus bangsa di garda terdepan. Habis Gelap Terbitlah Terang. Wallahu a’lam.
Malang, 18/10/2015 06:59 WIB
Fawwaz M. Fauzi
oleh fawwazmf | Okt 4, 2014 | Asam, Garam
Ahlussunnah Wal-Jama’ah sebagai Paham keagamaan
Secara terminologis Ahlussunnah Wal Jama’ah Menurut Syekh Abu al-Fadl ibn Syekh ‘Abdus Syakur al-Senori adalah kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi saw. dan thariqah (jalan) para sahabatnya dalam hal akidah (tauhid), amaliyah fisik (fiqh), dan akhlaq batin (tasawwuf). Syekh ‘Abdul Qodir al-Jailani mendefinisikan Ahlussunnah wal jama’ah sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan as-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw. (meliputi ucapan, prilaku, serta ketetapan beliau). Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian jama’ah adalah segala sesuatu yang yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi saw. pada masa Khulafa’ ar-Rasyidin yang empat yang telah diberi hidayah Allah.”
Secara historis, para imam Aswaja di bidang akidah telah ada sejak zaman para sahabat Nabi saw. sebelum munculnya paham Mu’tazilah. Imam Aswaja pada saat itu di antaranya adalah ‘Ali bin Abi Thalib ra., karena jasanya menentang pendapat Khawarij tentang al-Wa‘d wa al-Wa‘îddan pendapat Qadariyah tentang kehendak Allah dan daya manusia. Di masa tabi’in ada beberapa imam, mereka bahkan menulis beberapa kitab untuk mejelaskan tentang paham Aswaja, seperti ‘Umar bin ‘Abd al-Aziz dengan karyanya “Risâlah Bâlighah fî Raddi ‘alâ al-Qadariyah”. Para mujtahid fiqh juga turut menyumbang beberapa karya teologi untuk menentang paham-paham di luar Aswaja, seperti Abu Hanifah dengan kitabnya “Al-Fiqh al-Akbar”, Imam Syafii dengan kitabnya “Fi Tashîh al-Nubuwwah wa al-Radd ‘alâ al-Barâhimah”. Generasi Imam dalam teologi Aswaja sesudah itu kemudian diwakili oleh Abu Hasan al-Asy’ari (260 H – 324 H), lantaran keberhasilannya menjatuhkan paham Mu’tazilah.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa akidah Aswaja secara substantif telah ada sejak masa para sahabat Nabi saw. Artinya paham Aswaja tidak mutlak seperti yang dirumuskan oleh Imam al-Asy’ari, tetapi beliau adalah salah satu di antara imam yang telah berhasil menyusun dan merumuskan ulang doktrin paham akidah Aswaja secara sistematis sehingga menjadi pedoman akidah Aswaja.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah. Istilah Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai suatu paham sebenarnya belum dikenal pada masa al-Asy’ary (260-324 H/873-935 M), tokoh yang dianggap sebagai salah seorang pendiri paham ini. Bahkan para pengikut al-Asy’ary sendiri, seperti al-Baqillani (w. 403 H), al-Baghdadi (w. 429 H), al-Juwaini (w. 478 H), al-Ghazali (w. 505 H) juga belum pernahb menyebutkan term tersebut. Pengakuan sewcara eksplisit mengenai adanya paham Aswaja baru dikemukakan oleh az-Zabidi (w. 1205 H) bahwa apabila disebut Ahussunnah Wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah pengikut Al-Asy’ari dan Al-Maturidi (w. 333 H/944 M).
Lebih lengkap lagi Imam Ibnu Hajar al-Haytami berkata: Jika Ahlussunnah wal jama’ah disebutkan, maka yang dimaksud adalah pengikut rumusan yang digagas oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Dalam fiqh adalah mazhab empat, Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Dalam tasawuf adalah Imam al-Ghazali, Abu Yazid al-Busthomi, Imam Abul Qasim al-Junaydi, dan ulama-ulama lain yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus Islam paham Ahlussunnah wal jama’ah.
Secara teks, ada beberapa dalil Hadits yang dapat dijadikan dalil tentang paham Aswaja, sebagai paham yang menyelamatkan umat dari kesesatan, dan juga dapat dijadikan pedoman secara substantif. Di antara teks-teks Hadits Aswaja adalah:
افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتْ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَ سَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إلَّا وَاحِدَةً. قَالُوا: مَنْ هم يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي.
Dari Abi Hurairah r.a. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Terpecah umat Yahudi menjadi 71 golongan. Dan terpecah umat Nasrani menjadi 72 golongan. Dan akan terpecah umatku menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu.” Berkata para sahabat, “Siapakah mereka wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. Menjawab, “Mereka adalah yang mengikuti aku dan para sahabatku.”
Jadi inti paham Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) seperti yang tertera dalam teks Hadits adalah paham keagamaan yang sesuai dengan sunnah Nabi saw. dan petunjuk para sahabatnya.
Beberapa Aspek Di dalam Paham Ahlussunnah Wal-Jama’ah
Karena secara substansi paham Aswaja adalah Islam itu sendiri, maka ruang lingkup Aswaja berarti ruang lingkup Islam itu sendiri, yakni aspek aqidah, Syari’at, dan akhlaq. Seperti disebutkan oleh para ulama Aswaja, bahwa aspek yang paling krusial di antara tiga aspek di atas adalah aspek aqidah
1. Aqidah
Aspek ini krusial, karena pada saat Mu’tazilah dijadikan paham keagamaan Islam resmi pemerintah oleh penguasa Abbasiyah, terjadilah kasus mihnah (diterangkan dalam Tarîkh al-Thabariy) yang cukup menimbulkan keresahan ummat Islam. Ketika Imam al-Asy’ari tampil berkhotbah menyampaikan pemikiran-pemikiran teologi Islamnya sebagai koreksi atas pemikiran teologi Mu’tazilah dalam beberapa hal yang dianggap bid’ah atau menyimpang, maka dengan serta merta masyarakat Islam menyambutnya dengan positif, dan akhirnya banyak umat Islam menjadi pengikutnya yang kemudian disebut dengan kelompok Asy’ariyah dan terinstitusikan dalam bentuk Madzhab Asy’ari.
Di tempat lain yakni di Samarqand Uzbekistan, juga muncul seorang Imam Abu Manshur al-Maturidi (w. 333 H) yang secara garis besar rumusan pemikiran teologi Islamnya paralel dengan pemikiran teologi Asy’ariyah, sehingga dua imam inilah yang kemudian diakui sebagai imam penyelamat akidah keimanan, karena karya pemikiran dua imam ini tersiar ke seluruh belahan dunia dan diakui sejalan dengan sunnah Nabi saw. serta petunjuk para sahabatnya, meskipun sebenarnya masih ada satu orang ulama lagi yang sepaham, yaitu Imam al-Thahawi (238 H – 321 H) di Mesir. Akan tetapi karya beliau tidak sepopuler dua imam yang pertama. Akhirnya para ulama menjadikan rumusan akidah Imam Asy’ari dan Maturidi sebagai pedoman akidah yang sah dalam Aswaja.
Secara materiil banyak produk pemikiran Mu’tazilah yang, karena metodenya lebih mengutamakan akal daripada nash (Taqdîm al-‘Aql ‘alâ al-Nash), dinilai tidak sejalan dengan sunnah, sehingga sarat dengan bid’ah, maka secara spontanitas para pengikut imam tersebut bersepakat menyebut sebagai kelompok Aswaja, meskipun istilah ini bahkan dengan pahamnya telah ada dan berkembang pada masa-masa sebelumnya, tetapi belum terinstitusikan dalam bentuk mazhab. Karena itu, secara historis term aswaja baru dianggap secara resmi muncul dari periode ini. Setidaknya dari segi paham telah berkembang sejak masa ‘Ali bin Abi Thalib r.a., tetapi dari segi fisik dalam bentuk mazhab baru terbentuk pada masa al-Asy’ari, al-Maturidi, dan al-Thahawi.
2. Syari’at
Ruang lingkup yang kedua adalah syari’ah atau fiqh, artinya paham keagamaan yang berhubungan dengan ibadah dan mu’amalah. Sama pentingnya dengan ruang lingkup yang pertama, yang menjadi dasar keyakinan dalam Islam, ruang lingkup kedua ini menjadi simbol penting dasar keyakinan. Karena Islam agama yang tidak hanya mengajarkan tentang keyakinan tetapi juga mengajarkan tentang tata cara hidup sebagai seorang yang beriman yang memerlukan komunikasi dengan Allah S.W.T., dan sebagai makhluk sosial juga perlu pedoman untuk mengatur hubungan sesama manusia secara harmonis, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Yang dimaksud dengan ibadah adalah tuntutan formal yang berhubungan dengan tata cara seorang hamba berhadapan dengan Tuhan, seperti shalat, zakat, haji, dan sebagainya. Adapun yang dimaksud dengan muâmalah adalah bentuk ibadah yang bersifat sosial, menyangkut hubungan manusia dengan sesama manusia secara horisontal, misalnya dalam hal jual beli, pidana-perdata, social-politik, sains dan sebagainya. Yang pertama disebut habl min Allâh (hubungan manusia dengan Allah), dan yang kedua disebut habl min al-nâs (hubungan manusia dengan manusia).
Dalam konteks historis, ruang lingkup yang kedua ini disepakati oleh jumhur ulama bersumber dari empat mazhab, yakni Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. Secara substantif, ruang lingkup yang kedua ini sebenarnya tidak terbatas pada produk hukum yang dihasilkan dari empat madzhab di atas, produk hukum yang dihasilkan oleh imam-imam mujtahid lainnya, yang mendasarkan penggalian hukumnya melalui al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas, seperti, Hasan Bashri, Awzai, dan lain-lain tercakup dalam lingkup pemikiran Aswaja, karena mereka memegang prinsip utama Taqdîm al-Nash ‘alâ al-‘Aql (mengedepankan daripada akal).
3. Akhlaq
Ruang lingkup ketiga dari Aswaja adalah akhlak atau tasawuf. Wacana ruang lingkup yang ketiga ini difokuskan pada wacana akhlaq yang dirumuskan oleh Imam al-Ghazali, Abu Yazid al-Busthami, dan al-Junayd al-Baghdadi, serta ulama-ulama sufi yang sepaham.
Ruang lingkup ke-tiga ini dalam diskursus Islam dinilai penting karena mencerminkan faktor ihsan dalam diri seseorang. Iman menggambarkan keyakinan, sedang Islam menggambarkan syari’ah, dan ihsan menggambarkan kesempurnaan iman dan Islam. Iman ibarat akar, Islam ibarat pohon. Artinya manusia sempurna, ialah manusia yang disamping bermanfaat untuk dirinya, karena ia sendiri kuat, juga memberi manfaat kepada orang lain (transformasi kesholehan individuan menuju kesholehan sosial). Ini yang sering disebut dengan insan kamil. Atau dalam istilah lain disebut dengan three principles of human life Kalau manusia memiliki kepercayaan tetapi tidak menjalankan syari’at, ibarat akar tanpa pohon, artinya tidak ada gunanya. Tetapi pohon yang berakar dan rindang namun tidak menghasilkan buah, juga kurang bermanfaat bagi kehidupan. Jadi ruang lingkup ini bersambung dengan ruang lingkup yang kedua, sehingga keberadaannya sama pentingnya dengan keberadaan ruang lingkup yang pertama dan yang kedua, dalam membentuk insan kamil.
Substansi ajaran Nabi dalam Ahlussunnah Wal Jama’ah
Secara esensial ajaran Aswaja adalah ajaran Islam, sebab berdasarkan Hadits di atas bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah kelompok yang mengikuti sunnah rasul dan para sahabatnya yakni ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi dan yang dilanjutkan oleh para sahabatnya. Maka untuk memahami Aswaja, sangatlah perlu untuk melihat bagaimana sebenarnya latar belakang Islam itu muncul dan apa saja ajaran yang diberikan oleh Nabi. Hal ini bukanlah semata sebagai sebagai upaya untuk mengindikasikan adanya truth claim, akan tetapi secara arif untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai pemaknaan ajaran Islam itu sendiri dan menjelajahi kembali tentang bagaimana relevensinya terhadap kelompok-kelompok yang sering mengaku dirinya sebagai kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Terlepas dari pemaknaan secara formal, Islam tidak lahir dari sebuah ruang hampa. Ada beberapa latar belakang yang menjadi penyebab mengapa agama samawi tersebut turun. Factor yang paling dominan adalah sosio-kultural tempat di mana ia turun yakni di semenanjung Arabia. Di tempat gersang dengan perilaku masyarakatnya yang jahil inilah diutus seorang agung keturunan Quraisy Muhammad SAW.
Fakta bahwa Islam lebih dari sekedar sebuah agama formal, tetapi juga risalah yang agung bagi transformasi social dan tantangan bagi kepentingan-kepentingan pribadi, dibuktikan oleh penekanannya pada sholat dan zakat. Di mana masing-masing rukun tersebut melambangkan adanya kesetaraan social dan keadilan.
Nabi Muhammad, dengan inspirasi wahyu ilahiyah menurut formulasi teologis, mengajukan sebuah alternatif tatanan social yang adil dan tidak eksploitatif serta menentang penumpukan kekayaan di tangan segelintir orang. Hal inilah yang menjadi factor utama mengapa Islam pada saat itu tidak dapat diterima oleh beberapa petinggi di Makkah. Harus dicatat, kaum hartawan Makkah bukan tidak mau menerima ajaran-ajaran keagamaan Nabi sebatas ajaran-ajaran tentang penyembahan kepada satu Tuhan (Tauhid). Hal itu bukanlah sesuatu yang merisaukan mereka. Akan tetapi, yang merisaukan mereka justru pada implikasi-implikasi social-ekonomi dari risalah nabi itu. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya ajaran Islam mengedepankan kesetaraan social dan keadilan dalam ekonomi.
Di Madinah, terlepas dari perdebatan apakah Nabi membentuk sebuah Negara Islam ataupun tidak, semuanya sepakat bahwa Beliau telah memperhatikan konsep masyarakat politik secara serius untuk menciptakan suatu organ yang dapat diterima semua pihak guna menangani semua urusan yang ada di kota tersebut. Pada saat itu Madinah adalah kota yang terdiri dari beberapa suku, ras dan agama. Dapat dikatakan bahwa masyarakat Madinah adalah masyarakat Plural yang tidak jauh beda dengan masyarakat Negara-negara modern saat ini.
Nabi membuat masyarakat politik di Madinah berdasarkan consensus dari kelompok dan dan suku yang dikenal dengan “Piagam Madinah”. Dokumen ini meletakkan dasar bagi komunitas politik di Madinah dengan segala perbedaan yang ada dengan menghormati kebebasan untuk mengamalkan agama dan keyakinan mereka masing-masing. Dapat kita simpulkan bahwa dakwah Nabi lebih ditekankan pada consensus dari beberapa kelompok dan tidak pada paksaan ataupun kekerasan. Hal ini juga merupakan prinsip dasar ajaran Islam, yakni kebebasan.
Kemudian kasus yang sering terjadi, .sebagian Muslim, yang karena memiliki iman tebal tetapi kurang dibarengi dengan pemahaman mendalam atas prinsip dasar Islam acapkali menyimpulkan bahwa, dakwah yang dilakukan bias dengan jalan kekerasan. Kemudian logikanya diteruskan dengan memerangi orang kafir yang sudah dikelirukan sebagai orang di luar Islam. Pemaknaan semacam ini sudah jelas adalah pemahaman yang menyimpang dari fitrah Islam dan ajaran Nabi Muhammad SAW.
Intinya bahwa Islam bukanlah agama anarkis, Islam adalah agama fitrah. Kang Said mengatakan bahwa ada beberapa prinsip universal yang perlu diperhatikan dalam ajaran Islam yakni; (1) al-nafs (jiwa/nyawa manusia), (2) al-maal (harta kekayaan), (3) al-aql (akal/ kebebasan berpikir), (4) al-nasl (keturunan/jaminan keluarga), (5) al-‘ardl (kehormatan/ jaminan profesi).
Dengan prinsip Islam di atas kita akan lebih bisa memahami bagaimana seharusnya citra diri seorang Muslim dan bagaimana Islam itu didakwahkan. Sehingga kita akan lebih arif dalam memilih dan memilah ajaran Islam yang seperti apakah yang sesuai dengan ajaran Nabi dan lebih singkatnya “yang mana sich yang Ahlussunnah Wal Jama’ah ???”
Tetapi Perlu diingat bahwa Diskursus mengenai Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA) sebagai bagian dari kajian ke-Islaman merupakan upaya untuk mendudukkan aswaja secara proporsional, bukannya semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu yang mungkin secara subyektif kita anggap baik karena rumusan dan konsep pemikiran teologis yang diformulasikannya. Kesemuanya sangat dipengaruhi oleh suatu problem teologis pada masanya dan mempunyai sifat dan aktualisasinya tertentu.
Ahlussunnah Wal Jama’ah Sebagai Metodologi Berpikir
Sebenarnya Aswaja sebagaiManhajul Fikr secara eksplisit- meskipun sedikit berbeda terminologi- sudah dikenal dalam tubuh Nahdlotoel Oelama. Aswaja yang seperti ini digunakan sebagai metode alternatif untuk menyelesaikan suatu masalah keagamaan ketika dua metode sebelumnya yakni metode Qauly dan Ilhaqy tidak dapat menyelesaikan problem keagamaan tersebut. Di NU sendiri metode seperti ini terkategorikan sebagai salah satu metode ber-madzhab dan disebut dengan metode Manhajy yang menurut Masyhuri adalah suatu cara menyelesaikan masalah keagamaan yang ditempuh Lajnah Bahtsul Masa’il dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun imam madzhab.
Pada kenyataannya Aswaja tidak hanya dapat dimaknai sebagai ajaran teologis saja, karena problem yang dihadapi oleh umat saat ini tidaklah sesederhana dan se-simpleperiode Islam terdahulu. Lebih luasnya Aswaja dapat ditransformasikan ke dalam aspek ekonomi, politik, dan social. Pemaknaan seperti ini berangkat dari kesadaran akan kompleksitas masalah di masa kini yang tidak hanya membutuhkan solusi bersifat konkret akan tetapi lebih pada solusi yang sifatnya metodologis, sehingga muncul term Aswaja sebagai Manhajul Fikr (metode berpikir).
Sebagai upaya ‘kontektualisasi’ dan aktualisasi aswaja tersebut, rupanya perlu bagi PMII untuk melakukan pemahaman metodologis dalam menyentuh dan mencoba mengambil atau menempatkan Aswaja sebagai ‘sudut pandang/perspektif’ dalam rangka membaca realitas Ketuhanan, realitas manusia dan kemanusiaan serta realitas alam semesta.
Namun tidak hanya berhenti sampai disitu , Aswaja sebagai Manhajul Fikri harus bisa menjadi ’busur’ yang bisa menjawab berbagai macam realitas tersebut sebagai upaya mengkontekstualisasikan ajaran Islam sehingga benar-benar bisa membawa Islam sebagai rohmatan Lil Alamin, dengan tetap memegang empat prinsip dasar Aswaja , yaitu :
1. Tawasuth .
Moderat, penengah . Selalu tampil dalam upaya untuk menjawab tantangan umat dan sebagai bentuk semangat ukhuwah sebagai prinsip utama dalam memanivestasikan paham Aswaja. Mengutip Maqolah Imam Ali Ibn Abi Thalib R.A.;
“kanan dan kiri itu menyesatkan, sedang jalan tengah adalah jalan yang benar”
2. Tawazun
Penyeimbang. Sebuah prinsip istiqomah dalam membawa nilai-nilai aswaja tanpa intervensi dari kekuatan manapun, dan sebuah pola pikir yang selalu berusaha untuk menuju ke titik pusat ideal (keseimbangan)
3. Tasamuh
Toleransi, sebuah prinsip yang fleksibelitas dalam menerima perbedaan, dengan membangun sikap keterbukaan dan toleransi. Hal ini lebih diilhami dengan makna
“lakum dinukum waliyadin” dan “walana a’maluna walakum a’maluku”,
sehingga metode berfikir ala aswaja adalah membebaskan, dan melepaskan dari sifat egoistik dan sentimentil pribadi ataupun bersama.
4. Al-I’tidal
Kesetaraan/Keadilan, adalah konsep tentang adanya proporsionalitas yang telah lama menjadi metode berfikir ala aswaja. Dengan demikian segala bentuk sikap amaliah, maqoliah dan haliahharus diilhami dengan visi keadilan
Empat prinsip dasar tersebut adalah solusi metodis yang diberikan Aswaja. Dengan metode ini problem-problem dari realitas masa kini sangat mungkin untuk menemukan solusi. Dan yang terpenting adalah empat prinsip tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Nabi Muhammad SAW, dan justru merupakan prinsip-prinsip dasar Universalitas ajaran Islam sebagai rohmatan Lil Alamin.
oleh fawwazmf | Mei 29, 2013 | Garam
Bagian 7 ini merupakan pembahasan lanjutan dari Bagian 6
Ciri huruf adalah ditandai dengan tidak terdapatnya ciri isim dan fiil. Dengan kata lain, ketika dalam sebuah kalimat tidak terdapat ciri isim maupun fiil, kalimat tersebut disebut huruf. Hal seperti ini disebut golongan عَدَمِيْ مُطلـَقْ. Sedangkan عَدَمِيْ مُطلـَقْ adalah salah satu bagian dari golongan عَدَمِيْ . Golongan عَدَمِيْ ada 2 :
1. عَدَمِيْ مُطلـَقْ yaitu مَا لا يَصِحُّ جَعْلُهُ عَلاَمَة ًلِلوُجُوْدِ
Artinya, sesuatu yang tidak bisa dijadikan ciri untuk sesuatu yang ada (dengan ketidakberadaannya ciri dari benda lain (misal),tidak bisa menggambarkan ciri dari dirinya).
2. عَدَمِيْ مُقيَّدْ yaitu مَا يَصِحُّ جَعْلُهُ عَلامَة ًلِلوُجُوْدِ
Artinya, sesuatu yang bisa dijadikan ciri untuk sesuatu yang ada (dengan ketidakberadaannya ciri dari benda lain (misal), bisa menggambarkan ciri dari dirinya).
Huruf adalah termasuk pada عَدَمِيْ مُطلـَقْ, yang mana dengan ketidakberadaannya ciri isim dan fiil, bisa menggambarkan ciri dari diri huruf itu sendiri.
Imrithi,
وَالحَرْفُ لمْ يَصْلـُحْ لهُ عَلامَة ْ * إلاَّ انـْتِفـَا قـَبُوْلِهِ العَلامَة ْ
____________________________
Demikian pembahasan mengenai Bab Kalam, semoga bermanfaat…. ^_^
Setelah ini akan dilanjutkan pembahasan Bab I’rob, tunggu di postingan selanjutnya,,,,
Sumber : Mas’alah Jurumiyyah Pondok Pesantren Baitulhikmah Haurkuning Salopa Tasikmalaya 46192 Jawa Barat
oleh fawwazmf | Mei 29, 2013 | Garam
Bagian 6 ini merupakan pembahasan lanjutan dari Bagian 5.
Ciri fiil ada 4, yaitu :
1. قدْ حَرْفِيَّة
2. سِيْن تـَنفِيْس
3. سَوْفَ لِلتـَّسْوِيْف
4. تاء تـَأنِيْث سَاكِنـَة
Imrithi,
وَالفِعْلُ مَعْرُوْفٌ بقـَدْ وَالسِّيْنِ * وَتاءِ تـَأنِيْثٍ مَعَ السَّاكِنِر
1. قدْ حَرْفِيَّة
Dinamai قدْ yang حَرْفِيَّة karena dalam konteks ilmu nahwu, قدْ ada 3, yaitu :
– قد إسِمْ فِعِلْ, cirinya; kalimat setelahnya dinashobkan karena menjadi maf’ul bih, ma’nanya – (cukup).
Contoh : قدْ زَيْدًا دِرْهَمٌ, taqdirnya, يَكْفِيْ زَيْدًا دِرْهَمٌ
– قدْ إسْمِيَّة,cirinya; kalimah setelahnya dijerkan karena menjadi mudhof ileh, ma’nanya (menyukupkan).
Contoh : قدْ زَيْدٍ دِرْهَمٌ, taqdirnya, حَسْبُ زَيْدٍ دِرْهَمٌ
– قدْ إسْمِيَّة, cirinya; selalu masuk pada kalimah fiil. Mempunyai 4 ma’na :
• لِلتَّقلِيْلِ, artinya meminimalisir.
Contoh : قدْ يَصْدُقُ الكَاذِبُ, pembohong itu sedikit berkata jujur
• لِلتَّكْثِيْرِ, artinya, memperbanyak.
Contoh : قدْ يَصْدُقُ الصّادِقُ, orang jujur itu banyak berkata jujur
• لِلتَّحْقِيْقِ, artinya, menegaskan.
Contoh : قدْ قامَ زَيْدٌ, zaid benar-benar telah berdiri
• لِلتَّقرِيْبِ, artinya, mendekatkan.
Contoh : قدْ قامَتِ الصَّلاةُ, waktu sholat hampir datang
4 ma’na tersebut terklarifikasi menjadi 2 penempatan, yaitu :
– Khusus untuk fiil mudhore, yaitu ma’na لِلتَّقلِيْلِ dan لِلتَّكْثِيْرِ.
– Khusus untuk fiil madhi, yaitu ma’na لِلتَّحْقِيْقِ dan لِلتَّقرِيْبِ.
Syarat قدْ masuk pada fiil ada 4, yaitu :
– Fiilnya harus mutsbat(kalimat positif)
– Fiilnya harus mutasorrif (bisa ditasrif)
– Fiilnya harus ma’na khobariyyah (pemberitaan)
– Antara fiil dan قدْ tidak boleh terpisah.
2. سِيْن تـَنفِيْسِ dan,
3. سَوْفَ لِلتـَّسْوِيْفِ
Fungsi سِيْن تـَنفِيْسِ dan سَوْفَ لِلتـَّسْوِيْفِ adalah :
الدَّالـَّتان عَلى تـَأخِيْرِ زَمَانِ الفِعْلِ المُضَارِعِ عَنِ الحَالِ
Artinya, mengakhirkan zaman fiil mudhore dari hal (sekarang/present) menuju mustaqbal (masa depan/future).
Jadi, keduanya berfungsi untuk menjadikan fiil mudhore berma’na mustaqbal.
Namun dalam istiqbalnya, keduanya membunyai sisi perbedaan, yaitu
– سِيْن تـَنفِيْسِ, berfaidah مستقبل قريب.
Contoh : سأأذهب إلى المسجد, saya akan segera menuju masjid
– سَوْفَ لِلتـَّسْوِيْفِ , berfaidah مستقبل بعيد.
Contoh : سوف تعلمون, kelak kamu akan mengetahuinya
Qoidah,
والسِّينُ تَنفيسٍ تدلُّ القَريْبَ * وسوف تسويفٍ تدلُّ البَعيْدَ
سَوْفَ لِلتـَّسْوِيْفِ mempunyai ma’na yang lebih jauh dari pada سِيْن تـَنفِيْسِ karena sebuah qowaid nahwu menjelaskan, لِأنَّ زِيَادَة َالبناءِ تـَدُلُّ عَلى زِيَادَة َالمَعْنـَى artinya, penambahan huruf berbanding lurus dengan penambahan ma’na. (semakin banyak hurufnya, semakin banyak pula ma’nanya).
Qoidah,
وَكـُلُّ مَا زَادَ عَلى البـِناءِ * دَلَّ عَلى زِيَادَةِ المَعْناءِ
4. تاءْ تـَأنِيْث السَّاكِنة
Dinamai تـَاءْ تـَأنِيْث yang سَاكِنـَة karena dalam konteks ilmu nahwu, تـَاءْ تـَأنِيْث ada 3, yaitu :
– تـَاءْ تـَأنِيْث سَاكِنـَة. cirinya, selalu masuk pada kalimah fiil dan menjadi ciri i’robnya.
Contoh : (syiiran)
عَلـَمَتْ فحَيَّتْ ثـُمَّ قامَتْ فوَدَّعَتْ * فلمَّا توَلَّت كَادَتِ النـَّفسُ تزْهَقُ
– تـَاءْ تـَأنِيْث حركة الإعراب atau تـَاءْ تـَأنِيْث مُتـَحَرِّكَة. cirinya, selalu masuk pada kalimah isim dan menjadi penerima ciri i’robnya.
Contoh : ناصِرَة ٌ
– تـَاءْ تـَأنِيْث غيرَ حركةَ الإعراب. cirinya, masuk kepada kalimah isim, fiil, dan huruf, namun tidak sebagai harakat i’robnya. Contoh :
• Masuk pada kalimah fiil : تَنْصُرُ
• Masuk pada kalimah isim : لاحول ولاقوة
• Masuk kepada kalimah haraf : ثمّتَ, (dalam alfiyyah bab jama taksir)
Ciri fiil yang empat tersebut, penempatannya terklarifikasi menjadi 3 :
1. Khusus masuk pada fiil madhi, yaitu تأ تأنيث الساكنة
2. Khusus masuk pada fiil mudhore, yaitu سين بنفيس + سوف تسويف
3. Bisa masuk pada fiil madhi maupun mudhore, yaitu قد حرفية
____________________________
Demikian pembahasan Bab Kalam Bagian 6, Tunggu Pembahasan Bab Kalam Bagian 7 di artikel selanjutnya.
Sumber : Mas’alah Jurumiyyah Pondok Pesantren Baitulhikmah Haurkuning Salopa Tasikmalaya 46192 Jawa Barat
oleh fawwazmf | Mei 28, 2013 | Garam
Bagian 5 ini merupakan pembahasan lanjutan dari Bagian 4.
3. Huruf Jer
Berdasarkan ma’na dan muta’allaqnya, huruf jer terbagi 3, yaitu :
– Ashliyyah
مَا يَحْتَاجُ إلَى مُتَعَلَّقٍ يَتَعَلَّقُ بِهِ وِلِهُ مَعْنًى فِى نَفْسِهِ
Huruf jer uang membutuhkan mutaallaq dan mempunyai ma’na dalam dirinya.
Contoh : مررت بزيدٍ
Qoidah,
وَهوَ مَايَحْتَاجُ إلىَ مُتَعَلقْ * لَهُ مَعْنىً فِى نَفْسِهِ يَتَعَلقْ
– Zaidah
مَا لا يَحْتَاجُ إلَى مُتَعَلَّقٍ يَتَعَلَّقُ بِهِ وِلا لَهُ مَعْنًى فِى نَفْسِهِ بل لأجل توكيد المعنى فقط
Huruf jer yang tidak membutuhkan mutaallaq dan tidak mempunyai ma’na dalam dirinya, namun hanya berfungsi sebagai taukid (penguat statement).
Contoh : ليس زيد بقائمٍ
Qoidah,
وَمَا بِمُتَعَلقٍ لاَ يَحْتَاجُ * يُسَمَّى زَائِدًا لَيْسَ مَعْنًى لَهُ
– Syibeh Zaidah
مَا لا يَحْتَاجُ إلَى مُتَعَلَّقٍ يَتَعَلَّقُ بِهِ ولَهُ مَعْنًى فِى نَفْسِهِ
Huruf jer yang tidak membutuhkan mutaallaq namun mempunyai ma’na dalam dirinya.
Contoh : ربَّ رجلٍ قائمٍ
Qoidah,
وَمَا لَهُ مَعْنًى دُوْنَ تعَلقٍ * فَشِبْهُ زَاِئٍد بِلاَ تَكَلُّفٍ
Menurut Kitab Alfiyyah, Huruf jer seluruhnya ada 20. Namun secara garis besar, menurut Kitab Jurumiyyah dan Imrithi, huruf jer ada 9, yaitu : مِنْ, إلى, عَنْ, عَلى, فِيْ, رُبَّ, بَ, كَ, dan ل.
Qoidah,
وَهِيَ مِنْ وَإلى وَعَنْ وَعَلى * وَفِي وَرُبَّ وَالبَاءُ وَالكافْ وَاللاَّمْ
Alfiyyah,
هَاكَ حُرُوفَ الجَرِّ وَهِيَ مِنْ إلى * حَتـَّى خَلا عَدَا حَاشَا فِيْ عَنْ عَلى
مُذ ْمُنذ ُرُبَّ لاَمْ كيْ وَاوٌ وَتا * وَالكافُ وَالبَا وَلعَلَّ وَمَتـَى
1. مِنْ
Ma’nanya ada 6, yaitu :
– إبْتِدَاءْ فِي الزَّمَانْ, mengawali dalam waktu.
Contoh : ( لمَسْجدٌ أ ُسِّسَ عَلى التـَّقوَى مِنْ أوَّلِ يَوْمٍ أحَقُّ (التوبة : 108
– إبْتِدَاءْ فِي المَكَانْ, mengawali dalam tempat. Contoh :
( سُبْحَانَ الـَّذِيْ أسْرَى بعَبْدِهِ ليْلاً مِنَ المَسْجدِ الحَرَامِ إلى المَسْجدِ الأقصَى. (الإسراء :1
– لِلتـَّبْعِيْض, sebagian. Contoh : ( وَمِنَ النـَّاسِ مَنْ يَقـُوْلُ آمنـَّا باللهِ (البقرة : 8
– لِلتـَّبْيـِيْن, menjelaskan. Contoh : ( فاجْتـَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الأوْثانِ (الحج : 30
Alfiyyah,
بَعِّضْ وَبَيِّنْ وَابْتـَدِءْ فِي الأمْكِنهْ * بمِنْ وَقدْ تـَأتِيْ لِبَدْءِ الأزْمِنهْ
– بَدَلِيَّة, Pengganti. Contoh : ( أرَضِيْتـُمْ بالحَيَاةِ الدُّنيَا مِنَ الآخِرَةِ. (التوبة : 38, taqdirnya : بَدَلَ الآخِرَةِ
Alfiyyah,
لِلإنتِهَا حَتـَى وَلامٌ وَإلى * وَمِنْ وَبَاءٌ يُفهِمَانِ بَدَلا
– زَائِدَة, ciri ma’na zaidah yaitu selalu menjerkan isim nakiroh yang didahului nafi/syibeh nafi (nahi dan istifham). Contoh : مَا لِبَاغٍ مِنْ مَفرٍّ (pada nafi)
Alfiyyah,
وَزِيْدَ فِيْ نـَفيٍ وَشِبْهِهِ فجَرّ * نكِرَة ًكمَا لِبَاغٍ مِنْ مَفرّ
2. إلى
Ma’nanya ada 2, yaitu :
– إنتِهَاءْ فِي الزَّمَانْ, mengakhiri dalam waktu. Contoh : صُمْتُ إلى يَوْمِ الخَمِيْسِ
– إنتِهَاءْ فِي المَكَانْ, mengakhiri dalam tempat. Contoh : سِرْتُ مِنْ مَكَّة َإلى المَدِيْنةِ
Alfiyyah,
لِلإنتِهَا حَتـَى وَلامٌ وَإلى * وَمِنْ وَبَاءٌ يُفهِمَانِ بَدَلا
3. عَنْ
Ma’nanya ada 4, yaitu :
– مُجَاوَزَة, melewati. Contoh : رَمَيْتُ السَّهْمَ عَنِ القـَوْسِ
– بَعْدَ, jauh. Contoh : ( لتـَرْكَبُنَّ طـَبَقا عَنْ طـَبَقٍ (الإنشقاق : 19
– عَلى, atas. Contoh : (syair)
لاَهِ ابْنُ عَمِّكَ لاأفضَلـْتَ فِيْ حَسَبٍ * عَنـِّيْ وَلا أنتَ دَيَّانِى فتـَخْزُوْنِى
Alfiyyah,
بعَنْ تجَاوُزًا عَنـَى مَنْ قدْ فطـَنْ * بعَنْ تجَاوُزًا عَنـَى مَنْ قدْ فطـَنْ
كمَا عَلى مَوْضِعَ عَنْ قدْ جُعِلا * وَقدْ تَجـِيْ مَوْضِعَ بُعْدٍ وَعَلى
– عن إسْمِيَّة, kalimah isim, cirinya selalu dijerkan oleh huruf jer من. Contoh : (syair)
وَلقدْ أرَانِى للرِّمَاحِ دَرِيْئَة ً * مِنْ عَنْ يَمِيْنِيْ تارَة ً وَعَمَامِي
Alfiyyah,
وَاسْتـُعْمِلَ اسْمًا وَكذا عَنْ وَعَلى * مِنْ أجْلِ ذا عَليْهِمَا مِنْ دَخَلا
4. عَلى
Ma’nanya ada 4, yaitu :
– إسْتِعْلاءْ, meninggikan/mengataskan
إسْتِعْلاءْ Terbagi 2 :
• Haqiqi. Contoh : جَلسْتُ عَلى الكُرْسِي
• Majazi. Contoh : عليه دين
– فِيْ, dalam. Contoh : ( وَدَخَلَ الْمَدِينَةَ عَلَى حِينِ غَفْلَةٍ مِنْ أَهْلِهَا (القصص : 15
– عَنْ, dari. Contoh : (Syair)
إذا رَضِيَتْ عَليَّ بَنـُوْ قـُشَيْرٍ * لعُمْرُ اللهِ أعْجَبَنِيْ رِضَاهَا
Alfiyyah,
عَلى لِلإسْتِعْلا وَمَعْنى فِيْ وَعَنْ * عَلى لِلإسْتِعْلا وَمَعْنى فِيْ وَعَنْ
– على إسْمِيَّة, kalimah isim, cirinya apabila lafadz على dijerkan lafadz مِنْ. Ma’nanya adalah فـَوْقَ.
Contoh : (Syair)
غدَتْ مِنْ عَليْهِ بَعْدَ مَا تـَمَّ ضَمْؤُهَا * تـَصِلُّ وَعَنْ قـَيْضٍ بزَيْزَاءَ مُجْهِلٍ
Alfiyyah,
وَاسْتـُعْمِلَ اسْمًا وَكذا عَنْ وَعَلى * مِنْ أجْلِ ذا عَليْهِمَا مِنْ دَخَلا
5. فِيْ
Ma’nanya ada 2 :
– سَبَبـِيَّة, sebab. Contoh :
دَخَلتِ امْرَأة ٌ النـَّارَ فِيْ هِرَّةٍ حَبَسَتهَا فلا هِيَ أطعَمَتهَا وَلا هِيَ ترَكَتهَا، تـَأكُلُ مِنْ خـَشَاشِ الأرْضِ
– ظرْفِيَّة, wadah. Terbagi 2 :
• Haqiqi : أنْ يَّكُوْنَ لِلظـَّرْفِ إحْتِوَاءٌ وَلِلمَظرُوْفِ تَحَيُّزٌ
Pada Dzorof (Wadah) ada ruang, dan pada Madzruf (yang diwadahi) ada bentuk.
Contoh : المَاءُ فِي الكُوْزِ. Artinya, Air ada di dalam ember
• Majazi, ada 3
o أنْ لا يَكُوْنَ لِلظـَّرْفِ إحْتِوَاءٌ وَلِلمَظرُوْفِ تَحَيُّزٌ .
Pada Dzorof (Wadah) tidak ada ruang, dan pada Madzruf (yang diwadahi) ada bentuk.
Contoh : زَيْدٌ فِي الخيْرِ, Artinya Zaid ada di dalam kebaikan
o أنْ يَّكُوْنَ لِلظـَّرْفِ إحْتِوَاءٌ وَليْسَ لِلمَظرُوْفِ تَحَيُّزٌ .
Pada Dzorof (Wadah) ada ruang, dan pada Madzruf (yang diwadahi) tidak ada bentuk.
Contoh : العِلمُ فِي الصَّدْرِ, Artinya, Ilmu ada di dada (hati).
o أنْ لا يَكُوْنَ لِلظـَّرْفِ إحْتِوَاءٌ وَليْسَ لِلمَظرُوْفِ تَحَيُّزٌ .
Pada Dzorof (Wadah) tidak ada ruang, dan pada Madzruf (yang diwadahi) tidak ada bentuk.
Contoh : العِلمُ فِي الخيْرِ, Artinya, Ilmu ada didalam kebaikan.
Alfiyyah,
وَزِيْدَ وَالظـَّرْفِيَّة َاسْتبـِنْ ببَا * وَفِيْ وَقـَدْ يُبَيِّنانِ السَّبَبَا
6. رُبَّ
Ma’nanya ada 2, yaitu :
– تكثير, memperbanyak. Contoh : رُبَّ رَجُلٍ كَرِيْمٍ لقـَيْتُهُ
– تقليل, meminimalisir. Contoh : (Syair)
اَلاَ رُبَّ مَوْلُوْدٍ وَليْس لهُ ابٌ * وَذِيْ وَلدٍ لَمْ يَلدْهُ اَبَوَانِ
Syaratnya – menjerkan ada 5, yaitu :
• Yang dijerkan harus berupa isim dzohir
• Amilnya harus dengan fiil madhi
• Amilnya harus terletak dibelakang
• Isim dzohirnya harus nakiroh
• Isim nakirohnya harus disifati
7. بَ
Ma’nanya ada 10, dan sudah dijelaskan pada pembahasan basmallah.
8. ك
Ma’nanya ada 4 :
– لِلتَّشْبـِيْهِ, menyerupai, maksudnya :
مُشَارَكَة ُ أمْرٍ لأمْرٍ فِى المَعْنـَى شَرِيْفا كَانَ أوْ حَسِيْسًا
Menyertakan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya, baik (bertujuan) untuk memulyakan maupun menghinakan.
Contoh : زَيْدٌ كَالأسَدِ
– لِلتَّعْلِيْلِ, memberi alasan. Contoh : وَاذكُرُوْهُ كَمَا هَدَاكُمْ
– زَائِدَة لِلتَّوْكِيْدِ (tambahan untuk penguat statement). Crinya selalu masuk kepada lafadz مِثل.
Contoh : ليْسَ كَمِثلِهِ شَيْئٌ
– كاف إسْمِيَّة, kalimah isim, namun keberadaannya sangat jarang ditemukan. Contoh : (Syair)
أتـَنتَهُوْنَ وَلنْ يَنهَى ذوِيْ شَطـَطٍ * كَالطـَّعْنِ يَذهَبُ فِيْهِ الزَّيْتُ وَالفـَتَلُ
Alfiyyah,
وَاسْتـُعْمِلَ اسْمًا وَكذا عَنْ وَعَلى * مِنْ أجْلِ ذا عَليْهِمَا مِنْ دَخَلا
9. ل
Ma’nanya ada 4, yaitu :
– لِلمِلكِ, yaitu الوَاقِعَة ُبَيْنَ ذاتَيْنِ وَدَخَلـَتْ عَلى مَنْ يَمْلِكُ
Artinya, Lam yang terletak diantara dua dzat yang masuk kepada pemiliknya.
Contoh : للهِ مَا فِى السَّمَاوَاتِ وَمَا فِى الأرْض
– شِبَيْه مِلكِ, yaitu الوَاقِعَة ُبَيْنَ ذاتَيْنِ وَدَخَلـَتْ عَلى مَنْ لا يَمْلِكُ
Artinya, Lam yang terletak diantara dua dzat yang tidak masuk kepada seseorang yang bukan pemiliknya.
Contoh : المَالُ لِزَيْدٍ. ¬Harta itu milik zaid (hakikatnya seluruh harta adalah milik Allah)
– تَعْدِيَّة, me-muta’addi-kan. Contoh : فهَبْ لِيْ مِنْ لـَدُنكَ وَلِيّا
– تَعْلِيْلِيَّة, memberi alasan. Contoh : جئْتـُكَ لإكْرَامِكَ
Alfiyyah,
وَاللاَّمُ لِلمِلكِ وَشِبْهِهِ وَفِيْ * تـَعْدِيَّةٍ أيْضًا وَتـَعْلِيْلٍ قـُفِيْ
Penempatan Huruf Jer terbagi 3, yaitu :
1. Khusus kepada Isim Dzohir, ada 7, yaitu : مُنذ, مُذ, حَتـَّى, كـَافَ, وَاو, رُبَّ, تـاء.
Alfiyyah,
بالظـَّاهِرِ اخْصُصْ مُنذ ُمُذ ْوَحَتـَّى * وَالكـَافَ وَالوَاوَ وَرُبَّ وَالتـَّا
Namun, Kaf digunakan menjerkan isim dzohir yang ma’rifat, sedangkan rubba untuk isim dzohir yang nakiroh.
Alfiyyah,
وَاخْصُصْ بمُذ ْوَمُنذ ُوَقتـًا وَبرُبّ * مُنكـَّرًا وَالتـَّاءُ للهِ وَرَبّ
2. Boleh Isim Dzohir, boleh Isim Dhomir, yaitu Sisa dari yang 7 tadi (13 huruf).
Huruf Qosam (Janji)
Huruf Qosam ada 3, yaitu :
1. تاء. Khusus masuk pada lafadz Allah. Contoh : تاللهِ
Syaratnya :
• Fiil Qosamnya dibuang (ditaqdirkan)
• Bukan merupakan jawaban dari pertanyaan/syarat
• Tidak masuk pada Isim dhomir
2. باء. Boleh masuk masuk pada lafadz Allah, boleh masuk kepasa isim dhomir. Contoh : باللهِ، بهِ
Syaratnya :
• Fiil Qosamnya ditampakkan (diperlihatkan)
• Boleh menjadi jawaban dari pertanyaan/syarat.
• Boleh masuk pada isim dzohir, boleh masuk pada isim dhomir
3. واو. Boleh masuk pada Lafadz Allah, boleh masuk pada isim dzohir. Contoh : وَاللهِ، وَالعَصْر
Syaratnya :
• Fiil Qosamnya dibuang (ditaqdirkan)
• Bukan merupakan jawaban dari pertanyaan/syarat
• Boleh masuk pada isim dzohir dan lafadz Allah. Selain masuk kepada lafadz Allah hukumnya Syadz.
Qoidah,
وَقدْ يُجَرُّ الإسْمٌ حَرْفُ القـَسَمِ * وَاوٌ وَبَاءٌ تاءٌ أيْضًا فـَافهَمِ
Pada dasarnya, asal dari huruf qosam adalah wawu, لِشُهْرَتِهَا وَلِكَثـْرَةِ اسْتِعْمَالِهَا فِى القسَمِ, karena masyhur dan paling sering digunakan untuk sumpah (daripada huruf qosam lainnya).
_____________________________
Demikian pembahasan Bab Kalam Bagian 5, Tunggu Pembahasan Bab Kalam Bagian 6 di artikel selanjutnya.
Sumber : Mas’alah Jurumiyyah Pondok Pesantren Baitulhikmah Haurkuning Salopa Tasikmalaya 46192 Jawa Barat
oleh fawwazmf | Mei 23, 2013 | Garam
Bagian 4 ini merupakan pembahasan lanjutan dari Bagian 3.
Fa pada lafadz فالإسم disebut فاء فصيحة : مَا صَحَّ وُقُوْعُهَا جَوَابًا عَنْ شَرْطٍ مُقَدَّرٍ , artinya, fa yang baik digunakan untuk menjawab pertanyaan/syarat yang dikira-kirakan (satu fungsi seperti wawu isti’naf bayani).
Alif lam pada lafadz فالإسم disebut الف لام لتعريف عهد الذكر : مَا تـَقدَّمَ ذِكْرُ مَصْحُوْبـِهَا صَرِيْحًا أوْ كِنايَةٍ. Artinya, Alif lam yang dibicarakan pertama beserta sesuatu yang mnyertai Alif lam, baik ketika konkrit (jelas) mapun Abstrak (samar). Contoh lebih jelasnya akan dibahas nanti pada ciri isim.
Alif lam ini disebut الف لام لتعريف عهد الذكر karena pada hakikatnya lafadz الإسم sudah disebutkan terlebih dahulu pada kalam sebelumnya. Hal ini didasarkan pada qowaid nahwu,
ومن القواعد المقرّرة فى فنّ النـّحو أنّ النـّكرة إذا أعيدت معرفة تكون عين الأولى، وكما إذا أعيدت نكرة تكون غير عين الأولى. وأنّ المعرفة إذا أعيدت معرفة تكون عين الأولى، وكما إذا أعيدت نكرة تكون مختلفة
Artinya, Diantara qowaid-qowaid nahwu yang ditetapkan adalah : Apabila ketika isim nakiroh disebut kembali pada kalam selanjutnya berupa isim ma’rifat, maka lafadz tersebut menunjukkan lafadz yang disebut sebelumnya. Apabila ketika isim nakiroh disebut kembali pada kalam selanjutnya berupa isim nakiroh, maka lafadz tersebut tidak menunjukkan lafadz yang disebut sebelumnya. Apabila ketika isim ma’rifat disebut kembali pada kalam selanjutnya berupa isim ma’rifat, maka lafadz tersebut menunjukkan lafadz yang disebut sebelumnya. Apabila ketika isim ma’rifat disebut kembali pada kalam selanjtnya berupa isim nakiroh, maka lafadz tersebut statusnya masih samar, dalam artian ada perbedaan pendapat mengenai hal tersebut.
Dari qowaid tersebut, dapat diambil sebuah klasifikasi sebagai berikut :
– Muwafaqoh (maksudnya, pertama=kedua)
o Nakiroh > Ma’rifat. Contoh : جاء ني رجل فأكرمت الرجل
o Ma’rifat > Ma’rifat. Contoh : جاء ني الرجل فأكرمت الرجل
– Mughoyyaroh (maksudnya, pertama≠kedua)
o Nakiroh > Nakiroh. Contoh : جاء ني رجل فأكرمت رجلا
– Mukhtalifah (maksudnya, ada perbedaan pendapat antara = dan ≠)
o Ma’rifat > Nakiroh. Contoh : (dalam syiiran)
صَفَحْنَا عَنْ بَنِيء دُهْلٍ * وَقُلْنَا القَوْمُ إخْوَانُ
عَسَى الأيَّامُ اَنْ يَرْجُعْـ * نَ قَوْمًا كالذِي كانوا
Qoidah,
ثُمَّ مِنَ القَوَاعِدِ المُشْتَهَرَةْ * إِذَا أتَتْ نَكِرَةٌ مُكَرَّرَةْ
تَغَايَرَا وَإنْ يُعَرَّفِ الثَانِى * تَوَافَقَا كَذَا المُعَرَّفَانِ
Ciri Isim ada 4 :
1. I’rob Jer
2. Tanwin
3. Alif Lam
4. Huruf Jer
1. I’rob Jer
Sebab Jer ada 3, yaitu :
– Huruf Jer. Contoh : مَرَرْتُ بزَيْدٍ
– Idhofah. Contoh : جَاءَ غـُلامُ زَيْدٍ
– Taba’iyyah (Naat, Athaf, Taukid, dan Badal). Contoh : مَرَرْتُ بزَيْدٍ فاطِنٍ
Alfiyyah,
خافِضُهَا ثلاثـَة ُأنوعُ * الحَرْفُ وَالمُضَافُ وَالإتبَاعُ
Selain yang 3 tersebut, ada 2 ciri i’rob jer, yaitu :
– Tawahhum (Menciptakan, maksudnya seolah-olah terdapat huruf jer yang memajrurkan berupa huruf jer zaidah). Contoh : ليس زيدٌ قائمٍ
– Mujawaroh (Berdekatan dengan yang dihukumi Jer). Contoh : هذا حُجْرُ ضَبٍّ خَرْبٍ.
Pada hakikatnya, lafadz خَرْبٍ adalah sifat dari lafadz حُجْرُ yang i’robnya rofa’, namun karena berdekatan dengan lafadz ضَبٍّ yang i’robnya jer, maka خَرْبٍ dii’robi jer.
2. Tanwin
Pengertian,
نـُوْنٌ سَاكِنـَة ٌتـَلحَقُ آخِرَ الإسْمِ لفظا لا خطـًّا
Artinya, Nun sukun yang ada pada kalimah isim, terlihat (konkrit) secara pengucapan, tidak terlihat (abstrak) secara penulisan.
Qoidah,
وَتـَّعْرِيْفُ التـَّنوِيْنِ نوْنٌ سَاكِنٌ * تـَلحَقُ آخِرَ الأسْمَاءِ مَلْفُوْظٌ
وَغَيْرُ مَخْطوْطٍ وَغَيْرُ مَخْطوْطٍ * وَغَيْرُ مَخْطوْطٍ وَغَيْرُ مَخْطوْطٍ
Tanwin pada dasarnya sangat banyak, diantaranya ; tanwin tamkin, tankir, muqobalah, iwadh, ziyaadah, taronnum, hikaayah, idlthiror, gholi, dan syadd.
Namun, yang menjadi ciri i’rob jer ada 4, yaitu :
– Tanwin Tamkin : اللاَّحِقُ لِلأسْمَاءِ المُعْرَبَةِ
Artinya, tanwin yang ada pada isim mu’rob. Contoh : زَيْدٌ
Alfiyyah,
الَصَّرْفُ تنْوِيْنٌ أتىْ مُبَيِّناً * مَعْنًى بِهِ يَكُوْنُ الاسْمُ أمْكَنَا
– Tanwin Tankir : اللاَّحِقُ لِلأسْمَاءِ المَبْنِيَّةِ فرْقا بَيْنَ مَعْرِفتِهَا وَنكِرَتِهَا
Artinya, tanwin yang ada pada isim mabni sebagai pembeda antara kenakirohan dan kema’rifatannya. Contoh : nakiroh > شِبَوَيْهِ, ma’rifat > شِبَوَيْهٍ
Alfiyyah,
وَاحْكُمْ بِتَنْكِيْرِ الَّذِيْ يُنَوَّنُ * مِنْهَا وَتَعْرِيْفُ سِوَاهُ بَيِّنُ
– Tanwin Muqoobalah : اللاَّحِقُ لِجَمْعِ المُؤَنـَّثِ السَّالِمِ مُقابَلة ً للِنـُوْنِ فى جَمْعِ المُذكَّرِ السَّالِمِ
Artinya, Tanwin yang ada pada jama’ muannats salim sebagai pembanding dengan nun pengganti tanwin pada jama’ mudzakkar salim. Contoh : مُسْلِمُوْنَ – مُسْلِمَاتٌ
– Tanwin Iwadh
Terbagi 3 :
o عِوَضٌ عَنِ الإسْمِ : اللاَّحِقُ لِكُلٍّ عِوَضا عَمَّا تـُضَافُ إليْهِ
Tanwin yang masuk pafa lafadz كُلّ sebagai pengganti dari mudhof ilehnya.
Contoh : (كُلُّ لهُ قانِتونٌ (البقرة : 116 ، الروم : 26, taqdirnya : كُلُّ إنسَانٍ لهُ قانِتونٌ
o عِوَضٌ عَنِ الحَرْفِ : اللاَّحِقُ لِجَوَارٍ وَغوَاشٍ وَنحْوِهِمَا رَفعًا وَجَرًّا
Tanwin yang masuk pada isim bangsa mu’tal lam (manqus/naqis) ketika rofa dan jer
Contoh : مَرَرْتُ بجَوَارٍ, asalnya : بجَوَارِيْ
Alfiyyah,
وَذا اعْتِلالٍ مِنْهُ كالجَوَارِيْ * رَفْعًا وَجَرًّا أجْرِهِ كَسَارِيْ
o عِوَضٌ عَنِ الجُمْلةِ : اللاَّحِقُ لِئِذ ْعِوَضًا عَنْ جُمْلـَةٍ تكُوْنُ بَعْدَهُ
Tanwin yang masuk pada lafadz إذ sebagai pengganti dari jumlah setelahnya.
Contoh :(- وَأنتـُمْ حِيْنئِذٍ تـَنظـُرُوْنَ. (الواقعة -٨٤, taqdirnya : وَأنتـُمْ حِيْنئِذ ْ بَلغـَتِ الرُّوْحُ الحُلقـُوْمَ تـَنظـُرُوْنَ
Alfiyyah,
وَألزَمُوْا إِضَافَة إلَى الجُمَلْ * حَيْثُ وَ إذْ وَإنْ يُنَوَّنْ يُحْتَمَلْ
3. Alif Lam
Alif lam ada 2, yaitu :
a) لِلتـَّعْرِيْف, terbagi 2 :
– لِتـَعْرِيْفِ الجـِنسِ , ada 4 :
o لِتـَعْرِيْفِ جـِنسِ الحَقِيْقـَةِ مِنْ حَيْثُ هِيَ
مَا أشَارَ إلي حَقِيْقـَةٍ مِنْ حَيْثُ هِيَ بقـَطعِ النـَّظرِ عَنْ عُمُوْمِهَا وَخُصُوْصِهَ
Artinya, Alif lam yang mengisyaratkan ma’na hakikat/esensi dengan konsekuensi mematahkan pemikiran dari keumuman dan kekhususannya (menjadi ma’na baru yang berasal dari umum dan khusus).
Contoh : الإنسَانُ حَيَوَانٌ ناطِقٌ
o لِتـَعْرِيْفِ جـِنسِ الحَقِيْقـَةِ فِيْ ضِمْنِ فرْدِ المُبْهَمِ :
مَا أشَارَ إلي حَقِيْقـَةٍ فِيْ ضِمْنِ فرْدِ المُبْهَمِ
Artinya, Alif lam yang mengisyaratkan ma’na hakikat dengan menyimpan afrod (sesuatu) yang tersirat (pada lafadz yng bersifat umum, berubah menjadi khusus dan kekhususannya adalah kekhususan yang dimaksud oleh pembicara)
Contoh : sabda Nabi Ya’qub ; إنـِّي أخافُ أنْ يَّأكُلـَهُ الذ ِّئْبُ
o لِتـَعْرِيْفِ جـِنسِ الإسْتِغرَاقِ لِجَمِيْعِ الأفرَادْ :
مَا أشَارَ إلى كُلِّ أفرَادٍ ألـَّتِيْ يَتناوَلـُهَا اللـَّفظ ُبحَسَبِ اللـُّغةِ
Artinya, Alif lam yang mengisyaratkan ma’na seluruh afrod yang mencakup secara global dengan pertimbangan penggunaan bahasa.
Contoh : إنَّ الإنسَانَ لفِيْ خُسْرٍ
o لِتـَعْرِيْفِ جـِنسِ الإسْتِغرَاقِ لِبعض الأفرَادْ :
مَا أشَارَ إلى كُلِّ أفرَادٍ مُقيَّدًا
Artinya, Alif lam yang mengisyaratkan terhadap seluruh afrod, namun mempunyai batas cakupan (berqoyyid). (qoyyidnya adalah cakupan lafadz sebelumnya).
Contoh : جَمَعَ الرَّئِيْسُ الطـُّلاَّبَ
– لِتـَعْرِيْفِ العَهْدِ , ada 3 :
o لِتـَعْرِيْفِ عَهْدِ الذ ِّكْرِ : مَا تـَقدَّمَ ذِكْرُ مَصْحُوْبـِهَا صَرِيْحًا أوْ كِنايَةٍ
Artinya, Alif lam yang dibicarakan pertama beserta sesuatu yang mnyertai Alif lam, baik ketika konkrit (jelas) mapun Abstrak (samar).
Contoh : Konkrit > جَاءَ رَجُلٌ فأكْرَمْتُ الرَّجُلَ
Abstrak > (- إنـِّيْ نـَذرْتُ لكَ مَا فِيْ بَطنِيْ مُحَرَّرًا….ولـَيْسَ الذ َّكَرُ كَالأ ُنثـَى. (ال عمران –٣٦
o لِتـَعْرِيْفِ عَهْدِ الدِّهْنِ : مَا حَصَلَ ذِكْرُ مَصْحُوْبـِهَا فِيْ دِهْنِ المُخاطبِ
Artinya, Alif lam yang menghasilkan pembicaraan yang disertai dengannya dalam hati pembicara.
Contoh : (- إذ هُمَا فِي الغـَارِ. (التوبة –٤٠
o لِتـَعْرِيْفِ عَهْدِ الحُضُوْرِ : مَا حَصَلَ ذِكْرُ مَصْحُوْبـِهَا فِي الحِسِّ وَالمُشَاهَدَةِ
Artinya, Alif lam yang menghasilkan pembicaraan yang disertai dengannya dalam jangkauan panca indera dan persaksian.
Contoh : ( اليَوْمَ أكْمَلتُ لكُمْ دِيْنـَكُمْ. (المائده : 3
b) لِلزِّيَادَة, ada 4 :
– لِلزِّيَادَةِ اللاَّزِمَةِ .
Contoh : الـَّذِيْنَ، اللاَّتِ (إسم موصول)، الآنَ (ضرف زمان حاضر)، اللاَّتَ
Alfiyyah,
وَقدْ تـُزَادُ لازِمًا كاللاَّتِ * وَالآنَ وَالـَّذِيْنَ ثـُمَّ اللاَّتِ
– لِلزِّيَادَةِ لِلإضْطِرَارْ. (Darurat). Contoh : pada syair,
وَلقدْ جَنيْتـُكَ أكْمَؤًا وَعَشَاقِلا * وَلقدْ نهَيْتـُكَ عَنْ بَناتِ الأوْبَرِ
رَأيْتـُكَ لَمَّا عَنْ عَرَفتَ وُجُوْهَنا * صَدَدْتَ وَطِبْتَ النـَّفسَ يَاقيْسُ عَنْ عَمْرٍو
Alfiyyah,
وَلِاضْطِرَارٍ كبَناتِ الأوْبَرِ * كذا وَطِبْتَ النـَّفسَ يَاقيْسُ السَّرِى
– لِلزِّيَادَةِ لِلـَّمْحِ . (Melihat dari ma’na asal). Contoh : الحَارِثُ، الفـَضلُ
Alfiyyah,
وَبَعْضُ الأعْلامِ عَليْهِ دَخَلا * لِلـَمْحِ مَا قدْ كانَ عَنهُ نـُقِلا
كالفـَضْلِ وَالحَارِثِ وَالنـُّعْمَانِ * فذِكرُ ذا وَحَذ ْفـُهُ سِيَّانِ
– لِلزِّيَادَةِ لِلغلـَبَةِ. (Mengungguli). Contoh : المَدِيْنـَة ُ، العَقبَة ُ
Alfiyyah,
وَقدْ يَصِيْرُ عَلمًا بالغَلبَة ْ * مُضَافٌ أوْ مَصْحُوْبٌ ألْ كالعَقبَة ْ
_____________________
Demikian pembahasan Bab Kalam Bagian 4, Tunggu Pembahasan Bab Kalam Bagian 5 di artikel selanjutnya.
Sumber : Mas’alah Jurumiyyah Pondok Pesantren Baitulhikmah Haurkuning Salopa Tasikmalaya 46192 Jawa Barat