Malam itu, dikamar yang sunyi, tak terdengar gemuruh suara apapun. Padahal sebenarnya, semua benda yang ada di kamar itu berlafadz syahdu menyebut asma-Nya.  Bahkan seluruh komponen biotik dan abiotik di bumi melafadzkan nama-Nya dengan penuh khidmat, suara mereka sangat terdengar oleh-Nya. Hanya manusia yang tidak ditakdirkan untuk bisa mendengar suara dzikir para hamba-Nya diseluruh Alam Semesta ini. Hanya manusia, hanya manusia yang tidak ditakdirkan untuk melafadzkan dan mengagungkan kebesaran ilahi. Hanya segelintir manusia yang masih mengingat akan siapa yang membuatnya bisa merasakan indahnya kehidupan, dan termasyghul dengan kesibukan duniawi. Namun,tak lama,
akhirnya ada juga manusia yang melafadzkan Allahu akbar di muka bumi. Ia Sholat Tahajjud, setelahnya, manusia itu berdzikir menyebut-nyebut asma Tuhannya yang Maha Kuasa dan memanjatkan do’a. Setelah ia bermunajat kepada-Nya, ia lipat sajadah cinta yang ia pakai untuk taqorrub dengan-Nya. Lalu mengambil secarik kertas dan mulai menulis.

Untuk Dinda tercinta
Annisa Hasanatul Fauziah

Nis, ga kerasa waktu kang fauzan disini Cuma tinggal beberapa hari lagi. Kang Fauzan dah minta izin sama Kyai Ahmad untuk mukim dan Alhamdulillah disetujui.
Oh iya, Nisa juga kan seminggu lagi wisuda. Ntar kalo udah wisuda, Kang Fauzan janji bakal melamar Nisa demi menjalankan sunnah Rasul dan beribadah kepada-Nya.
Selama ini mungkin kita hubungan Cuma lewat sepucuk surat demi surat. Ketemu pun Cuma baru lihat dari kejauhan. Kang Fauzan ga mau hubungan yang mendatangkan fitnah. Kang Fauzan pengen ada ikatan yang akan menghalalkan Kang Fauzan untuk meluapkan rasa cinta dan kasih sayang Kang Fauzan ke Nisa.
Cintamu,
Fauzan

    Ia langsung melipat surat berselimut ribuan kasih sayang itu ke saku jacket yang ia pakai saat itu. Waktu menunjukan pukul 03.15, sudah saatnya dia membangunkan santri-santri. “teeeeettt…”bel berbunyi memecah kesunyian waktu fajar dan membangunkan santri-santri. Ia mengumumkan “Kepada semua santri untuk bersiap-siap menunaikan jamaah Shalat Shubuh.”
* * *
Hati Annisa berbunga-bunga, kini ia tinggal menunggu satu atau dua hari lagi. Ia tak sabar, ia ingin kang Fauzan segera mengkhitbah dirinya. Wisuda sudah ia lalui dengan gemilang, ia lulus S1 dengan IPK yang memuaskan, ia juga meninggalkan pesantren dengan restu abah, padahal jarang santri yang mudah mendapat restunya untuk berpindah lokasi berjihad di jalan-Nya. Yah, dialah lulusan terbaik. Di bilik lain, rumah Fauzan, ia nampak bingung, ia bingung dengan beberapa pilihan, pilihan apa? Sewaktu ia pamit untuk kembali ke Cirebon, kampung halamannya, kyai Ahmad malah meminta Fauzan untuk menikahi anak tunggalnya yang sekarang mesantren di Pondok Tahfidzul Qur’an  (PTQ) Magelang. Ia tak kuasa menolak keinginan gurunya. Sebagai murid, ia harus sami’naa wa atho’naa kepada gurunya agar ilmunya bermanfaat.

Seharusnya hari itu adalah hari dimana Fauzan menemui orang tua Annisa. Namun ia masih bingung dengan titah gurunya, menikahi putrinya dan meneruskan syiar kalimat tauhid di pesantren itu. Umur kyai Ahmad sudah berkepala enam, dan beliau sangat membutuhkan pengganti dirinya untuk memimpin pondok pesantren dan ia memilih Fauzan, sang mantan Rois itu.

“Jang, menurut kamu aku harus bagaimana?”. Tanya Fauzan dengan raut wajah berselimut kebingungan.
“Yah kalo aku jadi kamu sih, aku nikahin dua-duanya juga bisa. Toh, Islam juga membolehkan kan, فانكحوا ما طاب لكم من النّساء مثنى وثلاث ورباع  itu dalilnya zan!”. Jawab Jajang enteng.
“Itu boleh dilakuin kalo kita bisa adil nantinya. Aku takut gak bisa adil dan belum tentu mereka mau aku poligami.”
“Adil ? tawakal sama Allah dan berdo’a semoga kita adil, gampang kan? Toh semua ini yang ngatur Allah.”’
“Gak sepraktis yang kamu pikir, oon!”, gerutu Fauzan dengan tekanan darah agak naik.
“Loh kok marah nih kan cuman ngasih saran. Huh, harusnya kamu syukuran sama Allah. Annisa cantik, Nadia juga gak kalah cantik, pinter-pinter lagi, beruntung deh kalo aku ditakdirkan jadi pendamping hidup mereka. Bisa jadi, setiap hari gak bakalan ada bosennya hidup di dunia ini.” Jajang menjawab dengan guyonan.
“Ah aku minta saran, kamu malah bercanda. Udah ah malas aku ngobrol ini sama kamu,” Fauzan tambah kesel. Fauzan hanya bisa pasrah kepada Allah. Di malam hari ia tunaikan shalat istikharah dan berharap jawaban dari-Nya menyelesaikan problema yang ia hadapi.
***
    Semarak suara rebana menyambut kedatangan mempelai pria menuju tempat akad nikah berlangsung. Bapak penghulu sudah siap untuk menikahkan anak cucu adam dan hawa ini, “Saya nikahkan saudara Muhammad Fauzan Hamdan bin Sutarjo dengan Ahsanun Nadia binti KH.Ahmad Fathoni dengan mas kawin kitab Fathul Bari.”
    “Saya terima nikahnya Ahsanun Nadia binti KH. Ahmad Fathoni dengan mas kawin kitab Fathul Bari..” Jawaban Fauzan sangatlah jelas dan ittishal. Penghulu dan saksi men-sahkan akad itu. Fauzan berharap dalam hati,’Ya Allah semoga ini jalan terbaik yang Engkau pilihkan untuk hamba-Mu ini.’
    Disamping masjid tempat akad berlangsung, sepasang mata memandangnya dengan berkaca-kaca. Ia tak kuat menahan sakit hati yang sangat dalam. Ia berlari meninggalkan masjid itu “Kenapa ini harus terjadi pada Annisa ya Allah, hamba pasrah pada-Mu karena hamba yakin, semua ini adalah yang terbaik untuk hamba dan Kang Fauzan.” Hati Nisa menangis.

***
    “Kang Fauzan, sekarang Nadia sudah jadi milik Kang Fauzan. Nadia serahkan jiwa dan raga ini untuk suami Nadia tercinta!” kata-kata Nadia begitu lembut dan sangat mempesona.
    Fauzan menatap istrinya itu dalam-dalam. Tak lama kemudian, ia memalingkan mukanya dan menatap langit di balik jendela dengan tatapan kosong. “Nadia, kang Fauzan pengen ngasih tahu kamu tentang kegundahan hati kang Fauzan sekarang. Tapi kang Fauzan takut kamu gak bisa terima semua ini.”
    “Ceritakan saja Kang, Nadia akan pasrah dan taat dengan apa yang Kang Fauzan lakukan dan putuskan.” “Nadia gak mau kan mempunyai suami yang termasuk orang munafik yang mengingkari janjinya?” Nadia mengangguk pelan. Akhirnya, Fauzan menceritakan semuanya, dari mulai janjinya kepada seorang santriyyah, yang ketika ia hendak menepatinya, Kyai Ahmad malah memintanya untuk menikahi Nadia, putrinya. Dan sekarang Fauzan merasa serba salah atas semua yang telah terjadi. Ia bingung apa yang harus ia lakukan.
    Nadia membalikan badan. Suasana kamar itu mendadak hening. Hampir sepuluh menit mereka diam seribu bahasa. “Nadia izinkan kang Fauzan untuk menepati janji kang Fauzan, Nadia ga mau punya suami yang termasuk munafiqiin. إنّ المنافقين فى الدرك الأسفل من النّار , Nadia ga mau orang yang Nadia cintai ter-khitob dengan Firman Allah itu. Meskipun ini berat buat Nadia, tapi Nadia yakin, Allah pasti akan memberi jalan terbaik akan masalah yang menimpa kita”, Fauzan kagum dengan ketegaran hati istrinya. Tak rugi ia mendapat istri se-cantik dan se-sholehah Nadia.
    Fauzan menangis di pelukan istrinya, tak kuasa menahan air mata yang hendak meleleh. Nadia menghapus air mata suaminya itu. “ Sudahlah, lebih baik sekarang kita sholat sunnah dulu, lalu Nadia ingin kang Fauzan menjalankan kewajiban kang Fauzan sebagai suami Nadia.”
    Mereka tenggelam dan Cinta Sejati yang semata dirajuk hanya karena-Nya. Cinta yang takkan pernah luntur walau diterpa badai dan ombak samudra. Karena mereka saling mencintai hanya karena mengharap Ridho-Nya dan hanya demi berjuang dijalan-Nya. Sungguh indah hikmah yang dipetik dari sebuah keajaiban keagungan cinta.

***
    Pagi nan cerah, Ayam Jago dengan jantannya berkokok memberi Isyarat pagi telah tiba. Kesegaran tetesan embun pagi menetes di hati kedua mempelai yang baru saja merajuk cinta yang amat indah. “Nadia, kang Fauzan mau ngajar ngaji dulu ya….”, kata Fauzan lembut.
    Nadia hanya menjawab dengan anggukan pelan penuh perasaan. “Ntar kalo pulang ngajar, langsung aja makan ya, Nadia bakal siapin menu spesial buat kang Fauzanku tersayang”, ujar Nadia mesra.
    “Jadi nih berangkat ke rumah Annisa?”, Tanya Fauzan dengan penuh kekhawatiran.
    “Tenang dong kang, aku bakal ditemenin ma Sofia, juga mang dodo yang nyupir, kang Fauzan ga usah khawatir, Nadia bakal baik-baik aja kok”, entah mengapa Fauzan begitu takut kehilangan Nadia, padahal Nadia hanya akan pergi sebentar, perasaannya ga enak. Apakah akan terjadi sesuatu? Ah, Fauzan tepis semua firasat buruknya itu. Mungkin karena besar cintanya, ia jadi tak mau ditinggalkan Nadia walau hanya sedetik. Ia mencoba positive thinking.

***
    “Hallo, Assalamu’alaikum…”
    “Wa’alaikumsalam kang, ada apa kang Fauzan nelfon Nadia?”
    “Ga apa-apa, Kang Fauzan cuma takut kamu kenapa-napa, dari tadi perasaan Kang Fauzan ga enak banget”, entah kenapa Fauzan begitu panik.
    “Ah, kang Fauzan itu ada-ada aja, oh iya kang Fauzan, tadi kan udah ketemu ma keluarga Annisa, mereka baik banget. Alhamdulillah ketika Nadia kasih tau maksud kedatangan Nadia, mereka menyambutnya dengan senang hati. Entar besok kang Fauzan ke rumah dia ya. Annisa udah siap semuanya kok. Nadia juga ga sabar pengen satu rumah ma Annisa, seenggaknya kalo Kang Fauzan ga ada, Nadia jadi ada temen ngobrol dan mengisi waktu kosong”, Nadia terlihat begitu bahagia menceritakan itu semua.
    “Nad, disitu hujan gede ya? hati-hati ya, kang Fauzan ga mau kehilangan Nadia”
    “Iya iya Kang, pasti,,, Nadia juga ga mau kehilangan kang Fauzan yang Nadia cintai”, hujan memang mengguyur kota itu sedah hampir satu jam. Tiba-tiba mang dodo kehilangan kontrol, rem mobil itu mendadak blong, tak berfungsi. Buruknya, kini Mobil berada dalam kecepatan penuh 150 km/h.
    “Kenapa mang, kok kaya yang ga beres”, Tanya Sofia panik.
    “Ga tau neng, tiba-tiba remnya ga berfungsi.” Karena kaca mobil tertutup kabut yang tebal, Mang dodo tidak menyadari kalau dibelokan depan ada truk dengan kecepatan tinggi.
    “Mang, Awaaaasssss!!!!!”, Nadia dan Sofia berteriak bersama. Dan ‘Brak Brak Dug’ Mobil sedan yang mereka tumpangi bertabrakan dengan truk itu. Mobil terpelanting dan terjungkal. Telfon Nadia masih dalam keadaan menerima telfon dari Fauzan. Fauzan kaget mendengar teriakan itu. “Nadia Nadia….!!!!!apa yang terjadi Nadia…!!!!”, tak ada jawaban. Ia terus mengulang memanggil nama istrinya itu. Namun tak ada sahutan sedikitpun, tuuutt…tuuuttt…. Tiba-tiba telfon terputus. Tubuh Fauzan mulai basah, keringat dinginpun bercucuran. Ia mencoba menenangkan diri, namun ia yakin, terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Ia tawakkal pada Allah akan semua yang telah Allah suratkan.

***
    Tujuh hari berlalu setelah kejadian itu. Fauzan masih selalu melamun. Ia membayangkan jasad istrinya itu masih bernyawa. Terkadang ia menangis sendiri. Kyai Ahmad yang sudah renta menasihatinya, “Fauzan, sebagai seorang yang faham agama islam. Sikapmu ini seperti menentang akan apa yang kamu yakini. Ikhlashkanlah kepergiannya. Allah lebih tau apa yang terbaik buat kita. Dan mungkin itulah jalan terbaik yang dipilihkan Allah untuk putriku Nadia. Biarkan dia tenang di alam Barzakh untuk mempertanggungjawabkan semua amalnya selama didunia dan semoga ia bisa menikmati nikmat kubur yang diberikan Allah padanya.”
    Fauzan menangis dihadapan guru sekaligus menantunya itu, “Abah, saya sangat bersalah karena tidak mendampingi dia untuk pergi menemui keluarga Annisa. Kalau saja saya…..”
    “Fauzan, ingatlah! Maut itu datang tanpa kita duga. Keadaan bukanlah faktor yang mempengaruhi datangnya kematian. Abah lebih tua daripada Nadia, tapi mengapa malah abah yang masih hidup. Itulah Qudrotullah. Abah tidak usah menjelaskan penjelasan yang sudah pernah Abah sampaikan ketika kamu masih kecil dulu. Dan kamu pikir, Nadia berharap kamu terus seperti ini. Tidak Fauzan, Nadia ingin kamu bahagia. Dia pernah bilang sama Abah, dia ingin kamu nikah sama Annisa itu, agar kamu bisa menepati janjimu. Itulah bukti kalau dia benar-benar mencintaimu karena Allah Azza Wajalla.”, meskipun sudah tua, Kyai ahmad masih sangat lihai berbicara menasihati orang lain.
    Fauzan kaget mendegar penjelasan Kyai Ahmad, “Tapi jika saya menikah dengan Annisa, berarti saya sama saja dengan bahagia diatas penderitaan orang lain”
    “Justru Nadia akan menderita ketika melihat kamu terus seperti ini. Allah pun akan murka melihat kamu terus seperti ini. Percayalah, semua akan baik-baik saja. Abah ingin kamu menikahi Annisa,   membawanya kesini, dan tinggal disini. ”Kyai Ahmad mencoba meyakinkan Fauzan agar tidak terlalu tenggelam dalam kesedihan kehilangan yang dilarang agama. Fauzan menagis tersedu-sedu dipelukan Kyai Ahmad.
***
Prosesi Akad nikah berjalan lancar. Fauzan digiring menuju ruang resepsi pernikahan. Tak lama kemudian, Annisa datang dengan gaun pengantin Muslimah bergaya timur tengah. Ia terlihat sangat anggun, Annisa duduk disamping Fauzan. “Kang Fauzan, Annisa sangat bahagia sekali. Akhirnya kita dipersatukan oleh-Nya. Allah memang sangat mengerti apa yang diinginkan hamba-Nya.”
“Meskipun harus melalui proses yang sangat mengikis rasa dihati. Semoga cinta kita ini kan abadi hingga di yaumil akhir nanti. Kang Fauzan juga berharap dalam hati ini, semoga cinta ini mendapat ridho dari Ilahi, dan ikatan ini kita niatkan semata-mata hanya untuk beribadah kepada Rabbul Izzati dan untuk berjuang fii sabiilillahi robbii.”,Fauzan menyambung kata-kata indah Annisa.
Annisa tersenyum indah, seindah kuncup bunga mawar yang baru merekah. ‘Ya Allah, rasa syukur tak henti-hentinya ku panjatkan hanya pada-Mu. Engkau memang dzat yang maha rahman dan rahiim. Engkau mengganti rasa kehilangan itu dengan rasa cinta yang dapat menghapus semua kepedihan jiwa ini. Ya Allah, hamba berjanji, akan mewakafkan diri hamba dan istri hamba untuk berjuang menegakkan panji-panji Islam di dunia ini. Dan memang itulah jalan terbaik yang akan hamba ambil demi mendapatkan cinta-Mu.’ Fauzan berdo’a dalam hati yang berbalutkan Cinta suci Rabbnya.

(pernah diposting di Majalah Sekolah ‘Dinamis Magazine’ MA Baitul Hikmah Haurkuning Tasikmalaya)
(tulisan waktu Aliyah)