Oleh : Fawwaz Muhammad Fauzi

Kata mereka diriku slalu dimanja
Kata mereka diriku slalu ditimang
Oh bunda ada dan tiada dirimu
Kan selalu ada di dalam hatiku
(dalam “Bunda” Melly Goeslaw)

Begitulah cuplikan lirik dari lagu Bunda. Dari situ, kita dapat benar-benar merefleksikan dengan tenang, bagaimana peran ibu dalam kehidupan kita, betapa pentingnya ibu bagi kita. Penulis juga memiliki ibu yang sangat penulis sayangi. Beliau yang tak kenal lelah, berjuang membesarkan anaknya, hingga seperti sekarang. Semuanya berkat kedua orang tua penulis, terutama berkat seorang ibu. Maka dari itu, mari sejenak mengucap doa untuknya, dengan harapan, semoga ibu dan ayah kita bahagia dan selamat di dunia dan di akhirat nanti. Allahummaghrilana Waliwaalidiina Warhamhuma kamaa robbayaana shighooro. Lahumal faatihah…
Ibu memang patut kita hormati. Sebagai orang islam, kita pasti sudah sangat mengenal istilah “Surga ditelapak kaki ibu”, “Ridho Allah terdapat pada Ridho Orang Tua”, dan hadits yang menyebutkan keutamaan ibu sebagai berikut :
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ :يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ، قَالَ أَبُوْكَ
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, belia berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548).
Besok (22/12/2015) kita akan merayakan hari ibu. Biasanya, dalam perayaan ini, seseorang yang berposisi sebagai anak akan memberikan sesuatu kepada ibunya, baik berupa materi maupun ungkapan kasih sayang nan menyejukkan seperti lagu diatas, bahkan sebuah do’a yang tercurahkan untuk seorang ibu. Hal itu sudah sagat lumrah terjadi di belahan dunia manapun, dimana hari ibu memang dirayakan untuk kemudian menghargai perjuangan ibu terhadap anak dan keluarganya. Namun, apakah itu pula yang melandasi diperingatinya hari ibu di Indonesia? Jika tidak, lantas bagaimana? Ketika kita mengikuti kata-kata Soekarno, “JASMERAH”, Jangan sekali kali melupakan sejarah, setidaknya kita akan memiliki motivasi lebih dari apa yang telah disebutkan diatas dalam memperingati hari ibu.
Sejarah hari ibu berawal ketika dari berkumpulnya para pejuang perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatra dan mengadakan Kongres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Salah satu hasil dari kongres tersebut salah satunya adalah membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Namun penetapan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938. Bahkan, Presiden Soekarno menetapkan tanggal 22 Desember ini sebagai Hari Ibu melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959.
Para pejuang perempuan tersebut berkumpul untuk menyatukan pikiran dan semangat untuk berjuang menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan. Para feminis ini menggarap berbagai isu tentang persatuan perempuan Nusantara, pelibatan perempuan dalam perjuangan melawan kemerdekaan, pelibatan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa, perdagangan anak-anak dan kaum perempuan. Tak hanya itu, masalah perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita, pernikahan usia dini bagi perempuan, dan masih banyak lagi, juga dibahas dalam kongres itu.
Jika kita menelisik lebih dalam, hari ibu di Indonesia nyatanya sangat erat kaitannya dengan GERAKAN PEREMPUAN. Dimana isu-isu perempuan dalam konteks partisipasi gerakan perlawanan terhadap penjajahan selalu dikaji, dikupas lebih dalam, hingga kaum perempuan pun dapat memberikan pernyataan sikap terhadap suatu problematika pada masa itu. M. Christina Tiahahu, Cut Nya Dien, Cut Mutiah, R.A. Kartini, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, Rangkayo Rasuna Said beserta tokoh perempuan lainnya menggangas hari ibu bukan untuk kemudian merayakannya dengan seremonial-seremonial yang hanya berupa pemberian hadiah, ucapan kasih sayang, dan lain-lain. Melainkan lebih dari itu. Yakni untuk mengenang semangat dan perjuangan para pejuang-pejuang perempuan dalam negeri dalam upayanya berpartisipasi aktif dalam gerakan perbaikan bangsa.
Kini, peringatan hari ibu di Indonesia dalam realisasinya lebih kepada ungkapan rasa sayang kepada para ibu, memuji keibuan para ibu. Seperti yang telah diuraikan diatas, kita berlomba-lomba memberikan hadiah kepada ibu, berlomba-lomba memberikan ungkapan kasih sayang untuk ibu, dan lain-lain. Meski dalam konteks relevansinya dengan sejarah hari ibu sendiri kurang begiu sejalan, hal tesebut bukanlah sesuatu yang negatif yang harus dihindari dalam peringatan hari ibu. Ungkapan kasih sayang dan pemberian hadiah adalah hal yang sangat baik yang dapat dilakukan pada hari ibu.
Lantas apa yang menjadi masalah? Hal diatas (Ungkapan kasih_red) adalah versi baru yang baru dalam peringatan hari ibu. Versi lamanya (Refleksi gerakan_red) adalah bagaimana kita memperingati hari ibu dengan merefleksikan semangat kaum ibu pada masa lampau. Dimana dengan sangat berani, mereka berkecimpung dalam percaturan gerakan nasional pada masa lalu. Versi baru adalah hal yang baik, begitupula versi yang lama. Maka dari itu, tak elok kiranya ketika kita menghilangkan salahsatu dari keduanya. Akan lebih baik, versi lama yang kemudian telah terkikis oleh peringatan versi baru dikembalikan lagi esensinya dalam peringatan hari ibu kali ini. Sehingga hari ibu tidak hanya tentang olah emosional, namun juga olah intelektual yang edukatif dan reflektif. Seperti melaksanakan Seminar pengkajian sejarah hari ibu, bedah buku tokoh-tokoh perempuan, Diskusi seputar isu gender, aksi teatrikal hari ibu, dan lain-lain.
Dengan demikian, eksistensi pejuang perempuan di Indonesia akan lebih bertaji, kaum ibu akan lebih teredukasi dan sadar akan peran, bahkan para calon ibu, yang sejatinya, merekalah yang sangat memerlukan wawasan gerakan perempuan dan keibuan. Sehingga para calon ibu nantinya dapat membesarkan anaknya dengan baik sebagai the next ibna zamaanika. Bukankah para calon ibu ingin anakanya lahir dari rahim seorang wanita yang cerdas? Jelas! Maka dari itu, semoga dari refleksi hari ibu yang lebih komprehensif dalam konteks isu yang diangkat. Para calon iu dapat lebih termotivasi untuk belajar lebih baik lagi sehingga mampu membesarkan anaknya secara bijak dan bijaksana di kemudian hari. SELAMAT HARI IBU.

Malang, 21/12/2015