Kemarin, baru saja saya membaca pesan di grup WA Ngaji Aswaja NU mengenai perilaku kehidupan dan saat kematian Mustafa Kemal Attaturk, Revolusioner dan Bapak Bangsa Turki.

Pesan itu menceritakan Attaturk yg sangat an ti-Arab dengan gagasan sekuler-radikal nya. Mengganti Adzan dengan bahasa turki, melarang pakaian ‘kearab-araban, hingga membunuh ulama-ulama yg tidak sepaham dengannya. Kemudian diceritakan bahwa “SI ANTI ARAB” ini diakhir hayatnya menderita berbagai macam penyakit, kemudian disebut bahwa bumi tidak menerima jasad Attaturk, sehingga Attaturk tidak dikebumikan, melainkan jasadnya hanya ditanam di celah-celah batu marmer.

Diakhir pesan grup itu, si penyebar menulis : ” Begitulah kematian si Anti Arab, ada yang mau mengikutinya?”

Saya memandang pesan ini sangat tendensius. Mencoba mendogmatisasi umat muslim, khususnya Nahdliyyin untuk menjauhi NU dan Kyainya secara perlahan.

Pesan itu mencoba menipu pemahaman kita akan apa yang diperjuangkan NU. Harus kita pahami, bahwa apa yang dikampanyekan NU bukanlah kampanye anti-Arab atau bahkan program sekularisme seperti yg dilakukan Kamal Atatturk di Turki. Yang dilakukan NU dalam melindungi tradisi Nusantara dan mengintegrasikannya dengan praktik keagamaan islam adalah bahwa NU sangat memahami akan pentingnya budaya sebagai pondasi kemajuan suatu bangsa. Sehingga budaya hari ini, termasuk dalam praktik asimilasi kebudayaan dan religiusitas harus dilindungi sebagai identitas dan local wisdom.

Sedangkan apa yang dilakukan Attaturk terhadap Turki adalah dengan tidak mengakui islam sebagai agama yang memiliki nilai progresivitas dalam membangun bangsa. Ia meminggirkan islam ke pojokan dan memandang islam sebagai agama yang tidak bisa mendukung kemajuan dalam praktik bernegara. Hal ini jelas jauh berbeda dengan pemahaman NU dimana NU mengimani bahwa nilai-nilai keislaman memiliki ruh yang berkemajuan sebagai modal bagi bangsa kita untuk tetap kokoh bersatu dan terus melaju. Terbukti dengan diterimanya Pancasila sebagai ideologi negara dan meyakini bahwa didalam Pancasila mengandung nilai-nilai inklusif islam yang layak diperjuangkan oleh seluruh elemen Nahdliyyin Nusantara.

Selain itu, mengenai klaim anti-Arab secara tidak langsung pada NU, tuan-tuan dan puan-puan bisa cek di pesantren-pesantren NU, bahwa pembelajaran awal yang dilakukan adalah pembelajaran bahasa arab melalui kitab-kitab klasik macam Jurumiyah, Imrithi, Al Maqshud, Alfiyyah Ibn Malik, dan Amtsilah Tasrifiyyah. Termasuk pesantren almamater saya sendiri yang memiliki kekhasan takhossus Ilmu Bahasa Arab.

Bagaimana bisa NU anti-Arab dengan mempelajarinya. Sama dengan tuan tidak menyukai kopi, tetapi tetap meminumnya. 😁

Mengenai relasi Arab dan Islam, bahwa islam memiliki kaitan dengan arab, tapi tidak selalu yang berbau arab itu islam.

“Kelapa memang bulat, tapi tidak setiap yg bulat itu kelapa.”

Jadi, sudahlah, jangan sampai kita mau dijauhkan dari NU dan para kyai dengan asumsi dangkal dan penggiringan opini kaum sumbu pendek, bahwa NU sedang melakukan kampanye anti-Arab. NU hanya sedang mengajak kita untuk bangga menjadi umat islam dan bangsa indonesia yang berkepribadian.

Anti Arab memang salah, karena seharusnya Huwa Arab atau Anti Arabti, hehe

Wallahua’lam.

Salam.