Selamat Malam Nawak nawak. Malam memang waktu yang memiliki suasana menggoda. Malam adalah saat dimana para mahasiswa yang tak percaya khutbah dosen keluar kos untuk mengopi. Malam juga digunakan para aktivis untuk diskusi. Sehingga, jarang sekali kita menemui acara diskusi mahasiswa yang diselenggarakan di siang hari, kecuali diskusi yang formal ala-ala Organisasi Intra Kampus yang lagi belajar EO kecil-kecilan. Tak ketinggalan, pasutri juga lebih sering memanfaatkan waktu malam hari untuk beradu jotos di ranjang, yang setelahnya langsung mandi junub dan dilanjut sholat tahajjud. Wih, segmen cerita yang menjadi impian bagi para jomblo yang sedang mencari cinta. Horeee.

Itulah keistimewaan malam dibanding siang. Dalam mencari inspirasi dan menulis pun, saya seringkali mendapatkan dan melakukannya di malam hari. Sehingga, hampir semua tulisan yang saya buat lebih banyak menyapa dengan selamat malam. Karena memang di buatnya di malam hari. Lha masa saya harus mengucapakan selamat siang, padahal tulisannya saya buat dimalam hari? Lak gendeng ngunu iku. Selain itu, saya juga kapok menggunakan kata Selamat Siang. Gara-gara sapaan “Selamat Siang”, saya pernah di maki-maki dan saya di cap tidak Islami. Padahal nawak-nawak saya tahu, penampilan saya cukup syar’i lho. Gak percaya? Tanya saja mereka. Hehe.

Dimalam yang sesunyi ini, aku sendiri, tiada yang menemani, sehingga saya akhirnya tenggelam dalam lautan lamunan yang menjenuhkan. Dimana saya diajak Bu Lamun berfikir mengenai kondisi bangsa saat ini. Wah, saya diajak menyelami data dan fakta, mengenai pengelolaan migas, semen, air, wisata, jasa, pangan, sawit, manufaktur yang semuanya dikelola asing. Saya juga kembali teringat akan puisi yang ditulis @sabdaperubahan di Peringatan 17 Agustusan kemarin, yang kurang lebih menggambarkan penguasaan asing di negeri ini dengan bahasa yang cukup bikin baper. Yah, kebanyakan puisi memang bikin baper lho. Tapi baper tak selalu berkonotasi negatif. Baper terkait kondisi bangsa negeri ini dan kemudian mentrasformasikannya kedalam sebuah gerakan kepedulian adalah baper yang positif. Berdasarkan penjelasan diatas, maka baper dapat dikategorikan menjadi dua bagian, yakni baper hasanah dan baper dholalah. Begitu kira-kira.

Nah, adalagi yang lebih bikin saya baper. Yaitu SINETRON. Iya, sinetron. Nawak nawak pasti sudah tau apa itu sinetron. Kalo nawak-nawak gak tau apa itu sinetron, saya ragu kalau nawak punya KTP dan berstatus WNI. Bagaimana tidak, setiap hari, dan hampir semua channel media televisi indonesia menayangkan sinetron dengan keunggulannya masing-masing. Saya seringkali terisak-isak melihat sinetron-sinetron itu. Sinetronnya sangat menyentuh hati saya. Hiks hiks -Begitu kata orang cara menangis lewat kata-kata-. Alur ceritanya sungguh berkualitas. Ya, sangat berkualitas merusak tatanan opini dan kesadaran bangsa ini. Hampir setiap hari, ada tayangan sinetron berjudul “Terbunuhnya Mirna”. Di channel lain, ada juga sinetron yang bergenre horror seperti “Misteri Kolor Dimas Kanjeng”, “Cinta berujung Narkoba Aa Gatot”. Selain itu, adapula sinetron yang sedang merajai persinetronan indonesia, mengalahkan sinetron Amerika “Donald (Duck) Nyalon Presiden” karya sutradara papan atas Paman Sam, apalagi kalo bukan “Ah*k yang (Me/Di)Nista(kan)” yang sangat digemari itu.

Sinetron-sinetron itu sangat menyentuh hati, membuat saya sering merenung sendiri di bilik merenung tadi. Saya terhenyak dan bertanya, apakah kedaulatan negeri ini lebih tidak penting daripada drama-drama sinetron itu? Kenapa sih channel tipi-tipi itu tidak pernah mau mengakhiri sajian drama-drama “komedi” itu dan menggantinya dengan keberpihakan terhadap rakyat beserta penyelesaian masalah-masalah rakyat yang lebih penting dari sinetron-sinetron “berkualitas” itu? Konflik agraria, kerusakan lingkungan dan penjarahan sumber daya alam, penuntasan kasus HAM, pemberantasan organ radikal dan anti pancasila, dan konsepsi pendidikan yang semrawut adalah sedikit dari banyaknya problematika negeri ini yang menurut penulis penting. Kenapa penting? Ah, saya malas menjelaskan, Upin ipin juga tau, kalo ada orang yang maling barang kepunyaannya, mereka tidak akan berunding dengan maling itu, dia pasti akan laporkan si maling ke opa dan kak ros. Lain cerita dengan upin ipin, pejabat kita terlalu banyak cingcong dan malah ngajak ngopi si maling itu. Padahal sudah jelas kita kemalingan dan sudah tau siapa malingnya. Upin Upin juga tau lho, ketika upin ipin berbisnis dengan si Mail untuk menjualkan ayam gorengnya, mereka berdua akan meminta bagi hasil yang rasional. Mereka akan meminta bagi hasil yang rasional, 50:50 misalnya. Nah, pejabat kita sama sekali tidak mau ngajak gelut ketika tau bagi hasilnya dengan perusahaan gak rasional, masak 97:3? Kesimpulannya, pejabat kita masih kalah oleh Upin Ipin dong.

Seharusnya, media-media besar sadar, bahwa seharusnya mereka menayangkan sinetron yang lebih pro kepentingan bersama, sehingga nilai-nilai pancasila bukan hanya sekedar hafalan, tapi juga direalisasikan. Misalnya dengan membuat sinetron “Si Freeport dan Si Exxon, Kembar tapi sama2 Menjarah”, atau kalau sinetron horror, “Misteri Gunung Emas Bolong”. Ada yang lebih keren lagi, sinetron genre religi, “Hidayah: Pemodal Reklamasi sulit dikebumikan”. Rakyat pasti langsung baper melihatnya. Bukan baper yang dholalah tentunya, tapi baper hasanah. Sehingga sama-sama mau bergerak atas kebaperan yang hasanah itu.


Ah, sepertinya saya terlalu lama melamun. Saya akhirnya sadar, kalo tipi-tipi itu kan perusahaan. Perusahaan itu kata dasarnya usaha. Usaha erat kaitannya dengan profit dan untung rugi. Sinetron yang ada sekarang ini sepertinya lebih menguntungkan bagi keberlangsungan usaha penguasa tipi-tipi itu. Lha mau gimana lagi, kalo sinetron yang saya usulkan itu kan pro-rakyat, kalo pro-rakyat, untungnya cuma sedikit, atau bahkan malah rugi. Mana ada perusahaan mau rugi.


Sudah dulu ah, teh anget yang saya pesan sejak 3 jam yang lalu sudah habis. Waktunya pulang. Meski judulnya mengopi, tapi harga teh anget lebih bisa menjaga isi saku celana untuk tetap berisi. Terimakasih sudah berkenan membaca.

Wallahua’lam.


Kopi Lanang
26/10/2016

1:47 AM

Ket : gambar dari bidhuan.com