Hampir setiap hari, Kota Malang dilanda kemacetan. Kalau sudah macet, waktu banyak yg terkorbankan, jadwal ketemu sama si pacar jadi lebih sebentar karena lebih lama dijalan. Waktu kuliah pun sama. Bahkan, meski dari kos sudah berniat kuliah, kadang gara-gara macet, kita gak jadi kuliah dan malah belok ke warung kopi. hahaha. Saya berujar, ini masih Kota Malang, bukan kota besar macam Jakarta, Medan, Bandung dan Surabaya. Bagaimana macetnya kota-kota besar itu, tak bisa dibayangkan. Eh, sepertinya bisa, saya pernah suatu waktu jalan-jalan ke surabaya, bihhhh, jalanan begitu macet. Jalan masuk utama dari Kota Sidoarjo ini mantap sekali, kalo pake mobil, bisa berjam jam, tapi berhubung saya pake sepeda motor, yah, trotoar banyak yang kosong untuk dijadikan rute alternatif, hahaha (lagi).


Saat saya liburan pun begitu. Ayah saya seringkali mengeluh, “Dulu itu kalo ke Cirebon cukup 30-45 menit, sekarang 1 jam lebih, jalannya padat.”, ujarnya sambil menyalip kendaraan di depan. Daerah saya itu lho, ya kota kecil, jarang dikenal, tapi sudah macet, mau tau nama daerah saya itu? Kabupaten Majalengka, kenal? Yang tau mungkin yang asli Jawa Barat, selain asli sunda, pasti dia akan memberikan pertanyaan susulan, “Majalengka itu dimana ya?”. Saya sudah tau gelagat orang seperti ini, nilai Mata Pelajaran Geografi di SMA paling dapet 60, maka langsung saya jawab, “Tetangganya Cirebon mas.”. Biasanya, orang lebih mudah mengenal Cirebon, kotanya cukup terkenal. Cirebon merupakan rumah asal dari Kang Said, Ketua Umum PBNU dan terdapat makam salahsatu walisongo, yakni Sunan Gunung Jati. Saya pikir, jawaban tambahan itu sudah membuat si penanya mengerti, namun tak dikira-kira, ternyata teman saya itu masih juga melayangkan pertanyaan lain, “Cirebon iku Jawa Tengah yo mas? Endi ne pekalongan mas?”. Jancuk a, gumamku. “Iyo, jateng. Tonggone Pekalongan pas bro.”, jawabku mantap. Nilai geografi ne arek iki piro to? Masak harus menunggu saya jadi Bupati Majalengka untuk Majalengka bisa dikenal, eh. Yah, beginilah hasil dari sistem pendidikan di Indonesia, seperti yang dikatakan oleh Eistein, bahwa semua orang itu cerdas, namun adalah hal bodoh bila kau menyuruh ikan untuk memanjat pohon seperti monyet. Namun, disini saya tidak ingin bercerita pendidikan, saya sekarang sedang galau tentang kemacetan yang tiada tara.


Siapa yang tidak tahu, di Indonesia ini, khususnya pulau jawa, hampir setiap rumah memiliki kendaraan pribadi, mulai mobil, motor, bahkan sepeda pancal ataupun sepeda goes milik balita. Penduduk pulau jawa juga sangat padat. Menurut BPS, 54,7% (sekitar 141 juta jiwa) penduduk Indonesia berada di pulau jawa. Jadi, lebih dari setengah penduduk Indonesia ini menetap pulau jawa. Contoh kecil deh, berapa mahasiswa di Malang yang tidak menggondol sepeda motor dari rumahnya? jangan dulu lingkup Malang deh, kampus saya, UIN, berapa yang tidak bawa sepeda motor untuk pergi ke kampus? Parkiran kampus sekelas WCU (World Class University) saja sudah tidak muat, apalagi kampus UB yang kampusnya cuma akreditasi institusi B. Eh, kok malah ngomongin kampus. kembali ke parkir, eh macet.


Nah, trus bagaimana nih? menurut saya, kemacetan ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Kalo tidak boleh dibiarkan, berarti hal tersebut adalah masalah, kalo masalah itu harus diatasi, kalo perlu diatasi, berarti harus memikirkan SOLASI, eh SOLUSI. Bagaimana solasinya? Saya juga belum tau betul bagaimana solusinya, saya kurang pengalaman, gak ada sama sekali pengalaman kerja di Dishub ataupun yang lainnya. Tapi kata Gus Dur, bukankah untuk jadi presiden gak harus pengalaman jadi presiden dulu? Saya ingin mencoba meraba dan menerka solusi itu. Menurut saya, kunci untuk mengatasi kemacetan adalah dengan menekan kepemilikan kendaraan, memperketat realisasi regulasi lalu lintas, dan meningkatkan kualitas fasilitas dan transportasi umum.


Pertama, menekan jumlah kepemilikan kendaraan. Ya, kepemilikan kendaraan harus dibatasi. Lha, bagaimana volume kendaraan mau berkurang kalo mobil sekarang bisa sangat murah dengan sistem kredit yang memudahkan. Maka harus dimahalkan. Selain itu, kepemilikan kendaraan di Indonesia tidak dibatasi waktu. Harusnya, kepemilikan kendaraan dibatasi waktu. Misal setiap 5 tahun harus masuk rongsok dan di kilo, hahaha. Dengan begitu, orang akan enggan membeli kendaraan. Kalo bicara statistik, lagi-lagi, silahkan tanya mbah google. Kalo saya main logika sederhana aja. Kalo kata mbah Jiwo, IQ? IQ? IQ?


Kedua, memperketat realisasi regulasi. Nah, ini yang sulit, budaya suap, pungli, dll yang masih sangat akrab dengan sendi-sendi kehidupan kita. Kalo ini saya tak mau banyak bicara, ayo kita sadar bersama-sama, stop praktik pungli dan suap. Sudah cukup saat balita kita disuapi, masak sudah jadi PNS dan Polisi masih pengen disuapi. Kitanya juga nih, mau aja nyuapin yang bukan anak kita. Kalo masih seperti ini, yaaaa terserah, mau makan dimana, di warung sana juga boleh, di warung sini juga boleh, terserah kamu, asal jangan lalapan, bosen.


Ketiga, meningkatkan kualitas transportasi dan fadilitas umum. Ini yang menjadi konsekuensi yang harus benar-benar diupayakan guna mendukung opsi pertama dalam membatasi kepemilikan kendaraan. Sehingga, rakyat semakin aman dan nyaman menggunakan transportasi umum. Yah, mau gimana aman dan nyaman, kadangkala masih ada yang ribut tarif angkot antara supir dan penumpang. Adapula ORGANDA dan PPAD yang naikkan tarif ketika ada kenaikan BBM. Semakin tinggi lah jurang pemisah antara ongkos transportasi umum dan kendaraan pribadi. Ini sangat berpengaruh. Contohnya begini, saya kalo harus pulang dari malang ke jawa barat menggunakan mobil pribadi, bisa sampai menghabiskan 500 ribu, untuk bensin dan makan, belum lagi mesin mobil yang panas dan perlu servis serta lelahnya menyetir dengan perjalanan ratusan kilometer saking jauhnya. Saya lebih memilih naik kereta api, cukup uang 100-150 ribu, saya sudah bisa sampai rumah. Lah, berbeda dengan ANGKOT, jauh dekat 4 ribu, sedangkan untuk ke lokasi yang saya tuju harus naik angkot 3 kali, berarti butuh dana 12 ribu, PP 24 ribu. Berbeda dengan menggunakan sepeda motor pribadi, cukup 8 ribu/liter, PP masih sisa banyak. Maka harus dipikirkan kemudian formulasi dan konsepsi transportasi jarak dekat yang terjangkau oleh rakyat jelata, kopi lanang dan unyil coffee, dimana ongkos transportasi umum bisa lebih murah daripada menggunakan kendaraan pribadi. Kalaupun tidak bisa lebih murah, fasilitasnya ditingkatkan, sehingga lebih nyaman.


Yah, mau bagaimanapun, ini cuma tulisan dan harapan saya ke depan. Mengkonsep dan menulisnya memang mudah, tapi merealisasikannya tak semudah menulisnya, bukan? Butuh kerja ekstra, keterlibatan dan dukungan berbagai pihak untuk merealisasikannya. Oh iya, selaku pemuda (untuk yang masih muda2 lho), cobalah untuk mengendalikan budaya konsumtif kita, cobalah berfikir untuk mengarah ke pola pikir produktif. Kita semua pasti lelah, semua teknologi yang kita gunakan, gak ada yang MADE IN INDONESIA. Ayo bergerak bersama! Masa depan bangsa ini ditangan kita. Masih dengan semangat sumpah pemuda. Salam Pemuda! Salam Pergerakan! Selamat mengopi! Srupuuuut…


Kos-kosan cedek.e pondok putri

Sabtu, 29/10/2016

10.35 WIB