Belakangan, tagar JanganJadiDosen mengemuka dan viral di jagat maya. Tagar itu menggema disertai dengan banyak skrinsutan slip gaji dosen yang jauh dari kata kategori sejahtera. Untuk dikategorikan sejahtera, slip gaji yang ditunjukkan pada cuitan di tagar JanganJadiDosen itu memang sangat miris. Sudah gaji kecil, ada yang dirapel pula, dan lain-lain. Padahal, menjadi dosen memiliki kualifikasi yang tak main-main. Sejak beberapa tahun yang lalu, untuk menjadi dosen, seseorang diharuskan memiliki minimal strata pendidikan magister (S-2), dan jika ingin berkarir serius di dunia perdosenan, mengejar gelar doktor adalah kewajiban.

Dan, seperti yang anda tahu, biaya studi sarjana di negeri kita ini masih jauh dari kata “terjangkau”, apalagi untuk S-2 dan S-3. Memang ada banyak pilihan beasiswa, itu bisa menjadi topik lain yang tak perlu dibahas pada tulisan ini. Hal ini sangat memprihatinkan saat kita mengetahui satu fakta bahwa persentase warga Indonesia yang berpendidikan tinggi masih dibawah 10%.

Saya sudah berprofesi menjadi dosen selama kurang lebih satu tahun di salah satu kampus swasta di Cirebon. Menjadi dosen atau paling tidak berkecimpung di dunia pendidikan adalah salah satu cita-cita saya. Entah mengapa saat SMA tiba-tiba cita-cita itu muncul, mungkin sistem pembelajaran pesantren tempat saya belajar adalah salah satu yang mempengaruhi diri saya.

Semakin kuat harapan itu saat saya kuliah di Malang. Dunia aktivis mahasiswa adalah salah satu yang memperkuat itu. Dipertemukan dengan orang-orang yang hebat dalam fasilitasi forum, firm saat berbagi cerita, pemikiran, semangat dan keilmuan. Sedikit demi sedikit, ada satu dua forum yang bisa saya coba isi, saya fasilitasi. Meski tak sebaik senior-senior saya, saya merasa berbagi cerita, semangat, pemikiran dan sudut pandang dengan orang lain, berdiskusi, bertukar pikiran itu terasa menyenangkan.

Disamping dari aspek transfer keilmuan yang sesuai dengan disiplin ilmu saya, dari aspek moril, banyak hal yang saya rasa ingin saya bagikan dan ceritakan dengan orang lain, tentang banyak hal dari sisi ideologis, keyakinan, semangat dan sudut pandang yang ingin saya sebarkan kepada sebanyak mungkin orang, meski entah sebetulnya sekuat dan sebaik apa pikiran saya itu. Tapi setidaknya itulah yang saya yakini baik dan perlu disebarkan.

Selepas S-2, saya tentu mencoba mencari lowongan kerja dosen. Singkat cerita, akhirnya saya diterima di salah satu kampus swasta. Awalnya saya cukup idealis, menjadi dosen saya hanya ingin mengajar saja, jadi dosen non tetap. Namun saat saya terjun lebih dalam lagi, saya akhirnya memutuskan untuk menjadi dosen tetap, menikmati tahap demi tahap menjalankan tri dharma perguruan tinggi.

Kelas pertama tentu tak semudah yang dibayangkan, apalagi saat S-1, saya bukan tergolong mahasiswa yang rajin-rajin amat, perlu mutholaah yang sangat mendalam, karena untuk menyampaikan ilmu, tak cukup hanya paham untuk diri sendiri, tapi juga harus mampu memahamkan anak didik kita. Setelah satu tahun lebih, saya cukup menikmati masa-masa awal ini. Penelitian pertama, membimbing mahasiswa pertama, pengabdian pertama, isi BKD pertama, ritme perdosenan pertama, meski masih terbata-bata, saya menikmatinya.

Meski menjadi dosen ini tak menjanjikan secara finansial seperti yang beredar belakangan, saya menikmatinya. Saya berupaya mengisi kebutuhan cuan dari bisnis yang saya jalani bersama istri, dan tak bergantung dari penghasilan saya sebagai dosen. Terdengar ideal bukan? sebenarnya tak seideal itu. Apalagi saat kedua sisi itu menuntut fokus yang sama. Pekerjaan administratif dosen yang seabrek, dan kompetisi jualan onlen yang semakin tak masuk akal terkadang membuat saya cukup pusing. Tapi, bukankah pusing itu tandanya kita berpikir? intinya, saya menikmati semua kepusingan dalam hidup ini, hehehe.