“Pengajaran yang diberikan oleh pemerintah kolonial hanya untuk dapat menjadi buruh, karena adanya ijazah itu tidak untuk mengisi pendidikan yang sesungguhnya, dan tidak untuk mencari pengetahuan guna kemajuan jiwa raga.”
-Ki Hajar Dewantara (@sabdaperubahan)-
sumber : teroponggambong.blogspot.com

Kita sama-sama tau bahwa hari ini (22/05/2017) merupakan peringatan hari pendidikan nasional. Hardiknas ini ditetapkan sebagai apresiasi terhadap kiprah sosok Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional.  Ki Hajar memang dikenal sebagai tokoh yang getol menggelorakan semangat pendidikan di Indonesia. Semboyan Ki Hajar yang paling dikenal adalah “Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Ngadyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani”.

Ing Ngarso sung Tulodho, bahwa guru harus menjadi teladan bagi siswanya. Ing Ngadyo Mangun Karso, bahwa guru harus pula punya asas kebersamaan dengan siswanya, sehingga guru dan siswa memiliki ikatan emosional yang baik. Tut Wuri Handayani, bahwa dari belakang, guru harus mampu memotivasi dan mengarahkan kepada hal-hal yg mampu meningkatkan kapasitas intelektual, spiritual dan emosionalnya.
Seperti dalam kutipan diatas, Ki Hajar juga mengajarkan bahwa pendidikan harus benar-benar menyentuh esensi pendidikan itu sendiri, yakni meningkatkan kapasitas intelektual, spiritual, dan emosional yang membangun bagi peserta didik. Selain itu, Ki Hajar juga menegaskan bahwa sistem pendidikan nasional harus kemudian benar-benar diselaraskan dengan kepentingan rakyat, nusa dan bangsa dalam arti seluas-luasnya.

Namun, dibalik gagasan-gagasan emas Ki Hajar ini, kita patutnya berduka dengan apa yang terjadi dalam sistem pendidikan di negara kita. Bahkan, sahabat saya berseloroh bahwa pendidikan kita lebih butuh diselamatkan daripada diberi ucapan selamat. Alih alih merealisasikan tujuan pendidikan nasional seperti yang termaktub dalam UU No 20 tahun 2003 pasal 3, pendidikan nasional hari ini malah membawa kita kepada masa-masa pemerintahan kolonial, dimana pendidikan kita hanya mencetak lulusan-lulusan yang tidak berorientasi global, hanya berorientasi pada kemunduran yang dianggapnya lumrah.

Ada beberapa aspek yang menyebabkan mengapa saya menyimpulkan bahwa pendidikan kita telah gagal mencetak lulusan-lulusan yang memiliki wawasan kebangsaan yang luas. Pertama, aspek ke-bhinneka-an, aspek ini sangatlah penting untuk diperhatikan pendidik kita. Meningkatnya angka radikalisme, intoleransi, dan menyeruaknya isu SARA telah mengancam keindonesiaan kita. Pendidik harus kemudian menjadikan pendidikan kebhinnekaan sebagai fokus utama dalam garapan pendidikan, dimana setiap warga negara harus memahami bahwa kemajumukan bangsa Indonesia adalah sesuatu yang harus diterima oleh setiap warga negara. Dimana suku, ras, dan agama yang berbeda-beda harus mampu hidup berdampingan, menerima perbedaan, bersama-sama bekerjasama membangun bangsa ini ke arah yang lebih baik.
Kedua, aspek komersil. Seperti yang pernah diungkapkan Almarhum Gusdur, bahwa “Pendidikan hari ini sudah seperti industri komersil, sehingga orang tidak mampu lagi membedakan mana kerja mendidik, mana kerja mengembangkan keterampilan. Dunia pendidikan akhirnya lebih diurusi para birokrat dan manajer pendidikan, ketimbang pemikir yang berperspektif luas dan berpandangan ke depan”. Sudah menjadi pandangan umum, bahwa pendidikan hari ini semakin tidak terjangkau oleh rakyat, mulai sistem UKT dan beasiswa yang seringkali tidak tepat sasaran, fasilitas pendidikan yang tidak selaras dengan iuran yang dibayarkan, ijazah ilegal,  hingga monopoli penerimaan peserta didik yang terkesan transaksional.

Hal diatas menyebabkan pendidikan hanya mampu diakses oleh kalangan elit dan menyingkirkan rakyat miskin. Padahal seharusnya, pendidikan harus terbuka aksesnya untuk seluruh warga negara seperti bunyi UUD 1945. Tidak boleh ada beda! Seringkali pengelola instansi pendidikan berdalih bahwa mahalnya biaya sekolah dikarenakan mahalnya fasilitas-fasilitas pendidikan yang ada. Pradigma kapitalistik seperti ini tidak diperbolehkan hidup di dunia pendidikan. Pemerintah melalui APBN ataupun sekolah-sekolah dalam upaya mandirinya harus kemudian mencari solusi pendanaan untuk pendidikan tanpa harus mencederai esensi penyelenggaraan pendidikan yang harus jauh dari paradigma kapitalistik.

Ketiga, aspek kebebasan. Aspek kebebasan menjadi penting dalam pendidikan kita. Karena melalui kebebasan, seorang siswa akan mampu mengoptimalkan potensi dan kreativitasnya. Ki Hajar juga menyatakan bahwa, “Anak-anak tumbuh sesuai dengan kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun kodratnya itu.”. Disini ki Hajar sangat menekankan bahwa pendidikan tidak boleh memaksa kepada siswa. Setiap siswa/mahasiswa tidak lahir untuk potensi dan peran yang sama, sehingga pendidik harus memahami bahwa pemaksaan terhadap peserta didik akan membunuh karakter dan potensi mereka.

Pailo Freire dalam bukunya menyebutkan bahwa pendidikan haruslah membebaskan. Dalam artian, pendidikan tidak kemudian dipraktikkan seperti praktik perbankan, dimana murid hanya menjadi celengan guru yang diibaratkan seperti penabung. Bagaimanapun, guru harus pula terbuka dalam kaitannya menerima pendapat siswa. Sehingga, pendidikan menjadi bersifat dialogis, dimana guru harus siap disalahkan oleh siswa ketika guru itu memang salah, begitupun sebaliknya. Jika dikorelasikan dengan prinsip Ki Hajar, bisa diasumsikan bahwa prinsip freire ini selaras dengan prinsip “Ing Ngadyo Mangun Karso”.

Dalam praktik pendidikan kita, kita seringkali melihat guru/dosen yang sewenang-wenang memaksakan kehendaknya, hingga terkadang ia berani untuk menabrak prinsip-prinsip pendidikan yang ada, misal dengan melakukan pengurangan nilai atas sesuatu yang sebetulnya tidak berkaitan dengan pembelajaran tersebut. Hal ini cukup efektif membuat peserta didik untuk selalu tunduk pada kehendak pendidik, dan hal ini sangat jelas membunuh potensi peserta didik. Di level mahasiswa, adapula berbagai kebijakan nasional yang membatasi aktivitas organisasi mahasiswa, semacam NKK/BKK baru yang jelas-jelas mencederai proses perkembangan mahasiswa di level organisasi.

Keempat, aspek kepedulian. Aspek kepedulian ini sangat penting sebagai hasil dari tempaan pendidikan. Pendidikan harus kemudian memupuk kepedulian terhadap realitas sosial. Kelanjutan dari gagasan Freire, bahwa pendidikan bukanlah sesuatu yang netral dan bebas nilai, pendidikan harus berpihak. Sedangkan keberpihakan harus ditimbulkan melalui kepedulian.

Melihat realitas sosial kita yang timpang, kita harus menjadi peduli untuk mencoba mengubahnya. Sehingga, dalam praktiknya, pendidik harus menjadikan aspek kepedulian sebagai salahsatu fokus garapan. Tan Malaka mengingatkan kita bahwa sebagai seorang yang terdidik, kita harus mau melebur bersama rakyat miskin, untuk mengurangi ketimpangan sosial yang ada, jika tidak, maka pendidikan itu tidak pantas untuk dirinya.

Ketimpangan kondisi sosial di Indonesia bukan sesuatu yang bisa diabaikan. Lulusan-lulusan instansi pendidikan harus kemudian berakselerasi dalam mengurangi ketimpangan sosial yang ada disekitarnya. Mereka tidak boleh menjadi lulusan yang seperti ditakutkan Romo Mangun, dimana mereka kaum sekolah akan menjadi penindas-penindas baru dengan kepintaran mereka. Atau dalam konteks budaya jawa, “minteri” rakyat dengan kepintarannya.

Kita harus segera move on dari ketidakpedulian sosial. Sudah cukup para pejabat di era sekarang yang hanya peduli pada diri sendiri dan familinya. Sudah cukup perilaku koruptif dipertontonkan. Pendidikan merupakan jalan efektif memupuk kepedulian generasi kita, bahwa masih banyak kaum tertindas yang perlu diperjuangkan! Bahwa masih panjang perjuangan bangsa kita untuk menjadi bangsa yang bermartabat dan sejahtera!

Menilik keempat aspek diatas. Agaknya kita memang harus sekuat tenaga berjuang untuk terus berjuang memperbaiki pendidikan kita bersama-sama. Karena bagi saya, pendidikan adalah jalan efektif yang dapat digunakan sebagai alat penyadaran bersama, baik melalui pendidikan formal, informal, maupun non-formal. Dengan pendidikan yang baik, saya berkeyakinan bahwa Indonesia akan mampu mencapai cita-cita kemerdekaannya.

Ditahun 2020-2030, Indonesia akan mendapatkan bonus demografi, dimana angka usia produktif mencapai angka 70%. Angka ini bagai dua sisi mata uang, bisa menjadi berkah, bisa juga menjadi bencana. Berkah dalam artian tingginya usia produktif diiringi dengan kualitas SDM mumpuni yang mampu mengisi ruang-ruang produktif dalam berbangsa dan bernegara. Bencana dalam artian tingginya usia produktif tidak diiringi dengan kualitas SDM yang baik yang tidak mampu bersaing di era global. Instansi pendidikan merupakan instrumen utama yang seharusnya mampu mengelola bonus demografi ini menjadi sebuah berkah bagia kemajuan bangsa.
“Memayu Hayuning Sariro, Memayu Hayuning Bangsa, Memayu hayuning Bawana, (Apapun Yang Di Perbuat Oleh Seseorang Itu, Hendaknya Dapat Bermanfaat Bagi Dirinya Sendiri, Bermanfaat Bagi Bangsanya, Dan Bermanfaat Bagi Manusia Di Dunia Pada Umumnya)”
 – Ki Hajar Dewantara
Selamat Ulang Tahun Ki Hajar Dewantara!
Mari berbenah untuk pendidikan kita!
Arjuno, 02/05/2017
22.45