Setiap pulang kampung ke Malang, saya pasti menyempatkan untuk selalu bersilaturahmi ke rumah beberapa sahabat saat kuliah dulu, khususnya satu konco kentel yang rumahnya tak begitu jauh ke rumah mertua saya, Fikri. Obrolan akrab menghiasi perjumpaan saya dengannya. Termasuk menyoal hidup dan kehidupan yang kita jalani saat ini.
Dalam satu topik, kami berbicara tentang beberapa kawan yang dianggap memiliki karir yang “lebih sukses”, kawan yang dianggap lebih bisa menikmati hidup, dan lain-lain. Semakin dalam obrolan, kami bicara semakin sok bijak, “Wes wes, pokok ngene lho, ancen urip iku sawang sinawang, kene ndelok urip e konco seng ketok luweh sukses, durung tentu arek e ngeroso luweh sukses, sopo ngerti seng mbok arani sukses iku malah ngeroso urip e kene iki seng luweh bahagia, fokus ae nang urip e dewe, ngelakoni seng isok dilakoni, nikmati seng mbok nduweni, ojok ndelok seng nduwur2, maleh stress dewe ngko, hahaha.”.
Sepenggal obrolan kami menyoroti apa yang dipahami untuk bagaimana menikmati hidup. Bahwa dalam menjalani hidup, kita jangan terlalu melihat kehidupan yang dijalani orang lain, menganggap dan mempersepsikan diri bahwa mereka yang kita anggap lebih sukses itu lebih bahagia dari kita, atau sederhananya, rumput tetangga lebih hijau. Siapa tau kehidupan yang seringkali kita keluhkan ini adalah kehidupan yang mereka harapkan. Maka dalam pepatah jawa ada yang disebut, “Urip iku mung sawang sinawang”, atau dalam bahasa yang sederhana, hidup itu tak lebih dari sekedar permainan persepsi dan cara pandang.Melihat apa yang disebut “kesuksesan” orang lain dan membandingkannya dengan pencapaian kita sah sah saja. Namun, jika tak pandai mempersepsikannya, maka yang terjadi adalah negative effect, seperti rasa iri, dengki, stress, menyalahkan kondisi kehidupan hingga menganggap Tuhan tak adil kepada kita. Sayangnya, impact dari “nyawang lan mbanding-mbandingke urip” ini seringkali dominan mengarah kepada efek negatif terhadap mental kita.
Terlebih, kita hidup di zaman keterbukaan informasi, dimana setiap hari kebanyakan dari kita menghabiskan waktu untuk melihat feed instagram dan status whatsapp orang lain yang “menunjukkan kesuksesannya”. Si A di umur sangat muda bisa menghasilkan 1M pertamanya, si B bisa bertengger di posisi-posisi penting dalam pekerjaannya, si C dianggap sudah mencapai financial freedom dan sering plesiran ke banyak negara, dan seterusnya. Dari situ, kita terkadang merasa, “Kenapa dia bisa begitu, sedangkan saya begini-begini aja, padahal kita sama-sama bekerja keras, padahal kita sama-sama pintar, sama-sama makan nasi, sama-sama berupa manusia “ahsan taqwim”.
Melihat fenomena ini, pada dasarnya, pembelajaran hidup di pesantren bisa dibilang bisa memitigasi bagaimana cara untuk keluar dari permainan persepsi itu agar selamat. Nilai-nilai akhlak dalam islam banyak menjelaskan bagaimana kita harus bisa menginternalisasikan rasa syukur kedalam diri kita agar tak mudah terombang ambing. Sifat qonaah, tawakkal, menerima qodlo dan qodar adalah rentetan teori yang diajarkan untuk menjinakkan rasa kesal kita dalam menangani “ketidakbahagiaan”. Misal, dawuh syaikh Ibnu Athoillah dalam kitab hikam, “Liyaqilla ma tafrohu bihi, yaqilla ma tahzanu alaihi”, Standar kebahagiaan itu jangan tinggi-tinggi, agar kekecewaannya juga gak tinggi-tinggi. Meski secara teori anggaplah sudah mapan, memang dalam prakteknya, perlu belajar yang lebih atas apa yang disebut dengan rasa “nriman” ini.
Beberapa hari yang lalu, saya tak sengaja mendengarkan podcast buku kutu melalui youtube saat perjalanan dinas. Peresensi pada saat mengulas buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring, yang menjelaskan mengenai Filosofi Stoa. Mendengar aliran filsafat ini, membuat saya penasaran untuk menggali lebih lanjut, membuka tulisan demi tulisan di internet, video demi video di youtube yang menjelaskan tentang filosofi stoa ini. Memahami filsafat ini rasa-rasanya kok cukup banyak hal yang relate dengan berbagai keputusan yang saya ambil dalam hidup, juga dengan beberapa sikap saya dalam menghadapi beberapa persoalan.
Dari sinilah saya baru ngeuh bahwa beberapa prinsip decision making dalam hidup saya ini beriringan dengan apa yang disebut filosofi stoa. Bahwa dalam hidup ini ada yang disebut dikotomi kendali, yakni ada hal-hal yang bersifat internal yang berada dalam kendali kita, ada juga yang bersifat eksternal di luar kendali kita. Nah, agar hidup kita lebih bahagia, pilihan terbaiknya adalah memfokuskan diri untuk menggantungkan kebahagiaan kita pada kendali internal. Jika kita menyandarkan kebahagiaan pada sesuatu yang di luar kendali kita, kecemasan, stress hingga depresi akan terus menghantui kita hingga kita tak pernah merasa bahagia. Intinya, dalam hidup kita, kita jangan terlalu menaruh ekspektasi yang terlalu tinggi, agar saat ekspektasi tidak senada dengan realitanya, kita tak terlalu kecewa akan itu. Ini selaras juga dengan konsep kebahagiaan yang diajarkan dalam kitab hikam yang sudah saya sebutkan diatas.
Saat kuliah dahulu, atau bahkan sejak kecil, kita selalu diajarkan untuk menjadi seorang yang harus bekerja keras, tak kenal lelah meraih mimpi, ambisius demi meraih kesuksesan-kesuksesan. Ide-ide besar untuk merubah dunia diajarkan, mencoba memposisikan diri sebagai poros perubahan untuk dunia yang lebih baik, menjadi orang yang dalam setiap gerak langkahnya harus memberikan impact yang signifikan dalam masyarakat, dan segenap teori besar lainnya. Ndilalah, kita malah terjebak dalam peran yang sama sekali tak strategis macam menjadi “figuran” dalam suatu film. Peran kita sama sekali tak signifikan, kita tak sebesar apa yang kita kira. Kondisi ini sangat kontras, terlebih beberapa teman kita misal punya karir dan pekerjaan yang lebih cemerlang. Jika tak memahami treatment mental yang tepat, maka distraksi itu akan cukup mengganggu mentalitas kita.
Saya setuju dengan Fery Irwandi bahwa stoikisme ini bisa menjadi obat mental yang ampuh di era keterbukaan informasi ini. Seperti yang diulas pada Homo Deus-nya Yuval Noah Harari, bahwa saat ini manusia rata-rata sudah lepas dari problem kelaparan, wabah dan perang. Tapi akhir-akhir ini, dibanyak negara, angka bunuh diri cukup tinggi dan diindikasikan bukan karena mereka tak berkecukupan, kemungkinan mereka memiliki tekanan batin, tidak bahagia karena terlalu ambisius, kurang mengapresiasi pencapaiannya sendiri, bahkan terlalu besar mengharap validasi orang lain. Ada kutipan menarik dari Salah satu imam besar kaum Stoa, Syeikh Seneca, “Kita lebih sering takut daripada terluka, dan kita lebih menderita dalam imajinasi daripada dalam kenyataan.”, begitulah adanya manusia.
Prinsip “Sawang sinawang” bisa dianggap tahap identifikasi/skrining awal dalam melihat realitas, sedangkan stoikisme mengekstraksi dan mempartisi antara kendali internal dan eksternal. Kedua filosofi ini saling melengkapi, sehingga menjadi instrumen yang baik dalam mengatasi kekhawatiran berlebihan dalam hidup. Maaf, saya tahu yang bahwa dalam alQur’an,ketenangan hidup bisa didapatkan dengan berdzikir dan mengingat Allah. Nah, dzikir ini jika tarik spektrum luasnya, salah satu rentang gelombangnya bisa didapat melalui implementasi stoikisme. Melalui filosofi ini, dzikir lisan maupun hati jika dibarengi dengan perenungan-perenungan rasional akan hal-hal baik dan positif, akan membuat kita semakin yakian akan keagungan Tuhan, bahwa Tuhan telah mendesain kehidupan ini dengan keselerasan dan keseimbangan, atau yang biasa kita sebut dengan sunnatullah.
Saya masih sangat awam juga terkait stoikisme ini. Masih banyak yang perlu dipelajari. Mendengar ngaji Dr. Fahrudin Faiz dan lebih lanjut membaca (membeli) buku Filosofi Teras dan buku lainnya yang terkait dengan Stoa ini. Sejauh yang saya ketahui tentang filosofi ini, karena memang secara prinsip filsafat ini sangat islami dengan beberapa aspek selaras terhadap pembelajaran sufistik di pesantren, bisa dibilang saya sudah melakukannya. Untuk saat ini, setidaknya ada istilah keren untuk apa yang saya amalkan, Saya adalah seorang Stoik, hahaha. Oke, saya tutup dengan dawuh Sayyidina Ali Kw, “Jika ada kata-kata yang menyakitimu, menunduklah dan biarkanlah ia berlalu, agar hatimu tak merasa lelah.”.
Wallahu a’lam