Di era yang serba digital ini, ilmu sudah bukan menjadi barang langka. Kita bisa dengan mudah search di google untuk apapun yang ingin kita ketahui. Terlebih, fitur artificial intelegence (AI) macam chatgpt yang luar biasa canggih. Meski tak sepenuhnya akurat, ia bisa menjadi alat bantu yang baik untuk pengetahuan.
Saya adalah bagian dari pengguna yang merasa terbantu dengan kehadiran teknologi yang semakin berkembang. Dengan prompt atau keywords yang tepat, apapun yang kita ingin kita tanyakan akan dijawab oleh teknologi, entah melalui google, chatgpt, youtube, fyp tiktok, dll. Algoritma mengaturnya secara epik.
Jika ada yang bilang kepada saya, “Jangan belajar dari google, youtube, dsj karena belajar itu harus ada gurunya, belajar dengan google akan menyebabkan kita digurui oleh setan, kita akan tersesat.”. Saya tak sepenuhnya setuju dengan pernyataan ini. Disatu sisi ada benarnya, namun dengan panduan dan cara penggunaan yang tepat, teknologi informasi adalah alat bantu yang luar biasa. Tak semerta-merta kita belajar ke setan. Asal kita paham, informasi yang diunggah ke internet banyak mengandung kebenaran, tergantung dari bagaimana kita menverifikasi, memvalidasi dan memprofiling sumbernya, dan tentu saja jangan menjadikannya sebagai rujukan primer. Jika anda menjadikan info di grup WA keluarga sebagai rujukan utama, falyatabawwa’ maq’adahu minannar, hahaha.
Dibalik kemudahan-kemudahan mengakses ilmu pengetahuan, ada aspek negatif yang lebih saya khawatirkan daripada mengenai sumber kredibel yang diperdebatkan, yaitu tentang atensi manusia terhadap ilmu pengetahuan dan pendidikan di generasi mendatang. Saya melihat, generasi saat ini, paling tidak di circle pergaulan saya sehari-hari, terdapat indikasi dimana mereka seperti tidak lagi menghargai ilmu pengetahuan, bahkan cenderung meremehkan.
Saking mudahnya sehari-hari kita mengakses sumber pengetahuan, kita seolah-olah meremehkan proses belajar yang harus ditempuh. Kita cenderung menggampangkan segala hal. Semuanya hanya tinggal browsing dan ketemulah jawabannya. Contoh pertama, di suatu kelas mahasiswa saya, ada sesi presentasi, sudah mah makalah dan ppt dibuat dengan asal-asalan tanpa rujukan buku-buku dan sumber yang baik karena hasil chatgpt atau downloadan scribd, saat tanya jawab, mereka mendadak browsing jawabannya saat kelas berlangsung lalu membacakannya tanpa pemahaman. Saya rasa ini adalah salah satu sikap yang mendegradasi marwah keilmuan.
Contoh kedua, saat mengobrol dengan seseorang, saya cukup kesal jika ditanya adakah perkuliahan (S1 atau S2) yang tidak perlu masuk kelas, tidak perlu skripsi, tinggal menunggu dan langsung lulus dapat ijazah? Toh, semua yang diajarkan di kuliah sudah ada di internet. Ini adalah pertanyaan yang cukup sering ditanyakan kepada saya oleh sebagian orang. Kita tau bahwa pendidikan di Indonesia memang punya segudang persoalan kronis. Tapi jangan kita perparah dengan kita ikut serta dengan praktek demikian. Memang, seperti dalam teori ekonomi, supply praktek jual beli gelar itu ada akibat dari adanya demand di masyarakat. Namun, kita harus hentikan ini paling tidak dimulai dari diri kita sendiri.
Gelar bagi saya juga memang tak penting. Tak penting dari sisi penyebutan oleh orang lain atau bangga-banggaan. Namun jika untuk diri kita sendiri, kita yang menyandang gelar ini harus punya refleksi mendalam pada diri kita masing-masing. Sudahkan kita menguasai keilmuan sesuai dengan tuntutan gelar yang kita miliki? Kita punya tanggungjawab moral untuk terus memantaskan diri kita memiliki gelar tersebut. Memiliki gelar akademik berarti menginformasikan kepada masyarakat bahwa kita punya kompetensi dalam bidang tersebut. Jika kita ternyata tak punya kompetensinya, bukankah kita dzolim dan tak menghargai pendidikan?
Contoh ketiga, joki skripsi. Contoh keempat, Gaji honorer. Contoh kelima, keenam, dan masih banyak lagi. Persoalan pendidikan di Indonesia memang multi multi. Tentu saja tak bisa kita selesaikan sendiri. Selemah-lemahnya usaha, paling tidak jangan biarkan kita ikut-ikutan menjadi pihak yang meremehkan ilmu dan pendidikan, dengan tidak menggampang-gampangkan.
Saya tau di era teknologi informasi ini semua serba gampang. Mari jadikan kemajuan teknologi dan kemudahan yang diberikannya ini sebagai media bagi kita untuk terus berkembang. Bukan kemudian kita bersembunyi dibalik kemajuan teknologi dan menyombongkan diri, padahal kita kosong dan tak berisi. Menggampangkan adalah sifat sombong terhadap ilmu. Bukankah Syekh Azzarnuji dalam Ta’limul Muta’allim mensyaratkan bahwa salah satu cara mengagungkan ilmu adalah dengan cara menghindari kita bersikap sombong terhadap ilmu?
Wallahu a’lam.