Organisasi mahasiswa, organisasi kemasyarakatan, LSM dan sejenisnya kebanyakan adalah organisasi non-profit, alias tidak berorientasi pada keuntungan materiil. Kerja-kerja organisasi tersebut biasanya didanai oleh swadaya atau iuran anggota, sumbangan dari loyalis atau simpatisan, hingga pengajuan proposal pada instansi tertentu. Terminologi wajib dalam sumbang menyumbang di organisasi ini adalah “Halal dan Tidak Mengikat”.

Sialnya, iuran anggota tak selalu efektif. Banyak anggota enggan menyumbang karena berbagai faktor, entah memang kurang percaya pada pengurus organisasi, atau memang kere. Sumbangan dari simpatisan, ini paling menarik, sayangnya zaman sekarang orang tak lagi seideologis dulu, loyalis yang militan menjadi semakin berkurang. Proposal? Selain pengurus organisasi wajib bermuka tebal, biasanya mengandung klausul-klausul. Jika ada klausul, tentu itu melanggar term “Tidak Mengikat”, hehe. Selain itu, tentu ada segudang alasan yang akhirnya berkesimpulan bahwa mencari dana untuk menghidupi organisasi bukan hal yang mudah.

Saat aktivitas organisasi terkendala operasional, muncullah berbagai macam ide, seperti mendirikan badan usaha milik organisasi, atau usaha kecil-kecilan, tiada lain tiada bukan adalah untuk membiayai kegiatan-kegiatan organisasi. Dicetuskanlah dalam rapat kerja atau sejenisnya, program kerja kewirausahaan, dengan semangat kemandirian ekonomi organisasi, agar tidak bergantung pada proposal, jamaah atau loyalis, bahkan iuran pengurus.

Lagi-lagi, sayangnya, tak banyak wirausaha organisasi itu yang bisa berhasil, bertumbuh dan berkembang. Paling baik ya stagnan, buruknya, lebih banyak yang “laa yamutu walaa yahya”. Kegagalan ini juga banyak faktor, namun ada dua penyebab kegagalan yang menurut saya cukup fundamental. Pertama, Kepemilikan usaha dan hilangnya semangat. Usaha itu milik organisasi, sehingga pengurus organisasi itu enggan totalitas untuk pengembangannya karena itu bukan miliknya, meski jika ditarik secara ideologis, harusnya dengan keyakinannya itu kita mau totalitas, tapi misal melihat rekan sesama pengurus yang tidak punya semangat yang sama, akhirnya semangat kita pun ikut luntur.

Mengapa tak punya semangat? Tentu karena profitnya tak 100% mengalir untuk dirinya, sekian persen harus direlakan untuk organisasi. Selain itu, tentu ia pun punya usaha sendiri yang butuh perhatian lebih, karena itu adalah jantung perekonomian keluarga, sehingga usaha organisasi ala kadarnya saja.

Kedua, Penyelewengan. Katakanlah poin pertama itu tidak ada, usaha organisasi maju dan berkembang. Ada tangan-tangan iseng yang mencoba bermain-main dengan uang organisasi. Meski awalnya karena kepepet kebutuhan, pinjem bentar misal, lama-lama keenakan dan terjadilah penyelewengan. Penyelewengan ini macam-macam bentuknya, ada korupsi, ada juga yang cuma gak mbayar, dan ini banyak.

Misal, sebuah organisasi memutuskan untuk berjualan kaos atau merchandise. Kemudian ada beberapa anggota bahkan pengurus organisasi memesan, setelah beres, mereka ambil kaosnya, tapi tak mau membayar dengan seribu alasan. Masak ada yang begitu? Banyak, hahaha. Ada yang merasa begitu disini?

Dengan adanya fakta-fakta demikian, saat ada proker wirausaha dicanangkan kepengurusan organisasi, saya lebih sering skeptis dan optimis jika proker itu akan gagal, hahaha. Paling tidak dengan model peristiwa diatas, entah hilang ghiroh atau adanya penyelewengan.

Lalu bagaimana baiknya organisasi agar punya kemandirian? Saya pun belum punya pengalaman yang memuaskan, tentu ada yang berhasil, tapi tak sampai sesuai harapan. Apakah saya akan terus pesimis? Tentu tidak. Saya menulis ini karena saya ingin tercerahkan, siapa tau ada yang membaca tulisan ini, lalu menginformasikan ke saya beberapa contoh wirausaha organisasi yang berhasil dan berkelanjutan. 

Jika harus dicari teladan wirausaha organisasi, saya bisa sebut organisasi Persyarikatan Muhammadiyah. Melalui amal usahanya, Muhammadiyah terlihat mampu menjalankan aktivitas organisasinya dengan pendanaan mandiri. Tak terhitung sekolah dan kampus yang terkelola secara profesional, profit dan tentu berdampak. Tentu saya melihat Muhammadiyah dari sudut pandang orang luar, saya belum paham dalam-dalamnya, seperti kata pepatah, rumput tetangga biasanya terlihat lebih hijau. Aslinya saya tidak tahu, bisa saja terdapat penyelewengan atau hilangnya ghiroh, sama seperti organisasi lainnya. Tapi sejauh pengamatan saya, saya melihat Muhammadiyah adalah teladan kemandirian ekonomi organisasi. Ya, tentu saja saya bisa salah menyimpulkan, mungkin saya kurang membaca atau ngopinya kurang jauh dengan sahabat-sahabat di Muhammadiyah.

Wallahu a’lam.