Cheminsight : Membangun Ikatan Kovalen atau Hidrogen?

Cheminsight : Membangun Ikatan Kovalen atau Hidrogen?

Dulu saya belajar ilmu nahwu di pesantren. Kyai saya menjelaskan, dibalik ilmu gramatika bahasa Arab yang diajarkan, bait demi bait alfiyah ibn malik punya nilai filosofis yang mendalam. Sebagai contoh, ada bait alfiyah berikut.

ولا يجوز الإبتدا بالنكرة # مالم تفد كعند زيد نمرة

Bait ini secara nahwu menjelaskan bahwa kita tidak boleh menjadikan isim nakiroh sebagai mubtada, kecuali jika ia dapat memberikan makna, seperti lafadz, Inda Zaidin Namiroh. Hukum awalnya, mubtada harus dibuat dari isim ma’rifat.

Begitupun kita dalam memilih pemimpin atau memberikan amanah kepada orang, pilihlah orang yang benar-benar ma’rifat alias berpengetahuan luas dan beridentitas. Tidak boleh memilih orang yang tidak jelas asal usulnya, tidak jelas rekam jejaknya, pengetahuannya, kapabilitasnya, dll. The right man in the right place, jangan karena ia berjasa untuk kita, kita beri ia jabatan, padahal dia tidak punya kapasitas di bidang itu. Begitu kira-kira.

Tampaknya, Kimia, ilmu yang menjadi bagian dari hidup saya saat ini juga memiliki banyak nilai filosofis yang menarik untuk dibahas.

Salah satu yang dipelajari dalam ilmu kimia adalah ikatan kimia. Ikatan kimia ini terbagi dalam beberapa macam, ada ikatan intramolekuler dan ikatan intermolekuler. Intramolekuler ada ikatan kovalen, kovalen koordinasi dan ionik. Sedangkan ikatan intermolekuler ada ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, van der waals, dipol-dipol, dll.

Ikatan intermolekuler lebih akrab disebut interaksi/gaya antar molekul, karena meski sejenis ikatan, kekuatan ikatannya lebih rendah daripada ikatan intramolekul macam kovalen.

Kovalen dengan kekuatan ikatan mencapai 40-140 kkal/mol menyebabkan ikatannya sulit diputus dan membuat sifat ikatannya irreversible. Sederhananya, ia tidak bisa putus nyambung putus nyambung selabil pacaran anak ABG, hehe. Ia macam ikatan pernikahan yang penuh komitmen dan perjuangan, widiiih.

Berbeda dengan kovalen, ikatan ionik hingga interaksi intermolekul cenderung lemah, kira-kira kekuatannya hanya dalam rentang 1-5 kkal/mol saja yang menyebabkan ia seperti plin plan, sekarang putus, besok nyambung lagi, putus lagi, nyambung lagi. Begitu terus sampe Indonesia bebas korupsi, upsss.

Dalam kajian interaksi obat dan reseptor dalam tubuh kita, ternyata ikatan kimia ini punya peran yang penting, karena ternyata interaksi molekul obat terhadap protein dalam tubuh kita prinsipnya didasarkan pada ikatan kimia.

Jika salah satu ikatan jenisnya ikatan ionik atau ikatan hidrogen misalkan, maka interaksi keduanya reversible. Jika yang dihasilkan adalah ikatan kovalen, maka yang terjadi adalah irreversible.

Alih alih ikatan irreversible, ternyata ikatan yang lebih menguntungkan adalah ikatan reversible. Karena ikatan irreversible menyebabkan interaksi obat-reseptor terlalu lama terjadi dan dapat menyebabkan terjadinya toksisitas terhadap tubuh. Sedangkan yang reversible, waktu interaksinya terbatas sehingga setelah menimbulkan respon biologis, interaksi akan terlepas dan molekul obat kemudian akan dimetabolisme lebih lanjut untuk dieksresikan.

Dari fakta ini kita dapat mengambil satu pelajaran bahwa  dalam kehidupan kita tidak boleh terlalu mengikat dan menggantungkan kebahagiaan dan harapan terhadap manusia lain, mencintai secara proporsional, juga jika ada yang kita benci atau tidak sukai, bencilah secara proporsional.

Saya jadi teringat hadits Nabi SAW berikut.

أحبب حبيبك هونا ما عسى أن يكون بغيضك يوما ما، وأبغض بغيضك هونا ما عسى أن يكون حبيبك يوما ما

“Cintailah kekasihmu yang sedang-sedang saja, siapa tahu suatu hari nanti dia akan jadi orang yang kamu benci. Bencilah orang yang kamu benci yang sedang-sedang saja, siapa tahu suatu hari nanti dia akan menjadi orang yang kamu cintai.”

Yah, jadi jika kita menjalin suatu hubungan, ikatan cintanya kira-kira sampe 5 kkal/mol aja seperti ikatan ionik atau hidrogen, agar ketika ia pergi meninggalkan kita, kita masih bisa move on. Janganlah bucin terlalu bucin, bucin itu toksik, hahaha. Cukuplah ikatan kovalen kita hanya dengan Gusti Allah, karena yakin Allah tidak akan pernah meninggalkan kita selaku hamba-Nya.

Seperti dawuh Sayidina Ali KW, “Aku pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup. Namun, tiada hal yang lebih pahit selain berharap kepada manusia.”.

Wallahu a’lam.

Cheminsight: Belajar Seni Berbagi dari Nukleofil

Cheminsight: Belajar Seni Berbagi dari Nukleofil

Saat berhadapan dengan penguji dalam suatu wawancara, ada pertanyaan unik nan menarik dari salah seorang penguji. “Coba jelaskan nilai-nilai kimia yang relevan dalam tasawuf”. Seketika otak saya dituntut untuk berpikir cepat untuk mencari bahan jawaban. Seketika saya teringat akan peran nukleofil, suatu spesi kimia yang kaya elektron, yang secara sukarela memberikan elektronnya untuk berikatan dengan spesi yang kekurangan elektron dalam suatu mekanisme reaksi substitusi nukelofilik.

Akhirnya saya jelaskanlah relevansinya, bahwa dalam hidup, kita sebagai seorang yang punya kelebihan, baik berupa ilmu, harta, tenaga, dan aspek lain harus punya kepedulian untuk membantu mereka yang membutuhkan dan kekurangan. Seperti halnya nukleofil, yang rela berbagi elektronnya kepada substrat yang membutuhkan, memberikan dukungan yang berarti. Bahkan, nukleofil ini mendonorkan elektronnya seraya mengajak substrat untuk berikatan dengannya dan  melepaskan belenggu ikatan sebelumnya yang tak memberikan kestabilan yang selayaknya.

Begitulah terkadang, dalam berbagi, ada yang memang benar-benar kekurangan, seperti karbokation, atau yang dia kekurangan, namun tak benar-benar memahami bahwa ia sebenarnya butuh uluran tangan, seperti spesi parsial positif.

Karena saya adalah seorang dosen dan guru, maka dimensi berbagi saya lebih banyak pada berbagi ilmu pengetahuan. Di kampus kepada mahasiswa dan di pesantren kepada para santri. Seringkali kita temukan di kelas, ada mahasiswa atau santri yang memang ia menunjukkan dirinya perlu perhatian lebih untuk memahami materi, sehingga tentu saja itu perlu kita beri tambahan pemahaman materi. Saya kira mendekati dan memahamkan jenis mahasiswa begini lebih mudah. Ibarat karbokation, secara dzohir ia memang butuh diberi elektron untuk berikatan, artinya mahasiswa tersebut perlu bonding lebih dengan kita dalam pembelajaran.

Adalagi jenis mahasiswa yang ia tidak menunjukkan atau mungkin tidak tahu bahwa ia butuh perhatian lebih dalam pemahaman materi, tetapi sebenarnya ia membutuhkannya. Satu kesamaan dari keduanya adalah mereka sama-sama membutuhkan perhatian dalam pembelajaran. Namun tentu saja yang kedua ini tantangannya lebih berat bagi seorang dosen, ibarat spesi karboh parsial positif, meminjam istilah imam algazali, ini tergolong pada kelompok “rojulun la yadri wa la yadri annahu yadri”, begitu kira-kira.

Nukleofil dalam hal ini, ia menyiapkan dua mekanisme dalam membantu kedua jenis spesi berbeda ini, yaitu dengan mekanisme SN1 dan SN2. SN1 untuk mahasiswa tipe 1 dan SN2 untuk mahasiswa tipe 2. Dari kedua mekanisme ini, anggaplah kita seorang nukleofil, kita sebagai dosen perlu menyiapkan mekanisme pembelajaran yang adaptif untuk kedua jenis mahasiswa ini, sehingga goals nya sama. Mereka dapat kita bantu meningkatkan pemahamannya dalam ilmu pengetahuan.

Saya percaya bahwa berbagi itu ada seninya, perlu strategi khusus dalam berbagi, dan ini tidak hanya berlaku pada dunia pendidikan seperti diatas. Contoh lainnya adalah dalam realitas perekonomian masyarakat Indonesia. Jikalah pemerintah ini ibarat nukleofil yang punya segudang kekuasaan untuk mensejahterakan kita, maka pemerintah sudah seharusnya memperhatikan dua tipe substrat yang harus ia bantu. Ibaratnya, spesi karbokation adalah masyarakat kelas bawah, mereka memang perlu dan harus dibantu secara ekonomi dengan mekanisme tertentu.

Disamping itu, pemerintah juga harus perhatikan juga substrat lainnya, yaitu si parsial positif tadi, atau mereka yang ada di kelas menengah. Kelas menengah ini seolah-olah tidak butuh bantuan, namun sebenarnya mereka sangat memerlukan bantuan, sepakat kan ya? Nah, pemerintah ini juga harus menyiapkan mekanisme untuk memberikan bantuan elektronnya kepada kelas menengah untuk lebih berdaya. Ini yang saya maksud berbagi itu perlu kecerdasan dan kejelian.

Yah, mungkin ada yang berekspektasi saya akan membahasnya dengan makna sufistik “mainstream” dari cerita nukleofil, tapi pada akhirnya adalah aspek ekonomi juga yang dibahas, hehehe. Meski anggapan umum tasawuf itu dimensinya endogen, tapi sebetulnya ada dimensi sosial eksogen dari tasawuf. Bagi saya, tasawuf sudah tak bisa dipahami sebagai pengasingan diri dari hal-hal duniawi. Jikalau tasawuf ini berakar dari dimensi ihsan, maka sebagai pelaku tasawuf, kita harus mampu menunjukkan keihsanan kita dalam kehidupan sosial kita.

Saya teringat definisi ihsan “an ta’budallaha kannaka tarohu, fain lam takun tarohu fainnahu yaroka, beribadah seolah-olah kita melihat-Nya. Kalu tidak begitu, beribadahlah dengan meyakini bahwa Allah melihat kita.”. Kalo memahami ihsan dari definisi tersebut, ihsan berkaitan dengan ibadah, dimana jenis ibadah yang kita lakukan tentu saja tak hanya ibadah personal, ada juga ibadah sosial yang mengisi relung-relung kemasyarakat.

Maka, tasawuf zaman sekarang harus dipahami lebih luas, harus berangkat dari dimensi pribadi ke dimensi sosial, dari endogen ke eksogen. Peduli pada berbagai isu, seperti climate change, pangan, perkembangan AI, ekonomi global dan regional, termasuk PPN 12%, hehehe. Jadi seorang sufi zaman now haram bersikap asosial, wkwkwk.

Kembali ke bahasan semangat berbagi, mari kita belajar berbagi pada nukleofil, dimana berbagi butuh strategi dan seni, tidak bisa monoton dan asal-asalan. Wallahu a’lam.

Selamat Tahun Baru Masehi 2025