Saat berhadapan dengan penguji dalam suatu wawancara, ada pertanyaan unik nan menarik dari salah seorang penguji. “Coba jelaskan nilai-nilai kimia yang relevan dalam tasawuf”. Seketika otak saya dituntut untuk berpikir cepat untuk mencari bahan jawaban. Seketika saya teringat akan peran nukleofil, suatu spesi kimia yang kaya elektron, yang secara sukarela memberikan elektronnya untuk berikatan dengan spesi yang kekurangan elektron dalam suatu mekanisme reaksi substitusi nukelofilik.
Akhirnya saya jelaskanlah relevansinya, bahwa dalam hidup, kita sebagai seorang yang punya kelebihan, baik berupa ilmu, harta, tenaga, dan aspek lain harus punya kepedulian untuk membantu mereka yang membutuhkan dan kekurangan. Seperti halnya nukleofil, yang rela berbagi elektronnya kepada substrat yang membutuhkan, memberikan dukungan yang berarti. Bahkan, nukleofil ini mendonorkan elektronnya seraya mengajak substrat untuk berikatan dengannya dan melepaskan belenggu ikatan sebelumnya yang tak memberikan kestabilan yang selayaknya.
Begitulah terkadang, dalam berbagi, ada yang memang benar-benar kekurangan, seperti karbokation, atau yang dia kekurangan, namun tak benar-benar memahami bahwa ia sebenarnya butuh uluran tangan, seperti spesi parsial positif.
Karena saya adalah seorang dosen dan guru, maka dimensi berbagi saya lebih banyak pada berbagi ilmu pengetahuan. Di kampus kepada mahasiswa dan di pesantren kepada para santri. Seringkali kita temukan di kelas, ada mahasiswa atau santri yang memang ia menunjukkan dirinya perlu perhatian lebih untuk memahami materi, sehingga tentu saja itu perlu kita beri tambahan pemahaman materi. Saya kira mendekati dan memahamkan jenis mahasiswa begini lebih mudah. Ibarat karbokation, secara dzohir ia memang butuh diberi elektron untuk berikatan, artinya mahasiswa tersebut perlu bonding lebih dengan kita dalam pembelajaran.
Adalagi jenis mahasiswa yang ia tidak menunjukkan atau mungkin tidak tahu bahwa ia butuh perhatian lebih dalam pemahaman materi, tetapi sebenarnya ia membutuhkannya. Satu kesamaan dari keduanya adalah mereka sama-sama membutuhkan perhatian dalam pembelajaran. Namun tentu saja yang kedua ini tantangannya lebih berat bagi seorang dosen, ibarat spesi karboh parsial positif, meminjam istilah imam algazali, ini tergolong pada kelompok “rojulun la yadri wa la yadri annahu yadri”, begitu kira-kira.
Nukleofil dalam hal ini, ia menyiapkan dua mekanisme dalam membantu kedua jenis spesi berbeda ini, yaitu dengan mekanisme SN1 dan SN2. SN1 untuk mahasiswa tipe 1 dan SN2 untuk mahasiswa tipe 2. Dari kedua mekanisme ini, anggaplah kita seorang nukleofil, kita sebagai dosen perlu menyiapkan mekanisme pembelajaran yang adaptif untuk kedua jenis mahasiswa ini, sehingga goals nya sama. Mereka dapat kita bantu meningkatkan pemahamannya dalam ilmu pengetahuan.
Saya percaya bahwa berbagi itu ada seninya, perlu strategi khusus dalam berbagi, dan ini tidak hanya berlaku pada dunia pendidikan seperti diatas. Contoh lainnya adalah dalam realitas perekonomian masyarakat Indonesia. Jikalah pemerintah ini ibarat nukleofil yang punya segudang kekuasaan untuk mensejahterakan kita, maka pemerintah sudah seharusnya memperhatikan dua tipe substrat yang harus ia bantu. Ibaratnya, spesi karbokation adalah masyarakat kelas bawah, mereka memang perlu dan harus dibantu secara ekonomi dengan mekanisme tertentu.
Disamping itu, pemerintah juga harus perhatikan juga substrat lainnya, yaitu si parsial positif tadi, atau mereka yang ada di kelas menengah. Kelas menengah ini seolah-olah tidak butuh bantuan, namun sebenarnya mereka sangat memerlukan bantuan, sepakat kan ya? Nah, pemerintah ini juga harus menyiapkan mekanisme untuk memberikan bantuan elektronnya kepada kelas menengah untuk lebih berdaya. Ini yang saya maksud berbagi itu perlu kecerdasan dan kejelian.
Yah, mungkin ada yang berekspektasi saya akan membahasnya dengan makna sufistik “mainstream” dari cerita nukleofil, tapi pada akhirnya adalah aspek ekonomi juga yang dibahas, hehehe. Meski anggapan umum tasawuf itu dimensinya endogen, tapi sebetulnya ada dimensi sosial eksogen dari tasawuf. Bagi saya, tasawuf sudah tak bisa dipahami sebagai pengasingan diri dari hal-hal duniawi. Jikalau tasawuf ini berakar dari dimensi ihsan, maka sebagai pelaku tasawuf, kita harus mampu menunjukkan keihsanan kita dalam kehidupan sosial kita.
Saya teringat definisi ihsan “an ta’budallaha kannaka tarohu, fain lam takun tarohu fainnahu yaroka, beribadah seolah-olah kita melihat-Nya. Kalu tidak begitu, beribadahlah dengan meyakini bahwa Allah melihat kita.”. Kalo memahami ihsan dari definisi tersebut, ihsan berkaitan dengan ibadah, dimana jenis ibadah yang kita lakukan tentu saja tak hanya ibadah personal, ada juga ibadah sosial yang mengisi relung-relung kemasyarakat.
Maka, tasawuf zaman sekarang harus dipahami lebih luas, harus berangkat dari dimensi pribadi ke dimensi sosial, dari endogen ke eksogen. Peduli pada berbagai isu, seperti climate change, pangan, perkembangan AI, ekonomi global dan regional, termasuk PPN 12%, hehehe. Jadi seorang sufi zaman now haram bersikap asosial, wkwkwk.
Kembali ke bahasan semangat berbagi, mari kita belajar berbagi pada nukleofil, dimana berbagi butuh strategi dan seni, tidak bisa monoton dan asal-asalan. Wallahu a’lam.
Emosional. Kata itu yang mendeskripsikan wisuda saya kemarin. Memang jika dilihat dari berbagai sisi, studi S2 ini berbeda 360° dengan saat saya menyelesaikan studi S1 dulu. Jika dulu, urusan menyelesaikan S1 ini terbilang saya capai dengan target-target yang santai. Sejak saya masuk Jurusan Kimia di UIN Malang, saya memang realistis saja. Berangkat dari Pesantren yang notabene salaf, dimana urusan sekolah bukan prioritas utama, saya cukup keteteran untuk mengimbangi ritme pembelajaran di Jurusan Kimia. Jelas saja, yang awalnya dipesantren dulu sibuk menghafal jurumiyah hingga alfiyyah dan mengkaji kitab-kitab kuning, saya tiba-tiba harus banting setir menjadi arsitek molekul. Maka memang sejak awal, target saya gak muluk-muluk, tidak akan lulus tepat waktu, melainkan akan lulus di waktu yang tepat, hehe.
Saya menempuh studi S1 selama 10 semester, ngaret setahun dari target umum mahasiswa lain. Selain memang realistis akibat latar belakang saya diatas, saya juga bersyukur bisa memaksimalkan waktunya dengan berkecimpung di organisasi kemahasiswaan, baik di OMIK maupun di OMEK, sehingga soft-skill saya macam public speaking, menulis perjuangan nilai, manajerial dan lain-lain menjadi terasah. Dengan berbagai keriweuhan yang ada saat S1 dulu, jika meminjam istilah Tan Malaka, saya terbentur, terbentur, terbentur, lalu terbentuk. Terimakasih saya ucapkan untuk semua mentor dan rekan organisasi saya. Jadi bagi saya, lulus 10 semester bukan aib, tapi ‘kebanggaan’, hahaha. Saya jadi teringat saat saya masuk perkuliahan pertama kali, saat itu dosen menanyakan satu per satu mengenai alasan masuk Kimia UIN Malang, banyak dari teman-teman saya menjawab ‘kepleset’, sebenernya ingin masuk UB/UM/UNAIR/ITS/DLL, tapi lotrean SNMPTN menunjuknya ke UIN Malang itu, apa boleh buat. Jawaban saya berbeda dari mereka, “Bisa kuliah saja saya bersyukur terlebih di Jurusan Kimia yang di mata teman-teman saya saat MA di pesantren dulu adalah mapel yang menakutkan.”. Begitu.
Saat wisuda S1 dulu, saya merasa tidak perlu ada euforia yang menggebu-gebu. Saya pikir, ya namanya mahasiswa, selama ia tetap ada keinginan dan usaha untuk lulus, kelulusan adalah keniscayaan. Ia akan dilalui. Jadi ya biasa saja. Wisuda hanyalah perayaan atas keniscayaan itu. Begitu pikir saya. Dan saya melakukan apa yang perlu saya lakukan untuk lulus dengan lurus-lurus saja. Seminar Proposal, Ujian Komprehensif, Sidang Skripsi hingga Yudisium saya lalui tanpa emosi yang gimana-gimana gitu. Datar saja.
Tapi saat S2, ternyata pengalamannya berbeda. Saya melanjutkan studi magister kimia di UNPAD Jatinangor. Saat memulai studi, saya memang sudah menikah, bahkan saat wisuda kemarin, saya sudah punya dua bocil. Dengan kondisi yang sudah berkeluarga dan tinggal bersama orang tua, jelas cara menjalaninya sangat berbeda dengan saat S1. Setiap minggunya saya pulang pergi menempuh perjalanan 3-4 jam dari Rajagaluh ke Jatinangor dengan ‘si putih’ Vario yang setia menemani. Berangkat senin pagi, pulang jumat sore. Hal itu terjadi selama satu setengah tahun. Jelaslah kerinduan terhadap istri dan anak adalah magnet yang kuat yang menarik saya untuk tidak menghabiskan akhir pekan di Jatinangor. Apalagi jika istri mulai melantunkan rayuan-rayuan maut, meski raga masih di Jatinangor, jiwa saya sudah otw duluan, haha.
Selain itu, memang saya di rumah merintis usaha bersama istri dengan berjualan online. Yah, alhamdulillah lancar dan cukup untuk menghidupi kami dan keluarga. Karena jualan online ini modalnya otak atik marketplace, bidang ini setidaknya kapasitas dan andil saya. Mempelajari sistem, daftar promo, dekorasi toko hingga desain grafis untuk toko kurang lebih adalah jobdesc saya. Disamping itu juga, sesekali membantu meringankan pekerjaan orang tua. Jadi setiap weekend, saya istirahat dan juga, bekerja. Terlebih, dari semester 3 hingga lulus di semester 6, saya sudah tidak mendapatkan ‘beasiswa orang tua’ lagi alias biaya sendiri.
Corona pun tiba. Semuanya hampir lumpuh dan jatuh. Terlebih si corona ini juga ‘bertamu’ ke keluarga kami pada november 2020 lalu. Studi mandek, bisnis merosot, untungnya saat itu perkuliahan saya sudah selesai dan tinggal tesis saja. Tapi gak untung juga sih, karena mahasiswa kimia tugas akhirnya ya harus ngelab kan, dan laboratorium ditutup saat pandemi COVID-19 melanda. Kadang-kadang dibuka dengan protokol ketat, yang jelas menurunkan efektivitas dan produktivitas kerja lab. Efeknya, studi saya molor sampe 2 semester. Dan, SPP/UKT harus tetap dibayarkan full dengan waktu studi yang angin-anginan akibat si kopid nain tin. Keringanan? Tak seperti mahasiswa S1 yang banjir dukungan dalam keringanan pembayaran, mahasiswa pascasarjana ini bagai dianak tirikan. Bayarnya tetep full, meskipun ada toleransi dalam mekanisme pembayaran yang dibagi kedalam 2 tahap, itupun jika melakukan pengajuan.
Selesailah urusan lab, mulailah melanjutkan BAB IV dan penyusunan jurnal untuk publikasi yang harus internasional. Saya kerjakan semuanya saat mudik ke kampung halaman istri di Malang. Sebetulnya ya bukan mudik sih. Soalnya saya berangkat ke Malang dua bulan setelah hari raya idul fitri, menunggu dulu kira-kira situasi pandemi sudah cukup tertangani. Malu juga sih sama mertua, karena setiap malam mesti melekan untuk berjibaku dengan ‘sandi rumput’-nya NMR wakhwatuha. Syahdan, selesailah penyusunan tesis dan publikasi ini. Saya mendaftar untuk sidang tesis dan terselenggara di tanggal 21 Juli 2021 secara daring, dan alhamdulillah di tanggal 4 November 2021 kemarin bisa mengikuti prosesi ‘WISUDA DRAMATIS’ yang juga daring. Dramatisnya, dilain waktu mungkin akan saya dongengkan.
Berbeda juga dengan saat lulus S1 dulu, saya kurang lebih bersikap bodo amat terkait foto-foto. Mau foto-foto wisuda atau engga pun gak masalah. Cuek cuek saja. Foto-foto itu cenderung tidak penting. Yang penting itu perjuangan setelahnya, begitulah idealisnya saya pada saat itu, hahaha. Tapi sekarang ini, tensi untuk pengen foto-foto ini cukup tinggi. Mungkin efek dari nilai perjuangan untuk lulus yang lebih keras kali ya. Jadi, pagi nya prosesi wisuda, sorenya langsung meluncur ke studio foto untuk melangsungkan cekrek-cekrek bersama keluarga. Meski sebenarnya, kegupuhan foto-foto itu lebih kepada sulitnya nyari waktu di hari-hari setelahnya, kebetulan adik saya lagi persiapan pembekalan internship dokter, sedangkan toga harus segera di kembalikan ke pihak UNPAD. Oh iya, bagi saya toga UNPAD ini keren. Ada kombinasi batik dan warna yang ciamik. Katanya sih sekilas mirip jubah Sekolah Sihir Hogwarts di film Harry Potter. Jika toga sarjana berwarna merah yang mirip merahnya Gryffindor, yang magister ini mirip hijaunya Slytherin. Dan ada juga yang berwarna biru layaknya Ravenclaw.
Mungkin dari pembaca sekalian ada yang berujar, “Ah, perasaan biasa saja, gak ada perjuangannya, sok iyes aja nih,”, dll. Mungkin ini memang berangkat dari aspek yang subjektif, bahwa pergulatan yang terjadi saat studi S2, dimana harus saya bagi waktunya untuk anak istri, juga membantu orang tua atau dalam bahasa lainnya, birrul walidain, kemudian harus menjalankan bisnis untuk minimal, bisa menghidupi keluarga dan membayar uang kuliah, yang waktunya tidak bisa digunakan secara maksimal akibat kopid nain tin itu. Semua itu bagi saya sangat terasa emosional. Kelulusan itu terasa melegakan, atau dalam peribahasa sunda disebut ‘asa bucat bisul’.
Saya sadar bahwa kelulusan ini bukanlah akhir dari perjuangan hidup. Ini justru baru awal. Sama seperti S1 dulu. Lulus menjadi sarjana adalah titik awal dimana hidup yang sebenarnya dimulai. Bahkan saya dan teman-teman sering beranekdot terhadap mereka yang wisuda itu. “Wah, barisan pengangguran baru telah diluncurkan, wkwkwk.”. Tapi katanya, mereka yang melanjutkan ke jenjang magister adalah pengangguran yang terhormat, hahahaha. Dan, apakah saya akan melanjutkan ke jenjang S3 untuk melanjutkan status sebagai pengangguran terhormat? Ya, saya punya keinginan itu. Tapi belum untuk saat ini. Saya ingin mencari pengalaman dulu. Semisal berkecimpung di dunia pendidikan dengan mengajar di kampus. Semoga saja ada peluang itu.
Akhiron, apapun yang terjadi dalam hidup saya kedepan. Yang penting adalah berupaya untuk bermanfaat untuk sesama. Saya teringat dawuh dari Mbah Sahal Mahfudz ini, “Menjadi baik itu mudah, dengan diam, maka yang terlihat adalah kebaikan. Yang sulit itu menjadi bermanfaat, karena itu butuh perjuangan.”. Terimakasih saya ucapkan kepada keluarga saya, orang tua, istri, kedua anak saya, karyawan-karyawan saya yang baik hati, dan semua yang membantu dalam proses studi saya, baik secara moril dan materil. Jazaakumullah ahsanal jaza. Terimakasih juga kepada ibu Dr. Tri Mayanti, M.Si dan ibu Prof. Dr. Tati Herlina, M.Si, duet pembimbing saya yang sangat baik dan sabar dalam membimbing saya. Kepada guru-guru saya, kyai-kyai saya, dosen-dosen saya baik saat S1 maupun S2. Semoga sehat selalu, bahagia dan panjang umur. Amiiin.
Wallahu a’lam.
TENTANG SAYA
Hai, Saya Fawwaz Muhammad Fauzi, suatu produk hasil persilangan genetik Garut-Majalengka. Menjadi Dosen Kimia adalah profesi utama saya saat ini. Selain itu, ya membahagiakan istri, anak dan orang tua. Melalui blog ini, saya ingin menuliskan kisah-kisah keseharian saya yang pasti receh. Mungkin sedikit esai-esai yang sok serius tapi gak mutu. Jadi, tolong jangan berharap ada naskah akademik atau tulisan ilmiah disini ya, hehe.
Kalau ada yang mau kontak, silahkan email ke [email protected]. Udah itu aja.