
Kaluna, Kerasnya Ibu Kota & Perjuangan Hidup Kelas Menengah

Malam selepas kesibukan yang lumayan sejak pagi tadi, saya mencoba mencari hiburan ringan. Tentu saat ini hiburan bukan hal yang sulit, apalagi bagi kaum introvert. Rebahan dengan menonton film di layanan streaming adalah salah satu pilihan yang menyamankan. Cukup untuk sedikit melepas lelah aktivitas dan kerasnya kehidupan, aseek.
Saya klik Netflix di hp saya. Rutinitas biasanya, saya mencari film hingga tak jadi nonton film, wkwkwk. Tapi saat ini berbeda, seketika melihat top 10 film di Netflix, nomor 1 ada film berjudul “Home Sweet Loan”. Trailer dan sinopsis film nya berhasil membuat saya dengan cepat memutuskan untuk mengklik film tersebut. Film garapan Visinema yang menceritakan Kaluna, anak bungsu dari 3 bersaudara dimana 2 kakaknya sudah menikah dan mempunyai anak, dan mereka semuanya hidup satu rumah.
Tak sulit untuk memprediksi jika hidup satu rumah dengan beberapa unit keluarga itu tentu akan ada gesekan-gesekan. Itu salah satu cobaan dalam keluarga (besar). Di film ini, Kaluna yang diperankan dengan sangat pas oleh Yunita Siregar ini menjadi pihak yang terdesak dan selalu terpaksa mengalah oleh keberadaan keluarga kecil kedua kakaknya, dimana kondisi tersebut membuat ia bertekad untuk memiliki rumah sendiri. Yah, lebih lengkapnya bisa kalian tonton sendiri ya. Spoilernya cukup segitu aja.
Yang pasti, ada 2 hal yang bisa saya garis bawahi akan kondisi terkini kehidupan perduniawian kita semua dari film yang diadaptasi daru novel tersebut. Pertama, Kerasnya kehidupan Ibu Kota (asumsi Jakarta masih ibu Kota ya), atau paling tidak kerasnya kehidupan di Kota Metropolitan. Biaya hidup yang tinggi, tekanan pekerjaan, hingga terbatasnya pilihan-pilihan hidup, membuat sepertinya sulit bagi penduduk Kota untuk bisa mendapatkan ketenangan dalam hidup.
Ini tentu saja subjektif, saya yang sejak dulu tak sedikitpun terpikir untuk hidup di Kota Besar, akhirnya semakin mengamini bahwa hidup yang saya jalani akhir-akhir ini, seberat dan semenantang apapun adalah hidup yang sangat layak untuk disyukuri. Hidup di daerah pedesaan dengan ketenangan, kehangatan dan kesyahduannya adalah sebuah kenikmatan. Sehingga untuk saat ini bagi saya, saya merasa tak perlu hidup di Kota besar untuk menggapai “kesuksesan”.
Akan tetapi, bukan berarti saat kita hidup di daerah rural, kita lantas terbuai oleh kenikmatannya. Tetap kita harus membawa bagian penting dari mentalitas insan metropolitan, yakni ambisi, determinasi, keinginan untuk berkembang dan sifat kompetitif. Karena bagi saya, “stagnansi” dalam hidup itu seolah makruh tahrim, mwehehehe.
Kedua, beratnya perjuangan hidup kelas menengah. Yah, seperti yang banyak diberitakan di media, hampir 70% masyarakat Indonesia adalah kelas menengah, yang angkanya terus menyusut saat ini dan banyak yang mulai menjadi kelompok kelas rentan hingga miskin akibat himpitan ekonomi yang tidak sedang baik-baik saja.
Fenomena di film itu menunjukkan bagaimana sulitnya seorang pekerja kelas menengah ingin mendapatkan hunian atau rumah. Gaji yang didapat tak sebanding dengan harga properti yang terus melambung, memaksa untuk mengambil skema KPR yang tak mudah juga untuk memenuhi persyaratannya.
Bagi saya ini ironi. Rumah adalah kebutuhan primer bagi sebuah keluarga. Yakali kita terus-terusan tinggal dengan orang tua (kecuali case tertentu), atau bahkan ngontrak seumur hidup. Tapi inilah yang terjadi. Kondisi ekonomi rasanya sangat sulit untuk membuat kita bisa dengan mudah memiliki rumah impian, bahkan dengan skema cicilan. Ini yang sulit kelas menengah lho, bukan kelas miskin.
Perjuangan kelas menengah ini memang berat. Mungkin saya termasuk kelas ini. Akhir-akhir ini rasanya memang kondisi sedang serba sulit. Dan setiap saya berbincang dengan berbagai kalangan, semua mengamini kondisi buruk yang terjadi saat ini.
Ada ungkapan populer yang menarik begini, “Kita boleh kehilangan segalanya, tapi satu yang tak boleh hilang dari diri kita, yaitu Harapan, meski persentasenya kecil”. Maka, berharap, utamanya kepada Allah SWT adalab keharusan. Dan dalam konteks kehidupan bernegara, nampaknya mau tidak mau kita harus menempelkan harapan kepada Presiden baru kita, semoga di bawah Pemerintahannya, dapat membantu 70% an masyarakat Indonesia agar naik kelas.
Seperti kata mereka di media sosial, seringkali harapan itu luntur saat melihat ketidak adilan, misal mereka yang korupsi 271T, vonisnya hanya 6 tahun, jika dibagi-bagi, seharinya mengantongi sekitar 115 Miliar! Berani korupsi dong, wkwkwk. Mbak Kaluna kalau mau beli rumah, mending ikutin jejak si Muis, nabung dikit-dikit mah gak akan kebeli-kebeli. Paling dipenjara 6,5 tahun doang, aman lah, keluar penjara tetep sugeh boskuuuh. Guyon ya, hehehe.
Wallahu a’lam