Santri, Korupsi dan Kekuasaan

Santri, Korupsi dan Kekuasaan

Beberapa kali saya dengar seorang tokoh berkata kurang lebih begini, “Santri harus masuk dunia politik, karena santri ini sudah biasa hidup sederhana dan serba pas-pasan. Jadi, kemungkinan santri korupsi itu kecil.”

Saya setuju untuk statemen pertama bahwa santri memang harus ada yang berpolitik. Tetapi untuk alasannya, kita semua akan mendapatkan bias jika menelusuri beberapa figur santri yang ternyata juga menjadi terdakwa kasus korupsi, atau bahkan hanya terindikasi dan terbawa-bawa dalam kasus korupsi. Maka, saya pernah ditanya orang yang bukan santri, “Katanya kalo menterinya santri gak mungkin korupsi, lha kok itu ditangkap KPK?”

Mungkin ada yang akan bersilat lidah, bahwa ini kasus kriminalisasi, ataupun agenda untuk menjegal lawan politik, dikasuskan, dan lain sebagainya. Saya meyakini itu ada. Tapi saya lebih ingin mencoba mengkritisi bagian dimana “Kesederhanaan santri mengurangi potensi korupsi.”. Bagi saya, ini tak ada hubungannya.

Saya mencoba mengambil satu kutipan dari Abraham Lincoln yang berbunyi, “Hampir semua manusia bisa bertahan dalam kesulitan, tetapi jika anda ingin menguji karakter seseorang, berilah ia kekuasaan.”. Nah, bagi saya ini make sense, baik itu santri atau siapapun yang biasa hidup sederhana hingga mlarat, kebanyakan akan bisa survive. Bahkan ada yang bisa sampai melenting menjadi orang berhasil. Meminjam istilah Bambang Pacul, si Korea korea ini.

Jadi, selain santri, banyak juga figur-figur berhasil yang awalnya berangkat dari kemlaratan hidup. Tapi nyatanya saat sudah berhasil, mau santri atau bukan, jika kekuasaan sudah di tangan, itu soal lain. Seperti kata sejarawan Inggris, Lord Acton, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”, kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut juga merusak secara absolut.

Jadi, bagi saya, poin plus santri terjun ke politik itu jangan berangkat dari kesederhanaan. Akan tetapi, mungkin bisa berangkat dari keterikatannya dengan moral pesantren tempat ia dididik. “Pesantren adalah benteng moral. Setidaknya hingga sekarang, anggapannya begitu,” dawuh Buya Said Aqil Siroj di podcast AFU.

Pesantren membentuk santrinya untuk mempraktekkan nilai moral yang diajarkan melalui kitab-kitab klasik. Ada berbagai kitab akhlak yang dipelajari, dan memang penekanan banyak pesantren adalah berdasar pada “al adab fauqol ilmi”, adab itu diatas ilmu. Jadi, jangan sok sok an anda menteri, lalu merasa hebat dari kyai yang mengajari anda membaca al-Quran dan kitab kuning.

Disamping itu, figur kyai yang ada di Pesantren, menurut saya, adalah salah satu parameter yang kemungkinan besar akan menentukan perilaku santrinya. Semakin kuat keteladanannya, maka santri tak akan berani macam-macam, walaupun ia sudah alumni, walaupun Kyainya sudah meninggal. Apalagi jika punya kedekatan secara personal pada sang Kyai, itu akan menjadi tambahan kekuatan moral seorang santri untuk tidak berbuat korupsi atau perbuatan keji lainnya (dalam politik).

Saya pribadi, rasa malu terbesar saya adalah ketika berbagai hal yang diajarkan oleh kyai dulu belum bisa saya praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Saat akan berlaku buruk, saya seringkali takut jika membayangkan raut wajah kecewa guru saya saat melihat saya melakukan hal yang tidak disukainya. Walaupun guru saya sudah tidak lagi di dunia fana ini, al faatihah.

Jadi, bagi saya, yang menjadi kekuatan utama seorang santri untuk tahan godaan kekuasaan dan perilaku koruptif, bukan dari cara hidup mereka yang sederhana. Tapi lebih ke bagaimana mereka menyelami kehidupan di pesantren dengan didikan akhlak yang dominan, terlebih saat para santri punya teladan yang luar biasa dari figur Kyainya.

Maka, saat ada yang skeptis dengan perdebatan mana yang lebih penting? Sistem atau figur? Saya setuju dengan Buya Said Aqil Siroj, keduanya sama penting. Percuma sistemnya dibuat sangat baik dan hampir tanpa celah, tetapi tanpa adanya teladan yang menjalankan sistem tersebut, akan ada saja orang yang mencoba memanfaatkan celah aturan untuk berlaku tidak adil. Jika hanya figur tanpa sistem? Akan terjadi pengkultusan dan fanatisme buta yang membahayakan. Lagi-lagi, jalan tengah itu memang opsi yang lebih baik.

Semoga di masa depan, semakin banyak santri yang mampu mengambil peran dalam urusan publik. Tentu bukan hanya politik, tetapi sektor-sektor lain macam birokrasi, dunia usaha, digital, teknologi, dan lainnya. Semoga kekuatan moral yang dibangun saat di pesantren menjadi pondasi bagi kita semua yang santri untuk berlaku adil di dalam masyarakat.

Wallahu alam.

Cerminan

Cerminan

Dalam suatu pengajian online, Rais Aam PBNU KH. Miftahul Achyar pernah menyatakan, bahwa pemimpin adalah cerminan diri kita selaku rakyatnya. Jika rakyatnya suka tipu-tipu, maka akan diberi pemimpin tipu-tipu. Jika rakyatnya suka korupsi, maka akan diberi pemimpin korup, bahkan dalam eskalasi yang lebih meluas.

Belakangan, kita diberi tontonan banyaknya kasus-kasus, kebijakan, sikap, cara komunikasi dari pemimpin-pemimpin kita yang jauh dari kata ideal. Kasus megakorupsi pertamina, timah, emas palsu, dlsb. Kebijakan yang terkesan cek ombak alih-alih melalui kajian akademik. Sikap dan cara komunikasi pemimpin kita yang minim empati dan kepedulian. Selain itu, tentu kita bisa penuhi tulisan ini dengan “daftar susunan” itu, tapi saya tak memilih menjabarkannya lebih lanjut.

Mereka yang duduk di Pemerintahan memang salah, dan bahasa halusnya, mungkin saja mereka inkompeten. Tapi, rakyatlah, kitalah yang melahirkan mereka semua. Kitalah yang setiap kali pemilu diadakan, sibuk mencari mana yang ada duitnya, serangan fajar mana yang paling besar, caleg mana yang berani ngasih jenset ke lingkungan A, pak RT yang mengintervensi warganya untuk memilih satu calon. Sekian banyak praktek-praktek pragmatis kita dalam menyikapi pemilu tentu saja akan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang pragmatis juga.

Jadi, mari kita protes kepada pemerintah, banyak kebijakan dan sikap mereka yang ancur-ancuran. Saat kita demonstrasi, saudara-saudara kita direpresi. Insan pers hingga tim medis ikut jadi korban pentungan aparat. Aparat yang sistem seleksinya semua orang tahu, seringkali dikonotasikan “hasil jual sawah”. Dan ini semua kita sebagai rakyat cenderung permisif dan melakukan pembiaran praktek kotor tersebut. Mari kita protes! Mari kita lawan ketidak adilan dan kedzoliman!

Tapi dibalik itu, kita harus menjernihkan hati, meluruskan pikiran. Bahwa kita sebagai rakyat harus berubah. Kita harus paham, kita tak bisa memandatkan amanah kepada mereka yang uangnya paling besar. Tapi kita harus berikan pada mereka yang kompeten, yang berkapasitas, yang berintegritas!

Ada satu teori, bahwa demokrasi, sistem yang kita pilih ini, bisa berjalan dengan baik dengan syarat banyak dari rakyatnya well educated. Selama itu tidak terpenuhi, maka sulit kita berharap pada demokrasi. Seperti kata Goenawan Muhammad pada Sujiwo Tedjo, demokrasi itu pilihan kedua terbaik yang dipilih, dimana nomor satu nya gak tahu apa. Bahasan well educated bisa panjang, tapi fakta yang paling mudah menggambarkan kondisinya, hanya 12% rakyat kita yang menempuh pendidikan hingga sarjana. Kita belum hitung 12% itu sarjana beneran? Hasil jual beli ijazah? Hasil asal kuliah?

Well educated, artinya ia terdidik, terdidik paling tidak ia mampu berpikir dengan baik. Berpikir jangka panjang, mempertimbangkan satu, dua , tiga, empat, dan lebih banyak lagi variabel, dan pengaruhnya terhadap satu, dua, tiga, dan lebih banyak variabel. Apa efeknya, apa konsekuensinya. Sayangnya, dengan kondisi pendidikan kita saat ini, dua variabel saja sudah kelabakan. Dan kita tahu, belakangan viral anak SMA yang lemot menjawab perkalian 1-10.

Saat berada di depan cermin, berdirilah. Tataplah diri kita. Jika kita teringat dengan kasus megakorupsi, lihatlah bagian diri kita, apakah kita pernah melakukan korupsi walau skalanya kecil? Pungli sekolah misal. Saat teringat dengan kebijakan cek ombak, sudahkah kita berpikir logis dalam pengambilan keputusan dengan pertimbangan rasional? Saat teringat dengan wakil rakyat yang lebih cocok disebut “wakil partai”, sudahkah kita berempati terhadap sesama dengan tulus? Atau hanya demi eksistensi organisasi atau bendera dibelakang kita?

Saya tak yakin kita semua bisa melewati pertanyaan didepan cermin itu dengan jujur. Maka, nikmati saya kebijakan para cerminan kita itu, sembari berdoa, semoga kita semua bisa berubah dan melewatinya. Wallahu alam.

Selamat berpuasa, warga +62 !