Dari Film Adolescence, Mengatur Anak itu Penting

Dari Film Adolescence, Mengatur Anak itu Penting

Menonton film serial pendek Netflix ini, saya cukup terhenyak. Banyak insight yang didapat tentang bagaimana besarnya pengaruh media sosial yang sangat besar terhadap pertumbuhan generasi muda. Di awal cerita, kita langsung dikejutkan dengan penangkapan Jamie Miller, remaja 13 tahun yang dikenai tuduhan pembunuhan terhadap temannya, Kattie Leonard dengan pisau dapur. Singkatnya, ini persoalan yang bermula dari media sosial.

Saat ini, media sosial ataupun secara umum dunia maya memang menjadi dunia yang lebih nyata dari dunia nyata itu sendiri. Apalagi remaja, beberapa dari kita yang sudah dewasa pun bisa saja terjebak dengan ini. Kita bisa “haus” akan validasi di media sosial. Berapa follower kita, subscriber kita, viewer status dan reels kita, jumlah like postingan kita, dan lain sebagainya. Meski di sisi lain, ada orang-orang yang memang berhasil mengkapitalisasi dunia ini menjadi mata pencahariannya, tak sedikit orang yang tak beruntung di dunia ini, dan berujung frustasi. Bisa dibayangkan jika itu terjadi pada remaja dengan kontrol emosi yang belum stabil dan labil. Dan, akui saja, kita pun dalam beberapa kondisi tak sestabil yang dikira juga kan?

Kita harus akui. Ada beberapa dari circle kita, yang secara tak sadar tak memiliki tempat dalam pergaulan. Ada yang terdiskreditkan, keberadaannya seperti tak ada, tak penting, dan tak dibutuhkan. Sebagai pengamat, wkwkwk, saya beberapa kali menemukan tipe orang seperti ini, dan meski jujur saja, saya tak banyak bisa menolongnya, saya terkadang memikirkan bagaimana rasanya berada di posisi “tak diakui” seperti itu. Apakah akan bertindak gila? Di luar nalar? Dan jika hidup di dunia media sosial seperti saat ini, apa yang akan dia lakukan saat berselancar didunia maya? Dimana, mungkin dia bisa berperan menjadi “anonim” dan bermain peran disana dan “lebih diakui”.

Sepertinya ini terlalu melebar, hehe. Kembali ke “Adolescence” tadi. Dari banyaknya poin yang bisa kita pelajari dari film karya sutradara Philip Barantini ini, mulai dari Toxic Masculinity, Perundungan Digital, dlsb, saya coba mengambil satu bagian saja untuk dibahas dalam tulisan ini, yakni bagaimana kita sebagai orang tua perlu mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anak, khususnya apa yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi anak di dunia digital.

Saya, seringkali disajikan algoritma menonton konten-konten parenting zaman now yang menekankan kebebasan yang harus diberikan kepada anak. Misal saja, jangan kita bilang “tidak boleh” kepada anak. Kita harus lebih persuasif. Jangan kita mengatur anak kita mau jadi apa, biar mereka mendapatkan minatnya sendiri. Satu sisi, pendapat itu benar, satu sisi, bagi saya itu terlalu naif. Oke, bagian ini memang tak ada yang benar-benar tepat. Tapi setidaknya saya ingin memberikan apa yang menjadi standing point saja tentang parenting.

Seiring waktu berjalan, saya mencoba mengikuti logika “jangan bilang tidak boleh”, tapi ternyata tidak mudah juga, wkwkwk. Dan setelah diotak atik di otak, tampaknya mengatakan “tidak boleh” kepada anak adalah keharusan. Kita harus mendidik anak kita tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh secara tegas, bukan kasar ya, tapi tegas. Apalagi berkenaan dengan hal-hal prinsipil. Bagaimana etika saat ia bertamu ke rumah tetangga, bagaimana baiknya ia bertegur sapa dengan temannya, berempati dengan sesama, menjaga perasaan, dan lain-lain.

Mungkin sebagian besar millenial seperti saya memiliki trauma pendidikan orang tuanya yang terkesan lebih tegas dan kasar terhadap mereka. Misalkan zaman dulu saat saya di Pesantren, hukuman fisik adalah makanan sehari-hari. Sampai telapak kaki saya sudah kebal dengan sabetan gagang sapu, wkwkwk. Sehingga, kita sebagai orang tua tak mau anak kita mendapatkan hal serupa. Maka, kita saat ini sering melihat berita bagaimana guru dilaporkan oleh “orang tua milenial” karena melakukan satu dua punishment fisik atau verbal yang menurut mereka tidak bisa diterima.

Saya kira, semangat untuk tidak menggunakan lagi hukuman fisik sebagai punishment adalah satu kemajuan. Namun, bukan berarti sebagai orang tua, kita kemudian menjadi sangat lembek kepada anak kita. Kita akhirnya terlalu memanjakan mereka dan menjadi permisif dan membiarkan apapun yang mereka lakukan, bahkan membelanya, meski salah. Maka, do and dont harus ditegaskan kepada anak kita. Mengatur anak itu penting. Oke, jika “mengatur” ini kurang bisa diterima, kita boleh ganti dengan kata “meregulasi”. Meregulasi anak itu penting. Termasuk bagaimana regulasi anak mengkonsumsi konten digital. Berapa jam perhari? Apa yang boleh dan tidak boleh ditonton? Bagaimana kontrol kita sebagai orang tua? Bagian itu, kita harus tegas. Jangan sampai karena kita sibuk bekerja, kita biarkan anak kita berlama-lama didepan hp atau komputer tanpa kita tau konten digital apa yang mereka konsumsi sehari-hari.

Mengapa ini penting? Di episode terakhir “Adolescence”, orang tua Jamie mengira, Jamie yang melalukan pembunuhan terhadap temannya itu adalah didikan mereka. Padahal, karena kesibukan dan pembiaran orang tuanya akan konsumsi digital, Ia lebih terdidik oleh konten-konten digital yang tidak mendidik. Jika kita semua harus jujur, berapa jam perhari kita deeptalk dan memberi perhatian dan memperhatikan anak kita? Dan berapa jam perhari ia dididik oleh konten-konten digital? Ini bahan kontemplasi saya sendiri, jujur saja. Maka wajar jika anak-anak tak terdidik dengan didikan yang benar dari orang tuanya, miris.

Maka, untuk anak-anakku, jika suatu saat sudah besar, kalian semua membaca tulisan ini. Semua regulasi yang ayah dan bundamu buat, tak lain adalah untuk membentuk diri kalian menjadi manusia yang baik. Mendidik kalian menjadi manusia yang terdidik. Seringkali kalian bertanya, kenapa si ini gak dilarang, si itu di perbolehkan, saat ini ketika kecil, ayah hanya menjawab, mereka bukan anak ayah. Tentu saja sebenarnya, ayah hanya ingin membentuk kalian untuk hidup di dunia yang seutuhnya. Dididik dalam kenyataan, bukan fantasi dunia digital yang semu dan penuh tipuan. Tentu kami tak alergi dengan internet, tapi bijak dalam penggunaannya adalah kunci.

Apakah mengatur dan meregulasi ini berlebihan? Apakah ini artinya merenggut kebebasan? Tentu tidak! Kita hidup di dunia ini penuh dengan aturan. Dan aturan dibuat agar kita paham, hak kebebasan yang kita punya dibatasi oleh hak  kebebasan orang lain yang harus kita hormati dan hargai. Jadi, yuk, kita sama-sama meregulasi anak kita secara tepat.

Satu hal lagi, kita sering dengan parenting zaman now, biarlah anak menentukan minatnya sendiri, jangan kita atur-atur. Ini juga tidak sepenuhnya tepat. Bagaimana anda meminta anak anda yang baru berusia belasan tahun menentukan arah hidup? Peran kita sebagai orang tua tak sesederhana itu. Kita tak boleh sepenuhnya mengatur dengan logika kita seperti yang dilakukan Eddie Miller terhadap anaknya dengan logika maskulinitas, tapi satu sisi kita juga tak boleh membiarkan mereka memilih tanpa guidance yang kita berikan.

Jadi, ini cukup tricky dan saya pun masih mencoba mempelajarinya. Mungkin yang bisa dilakukan, kita bisa memperhatikan ketertarikan mereka, kemudian kita arahkan dan beri opsi-opsi dengan landasan minat mereka, sembari mensupportnya dengan cara fasilitasi dalam mendalami minat mereka. Kemudian, pada saat yang tepat, kita boleh juga jelaskan bagaimana konsekuensinya jika ia ingin mengambil peran dalam dunia yang ia pilih, entah dari sisi regulasi negara, peluang finansial, komunitas yang mendukung, dan lain-lain. Disamping ity, mungkin kita juga perlu membekali mereka beberapa keterampilan yang perlu mereka kuasai untuk menjawab tantangan di masa depan, keterampilan berbahasa, memimpin dan berkomunikasi.

Setidaknya, sejauh ini itulah yang menjadi standing point saya dalam upaya saya mendidik anak. Dan saya tak tahu, apakah ini adalah perspektif yang paling tepat atau malah salah kaprah. Saya masih terus mencoba belajar akan hal itu. Semoga anak-anak kita menjadi anak yang sholih, sholih artinya berbhat baik, dan tidak membuat kerusakan. Amin.

Wallahu alam.

Kaluna, Kerasnya Ibu Kota & Perjuangan Hidup Kelas Menengah

Kaluna, Kerasnya Ibu Kota & Perjuangan Hidup Kelas Menengah

Malam selepas kesibukan yang lumayan sejak pagi tadi, saya mencoba mencari hiburan ringan. Tentu saat ini hiburan bukan hal yang sulit, apalagi bagi kaum introvert. Rebahan dengan menonton film di layanan streaming adalah salah satu pilihan yang menyamankan. Cukup untuk sedikit melepas lelah aktivitas dan kerasnya kehidupan, aseek.

Saya klik Netflix di hp saya. Rutinitas biasanya, saya mencari film hingga tak jadi nonton film, wkwkwk. Tapi saat ini berbeda, seketika melihat top 10 film di Netflix, nomor 1 ada film berjudul “Home Sweet Loan”. Trailer dan sinopsis film nya berhasil membuat saya dengan cepat memutuskan untuk mengklik film tersebut. Film garapan Visinema yang menceritakan Kaluna, anak bungsu dari 3 bersaudara dimana 2 kakaknya sudah menikah dan mempunyai anak, dan mereka semuanya hidup satu rumah.

Tak sulit untuk memprediksi jika hidup satu rumah dengan beberapa unit keluarga itu tentu akan ada gesekan-gesekan. Itu salah satu cobaan dalam keluarga (besar). Di film ini, Kaluna yang diperankan dengan sangat pas oleh Yunita Siregar ini menjadi pihak yang terdesak dan selalu terpaksa mengalah oleh keberadaan keluarga kecil kedua kakaknya, dimana kondisi tersebut membuat ia bertekad untuk memiliki rumah sendiri. Yah, lebih lengkapnya bisa kalian tonton sendiri ya. Spoilernya cukup segitu aja.

Yang pasti, ada 2 hal yang bisa saya garis bawahi akan kondisi terkini kehidupan perduniawian kita semua dari film yang diadaptasi daru novel tersebut. Pertama, Kerasnya kehidupan Ibu Kota (asumsi Jakarta masih ibu Kota ya), atau paling tidak kerasnya kehidupan di Kota Metropolitan. Biaya hidup yang tinggi, tekanan pekerjaan, hingga terbatasnya pilihan-pilihan hidup, membuat sepertinya sulit bagi penduduk Kota untuk bisa mendapatkan ketenangan dalam hidup.

Ini tentu saja subjektif, saya yang sejak dulu tak sedikitpun terpikir untuk hidup di Kota Besar, akhirnya semakin mengamini bahwa hidup yang saya jalani akhir-akhir ini, seberat dan semenantang apapun adalah hidup yang sangat layak untuk disyukuri. Hidup di daerah pedesaan dengan ketenangan, kehangatan dan kesyahduannya adalah sebuah kenikmatan. Sehingga untuk saat ini bagi saya, saya merasa tak perlu hidup di Kota besar untuk menggapai “kesuksesan”.

Akan tetapi, bukan berarti saat kita hidup di daerah rural, kita lantas terbuai oleh kenikmatannya. Tetap kita harus membawa bagian penting dari mentalitas insan metropolitan, yakni ambisi, determinasi, keinginan untuk berkembang dan sifat kompetitif. Karena bagi saya, “stagnansi” dalam hidup itu seolah makruh tahrim, mwehehehe.

Kedua, beratnya perjuangan hidup kelas menengah. Yah, seperti yang banyak diberitakan di media, hampir 70% masyarakat Indonesia adalah kelas menengah, yang angkanya terus menyusut saat ini dan banyak yang mulai menjadi kelompok kelas rentan hingga miskin akibat himpitan ekonomi yang tidak sedang baik-baik saja.

Fenomena di film itu menunjukkan bagaimana sulitnya seorang pekerja kelas menengah ingin mendapatkan hunian atau rumah. Gaji yang didapat tak sebanding dengan harga properti yang terus melambung, memaksa untuk mengambil skema KPR yang tak mudah juga untuk memenuhi persyaratannya.

Bagi saya ini ironi. Rumah adalah kebutuhan primer bagi sebuah keluarga. Yakali kita terus-terusan tinggal dengan orang tua (kecuali case tertentu), atau bahkan ngontrak seumur hidup. Tapi inilah yang terjadi. Kondisi ekonomi rasanya sangat sulit untuk membuat kita bisa dengan mudah memiliki rumah impian, bahkan dengan skema cicilan. Ini yang sulit kelas menengah lho, bukan kelas miskin.

Perjuangan kelas menengah ini memang berat. Mungkin saya termasuk kelas ini. Akhir-akhir ini rasanya memang kondisi sedang serba sulit. Dan setiap saya berbincang dengan berbagai kalangan, semua mengamini kondisi buruk yang terjadi saat ini.

Ada ungkapan populer yang menarik begini, “Kita boleh kehilangan segalanya, tapi satu yang tak boleh hilang dari diri kita, yaitu Harapan, meski persentasenya kecil”. Maka, berharap, utamanya kepada Allah SWT adalab keharusan. Dan dalam konteks kehidupan bernegara, nampaknya mau tidak mau kita harus menempelkan harapan kepada Presiden baru kita, semoga di bawah Pemerintahannya, dapat membantu 70% an masyarakat Indonesia agar naik kelas.

Seperti kata mereka di media sosial, seringkali harapan itu luntur saat melihat ketidak adilan, misal mereka yang korupsi 271T, vonisnya hanya 6 tahun, jika dibagi-bagi, seharinya mengantongi sekitar 115 Miliar! Berani korupsi dong, wkwkwk. Mbak Kaluna kalau mau beli rumah, mending ikutin jejak si Muis, nabung dikit-dikit mah gak akan kebeli-kebeli. Paling dipenjara 6,5 tahun doang, aman lah, keluar penjara tetep sugeh boskuuuh. Guyon ya, hehehe.

Wallahu a’lam