Selamat Jalan, Lur!

Selamat Jalan, Lur!

Pagi ini saya mendapat kabar duka melalui instagram pmiiofficial yang memohon doa kesembuhan Sekjen PB PMII, Muhammad Rafsanjani yang sedang dirawat, dikolom komentar ada yang bertanya tentang sakit apa yang dideritanya, dijawab oleh admin, sakit influenza H3N2. Pikiran saya sederhana, oh, sakit flu ini tak berat-berat amat, akan segera sembuh, pikirku, namun mengapa sampai harus diposting di akun official PB PMII? Beberapa menit yang lalu, postingan akun PB PMII selanjutnya memberi kabar duka yang lebih mengejutkan, Rafsan telah berpulang. Innalillahi wainna ilaihi rojiun.

Saya bersaksi almarhum adalah orang baik, karena saya punya cerita unik dengan almarhum. Sekitar tahun 2017, saya mendaftar untuk mengikuti SIMAK UI untuk S2 Kimia, saya mencari-cari teman pondok yang ada di sekitaran Jakarta. Ketemulah Rikal, alumni satu pondok yg pada saat itu berkuliah di UIN Ciputat. Singkat cerita, sampailah saya di kosan Rikal untuk numpang menginap H-1 tes SIMAK UI.

Disitulah saya pertama kali bertemu Rafsan. Saat itu ia baru demisioner dari Ketua PC PMII Ciputat. Kami ngobrol-ngobrol iseng seputar topik PMII, dari kaderisasi, politik, dan obrolan lainnya. Setelah beberapa waktu, ia pamit keluar dulu. Saya lanjut ngobrol dengan Rikal, ia menceritakan bahwa Rafsan ini Asgar (Asli Garut). Saya berseloroh, saya juga punya ibu yang asgar. Sekitar tengah malam, Rafsan kembali ke kosan Rikal, kami mengobrol kembali. Lalu rikal menceritakan bahwa saya juga punya darah Asgar.

Kemudian, Rafsan bertanya ke saya, “Garut mana?”

“Limbangan.”, jawab saya.

“Lho, limbangan mana? Saya juga dari limbangan.”, ujarnya.

“Sebenarnya, Nenek tinggal di Selaawi, tapi keturunan dari Cikelepu.”

“Bentar bentar, saya juga dari Cikelepu. Coba nama ibunya siapa?.”, tanyanya antusias.

“Dulur mereun dulur, pantes da beungeutna ge satipe.”, timpal Rikal.

“Beda urang mah hideung boss, wkwk”. 

Saya beritahu nama ibu saya, lalu saya juga tunjukkan fotonya. Ia mengkonfirmasi dengan menanyakan kepada ibunya, saya juga menanyakan kepada ibu saya. Dan kesimpulannya, saya dan Rafsan masih ada hubungan keluarga, Kakek saya dan Kakek nya adalah saudara kandung, berarti ibu saya dan ibu rafsan adalah saudara sepupu. Yah, begitulah saya bertemu saudara di tengah kondisi yang tak terduga.

Esoknya, kami berangkat bersama menuju lokasi tes SIMAK UI. Pengumuman menunjukkan bahwa saya maupun Rafsan tak lulus SIMAK UI saat itu. Bedanya, saya kemudian memilih untuk mendaftar di UNPAD saja, sedangkan ia mencoba lagi mendaftar di SIMAK UI selanjutnya dan diterima.

Lama tak bersua, kami dipertemukan kembali di acara keluarga di Cikelepu, Limbangan. Yah, ngobrol-ngobrol seperti biasa, seputar pergerakan, hahaha. Beberapa waktu kemudian, saya melihat melalui instagram, ia maju dalam bursa calon Ketum PB PMII. Saya ucapkan selamat dan semoga sukses dalam pertarungan itu. Hingga kemudian, ia dipilih oleh Ketua Umum PB PMII terpilih sebagai Sekjen melalui formatur. Saya kembali mengucapkan selamat dan berlagak meminta jatah menjadi pengurus PB, “Hayu atuh. Dimana ayeuna?”, jawabnya. Saya meresponnya dengan guyonan kalo saya tak serius, lagian saya belum sampai PKL dan sudah lelah beraktivis ria, wkwkwk.

Begitulah interaksi singkat saya dengan almarhum, sayangnya saya tak punya satupun dokumentasi saat pertemuan dengan almarhum. Saya bersaksi ia orang baik, ia juga orang yang ramah dan santun. Saat belum mengetahui bahwa kami masih keluarga besar, ia ramah, saat ia sudah mengetahui, ia lebih ramah lagi. Selamat jalan lur, semoga tenang disana. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan. Amin ya robbal alamin.

Lahul faatihah.

Catatan Harlah PMII ke 62

Catatan Harlah PMII ke 62

Setiap kali ada momentum harlah PMII, yang saya ingat adalah romantika perjalanan saya menjadi aktivis PMII saat berkuliah S1 dulu, ya, saat berkuliah dulu, saya bergabung di PMII. Yang paling saya ingat ya jelas sahabat-sahabat saya saat itu, beserta kenangan-kenangan manis dan pahit saat berorganisasi dan berproses, asek. Yah, semoga mereka, sahabat-sahabat seperjuangan saya dulu itu diberi kesehatan, kebahagian dan diberi kekuatan untuk meraih impiannya masing-masing, amin.

Beberapa tahun yang lalu, saya juga pernah menulis catatan harlah PMII. Catatan itu ditulis untuk mengikuti sebuah sayembara menulis untuk semacam buku antologi “Kado Ultah PMII”. Kebetulan juga saat pengumuman, tulisan saya termasuk dari 20 tulisan yang terpilih. Sayangnya, hingga saat ini pencetakan buku antologi itu urung dilakukan, atau mungkin gak jadi dicetak. Anda bisa baca dengan klik disini. Tulisannya hanya seputar cerita bagaimana saya mulai masuk ke PMII dan bla bla bla. Jadi bisa anda lewatkan tulisan “lebay” itu.

Sebuah organisasi dimanapun itu berada, apalagi yang berasaskan ideologi tertentu akan menawarkan suatu nilai yang diperjuangkan. Nilai ini yang kemudian diharapkan dapat diterjemahkan kedalam konsep gerakan dan praksisnya. Disinilah para intelektual di organisasi berjibaku menyusun konsep, role model dan atau grand-design. Merumuskan konsepsi atau turunan praktis dari suatu nilai memang cukup pelik. Persisnya adalah ketika dihadapkan pada realitas yang rumit.

Menghadapkan keilmuan dan realitas memang seringkali timpang disatu sisi. Meskipun pada dasarnya, keilmuan lahir dari kajian atas realitas. Hanya saja, variabel yang tak terhingga pada realitas memaksa keilmuan membatasi ruang lingkupnya agar “lebih cepat” dalam menciptakan konsep/aturan.

Begitulah yang menurut saya pun terjadi pada PMII.  Nilai-nilai luhur dan cita-cita perjuangan yang diusung jelas 100% adalah nilai kebaikan. Namun pengejawantahan dari nilai ke PMII an dan hubungannya terhadap realitas seringkali tidak bisa memuaskan banyak pihak. Selain memang realitas ini barang sulit, tidak sedikit juga bagian dari PMII (mis: alumni) lupa terhadap konsepsi dari nilai-nilai keorganisasian. Atau mungkin juga terdistraksi dengan persoalan lain yang lebih rumit.

Tulisan reflektif sahabat saya di link ini adalah salah satu nya. Ia mempertanyakan posisi atau bahkan keputusan strategis PMII sebagai organisasi dalam menyikapi persoalan-persoalan bangsa ini. Misalnya ketimpangan sosial, ketidakadilan hukum, pelanggaran HAM, represivitas aparat, dll. Dimana posisi PMII dalam menyikapi masalah tersebut? Apakah pro? Kontra? Mendukung? Menentang? Dan jika sikap sudah dipilih dan ditunjukkan, lalu apa yang akan dilakukan PMII sebagai sebuah organisasi pergerakan?

Lebih lanjut, sahabat saya ini menyampaikan kritik atas peran mereka yang ia sebut intelektualis PMII. Ia menyampaikan bahwa mereka itu inkonsisten, eksklusif dan tidak substantif. Sehingga dalam kerja-kerja organisasi, dan dalam menghasilkan putusan-putusan organisasi tidak pernah benar-benar strategis. Padahal jika dilihat dari aspek nilai yang diperjuangkan, PMII adalah sebuah wadah yang mengusung nilai paripurna, minimal ini anggapan saya, hehe.

Agaknya, memang begitulah kebanyakan organisasi saat ini. Dengan harapan kolektivitasnya, alih alih menghasilkan putusan atau gerakan yang dapat menjawab tantangan zaman, ia malah terjebak stagnansi akibat dari ketidakmampuan mereka untuk bertindak kolektif. Penyebabnya macam-macam, yang paling kentara bisa saja karena sulitnya membaca dan menganalisis realitas sosial yang harus dihadapi. Atau lebih parahnya, boro-boro membaca, ia terdisktraksi dengan konflik internalnya sendiri dan berputar disitu situ saja.

Apakah kemudian organisasi semacam PMII ini kemudian tidak lagi relevan dengan zaman? Atau tidak lagi mampu menjawab problematika sosial yang dihadapinya? Saya tidak tahu jawaban anda, tapi bagi saya, dengan berbagai syarat-syarat yang harus dipenuhi, PMII atau organisasi sejenisnya masih relevan. Secara nilai, PMII sudah paripurna dan non-debatable, namun subjek dari organisasi itu sendiri yang harus terus berbenah. “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.”, perkataan Pram ini menurut saya dapat menjadi pijakan ideal untuk mulai proses berbenah.

Nilai-nilai yang diusung PMII akan terasa tidak ada harganya saat tidak memiliki turunan konsep atau tawaran yang jelas dalam implementasinya. Apa transformasi gerakan yang diusung PMII? Konsep apa yang ditawarkan PMII untuk bangsa ini? Sebagai kader atau alumni misalnya, sulit menjawab pertanyaan ini. Karena dalam tataran konsep dan praksis tak semudah seperti kita menjelaskan nilai-nilai luhur itu, terlebih dengan realitas sosial yang rumit, siapa kawan, siapa lawan, siapa benar, siapa salah, siapa yang objektif, siapa yang subjektif, dan saat terdapat isu-isu tertentu, PMII punya sikap yang ajeg dan teteg dimana ia berdiri dalam isu tersebut.

Mungkin saya harus cukupkan tulisan ambigu saya yang bukan siapa-siapa ini. Intinya, di harlah PMII ke 62 ini, semoga PMII terus dewasa, menjadi organisasi yang matang secara konsep gerakan, sehingga nilai-nilai yang diperjuangkan PMII bukan hanya sebatas bahan pidato atau orasi agar mulut kita berbusa, tetapi memiliki sederet konsep ciamik untuk memperjuangkannya terhadap realitas sosial yang mudah berubah seperti saat ini.

Dirgahayu Pergerakanku! Selamat Harlah PMII ke 62, Long Live Movement !!!

BUKAN HIMPUNAN TAPI PERGERAKAN

BUKAN HIMPUNAN TAPI PERGERAKAN

Saya menulis kado ini tepat 4 hari sebelum PMII berulang tahun. Secara momentum, insya Allah tulisan ini tidak menjadi kado yang terlambat untuk saya berikan kepada PMII. PMII akan genap berusia 56 tahun. Usia yang tak lagi muda untuk ukuran sebuah organisasi kemahasiswaan. Usia yang apabila dimiliki oleh manusia, adalah usia yang kenyang akan pengalaman, dan sudah banyak kontribusi yang diberikan dalam sebuah masyarakat. Sehingga kemudian saya berharap, semoga dalam momentum ini, dengan berbagai pengalaman yang telah dimiliki PMII di masa lalu, PMII mampu berkontribusi secara nyata melalui gagasan dan gerakan yang dimiliki kader PMII untuk agama dan bangsa. Seperti yang termaktub dalam Mars PMII, alunan indah nada “Pembela Bangsa, Penegak Agama” menjadi sebuah alunan indah pergerakan revolusi Indonesia menuju tercapainya cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia.

PMII yang merupakan singkatan dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia memiliki diksi ideal yang menggambarkan sebuah organisasi yang notabene memiliki asas dinamis, progresif, dan berkemajuan. Bergerak berarti maju, tak berdiam, dan anti-stagnansi. Berbeda dengan organisasi lain yang notabene banyak menggunakan kata “Himpunan”. Himpunan yang berarti berkumpul, sering dikonotasikan sebagai antonim dari kata “Pergerakan”. Himpunan cenderung diasumsikan dengan bahasa stagnasi, anti-dinamis, anti-progresif, diam, dan tak berkemajuan. Secara kontekstual, dapat diartikan bahwa PMII dengan Pergerakannya selalu harus lebih maju dari organisasi yang hanya berlabel Himpunan. Begitu kata senior saya saat mengikuti MAPABA tiga tahun silam.

Meskipun perkataan senior saya ini cenderung berbau doktrinasi, namun perkataan ini tak serendah bahasa doktrinasi. Memang pada dasarnya, diksi Pergerakan lebih bermakna daripada diksi Himpunan, meski dalam konteks yang lain, penggabungan 2 kata ini bisa dibilang memberikan arti yang lebih ideal. Saya teringat akan sebuah quote berbahasa arab yang berarti, “Tidak ada kemenangan tanpa kekuatan, tiada kekuatan tanpa pergerakan, tiada pergerakan tanpa kebersamaan, tiada kebersamaan tanpa persatuan”. Statemen ini menggambarkan hubungan kata pergerakan, himpunan, dan persatuan yang saling membangun satu sama lain. Terlepas dari hal tersebut, sebagai organisasi yang didalam namanya mengandung kata pergerakan, PMII dan kadernya memiliki nilai lebih, yakni bagaimana kemudian secara moril, PMII dan para kadernya dituntut untuk terus bergerak secara dinamis dan progresif menuju terealisasinya tujuan organisasi (Pasal 4 AD PMII). Sehingga kemudian, kader PMII pantas menyandang sebagai kader pergerakan, warga pergerakan atau apapun istilah yang berkonotasi ke arah sana. Bagaimana PMII mengartikan sebuah makna pergerakan juga tersirat dari idiom yang masyhur di PMII, “Mundur satu langkah adalah suatu bentuk PENGKHIANATAN!”. Idiom tersebut mensinyalir akan bagaimana PMII sangat menuntut kadernya untuk bergerak maju dan dinamis, tak boleh mundur sedikitpun, bahkan hanya satu langkah.

Sebetulnya, dalam tulisan ini, saya hanya ingin menyampaikan sedikit hal terkait pengalaman pribadi saya dalam berproses di PMII. Secara eksplisit, tidak ada sedikitpun hubungan antara judul yang saya ambil dengan tujuan saya menulis ini. Bisa dibilang, judul tulisan ini agak ngawur. Namun secara implisit, insya Allah pembaca akan mendapatkan korelasi antara judul yang saya ambil dengan isi tulisan ini. Karena pada proses saya belajar di PMII, saya merasa ada beberapa tahapan dimana saya merasa berkembang dan mengalami progres secara keorganisasian dan soft skill di PMII, meskipun saya masih tetap bodoh dan tak kunjung pandai hingga saat ini.

Mengawali tulisan ini, saya mencoba menerawang kembali atas apa yang terjadi 3 tahun yang lalu, dimana saya menginjakkan kaki pertama kali di PMII. Sebelumnya, saat SMA, saya sudah mengenal PMII dari adik sepupu saya yang berkuliah di ITS. Pada saat itu, saya hanya tahu bahwa PMII adalah organisasi berhaluan ASWAJA. Maklum, saya merupakan alumni pondok pesantren dan ber-background NU. Ketika saya masuk kampus dan menemukan banyak senior di kampus yang merupakan kader PMII, saya tak berpikir panjang lagi untuk bergabung dan menjadi bagian dari PMII. Berhubung saya berkuliah di Fakultas Sains dan Teknologi, bergabunglah saya dengan PMII Rayon “Pencerahan” Galileo yang merupakan rayon yang menaungi kader-kader eksakta di UIN Maliki Malang

Dalam proses mengikuti MAPABA, saya sejujurnya terkagum-kagum dengan narasumber MAPABA. Materi-materi yang ada memang benar-benar ilmu baru bagi saya dan terdapat pengembangan pemikiran daripada apa yang pernah saya pelajari di pondok pesantren dulu, salahsatunya adalah bagaimana PMII memposisikan ASWAJA sebagai Manhaj. Singkatnya, ada perubahan paradigma berpikir. Yang paling membuat saya sangat terinspirasi adalah grand design kaderisasi PMII Rayon “Pencerahan” Galileo pada saat itu yang mengusung gagasan “SAINTIS AKTIVIS”. Sepemahaman saya, SAINTIS AKTIVIS bisa didefinisikan sebagai mahasiswa yang berlatarbelakang disiplin ilmu sains yang berbeda dengan mahasiswa sains lainnya. Mereka dituntut untuk aktif pula dalam berbagai macam interaksi sosial di lingkungannya, belajar berkontribusi terhadap masyarakat sekitar, dan berorganisasi sebagai langkah pengkolektifan pengembangan sains di Indonesia. Saya benar-benar terilhami akan gagasan tersebut.

Gagasan tersebut juga berhubungan dengan berbagai fakta menarik terkait bagaimana perjalanan PMII dalam bingkai perkembangan dunia sains dan teknologi. Hingga saya menjadi pengurus rayon, saya sering mendapatkan beberapa ungkapan akan adanya perbedaan antara mahasiswa eksakta (baca: sains) dengan mahasiswa non-eksakta, baik itu dari konsep kaderisasi, pengembangan wacana, bahkan arah dan lapangan geraknya. Sahabat-sahabat saya juga sering bercerita kalau mereka pernah mendapatkan dongeng dari senior, bahwa sahabat-sahabat senior (baca: pasca-rayon) pernah mengemukakan gagasan-gagasan akan pentingnya perumusan silabus kaderisasi khusus rayon eksakta di beberapa forum-forum formal PMII, seperti MUSPIMCAB, namun seringkali tak menemukan hasil yang konkrit dan selesai di meja forum saja.

Secara pribadi, saya menilai bahwa gagasan diatas sangat perlu untuk diperjuangkan karena memiliki unsur-unsur progresif dan dinamis yang patut diperjuangkan. Di era globalisasi yang sarat akan persaingan pengembangan IPTEK, menurut saya, sangat penting untuk kemudian Indonesia dibawa ke ranah pengembangan IPTEK berkelanjutan. Dan saya sangat berharap, gagasan dan gerakan tersebut lahir dari PMII selaku organisasi yang (seharusnya) menjunjung tinggi progresivitas dan anti-stagnansi. Sehingga, saya beserta sahabat-sahabat mencoba untuk menjadi promotor akan pengembangan wacana pengembangan sains dan teknologi di PMII dari berbagai aspek melalui sebuah gerakan menulis dengan mengangkat tema “PMII dalam bingkai Eksakta”, yang nantinya diharapkan menjadi sebuah buku yang menampung gagasan sahabat-sahabat yang berasal dari rayon/komisariat eksakta terkait wacana ini. Semoga.

Dalam konteks eksistensi, saya juga sempat dipercayai untuk menjadi delegasi di organisasi intra kampus sebagai Ketua HMJ Kimia, menjadi Sekretaris DEMA-FST dan berupaya pula untuk mencalonkan diri menjadi presiden DEMA UIN Maliki Malang meski gagal di konvensi heksa rayon pada saat itu. Pengalaman ini tentu tidak akan saya lupakan dan menjadi pelajaran berharga bagi saya pribadi.

Selain pengalaman diatas, banyak pengalaman berharga yang saya dapati di PMII yang akan melebihi syarat penulisan esay ini apabila saya tulis seluruhnya. Kepercayaan, persahabatan, pembelajaran, nasihat, dan dinamika berorganisasi PMII secara menyeluruh sangat mempengaruhi progresivitas keilmuan saya hingga saat ini. Sebuah pengalaman yang tidak akan bisa didapatkan oleh saya di luar PMII. Saya adalah seorang perantau dari kota kecil di Jawa Barat. Sebagai manusia yang perlu diakui keberadaannya, adalah sebuah kebanggaan yang luar biasa bisa bertemu sahabat-sahabat yang menyambut baik keberadaan saya di PMII hingga saya masih tetap bertahan bersama PMII hingga hari ini. Terimakasih untuk sahabat-sahabati PMII di seluruh Indonesia. Terimakasih atas ilmu yang telah diberikan oleh sahabat-sahabati sekalian.

Akhir kata, semoga tulisan saya ini pantas menjadi kado ulang tahun PMII ke 56 dan bisa menjadi inspirasi bagi warga pergerakan dimanapun berada. Saya sadar bahwa tulisan ini banyak terdapat unsur subjektif dalam opini-opini yang tertuang didalamnya. Hal tersebut tak luput dari kebodohan saya selaku manusia yang masih goblok dan perlu terus belajar dalam menjalani kehidupan. Tulisan ini saya dedikasikan sebagai kado Ulang Tahun PMII yang ke 56. Semoga ke depan, PMII terus istiqomah melahirkan generasi “Pembela Bangsa, Penegak Agama”. Semoga PMII mampu untuk terus mendinamisasi pergerakannya (karena bukan sekedar himpunan/ikatan), sehingga memiliki relevansi output kader yang mampu menjadi garda terdepan bangsa ini. Teringat akan apa yang pernah dikatakan sahabat Rodli Kaelani, “Kun Ibna Zamaanika!, Jadilah Generasi Emas di Zamanmu!”, maka kader PMII harus menjadi generasi emas yang mampu membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik dimasa depan. Selaku bagian dari kader PMII eksakta, saya berharap ke depan akan tercipta sebuah blueprint pola pengembangan kader eksakta di PMII. Bahkan tak hanya eksakta, mungkin bisa juga dirancang sebuah blueprint pengembangan kader PMII sesuai disiplin ilmunya, sehingga pengembangan potensi kader PMII bisa lebih terarah dan mampu menjadi leader di sektor-sektor penting komponen bangsa ini. Tentunya dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai dan tujuan PMII. Selamat Ulang Tahun PMII yang ke-56! Bersemilah, bersemilah, Tunas PMII… Tumbuh Subur, Tumbuh Subur, Kader PMII, Kau Harapan Bangsa….

Fawwaz Muhammad Fauzi

PMII Rayon Pencerahan Galileo

Komisariat Sunan Ampel Malang