Di dunia pesantren, sanad adalah hal yang penting, bahkan ada sebuah istilah populer bahwa “al isnadu minaddin, laulal isnad laqola man sya’a wa ma sya’a”, sanad adalah bagian dari agama itu sendiri, kalau tidak ada sanad, maka orang akan ngomong karepe dewe. Maka dalam tradisi pesantren, saat berpendapat dan berucap “menurut saya”, itu adalah semacam hal yang tabu. Karena sebagai ahli ilmu, berpendapat itu harus bersandar kepada keilmuan itu sendiri, jadi titik komprominya adalah “menurut pemahaman saya” dari kitab A, bla bla bla.
Sebagian orang berpendapat, pola semacam itu membatasi kebebasan berpikir. Bagi saya tidak. Karena dalam kita mensintesa pemikiran/pendapat, kita harus mendasarkannya pada referensi-referensi yang dapat dipertanggungjawabkan. Tidak boleh ngawur. Berkata “menurut saya” mungkin sah-sah saja, asal ia melanjutkan “berdasarkan pada ….”. Inilah yang bagi saya, antara dunia pesantren dan dunia akademik modern punya titik temu yang sama. Ia sama-sama menghargai mata rantai keilmuan. Pesantren dengan sanad sedangkan akademik dengan sitasi, pesantren dengan hujjah ulama sedangkan akademik dengan argumentasi berlandaskan literatur, pesantren dengan kitab kuning, akademik dengan peer-reviewed journal.
Dalam belajar ilmu agama, sering kita dengar bahwa guru yang paling banyak mendapatkan pahala adalah guru yang mengajarkan alif ba ta hingga lancar surat al-Fatihah. Rasionalisasinya beragam, tapi satu hal yang pasti, huruf hijaiyyah, sepanjang ia belajar keislaman dari literatur kitab kuning, semuanya berdasar pada kemampuan dasar pengenalan alif ba ta. Aplikasi yang interdisipliner ini membuat “guru alif ba ta”-lah yang panen pahala di masa depan, kira-kira Kyai yang mengajari ia alfiyah beserta syarah-syarahnya itu pahalanya lebih kecil dari kyai kampung alif ba ta.
Begitupun saat saya mempelajari ilmu kimia, kesukaan saya pada ilmu kimia bermula saat sekolah di Madrasah Aliyah dengan guru yang menyenangkan saat itu. Pak Unang dan Ibu Susi namanya. Bu Susi mengajarkan SPU hingga deret homolog alkana dengan nadzam-nadzam ala lalaran yang familiar dengan santri. Pak Unang memberi banyak insight tentang kimia yang membuat saya pada akhirnya mantap memilih Kimia sebagai program studi prioritas saat berkuliah nanti.
Saat melanjutkan studi S-1 di Kimia UIN Malang, meski sempat terseok-seok di awal, dibawah bimbingan dosen disana, seperti Pak Tri, Bu Diana, Pak Naim, Pak Hanapi, Bu Rahma, Bu Elok, dll, alhamdulillah saya berhasil menyelesaikan studi. Kira-kira, guru alif ba ta kimia saya adalah pak Unang dan Bu Susi saat MA dan para Dosen Kimia UIN Malang. Maka, saya akan tegas mengatakan bahwa Sanad Kimia saya berasal dari Kimia UIN Malang. Bu Susi dan Pak Unang mengajarkan saya bedanya ba, ta, tsa, jim, ha, kho berdasarkan titik-titik yang ada, Dosen Kimia UIN Malang mengajarkan saya alfatihahnya sehingga saya memutuskan untuk melanjutkan S2 di Kimia juga karena sudah kadung cinta dengan bidang ilmu ini.
Kemarin (5/6/2025) adalah titik dimana saya telah ditetapkan sebagai CPNS Dosen Tadris Kimia UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon. Tentu ada rasa bahagia atas semua proses yang telah saya jalani hingga saya pada akhirnya bisa tiba pada “Titik Awal” impian saya ini. Selain kepada orang tua, istri dan semua keluarga yang mendoakan, saya juga harus haturkan banyak terimakasih pada semua guru dan dosen kimia saya. Karena dari beliau-beliau lah sanad kimia saya dapatkan. Tentu saja saya ucapkan terimakasih kepada Bapak/Ibu Dosen S2 Kimia UNPAD, Prof Tri, Prof Tati, Bu Lela, Bu Desi, Bu Darwati, Prof Unang, Pak Ari dan semuanya. Dari beliaulah saya lebih lanjut bisa maknani/ngafsahi kimia lebih lanjut, khususnya maknani spektra 2D-NMR, hingga mensyarahi hasil running in silico hehehe, terimakasih!
Akhiron, semoga semua guru dan dosen saya di bidang Kimia dan bidang lainnya diberi kesehatan dan panjang umur, diberkahi dalam sepanjang hidupnya. Dan doakan saya semoga bisa menjadi seperti beliau-beliau yang dapat menelurkan murid-murid hebat, menjadikan ilmunya bermanfaat dan meluas di dunia akademik dan di masyarakat, amin ya robbal alamin.
Emosional. Kata itu yang mendeskripsikan wisuda saya kemarin. Memang jika dilihat dari berbagai sisi, studi S2 ini berbeda 360° dengan saat saya menyelesaikan studi S1 dulu. Jika dulu, urusan menyelesaikan S1 ini terbilang saya capai dengan target-target yang santai. Sejak saya masuk Jurusan Kimia di UIN Malang, saya memang realistis saja. Berangkat dari Pesantren yang notabene salaf, dimana urusan sekolah bukan prioritas utama, saya cukup keteteran untuk mengimbangi ritme pembelajaran di Jurusan Kimia. Jelas saja, yang awalnya dipesantren dulu sibuk menghafal jurumiyah hingga alfiyyah dan mengkaji kitab-kitab kuning, saya tiba-tiba harus banting setir menjadi arsitek molekul. Maka memang sejak awal, target saya gak muluk-muluk, tidak akan lulus tepat waktu, melainkan akan lulus di waktu yang tepat, hehe.
Saya menempuh studi S1 selama 10 semester, ngaret setahun dari target umum mahasiswa lain. Selain memang realistis akibat latar belakang saya diatas, saya juga bersyukur bisa memaksimalkan waktunya dengan berkecimpung di organisasi kemahasiswaan, baik di OMIK maupun di OMEK, sehingga soft-skill saya macam public speaking, menulis perjuangan nilai, manajerial dan lain-lain menjadi terasah. Dengan berbagai keriweuhan yang ada saat S1 dulu, jika meminjam istilah Tan Malaka, saya terbentur, terbentur, terbentur, lalu terbentuk. Terimakasih saya ucapkan untuk semua mentor dan rekan organisasi saya. Jadi bagi saya, lulus 10 semester bukan aib, tapi ‘kebanggaan’, hahaha. Saya jadi teringat saat saya masuk perkuliahan pertama kali, saat itu dosen menanyakan satu per satu mengenai alasan masuk Kimia UIN Malang, banyak dari teman-teman saya menjawab ‘kepleset’, sebenernya ingin masuk UB/UM/UNAIR/ITS/DLL, tapi lotrean SNMPTN menunjuknya ke UIN Malang itu, apa boleh buat. Jawaban saya berbeda dari mereka, “Bisa kuliah saja saya bersyukur terlebih di Jurusan Kimia yang di mata teman-teman saya saat MA di pesantren dulu adalah mapel yang menakutkan.”. Begitu.
Saat wisuda S1 dulu, saya merasa tidak perlu ada euforia yang menggebu-gebu. Saya pikir, ya namanya mahasiswa, selama ia tetap ada keinginan dan usaha untuk lulus, kelulusan adalah keniscayaan. Ia akan dilalui. Jadi ya biasa saja. Wisuda hanyalah perayaan atas keniscayaan itu. Begitu pikir saya. Dan saya melakukan apa yang perlu saya lakukan untuk lulus dengan lurus-lurus saja. Seminar Proposal, Ujian Komprehensif, Sidang Skripsi hingga Yudisium saya lalui tanpa emosi yang gimana-gimana gitu. Datar saja.
Tapi saat S2, ternyata pengalamannya berbeda. Saya melanjutkan studi magister kimia di UNPAD Jatinangor. Saat memulai studi, saya memang sudah menikah, bahkan saat wisuda kemarin, saya sudah punya dua bocil. Dengan kondisi yang sudah berkeluarga dan tinggal bersama orang tua, jelas cara menjalaninya sangat berbeda dengan saat S1. Setiap minggunya saya pulang pergi menempuh perjalanan 3-4 jam dari Rajagaluh ke Jatinangor dengan ‘si putih’ Vario yang setia menemani. Berangkat senin pagi, pulang jumat sore. Hal itu terjadi selama satu setengah tahun. Jelaslah kerinduan terhadap istri dan anak adalah magnet yang kuat yang menarik saya untuk tidak menghabiskan akhir pekan di Jatinangor. Apalagi jika istri mulai melantunkan rayuan-rayuan maut, meski raga masih di Jatinangor, jiwa saya sudah otw duluan, haha.
Selain itu, memang saya di rumah merintis usaha bersama istri dengan berjualan online. Yah, alhamdulillah lancar dan cukup untuk menghidupi kami dan keluarga. Karena jualan online ini modalnya otak atik marketplace, bidang ini setidaknya kapasitas dan andil saya. Mempelajari sistem, daftar promo, dekorasi toko hingga desain grafis untuk toko kurang lebih adalah jobdesc saya. Disamping itu juga, sesekali membantu meringankan pekerjaan orang tua. Jadi setiap weekend, saya istirahat dan juga, bekerja. Terlebih, dari semester 3 hingga lulus di semester 6, saya sudah tidak mendapatkan ‘beasiswa orang tua’ lagi alias biaya sendiri.
Corona pun tiba. Semuanya hampir lumpuh dan jatuh. Terlebih si corona ini juga ‘bertamu’ ke keluarga kami pada november 2020 lalu. Studi mandek, bisnis merosot, untungnya saat itu perkuliahan saya sudah selesai dan tinggal tesis saja. Tapi gak untung juga sih, karena mahasiswa kimia tugas akhirnya ya harus ngelab kan, dan laboratorium ditutup saat pandemi COVID-19 melanda. Kadang-kadang dibuka dengan protokol ketat, yang jelas menurunkan efektivitas dan produktivitas kerja lab. Efeknya, studi saya molor sampe 2 semester. Dan, SPP/UKT harus tetap dibayarkan full dengan waktu studi yang angin-anginan akibat si kopid nain tin. Keringanan? Tak seperti mahasiswa S1 yang banjir dukungan dalam keringanan pembayaran, mahasiswa pascasarjana ini bagai dianak tirikan. Bayarnya tetep full, meskipun ada toleransi dalam mekanisme pembayaran yang dibagi kedalam 2 tahap, itupun jika melakukan pengajuan.
Selesailah urusan lab, mulailah melanjutkan BAB IV dan penyusunan jurnal untuk publikasi yang harus internasional. Saya kerjakan semuanya saat mudik ke kampung halaman istri di Malang. Sebetulnya ya bukan mudik sih. Soalnya saya berangkat ke Malang dua bulan setelah hari raya idul fitri, menunggu dulu kira-kira situasi pandemi sudah cukup tertangani. Malu juga sih sama mertua, karena setiap malam mesti melekan untuk berjibaku dengan ‘sandi rumput’-nya NMR wakhwatuha. Syahdan, selesailah penyusunan tesis dan publikasi ini. Saya mendaftar untuk sidang tesis dan terselenggara di tanggal 21 Juli 2021 secara daring, dan alhamdulillah di tanggal 4 November 2021 kemarin bisa mengikuti prosesi ‘WISUDA DRAMATIS’ yang juga daring. Dramatisnya, dilain waktu mungkin akan saya dongengkan.
Berbeda juga dengan saat lulus S1 dulu, saya kurang lebih bersikap bodo amat terkait foto-foto. Mau foto-foto wisuda atau engga pun gak masalah. Cuek cuek saja. Foto-foto itu cenderung tidak penting. Yang penting itu perjuangan setelahnya, begitulah idealisnya saya pada saat itu, hahaha. Tapi sekarang ini, tensi untuk pengen foto-foto ini cukup tinggi. Mungkin efek dari nilai perjuangan untuk lulus yang lebih keras kali ya. Jadi, pagi nya prosesi wisuda, sorenya langsung meluncur ke studio foto untuk melangsungkan cekrek-cekrek bersama keluarga. Meski sebenarnya, kegupuhan foto-foto itu lebih kepada sulitnya nyari waktu di hari-hari setelahnya, kebetulan adik saya lagi persiapan pembekalan internship dokter, sedangkan toga harus segera di kembalikan ke pihak UNPAD. Oh iya, bagi saya toga UNPAD ini keren. Ada kombinasi batik dan warna yang ciamik. Katanya sih sekilas mirip jubah Sekolah Sihir Hogwarts di film Harry Potter. Jika toga sarjana berwarna merah yang mirip merahnya Gryffindor, yang magister ini mirip hijaunya Slytherin. Dan ada juga yang berwarna biru layaknya Ravenclaw.
Mungkin dari pembaca sekalian ada yang berujar, “Ah, perasaan biasa saja, gak ada perjuangannya, sok iyes aja nih,”, dll. Mungkin ini memang berangkat dari aspek yang subjektif, bahwa pergulatan yang terjadi saat studi S2, dimana harus saya bagi waktunya untuk anak istri, juga membantu orang tua atau dalam bahasa lainnya, birrul walidain, kemudian harus menjalankan bisnis untuk minimal, bisa menghidupi keluarga dan membayar uang kuliah, yang waktunya tidak bisa digunakan secara maksimal akibat kopid nain tin itu. Semua itu bagi saya sangat terasa emosional. Kelulusan itu terasa melegakan, atau dalam peribahasa sunda disebut ‘asa bucat bisul’.
Saya sadar bahwa kelulusan ini bukanlah akhir dari perjuangan hidup. Ini justru baru awal. Sama seperti S1 dulu. Lulus menjadi sarjana adalah titik awal dimana hidup yang sebenarnya dimulai. Bahkan saya dan teman-teman sering beranekdot terhadap mereka yang wisuda itu. “Wah, barisan pengangguran baru telah diluncurkan, wkwkwk.”. Tapi katanya, mereka yang melanjutkan ke jenjang magister adalah pengangguran yang terhormat, hahahaha. Dan, apakah saya akan melanjutkan ke jenjang S3 untuk melanjutkan status sebagai pengangguran terhormat? Ya, saya punya keinginan itu. Tapi belum untuk saat ini. Saya ingin mencari pengalaman dulu. Semisal berkecimpung di dunia pendidikan dengan mengajar di kampus. Semoga saja ada peluang itu.
Akhiron, apapun yang terjadi dalam hidup saya kedepan. Yang penting adalah berupaya untuk bermanfaat untuk sesama. Saya teringat dawuh dari Mbah Sahal Mahfudz ini, “Menjadi baik itu mudah, dengan diam, maka yang terlihat adalah kebaikan. Yang sulit itu menjadi bermanfaat, karena itu butuh perjuangan.”. Terimakasih saya ucapkan kepada keluarga saya, orang tua, istri, kedua anak saya, karyawan-karyawan saya yang baik hati, dan semua yang membantu dalam proses studi saya, baik secara moril dan materil. Jazaakumullah ahsanal jaza. Terimakasih juga kepada ibu Dr. Tri Mayanti, M.Si dan ibu Prof. Dr. Tati Herlina, M.Si, duet pembimbing saya yang sangat baik dan sabar dalam membimbing saya. Kepada guru-guru saya, kyai-kyai saya, dosen-dosen saya baik saat S1 maupun S2. Semoga sehat selalu, bahagia dan panjang umur. Amiiin.
Wallahu a’lam.
ATOMIC OF ME
Hai, Saya Fawwaz Muhammad Fauzi, suatu produk hasil persilangan genetik Garut-Majalengka. Menjadi Dosen Kimia adalah profesi utama saya saat ini. Selain itu, ya membahagiakan istri, anak dan orang tua. Melalui blog ini, saya ingin menuliskan kisah-kisah keseharian saya yang pasti receh. Mungkin sedikit esai-esai yang sok serius tapi gak mutu. Jadi, tolong jangan berharap ada naskah akademik atau tulisan ilmiah disini ya, hehe.
Kalau ada yang mau kontak, silahkan email ke [email protected]. Udah itu aja.