Kampanye (Anti) Arab

Kampanye (Anti) Arab

Kemarin, baru saja saya membaca pesan di grup WA Ngaji Aswaja NU mengenai perilaku kehidupan dan saat kematian Mustafa Kemal Attaturk, Revolusioner dan Bapak Bangsa Turki.

Pesan itu menceritakan Attaturk yg sangat an ti-Arab dengan gagasan sekuler-radikal nya. Mengganti Adzan dengan bahasa turki, melarang pakaian ‘kearab-araban, hingga membunuh ulama-ulama yg tidak sepaham dengannya. Kemudian diceritakan bahwa “SI ANTI ARAB” ini diakhir hayatnya menderita berbagai macam penyakit, kemudian disebut bahwa bumi tidak menerima jasad Attaturk, sehingga Attaturk tidak dikebumikan, melainkan jasadnya hanya ditanam di celah-celah batu marmer.

Diakhir pesan grup itu, si penyebar menulis : ” Begitulah kematian si Anti Arab, ada yang mau mengikutinya?”

Saya memandang pesan ini sangat tendensius. Mencoba mendogmatisasi umat muslim, khususnya Nahdliyyin untuk menjauhi NU dan Kyainya secara perlahan.

Pesan itu mencoba menipu pemahaman kita akan apa yang diperjuangkan NU. Harus kita pahami, bahwa apa yang dikampanyekan NU bukanlah kampanye anti-Arab atau bahkan program sekularisme seperti yg dilakukan Kamal Atatturk di Turki. Yang dilakukan NU dalam melindungi tradisi Nusantara dan mengintegrasikannya dengan praktik keagamaan islam adalah bahwa NU sangat memahami akan pentingnya budaya sebagai pondasi kemajuan suatu bangsa. Sehingga budaya hari ini, termasuk dalam praktik asimilasi kebudayaan dan religiusitas harus dilindungi sebagai identitas dan local wisdom.

Sedangkan apa yang dilakukan Attaturk terhadap Turki adalah dengan tidak mengakui islam sebagai agama yang memiliki nilai progresivitas dalam membangun bangsa. Ia meminggirkan islam ke pojokan dan memandang islam sebagai agama yang tidak bisa mendukung kemajuan dalam praktik bernegara. Hal ini jelas jauh berbeda dengan pemahaman NU dimana NU mengimani bahwa nilai-nilai keislaman memiliki ruh yang berkemajuan sebagai modal bagi bangsa kita untuk tetap kokoh bersatu dan terus melaju. Terbukti dengan diterimanya Pancasila sebagai ideologi negara dan meyakini bahwa didalam Pancasila mengandung nilai-nilai inklusif islam yang layak diperjuangkan oleh seluruh elemen Nahdliyyin Nusantara.

Selain itu, mengenai klaim anti-Arab secara tidak langsung pada NU, tuan-tuan dan puan-puan bisa cek di pesantren-pesantren NU, bahwa pembelajaran awal yang dilakukan adalah pembelajaran bahasa arab melalui kitab-kitab klasik macam Jurumiyah, Imrithi, Al Maqshud, Alfiyyah Ibn Malik, dan Amtsilah Tasrifiyyah. Termasuk pesantren almamater saya sendiri yang memiliki kekhasan takhossus Ilmu Bahasa Arab.

Bagaimana bisa NU anti-Arab dengan mempelajarinya. Sama dengan tuan tidak menyukai kopi, tetapi tetap meminumnya. 😁

Mengenai relasi Arab dan Islam, bahwa islam memiliki kaitan dengan arab, tapi tidak selalu yang berbau arab itu islam.

“Kelapa memang bulat, tapi tidak setiap yg bulat itu kelapa.”

Jadi, sudahlah, jangan sampai kita mau dijauhkan dari NU dan para kyai dengan asumsi dangkal dan penggiringan opini kaum sumbu pendek, bahwa NU sedang melakukan kampanye anti-Arab. NU hanya sedang mengajak kita untuk bangga menjadi umat islam dan bangsa indonesia yang berkepribadian.

Anti Arab memang salah, karena seharusnya Huwa Arab atau Anti Arabti, hehe

Wallahua’lam.

Salam.

Nyatanya, Kita Masih Butuh Banyak “PAHLAWAN”

Nyatanya, Kita Masih Butuh Banyak “PAHLAWAN”

sumber : kompasiana.com
Hari Pahlawan memang sudah lewat 2 hari yang lalu. Tapi berbicara pahlawan, saya punya pengalaman menarik sewaktu kecil. Saat masih duduk di Sekolah Dasar (SD), kita akan akrab sekali dengan ejekan sesama kawan. Ejekan yg paling populer adalah nama si bapak, turun ke ejekan-ejekan nama binatang, terakhir barulah ejekan-ejekan Abdul (love) Siti. Kawan-kawan saya, termasuk saya biasa menuliskannya di papan tulis, di meja dengan tipe x, bahkan diucapkan dengan bahasa tubuh yang ngece. Dari ejekan-ejekan itu, ada yang menanggapi dengan balas ngece dan ngamuk, ada juga yang diam tak berani, adapula yang tak berpengaruh dan acuh akan ejekan yang dilontarkan. Ah, masa kecil memang menyimpan sejuta kenangan yang komplit. Dari ejekan teman semasa kecil, setidaknya kita sudah belajar untuk bermental baja dan tak mudah tersinggung dengan statemen orang lain. Dan salahsatu dari sekian banyak ejekan yang disematkan oleh kawan-kawan masa kecil saya kepada saya adalah PAHLAWAN.
Saat diejek pahlawan, saya marah di dalam hati. Bukan karena saya tak pantas menyandang gelar pahlawan karena belum ada keputusan presiden atau pengakuan dari negara, tapi karena hal yang melatarbelakangi penyematanpahlawan kepada saya. Begini ceritanya, saat diajak orang tua sahabat saya ke Pantai Pangandaran, saya bersama sahabat-sahabat masa kecil berangkat menggunakan truk. Saya sangat senang karena mendapatkan tempat duduk diatas tempat supir bersama karyawan ortu sahabat saya dan salahsatu sahabat saya. Angin semilir saat truk berjalan itu sangat menyejukkan. Sahabat saya yang lain yang kebagian tempat duduk di dalam box truk ingin gantian duduk dengan saya diatas. Saya jelas tidak mau karena masih baru beberapa menit. “Bentar lagi lah”, sahutku. Diam-diam sahabat-sahabat saya itu menggunjing saya di box truk dan tiba-tiba berteriak, “Hoy, Pahlawan!”, aku menoleh diiringi tawa sahabat-sahabat saya dibawah. Sejak saat itulah ejekan PAHLAWAN disematkan kepada saya. Saya kesal sekali waktu itu.
Katanya, menggunjing saya di sepanjang perjalananan gak ada habisnya. Selalu ada saja yang bisa diungkit dari diri saya yang membuat sahabat-sahabat saya tertawa. Karena banyaknya kisah yang bisa digunjingkan dari saya, maka saya disebut PAHLAWAN. Seperti cerita pahlawan-pahlawan Indonesia yang tak pernah habis diceritakan guru-guru di sekolah. Tentunya, gelar ke-PAHLAWAN-an saya tak seperti pahlawan-pahlawan dulu yang mati mulia membela tanah air, tapi berkonotasi negatif dan ejekan. Ah, tapi seiring berjalannya waktu, ejekan familiar itu jadi tak mengganggu, malah menambah keakraban saya dan sahabat-sahabat satu sama lain.
Dari kisah tersebut, ada hal penting yang bisa kita ambil benang merahnya, bahwa anak kecil pun sudah tahu apa arti pahlawan. Mereka pahlawan bangsa ini adalah orang yang memiliki kisah-kisah heroik dalam membela kebenaran. Pahlawan yang diambil dari bahasa Sanskerta berarti buah/hasil. Sehingga, pahlawan adalah mereka yang mampu menghasilkan perubahan-perubahan yang memiliki kebermanfaatan bagi sesama, merubah yang salah menjadi benar. Nah, jika demikian, saya kira dari bobroknya sistem pendidikan nasional kita, masih ada nilai-nilai yang bisa dipahami anak-anak SD. Pendidikan inklusif berbasis nilai masih ada yang mancep, meski banyak aspek yang perlu dibenahi dari sistem pendidikan kita, dari mulai pelajaran sejarah yang banyak tipu-tipu, dikotomi sekolah unggulan dan non-unggulan, pragmatisme fungsi perguruan tinggi, dll.
Kembali ke konteks pahlawan. Apa sih pahlawan itu? Setelah membaca tulisan Sahabat Fathul berjudul “Sudahlah, Pahlawan itu Paradoks!”1. Saya diajak berfikir mengenaik esensi kepahlawanan itu sendiri. Bagaimana seharusnya kita menginternalisasi nilai-nilai kepahlawanan? Apakah dimaknai dengan mereka yang dulu berjuang untuk memproklamasikan kemerdekaan? Atau dimaknai dengan mereka yang mendapat gelar kepahlawanan dari pemerintah? Atau bahkan dimaknai dengan superhero ala marvel yang sukses besar menjadi box office? Power rangers? Satria Baja Hitam? Kesatria Bima X? Ah, semua itu terlalu dangkal untuk mendeskripsikan arti sebuah kata “PAHLAWAN”, kurang dalam. Terlalu pendek, kurang PANJANG.
Sedikit melihat kondisi bangsa ini. Indonesia dengan Sumber Daya Alam (SDA) bahkan Sumber Daya Produksi Anak (SDPA) yang besar dan tinggi ini belum juga mampu membawa rakyatnya menuju kesejahteraan dan keadilan sosial. Terlebih sejak banyaknya pengelolaan-pengelolaan SDA dan SDPA yang di monopoli rezim “Calon Pahlawan Golongan K” yang gak jadi itu. Dia alihkan penguasaan SDA ke tangan-tangan asing, SDPA juga tak kalah, KB diluncurkan untuk mengontrol SDPA ini. Kalo mau tau datanya, coba aja sahabat googling sendiri, tapi hati-hati, cari sumber yang kredibel. Coba search bagaimana penguasaan asing atas kekayaan SDA milik kita. Luar Biasa! Hampir 100% dikuasai asing. Kalo sekedar mengelola sih gak masalah, tapi bagi hasilnya itu lho gak asik. Selain itu, mereka merusak lingkungan! Lihat saja Banyuwangi itu. Ada juga data dari WALHI Jatim tentang Kerusakan Alam di Jawa Timur yang menyebutkan kerusakan hutan di Jatim sudah sampai angka 700.000 Ha. Kerusakan itu jelas mengundang banyak bencana, macam longsor, banjir, dll. Menilik sedikit ke Kota Sebelah yang Metropolitan itu, Kota Surabaya. Bahkan WALHI berani mengklaim bahwa Warga Surabaya Minum Racun setiap Hari! Bagaimana tidak? 33,5 ton limbah dibuang ke Kali Surabaya setiap harinya. 33,5 ton itu segimana? Konversi sendiri aja, phonenya kan sudah smart semua. Ada lagi kejadian unik, 2014 lalu, petani di kriminalisasi gara-gara menemukan benih baru! Katanya, salah prosedur sertifikasi dan penjualan benih. Ternyata pemerintah bukan hanya apatis terhadap rakyat, namun sampai mengkriminalisasi! Belum konflik tambang, migas, paten, dll. Ah, terlalu banyak jika harus dipaparkan semua. Nyatanya kita tahu, bahwa birokrat saat ini berdiri bersama korporat dan ironisnyamembelakangi rakyat. Aduh mak!
Dengan kondisi ini, apakah kita masih harus ribut siapa pahlawan kita? Masihkan kita mau meributkan siapa yang layak ditetapkan Presiden menjadi Pahlawan Nasional yang saya tidak hafal semuanya itu? Atau bahkan masih mau searching kapan film pahlawan IRON MAN terbaru diluncurkan di Bioskop kesayangan anda? Ah, nurani kita sepertinya sama-sama berpenyakit. Penyakit itu sudah akut. Penyakit apatis terhadap kondisi bangsa ini. Penyakit dimana kita lebih peduli bela eksistensi daripada bela substansi. DPR sibuk cari popularitas untuk nyalon lagi beberapa tahun ke depan, bahkan dengan mengorbankan rakyatnya yang terus gontok-gontokan secara horizontal.
Mari kita bergerak bersama, menjadi orang yang bermanfaat bagi bangsa ini, membela kebenaran. Kita harus bangkit memantik kesadaran rakyat bersama-sama. Kita harus membangun kesadaran kritis dan harus menghindari sikap apatis dan sikap pragmatisme, seperti yang diungkapkan Paulo Freire. Sehingga kita mampu menjadi pahlawan-pahlawan bagi generasi penerus bangsa ini. Bukan untuk diakui dan ditetapkan pemerintah sebagai pahlawan nasional, atau di filmkan oleh para produser, atau bahkan demi pundi-pundi warisan kehormatanyang primordialis dalam sekte organisasi, tapi demi keberlanjutan bangsa ini, menuju bangsa yang berdikari dan sejahtera. Dimana tidak ada sekat antar si kaya dan si miskin.
Nyatanya, kita masih butuh banyak pahlawan. Pahlawan yang membela kebenaran, pahlawan yang mampu melepaskan rakyat dari belenggu kemiskinan dan ketidak adilan, dan pahlawan yang mampu membawa bangsa ini menuju kejayaan, yang senada dengan esensi kepahlawanan yang dipahami oleh sahabat-sahabat semasa kecil saya dulu. Salam setengah Merdeka!

“Saya tak mengharapkan pahlawan. Orang tak selalu baik, benar, berani. Tapi saya mengagumi tindakan yang baik, benar, berani, biarpun sebentar.” – Goenawan Muhammad

Kopi Lanang, 12 November 2016
23.33 WIB
1 “Sudahlah, Pahlawan itu Paradoks” oleh Fathul Hasan, Esai yang meraih Juara I Lomba Menulis Hari Pahlawan oleh PMII Rayon “Pencerahan” Galileo 2016.
Orang-orang Hebat di LSO Jurnalistik PMII UIN Malang

Orang-orang Hebat di LSO Jurnalistik PMII UIN Malang

Setelah melalui proses RTK yang diakhiri dengan dipilihnya Ketua Komisariat PMII Sunan Ampel Malang yang baru, yaitu Sahabat Makmun Satriyono. Seperti yang sudah-sudah, pastilah tim formatur memainkan perannya dalam rekrutmen calon kepengurusan. Seperti yang sudah-sudah juga, formatur terdiri dari ketua-ketua rayon, ketua komisariat terpilih dan demisioner. Singkat cerita, saya masuk ke jajaran kepengurusan LSO Jurnalistik & Penelitian. Di LSO tersebut, saya bertemu dengan orang-orang hebat dari lintas rayon/fakultas.

Ketua lembaganya berasal dari Rayon “Kawah” Condrodimuko (Tarbiyah), Sahabat Rouf. Dia ini orang hebat dalam dunia kepenulisan. Saat berkunjung ke kosannya, koleksi bukunya luar biasa. Wajar jika tulisan-tulisannya juga berbobot. Sekretarisnya berasal dari Rayon “Radikal” Alfaruq (Syariah), Sahabat Toha. Dia juga gak kalah hebat di dunia kepenulisan. Begitupun anggota-anggota lainnya, Sahabat Rosyid yang mahir dalam kepenulisan fiksi. Sahabat Verdi yang sudah punya penerbitan sendiri bernama Madza Publishing. Dibanding mereka, saya bukan apa-apanya. Keunggulan saya ya cuma di dunia perwebsite an yang sebetulnya pas-pasan. Biasalah, saya cuma modal coreldraw buat desain-desain grafis di setiap kegiatan, dan ngelola website komisariat di pmiiuinmalang.or.id.

Yang jelas, beruntunglah saya dikelilingi orang-orang hebat dibidangnya. Semoga dalam prosesnya, saya bisa belajar banyak dari para suhu nya jurnalistik ini. Minimal, bisa memotivasi saya sedikit-sedikit biar lebih rajin menulis. Meskipun secara kualitas, ya gak akan sebagus mereka.

Mencari Sola(u)si Macet

Mencari Sola(u)si Macet

Hampir setiap hari, Kota Malang dilanda kemacetan. Kalau sudah macet, waktu banyak yg terkorbankan, jadwal ketemu sama si pacar jadi lebih sebentar karena lebih lama dijalan. Waktu kuliah pun sama. Bahkan, meski dari kos sudah berniat kuliah, kadang gara-gara macet, kita gak jadi kuliah dan malah belok ke warung kopi. hahaha. Saya berujar, ini masih Kota Malang, bukan kota besar macam Jakarta, Medan, Bandung dan Surabaya. Bagaimana macetnya kota-kota besar itu, tak bisa dibayangkan. Eh, sepertinya bisa, saya pernah suatu waktu jalan-jalan ke surabaya, bihhhh, jalanan begitu macet. Jalan masuk utama dari Kota Sidoarjo ini mantap sekali, kalo pake mobil, bisa berjam jam, tapi berhubung saya pake sepeda motor, yah, trotoar banyak yang kosong untuk dijadikan rute alternatif, hahaha (lagi).


Saat saya liburan pun begitu. Ayah saya seringkali mengeluh, “Dulu itu kalo ke Cirebon cukup 30-45 menit, sekarang 1 jam lebih, jalannya padat.”, ujarnya sambil menyalip kendaraan di depan. Daerah saya itu lho, ya kota kecil, jarang dikenal, tapi sudah macet, mau tau nama daerah saya itu? Kabupaten Majalengka, kenal? Yang tau mungkin yang asli Jawa Barat, selain asli sunda, pasti dia akan memberikan pertanyaan susulan, “Majalengka itu dimana ya?”. Saya sudah tau gelagat orang seperti ini, nilai Mata Pelajaran Geografi di SMA paling dapet 60, maka langsung saya jawab, “Tetangganya Cirebon mas.”. Biasanya, orang lebih mudah mengenal Cirebon, kotanya cukup terkenal. Cirebon merupakan rumah asal dari Kang Said, Ketua Umum PBNU dan terdapat makam salahsatu walisongo, yakni Sunan Gunung Jati. Saya pikir, jawaban tambahan itu sudah membuat si penanya mengerti, namun tak dikira-kira, ternyata teman saya itu masih juga melayangkan pertanyaan lain, “Cirebon iku Jawa Tengah yo mas? Endi ne pekalongan mas?”. Jancuk a, gumamku. “Iyo, jateng. Tonggone Pekalongan pas bro.”, jawabku mantap. Nilai geografi ne arek iki piro to? Masak harus menunggu saya jadi Bupati Majalengka untuk Majalengka bisa dikenal, eh. Yah, beginilah hasil dari sistem pendidikan di Indonesia, seperti yang dikatakan oleh Eistein, bahwa semua orang itu cerdas, namun adalah hal bodoh bila kau menyuruh ikan untuk memanjat pohon seperti monyet. Namun, disini saya tidak ingin bercerita pendidikan, saya sekarang sedang galau tentang kemacetan yang tiada tara.


Siapa yang tidak tahu, di Indonesia ini, khususnya pulau jawa, hampir setiap rumah memiliki kendaraan pribadi, mulai mobil, motor, bahkan sepeda pancal ataupun sepeda goes milik balita. Penduduk pulau jawa juga sangat padat. Menurut BPS, 54,7% (sekitar 141 juta jiwa) penduduk Indonesia berada di pulau jawa. Jadi, lebih dari setengah penduduk Indonesia ini menetap pulau jawa. Contoh kecil deh, berapa mahasiswa di Malang yang tidak menggondol sepeda motor dari rumahnya? jangan dulu lingkup Malang deh, kampus saya, UIN, berapa yang tidak bawa sepeda motor untuk pergi ke kampus? Parkiran kampus sekelas WCU (World Class University) saja sudah tidak muat, apalagi kampus UB yang kampusnya cuma akreditasi institusi B. Eh, kok malah ngomongin kampus. kembali ke parkir, eh macet.


Nah, trus bagaimana nih? menurut saya, kemacetan ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Kalo tidak boleh dibiarkan, berarti hal tersebut adalah masalah, kalo masalah itu harus diatasi, kalo perlu diatasi, berarti harus memikirkan SOLASI, eh SOLUSI. Bagaimana solasinya? Saya juga belum tau betul bagaimana solusinya, saya kurang pengalaman, gak ada sama sekali pengalaman kerja di Dishub ataupun yang lainnya. Tapi kata Gus Dur, bukankah untuk jadi presiden gak harus pengalaman jadi presiden dulu? Saya ingin mencoba meraba dan menerka solusi itu. Menurut saya, kunci untuk mengatasi kemacetan adalah dengan menekan kepemilikan kendaraan, memperketat realisasi regulasi lalu lintas, dan meningkatkan kualitas fasilitas dan transportasi umum.


Pertama, menekan jumlah kepemilikan kendaraan. Ya, kepemilikan kendaraan harus dibatasi. Lha, bagaimana volume kendaraan mau berkurang kalo mobil sekarang bisa sangat murah dengan sistem kredit yang memudahkan. Maka harus dimahalkan. Selain itu, kepemilikan kendaraan di Indonesia tidak dibatasi waktu. Harusnya, kepemilikan kendaraan dibatasi waktu. Misal setiap 5 tahun harus masuk rongsok dan di kilo, hahaha. Dengan begitu, orang akan enggan membeli kendaraan. Kalo bicara statistik, lagi-lagi, silahkan tanya mbah google. Kalo saya main logika sederhana aja. Kalo kata mbah Jiwo, IQ? IQ? IQ?


Kedua, memperketat realisasi regulasi. Nah, ini yang sulit, budaya suap, pungli, dll yang masih sangat akrab dengan sendi-sendi kehidupan kita. Kalo ini saya tak mau banyak bicara, ayo kita sadar bersama-sama, stop praktik pungli dan suap. Sudah cukup saat balita kita disuapi, masak sudah jadi PNS dan Polisi masih pengen disuapi. Kitanya juga nih, mau aja nyuapin yang bukan anak kita. Kalo masih seperti ini, yaaaa terserah, mau makan dimana, di warung sana juga boleh, di warung sini juga boleh, terserah kamu, asal jangan lalapan, bosen.


Ketiga, meningkatkan kualitas transportasi dan fadilitas umum. Ini yang menjadi konsekuensi yang harus benar-benar diupayakan guna mendukung opsi pertama dalam membatasi kepemilikan kendaraan. Sehingga, rakyat semakin aman dan nyaman menggunakan transportasi umum. Yah, mau gimana aman dan nyaman, kadangkala masih ada yang ribut tarif angkot antara supir dan penumpang. Adapula ORGANDA dan PPAD yang naikkan tarif ketika ada kenaikan BBM. Semakin tinggi lah jurang pemisah antara ongkos transportasi umum dan kendaraan pribadi. Ini sangat berpengaruh. Contohnya begini, saya kalo harus pulang dari malang ke jawa barat menggunakan mobil pribadi, bisa sampai menghabiskan 500 ribu, untuk bensin dan makan, belum lagi mesin mobil yang panas dan perlu servis serta lelahnya menyetir dengan perjalanan ratusan kilometer saking jauhnya. Saya lebih memilih naik kereta api, cukup uang 100-150 ribu, saya sudah bisa sampai rumah. Lah, berbeda dengan ANGKOT, jauh dekat 4 ribu, sedangkan untuk ke lokasi yang saya tuju harus naik angkot 3 kali, berarti butuh dana 12 ribu, PP 24 ribu. Berbeda dengan menggunakan sepeda motor pribadi, cukup 8 ribu/liter, PP masih sisa banyak. Maka harus dipikirkan kemudian formulasi dan konsepsi transportasi jarak dekat yang terjangkau oleh rakyat jelata, kopi lanang dan unyil coffee, dimana ongkos transportasi umum bisa lebih murah daripada menggunakan kendaraan pribadi. Kalaupun tidak bisa lebih murah, fasilitasnya ditingkatkan, sehingga lebih nyaman.


Yah, mau bagaimanapun, ini cuma tulisan dan harapan saya ke depan. Mengkonsep dan menulisnya memang mudah, tapi merealisasikannya tak semudah menulisnya, bukan? Butuh kerja ekstra, keterlibatan dan dukungan berbagai pihak untuk merealisasikannya. Oh iya, selaku pemuda (untuk yang masih muda2 lho), cobalah untuk mengendalikan budaya konsumtif kita, cobalah berfikir untuk mengarah ke pola pikir produktif. Kita semua pasti lelah, semua teknologi yang kita gunakan, gak ada yang MADE IN INDONESIA. Ayo bergerak bersama! Masa depan bangsa ini ditangan kita. Masih dengan semangat sumpah pemuda. Salam Pemuda! Salam Pergerakan! Selamat mengopi! Srupuuuut…


Kos-kosan cedek.e pondok putri

Sabtu, 29/10/2016

10.35 WIB

Lamunan di Negeri Sinetron

Lamunan di Negeri Sinetron

Selamat Malam Nawak nawak. Malam memang waktu yang memiliki suasana menggoda. Malam adalah saat dimana para mahasiswa yang tak percaya khutbah dosen keluar kos untuk mengopi. Malam juga digunakan para aktivis untuk diskusi. Sehingga, jarang sekali kita menemui acara diskusi mahasiswa yang diselenggarakan di siang hari, kecuali diskusi yang formal ala-ala Organisasi Intra Kampus yang lagi belajar EO kecil-kecilan. Tak ketinggalan, pasutri juga lebih sering memanfaatkan waktu malam hari untuk beradu jotos di ranjang, yang setelahnya langsung mandi junub dan dilanjut sholat tahajjud. Wih, segmen cerita yang menjadi impian bagi para jomblo yang sedang mencari cinta. Horeee.

Itulah keistimewaan malam dibanding siang. Dalam mencari inspirasi dan menulis pun, saya seringkali mendapatkan dan melakukannya di malam hari. Sehingga, hampir semua tulisan yang saya buat lebih banyak menyapa dengan selamat malam. Karena memang di buatnya di malam hari. Lha masa saya harus mengucapakan selamat siang, padahal tulisannya saya buat dimalam hari? Lak gendeng ngunu iku. Selain itu, saya juga kapok menggunakan kata Selamat Siang. Gara-gara sapaan “Selamat Siang”, saya pernah di maki-maki dan saya di cap tidak Islami. Padahal nawak-nawak saya tahu, penampilan saya cukup syar’i lho. Gak percaya? Tanya saja mereka. Hehe.

Dimalam yang sesunyi ini, aku sendiri, tiada yang menemani, sehingga saya akhirnya tenggelam dalam lautan lamunan yang menjenuhkan. Dimana saya diajak Bu Lamun berfikir mengenai kondisi bangsa saat ini. Wah, saya diajak menyelami data dan fakta, mengenai pengelolaan migas, semen, air, wisata, jasa, pangan, sawit, manufaktur yang semuanya dikelola asing. Saya juga kembali teringat akan puisi yang ditulis @sabdaperubahan di Peringatan 17 Agustusan kemarin, yang kurang lebih menggambarkan penguasaan asing di negeri ini dengan bahasa yang cukup bikin baper. Yah, kebanyakan puisi memang bikin baper lho. Tapi baper tak selalu berkonotasi negatif. Baper terkait kondisi bangsa negeri ini dan kemudian mentrasformasikannya kedalam sebuah gerakan kepedulian adalah baper yang positif. Berdasarkan penjelasan diatas, maka baper dapat dikategorikan menjadi dua bagian, yakni baper hasanah dan baper dholalah. Begitu kira-kira.

Nah, adalagi yang lebih bikin saya baper. Yaitu SINETRON. Iya, sinetron. Nawak nawak pasti sudah tau apa itu sinetron. Kalo nawak-nawak gak tau apa itu sinetron, saya ragu kalau nawak punya KTP dan berstatus WNI. Bagaimana tidak, setiap hari, dan hampir semua channel media televisi indonesia menayangkan sinetron dengan keunggulannya masing-masing. Saya seringkali terisak-isak melihat sinetron-sinetron itu. Sinetronnya sangat menyentuh hati saya. Hiks hiks -Begitu kata orang cara menangis lewat kata-kata-. Alur ceritanya sungguh berkualitas. Ya, sangat berkualitas merusak tatanan opini dan kesadaran bangsa ini. Hampir setiap hari, ada tayangan sinetron berjudul “Terbunuhnya Mirna”. Di channel lain, ada juga sinetron yang bergenre horror seperti “Misteri Kolor Dimas Kanjeng”, “Cinta berujung Narkoba Aa Gatot”. Selain itu, adapula sinetron yang sedang merajai persinetronan indonesia, mengalahkan sinetron Amerika “Donald (Duck) Nyalon Presiden” karya sutradara papan atas Paman Sam, apalagi kalo bukan “Ah*k yang (Me/Di)Nista(kan)” yang sangat digemari itu.

Sinetron-sinetron itu sangat menyentuh hati, membuat saya sering merenung sendiri di bilik merenung tadi. Saya terhenyak dan bertanya, apakah kedaulatan negeri ini lebih tidak penting daripada drama-drama sinetron itu? Kenapa sih channel tipi-tipi itu tidak pernah mau mengakhiri sajian drama-drama “komedi” itu dan menggantinya dengan keberpihakan terhadap rakyat beserta penyelesaian masalah-masalah rakyat yang lebih penting dari sinetron-sinetron “berkualitas” itu? Konflik agraria, kerusakan lingkungan dan penjarahan sumber daya alam, penuntasan kasus HAM, pemberantasan organ radikal dan anti pancasila, dan konsepsi pendidikan yang semrawut adalah sedikit dari banyaknya problematika negeri ini yang menurut penulis penting. Kenapa penting? Ah, saya malas menjelaskan, Upin ipin juga tau, kalo ada orang yang maling barang kepunyaannya, mereka tidak akan berunding dengan maling itu, dia pasti akan laporkan si maling ke opa dan kak ros. Lain cerita dengan upin ipin, pejabat kita terlalu banyak cingcong dan malah ngajak ngopi si maling itu. Padahal sudah jelas kita kemalingan dan sudah tau siapa malingnya. Upin Upin juga tau lho, ketika upin ipin berbisnis dengan si Mail untuk menjualkan ayam gorengnya, mereka berdua akan meminta bagi hasil yang rasional. Mereka akan meminta bagi hasil yang rasional, 50:50 misalnya. Nah, pejabat kita sama sekali tidak mau ngajak gelut ketika tau bagi hasilnya dengan perusahaan gak rasional, masak 97:3? Kesimpulannya, pejabat kita masih kalah oleh Upin Ipin dong.

Seharusnya, media-media besar sadar, bahwa seharusnya mereka menayangkan sinetron yang lebih pro kepentingan bersama, sehingga nilai-nilai pancasila bukan hanya sekedar hafalan, tapi juga direalisasikan. Misalnya dengan membuat sinetron “Si Freeport dan Si Exxon, Kembar tapi sama2 Menjarah”, atau kalau sinetron horror, “Misteri Gunung Emas Bolong”. Ada yang lebih keren lagi, sinetron genre religi, “Hidayah: Pemodal Reklamasi sulit dikebumikan”. Rakyat pasti langsung baper melihatnya. Bukan baper yang dholalah tentunya, tapi baper hasanah. Sehingga sama-sama mau bergerak atas kebaperan yang hasanah itu.


Ah, sepertinya saya terlalu lama melamun. Saya akhirnya sadar, kalo tipi-tipi itu kan perusahaan. Perusahaan itu kata dasarnya usaha. Usaha erat kaitannya dengan profit dan untung rugi. Sinetron yang ada sekarang ini sepertinya lebih menguntungkan bagi keberlangsungan usaha penguasa tipi-tipi itu. Lha mau gimana lagi, kalo sinetron yang saya usulkan itu kan pro-rakyat, kalo pro-rakyat, untungnya cuma sedikit, atau bahkan malah rugi. Mana ada perusahaan mau rugi.


Sudah dulu ah, teh anget yang saya pesan sejak 3 jam yang lalu sudah habis. Waktunya pulang. Meski judulnya mengopi, tapi harga teh anget lebih bisa menjaga isi saku celana untuk tetap berisi. Terimakasih sudah berkenan membaca.

Wallahua’lam.


Kopi Lanang
26/10/2016

1:47 AM

Ket : gambar dari bidhuan.com