Sudah menjadi realita umum, bahwa santri/mahasiswa yang sedang libur dan pulang ke rumah, tidak akan banyak bersenang-senang. Mereka dalam kesehariannya akan banyak membantu pekerjaan orang tua. Berdagang, bertani, ber-PNS, dan lain-lain. Jika anak seorang PNS, minimal bantu-bantu tanda tangan. Entah tanda tangan berkas LPJ proyekan, atau nulisi nota-nota kosong yang bisa ditukar dengan uang negara. Eh, Sori kalo ada anak PNS yang tersinggung, soalnya saya bukan anak dari seorang PNS, jadi saya nulis tentang PNS setau saya dari berita di tipi-tipi.
Kalo saya ini seorang anak pedagang. Jadi dari pada ruangan kantor ber-AC, saya lebih tau ruang besar pasar yang berdebu. Macam nama stadion klub Real Madrid itu, Santiago berdebu. Katanya, stadion milik madrid itu mau di renovasi, dengan biaya triliunan. Ah, berapapun biayanya tidak penting bagi saya yang bukan fans Madrid, dan tidak ada hubungannya dengan debu pasar.
Setiap liburan tiba, sudah pasti saya akan lebih sering ikut membantu orang tua di pasar. Meski diakui, sejak dulu saya seringkali malas untuk ikut. Ini kan liburan, kenapa mesti kerja juga? Begitulah logika anak kecil bekerja, termasuk saya dulu.
Dalam renungan di pasar kali ini, saya memahami suatu hal, bahwa debu pasar yang sering saya hirup itu mengandung banyak pelajaran berharga. Jika debu pasar itu dianalisis di laboratorium menggunakan suatu instrumentasi, akan muncul spektra-spektra yang menggambarkan kehidupan.
Debu pasar itu, memberikan sebuah gambaran yang menarik dalam hidup. Konsep kedaulatan politik, Ekonomi berdikari dan karakter budaya ala Trisakti Bung Karno ada didalam kehidupan dan realitas sosial di pasar berdebu itu. Pedagang itu membeberkan semua yang ia miliki untuk para pembeli. Membangun sistem dan budayanya sendiri dan memiliki skala prioritas dalam penjualan, ini untuk pelanggan, ini untuk yang hanya satu sampai dua kali belanja dalam setahun. Mana yang boleh berhutang, mana yang tidak boleh berhutang.
Logikanya bermain demi kedaulatan politik bisnisnya. Pikirannya mengkalkulasi dalam proses tawar menawar harga, dimana harga yang disepakati adalah harga yang menguntungkan kedua belah pihak. Otak kanannya bermain demi membentuk sistem perdagangan yang akomodatif dan efektif. Sehingga dikemudian hari, si pembeli akan mudah mengenal si pedagang itu, dengan kekhasan budaya dan sistem jual belinya.
Dan yang paling mencolok dari hasil interpretasi spektra debu pasar tadi, adalah peran negara dan pemerintahannya. Yang terlihat, aparat-aparat negara, hanya memiliki kapasitas untuk sekedar meminta 2000 rupiah dari setiap pedagang di pasar itu, yang katanya untuk retribusi pasar. Atau 50.000 yang katanya untuk THR, sebagai bayaran jasa untuk aparat yang telah menjaga pasar itu tetap berdebu. Padahal, tanpa aparat, debu pasar akan tetap terhirup oleh kami.
Aparat negara, sama sekali tidak terlihat untuk berupaya membangun sistem kelola pasar yang baik. Seharusnya, dengan tawaran konsepnya, aparat negara bekerja sama dengan para pedagang guna menciptakan kondisi pasar yang memiliki tata kelola yang nyaman di kunjungi dan dipakai tempat jual beli.
Ah, itu hanya mimpi, kita lihat saja dalam lingkup yang lebih luas. Berbicara trisakti bung karno, pemerintahan kita ini semacam masih berdebat atas tafsir yang benar atas trisakti. Padahal, nusron sendiri sudah bilang, yang mengerti betul artinya trisakti bung karno ya bung karno sendiri, bukan orang lain. Jadi, kalo mau tau maksudnya, tanya bung karno. Atau daripada debat kusir, pemerintah ini belajar saja sama mufassir trisakti yang sudah paham dan sudah bisa merealisasikan, para pedagang di pasar berdebu itu. Dimana dia tau, kalau yang namanya bagi hasil yang baik itu saling menguntungkan satu sama lain, ibarat sama-sama dapat 50:50, atau 60:40, atau bahkan 70:30. Bukan hanya dapat 3% dari total keseluruhan, sedangkan 97% nya diberikan ke salahsatu pihak. Woy, 97:3 itu bagi hasil macam apa? Itukah ekonomi berdikari dan kedaulatan politik yang dicita-citakan? Nanti ditanya sama Mbah Jiwo Jancuk dari Republik sebelah, IQ? IQ?
Eh, kok Sujiwo Tedjo? Waduh, ternyata saya lupa, kalo saya melamun terlalu lama, membayangkan bung karno masih ada. Sekarang tahun 2016, Gagasan Trisakti sudah usang, Trisakti sekarang hanya jadi nama kampus yang pernah digunakan syuting film Pupus. Sekarang presidennya Jokowi. Gagasannya Nawa Cita. Hari ini adalah hari dimana beliau menjabat genap 2 tahun pemerintahan. Saya tak begitu paham isi nawa cita, paling isinya janji-janji. Tapi kan 89:11 dan 97:3 bukan angka yang rasional untuk seorang pedagang di pasar berdebu. Pedagang itu pasti marah-marah dan bertanya sembari mengernyitkan dahi. IQ? IQ?
Selamat malam sahabat. Selamat Malam Madiun, Kereta yg mengantarkan saya pulang kebetulan sudah sampai Madiun, Kota yang namanya saya kenal dari Buku Sejarah SD/SMP/SMA tentang pemberontakan PKI dulu. Sekarang saya kebetulan berkuliah di Malang, Kota yang satu provinsi dengan Madiun. Karena secara geografis cukup dekat, maka tak heran kalau teman-teman saya di Malang, ada yg berasal dari madiun. Pertama kali melihat mereka, teman-teman madiun saya itu, saya sama sekali tak melihat ada wajah-wajah pelaku atau korban pemberontakan PKI dulu. Mereka tampak baik-baik saja, tetap guyon dengan saya yang secara biologis berdarah Nahdliyyin ini.
Mereka mungkin terlihat baik-baik saja karena memang tidak mengalami masa pemberontakan itu. Itu sudah lama sekali. Katanya, pelaku 1948 juga sudah diadili, rekonsiliasi sudah dilakukan. Berbeda dengan tragedi 1965, yang sampai hari ini, tuntutan korban belum terpenuhi, tindakan diskriminatif terhadap “terduga” PKI juga masih banyak terjadi, pembredelan diskusi pengungkapan tragedi itu juga masih sering saya jumpai. Kata salah seorang yg pernah saya temui, kalo mau ngobrol terkait PKI, harus pintar mem-framming acara, jangan sampai lebay meng-share info diskusinya. Kalo terlalu lebay, tamatlah kau ditangan intel.
Berbicara mengenai kata “Share”, hari ini sudah sangat familiar. Bagi pemakai media sosial Facebook di Android, kata share ada di pojok kanan bawah setiap status. Kalo facebook sahabat-sahabat pembaca berbahasa indonesia, tidak akan ditemui tulisan “Share”, kata “share” diganti dengan kata “Bagikan”. Meskipun berbeda, artinya sama saja. Jangan sampai karena saya lebih sering menggunakan kata “share” dibandingkan kata “bagikan”, sahabat-sahabat share tulisan ini dengan kutipan berikut : “Tulisan ini adalah tulisan antek Amerika, agen CIA, anti-nasionalisme, karena lebih sering menggunakan kata SHARE, daripada kata BAGIKAN.” Lha wong saya ini orang biasa, kok disebut agen, bahkan untuk disebut agen of change ala mahasiswa pun, saya belum pantas.
Alhamdulillah nih, setiap status si zaidun sekarang sudah ribuan yang share, dan puluhan juta yang komentar. Sehingga, dia mendapat gelar “Imam Asshareiyyah Wal Komentariyyah” Pemimpin alirah Shareiyyah Komentariyyah. Selain si Zaidun, masih banyak imam-imam lain dari aliran ini, jumlahnya ribuan.
Ada lagi cerita Imam aliran Shareiyyah dan Komentariyah selain zaidun, kiprahnya juga cukup luar biasa dibanding Zaidun. Penasaran? Siapa dia? Bagaimana kiprahnya? (JANGAN) DITUNGGU KELANJUTANNYA! Karena kelanjutannya adalah realitas praktek bermedia dan besosial kita, termasuk saya.
Saya terhenyak membaca puisi ini. Meski sudah berulang kali saya membaca, hati saya tetap berdebar, sementara otak ini terus berpikir, sebegitu hancurkah negeri ini? Puisi ini adalah buah karya seorang senior saya di suatu organisasi. Sejujurnya saya kagum dengan puisi ini. Begitu merepresentasikan kondisi negeri ini, dengan berbagai problem disudut sana dan sini.
Siang tadi, saya diberi kesempatan untuk memberikan materi dalam sebuah acara. Malamnya, saya membuat materi untuk acara tersebut, dan saya memasukkan puisi ini ke dalam slide presentasi saya, tepatnya untuk menutup presentasi saya.
Di akhir acara, saya benar-benar membaca puisi tersebut. Saat itu adalah saat dimana saya membacakan sebuah puisi di depan umum sejak TK. Lalu apa hasilnya? Saya tidak tau apa yang dirasakan peserta forum tersebut, tapi yang pasti, badan saya bergetar! Hati saya bukan lagi tersentuh! Tapi benar-benar disentuh, bahkan serasa di tusuk lara yang hebat. Sungguh puisi yang luar biasa!
Sebelumnya mohon maaf kepada senior saya, karena tanpa izin, saya menggunakan puisi njenengan dalam presentasi saya. Tapi tenang saja, saya bukan plagiator, saya tetap cantumkan nama panjenengan. Meski tetap, saya masih terbilang TIDAK SOPAN, tidak izin dulu.
Nah, tapi saya malah tambah TIDAK SOPAN, sekarang saya ingin memposting puisi ini di blog saya. Dengan harapan, tamu-tamu blog ini bisa juga membacanya dan terilhami oleh isi puisi ini untuk melakukan sesuatu. Sopan atau tidak, saya yakin ini adalah sebuah langkah yang bermanfaat, jadi mungkin ketidaksopanan itu akan sedikit tertutupi. 🙂
Yah, ini lah puisi nya, Selamat membaca puisi reflektif dalam Sahabat Em Yasin Arief.
Assalamualaikum, Selamat Malam, Salam sejahtera bagi kita semua, semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah SWT serta eksis dalam menjalani kehidupan sehari-hari (ko pembukaannya ala-ala surat resmi ya?). Kali ini penulis hanya ingin sekedar menceritakan pengalaman pribadi penulis dalam suatu kejadian yang cukup lumrah terjadi dimana-mana. Namun, semoga kejadian yang lumrah ini tidak menjadi kejadian yang membudaya dalam kehidupan bersosial, karena seringkali kejadian ini menimbulkan fitnah.
Setiap orang pasti pernah mengalami kehilangan atas barang pribadinya. Barang pribadi yang dimaksud disini bukan barang yang ada 15 cm dibawah udel mu lho, tapi barang-barang seperti handphone, laptop, sepeda motor, pulpen, bahkan sesuatu yang kecil namun menimbulkan fitnah besar diantara sahabat, KOREK GASOLIN. Sebagai manusia yang manusiawi, kehilangan barang pribadi pasti menimbulkan efek psikologis terhadap diri pribadi, apalagi seperti penulis yang segala keperluan hidupnya masih nebeng orang tua. Sulit rasanya mengikhlaskan kehilangan barang pribadi, apalagi yang paling disukai dan dibutuhkan. Meski dalam ucap kita berkata, “ya wes lah, guduk rizki ne paling”, tapi dalam hati, tetap berharap barang itu kembali. Sehingga, setelah barang tersebut hilang, seseorang yang kehilangan biasanya berikhtiar terlebih dahulu untuk mencarinya sebelum akhirnya secara terpaksa mengikhlaskan (ikhlas ko terpaksa?) kepergian barangnya, sekali lagi, bukan barang yang dibawah udel, CAMKAN!
Ikhtiar yang dilakukan bermacam-macam, ada yang lapor ke pihak berwajib, ada pula yang melapor ke pihak yang bersunnah macam kelompok cingkrang dan jenggot panjang (eh…). Bahkan, untuk perkara seperti ini pun, ada yang melapor ke Kyai, Ustadz, Dukun, bahkan orang yang dianggap bisa menerawang pelaku penghilangan paksa barang pribadi tersebut.
Menjaga barang pribadi dalam konteks agama Islam adalah kewajiban. Sesuai dengan maqashid asy-syar’iyyah (tujuan syari’at), bahwa hifdzul maal (menjaga harta) adalah harus diupayakan, sehingga salah satu tujuan syariat pun salahsatunya adalah untuk menjaga harta/barang pribadi kita. Seringkali ayah dari penulis memberikan nasihat bahwa harta yang kita miliki adalah milik Allah, maka wajib kita menjaga titipan Allah tersebut dengan baik. Begitulah bagaimana Islam dengan syariatnya mencoba melindungi hak dasar individu para pemeluknya dalam konteks melindungi hartanya, sehingga ada syariat/aturan tersendiri bagi pelaku pencurian termasuk hierarki yang harus dilalui dalam mengusut tuntas kasus pencurian. Pun Indonesia sebagai negara hukum, memiliki aturan-aturan yang jelas terkait sanksi atau pidana bagi pelaku pencurian termasuk hierarki atau sistematika pengusutan kasus pencurian.
Dari uraian diatas, penulis mengambil sebuah intisari penting bahwa ketika kita kehilangan barang berharga milik pribadi, gunakanlah aturan-aturan yang ada untuk mengusut kasus tersebut, sehingga ikhtiar kita selaku korban kehilangan tidak kemudian menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan seperti fitnah dan grundel dalam hati. Apabila ingin dibantu pengusutannya oleh kepolisian, silahkan melapor ke kepolisian, apabila ingin diusut secara kekeluargaan, silahkan diusut secara kekeluargaan dengan hierarki dan sistematika pengusutan yang konkrit hingga terdapat saksi, barang bukti, dan alat pendukung lainnya.
Ikhtiar/upaya yang baik dalam menuju suatu pencapaian wajib dilakukan. Penulis masih ingat nasihat kyai saat masih belajar di pesantren, bahwa sesuatu yang baik apabila dicapai dan diupayakan dengan jalan yang tidak baik, maka hasilnya akan menjadi tidak baik. Begitupula dengan kasus pencurian, korban kehilangan harus pula berupaya mencari pelaku pencurian dengan cara yang benar/baik, yakni dengan sistematika dan regulasi yang benar. Dan yang terpenting adalah bagaimana konsepsi pengusutan tersebut dilalui dengan proses yang konkrit dan terbuka, bukan dengan sistem yang ngawang dan tidak jelas alias ghoib sehingga menimbulkan ambiguitas yang berkepanjangan.
Seringkali penulis menemukan korban-korban pencurian barang-barang yang cukup bernilai mencari jalan pintas dengan cara melapor ke orang yang dianggap bisa menerawang si pencuri. Mereka menganggap hal ini bisa secara praktis dan cepat memberikan jawaban kepada korban terkait identitas si pencuri. Kekuatan gaib yang dimiliki si penerawang tersebut dianggapnya mampu menemukan si pencuri. Namun, dalam pengamatan penulis selama hidup di dunia ini, tidak ada satupun kasus pencurian yang mampu diusut tuntas dengan teknik gaib ala si penerawang, yang ada si penerawang ini hanya memberikan jawaban yang ngawang alias tidak jelas, seperti “pencurinya tadi lari ke arah lor”,“pencurinya mungkin tetangga”, “pencurinya sepertinya masih sodara sama kamu”, “kamu sering berbicara dengan si pencuri di warung kopi, tapi tidak tahu”, “ciri-cirinya hidungnya pesek, perawakannya pendek dan hitam”, “kemungkinan besar, si pencurinya adalah orang yang satu kontrakan”, begitulah kira-kira jawaban yang sering penulis dengar dari korban yang mengadu kepada si orang pintar, ahli menerawang.
Sepintas, hal ini tidak menjadi masalah, wajar dan maklum saja ikhtiar seperti ini di kalangan kita, namun tidakkah sahabat-sahabat melihat ada potensi fitnah dari statemen-statemen dari si penerawang tersebut? Terdapat statemen yang secara jelas mencoba menuduh dan memfitnah tetangga, teman satu kos, bahkan saudara sendiri tanpa proses pengusutan yang jelas dan sistematis! Ini adalah sebuah problem sosial yang sederhana, namun berdampak luas bagi interaksi sosial. Semisal si Komar dan si Kardun adalah teman satu kos, kemudian handphone si Komar hilang, setelah itu, si Komar mengadu kepada seseorang yang dianggap bisa menerawang pencuri, lalu si penerawang berkata bahwa pencurinya kemungkinan besar adalah teman satu kosnya sendiri. Secara sederhana, pastilah si Komar di dalam hatinya akan menuduh si Kardun sebagai pencuri handphone nya, padahal si Kardun tidak pernah mengambil handphone si Komar, dan pada akhirnya, si Kardun mengetahuinya dari orang lain bahwa si Komar menuduhnya mencuri, dan merengganglah persahabatan keduanya. Meski sejatinya si Kardun tidak mencuri, tapi beban di hatinya membuat dia enggan berteman dengan si Komar lagi karena tidak diterima dituduh pencuri, dituduh dari belakang pula. Penulis berpikir alangkah besarnya dosa si penerawang yang karena statemennya, suatu ikatan pesahabatan menjadi renggang.Entahlah, dosa atau tidak dosa, itu urusan Tuhan. Namun yang patut digarisbawahi dari kasus ini adalah, apakah jalan macam ini adalah jalan yang waras yang bisa ditempuh korban pencurian dalam mengusut kasus pencurian? Penulis menegaskan bahwa ikhtiar seperti ini adalah ikhtiar yang TIDAK WARAS! Rasulullah tidak pernah mengajarkan sistem seperti ini, pun secara kontekstual, Rasulullah malah mengajarkan ikhtiar yang lebih waras melalui syariah jinayaat, mungkin yang melakukan hal-hal diatas perlu mengkaji kembali bagaimana tuntutan Rasulullah terkait bab jinayat, sehingga kembali ke jalan yang benar.
Penulis sebagai pemeluk agama islam percaya pada hal-hal ghoib. Malaikat dan Jin merupakan hal yang ghoib dan benar adanya, namun kepercayaan tersebut tidak terbangun atas dasar menduga-duga saja yang kemudian menimbulkan ketidakjelasan dan fitnah, namun dibangun atas dasar pondasi keilmuan yang jelas, melalui ngaji kitab-kitab teologis macam aqidatul awam, tijan addarory, jawaahirul kalamiyah, addasuqy ummu barohin, dll. Penulis tidak menafikan bahwa ada orang-orang yang memiliki kemampuan diatas orang normal, seperti mampu melihat jin, melihat malaikat, dan melihat hal-hal gaib lainnya. Namun, penulis secara pribadi menyarankan kepada sahabat-sahabat, ketika problem yang dihadapi adalah terkait interaksi terhadap manusia (hablumminannas), selesaikanlah di alam manusia, tidak perlu melibatkan alam gaib, jika memang ingin melibatkan sesuatu yang gaib, memintalah pertolongan kepada Dzat Sang Maha Ghaib, yakni Allah SWT, karena itulah yang benar, bukan malah meminta bantuan si penerawang yang menerawang ke awang-awang dan masih ngawang.
Mohon maaf apabila ada kata yang salah, karena penulis pun masih dalam proses belajar dan terus mencoba memperbaiki kesalahan, dan mohon maaf apabila ada yang tersudutkan oleh coretan ini, penulis hanya ingin mengutarakan suatu hal yang menurut penulis penting untuk disampaikan. Semoga kita semua terhindar dari fitnah sewaktu hidup dan fitnah setelah meninggal dunia, serta fitnah kubro dajjal. Amin. Wallahu’alam.
Berbicara mengenai simbolitas, maka kita akan berpikir mengenai simbol-simbol. Simbol ini bisa diartikan sebagai lambang yang mewakili sesuatu yang ada (eksis) dan berada (esensi). Simbolitas biasanya adalah sebuah manifestasi dari suatu ideologi bahkan tradisi yang melekat dan dijadikan landasan fanatisme terhadap sebuah tradisi/ideologi yang diyakini. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diartikan bahwa simbol adalah brand (lambang) yang digunakan oleh seseorang maupun komunal untuk mendeskripsikan suatu ideologi, gagasan maupun tradisi yang dianutnya. Secara praktis, kita mampu mengenali GARUDA sebagai simbol Negara Kesatuan Republik Indonesia, dimana simbol tersebut mendeskripsikan landasan ideologi Indonesia itu sendiri, yakni PANCASILA.
Seperti yang dijelaskan diatas, simbolitas adalah mewakili eksistensi dan esensi, sehingga simbol bukanlah hanya sekedar ada atau eksis saja, melainkan memiliki nilai esensi pula didalamnya. Dalam proses kita bernegara, simbolitas yang dibangun sudah kemudian mewakili kedua hal tersebut, dimana Indonesia adalah sesuatu yang ada, bukan tidak ada (tentu dalam konteks fenomena, bukan nomena), dan secara esensi pun, Indonesia ada, dimana terdapat rakyat, wilayah, pemerintahan yang berdaulat, dan pengakuan dari negara lain. Penulis teringat ketika dulu belajar PKn, dimana rakyat, wilayah, pemerintahan yang berdaulat dan pengakuan dari negara lain adalah kriteria sebuah negara sah dan bisa diakui baik secara de facto maupun de jure.
Dalam konteks relasinya, esensi dan eksistensi sangatlah erat berkaitan. Esensi sangat membutuhkan eksistensi. Tanpa eksistensi, esensi bukanlah apa-apa, karena esensi (hakikat) memerlukan keberadaan yang mewakilinya. Begitu pula eksistensi sangat membutuhkan esensi, karena tanpa esensi, keberadaannya menjadi tidak bernilai dan dipertanyakan (absurd). Sebagai contoh, kita mengenal tanah jawa, tanah toraja, tanah pasundan yang kesemuanya masuk dalam tatanan esensi dan secara eksistensi adalah sama-sama tanah. Pembaca boleh cek, dalam iklim dan kondisi (tekanan & suhu) yang sama, tanah jawa dan pasundan tidaklah memiliki perbedaan dalam konteks eksistensinya (dalam kajian inderawi), namun secara esensi, jelaslah berbeda (ditinjau dari segi karakteristik penduduk dan tradisi sosial kemasyarakatannya). Ketika nilai esensi dan eksistensi sudah berpadu, maka akan muncul sebuah simbolitas yang diangkat atas nama kedua hal tersebut. Menurut penulis, keadaan tersebut merupakan keadaan yang sangat ideal, dimana simbolitas diangkat dengan jalan yang konstruktif yang merepresentasikan relasi sempurna dari kedua hal tersebut.
Namun, dalam realitas kehidupan kita bermasyarakat, seringkali penulis menemukan sebuah fenomena yang tidak dalam kondisi yang konstruktif dan terkesan timpang. Simbolitas yang diangkat banyak yang tidak mewakili eksistensi dan esensi. Simbolitas seringkali diangkat hanya atas nama eksistensi tanpa dibarengi dengan suatu esensi yang jelas, sehingga terjadilah sebuah distorsi atas relasi kedua hal tersebut. Kita dapat melihat ini dalam berbagai praktek bermasyarakat, baik praktek pendidikan, pemerintahan, beragama, berorganisasi, dan lain-lain.
Sebagai contoh, penulis mencoba melihat fenomena sertifikasi, akreditasi, dan penilaian. Sebenarnya, sertifikasi, akreditasi dan penilaian adalah sebuah usaha simbolitas yang bernilai eksistensi untuk mencapai esensi yang diharapkan. Namun dalam praktiknya, entah disadari atau tidak, subjek maupun objek dari akreditasi, sertifikasi dan nilai seringkali berpikir subjektif dan parsial dalam memandang eksistensi dan esensi, mereka cenderung hanya berpikir atas eksistensi dan melemahkan posisi dari esensi yang sejatinya adalah sesuatu yang juga penting dalam suatu praktik akreditasi. Yang penting dapat akreditasi A, sertifikasi internasional dan nilai bagus, bagaimanapun caranya, entah dengan membuat kebohongan besar demi mendapatkan hal tersebut demi kejayaan simbolnya. Menurut hemat penulis, praktik seperti ini jelas-jelas menghancurkan tradisi konstruktif-intelektual, dan mendewakan kebiasaan buruk berupa pemikiran destruktif-pragmatis yang berdampak pada lemahnya integritas dan intelektualitas yang seharusnya dimiliki oleh pemuja-pemuja simbol.
Begitu pula penulis melihat fenomena dalam praktek beragama yang cenderung mengagungkan eksistensi tanpa memperhatikan eksistensinya secara matang. Sangat marak kita lihat, bahkan di dunia pendidikan seperti kampus, praktik-praktik beragama dibawa ke ranah simbolitas yang tidak menyeimbangkan antara eksistensi dan esensi secara cerdas dan cermat. Eksistensi yang terlalu diagungkan membawa mereka kedalam praktek-praktek radikalisasi yang secara tidak langsung membawa mereka terjebak ke dalam simbolitas yang semu. Mungkin pembaca akan bertanya-tanya, mengapa hal ini bisa terjadi? bahkan di dunia pendidikan yang seharusnya menciptakan kaum-kaum terdidik yang (seharusnya lagi) mampu memahami hal ini? Entahlah, mungkin karena para pendidiknya pun ada yang sudah menjadi tersangka dan terdakwa dalam kasus simbolitas semu ini. Terus bagaimana? Penulis juga tidak tahu.
Selain praktik tersebut, masih banyak praktik-praktik sejenis dalam keseharian kita yang seharusnya penulis dan pembaca sadari untuk kemudian di transformasikan menjadi praktik-praktik yang mampu memposisikan relasi esensi dan eksistensi secara adil. Penulis kemudian teringat dengan sebuah kalimat yang tertulis dalam sebuah jaket saat penulis jalan-jalan yang berbunyi, “Dont think to be the best, but think to do the best”, yang berarti “Janganlah berpikir untuk menjadi yang terbaik, namun berpikirlah untuk melakukan yang terbaik”. Dalam kacamata penulis, statemen ini sangatlah keren, dimana secara implisit, statemen ini memposisikan eksistensi dan esensi secara sepadan, meski ketika kita baca secara tekstual, kita hanya akan melihat adanya pengebirian atas eksistensi. Berangkat dari hal tersebut, semoga penulis dan pembaca sekalian termasuk makhluk yang mampu menyeimbangkan eksistensi (gelar, nilai, akreditasi, IPK, brand, dll) dan esensi (hakikat dari gelar, nilai, akreditasi, IPK, brand, dll). Semoga.
Hai, Saya Fawwaz Muhammad Fauzi, suatu produk hasil persilangan genetik Garut-Majalengka. Menjadi Dosen Kimia adalah profesi utama saya saat ini. Selain itu, ya membahagiakan istri, anak dan orang tua. Melalui blog ini, saya ingin menuliskan kisah-kisah keseharian saya yang pasti receh. Mungkin sedikit esai-esai yang sok serius tapi gak mutu. Jadi, tolong jangan berharap ada naskah akademik atau tulisan ilmiah disini ya, hehe.
Kalau ada yang mau kontak, silahkan email ke [email protected]. Udah itu aja.