Saya terhenyak membaca puisi ini. Meski sudah berulang kali saya membaca, hati saya tetap berdebar, sementara otak ini terus berpikir, sebegitu hancurkah negeri ini? Puisi ini adalah buah karya seorang senior saya di suatu organisasi. Sejujurnya saya kagum dengan puisi ini. Begitu merepresentasikan kondisi negeri ini, dengan berbagai problem disudut sana dan sini.
Siang tadi, saya diberi kesempatan untuk memberikan materi dalam sebuah acara. Malamnya, saya membuat materi untuk acara tersebut, dan saya memasukkan puisi ini ke dalam slide presentasi saya, tepatnya untuk menutup presentasi saya.
Di akhir acara, saya benar-benar membaca puisi tersebut. Saat itu adalah saat dimana saya membacakan sebuah puisi di depan umum sejak TK. Lalu apa hasilnya? Saya tidak tau apa yang dirasakan peserta forum tersebut, tapi yang pasti, badan saya bergetar! Hati saya bukan lagi tersentuh! Tapi benar-benar disentuh, bahkan serasa di tusuk lara yang hebat. Sungguh puisi yang luar biasa!
Sebelumnya mohon maaf kepada senior saya, karena tanpa izin, saya menggunakan puisi njenengan dalam presentasi saya. Tapi tenang saja, saya bukan plagiator, saya tetap cantumkan nama panjenengan. Meski tetap, saya masih terbilang TIDAK SOPAN, tidak izin dulu.
Nah, tapi saya malah tambah TIDAK SOPAN, sekarang saya ingin memposting puisi ini di blog saya. Dengan harapan, tamu-tamu blog ini bisa juga membacanya dan terilhami oleh isi puisi ini untuk melakukan sesuatu. Sopan atau tidak, saya yakin ini adalah sebuah langkah yang bermanfaat, jadi mungkin ketidaksopanan itu akan sedikit tertutupi. 🙂
Yah, ini lah puisi nya, Selamat membaca puisi reflektif dalam Sahabat Em Yasin Arief.
Assalamualaikum, Selamat Malam, Salam sejahtera bagi kita semua, semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah SWT serta eksis dalam menjalani kehidupan sehari-hari (ko pembukaannya ala-ala surat resmi ya?). Kali ini penulis hanya ingin sekedar menceritakan pengalaman pribadi penulis dalam suatu kejadian yang cukup lumrah terjadi dimana-mana. Namun, semoga kejadian yang lumrah ini tidak menjadi kejadian yang membudaya dalam kehidupan bersosial, karena seringkali kejadian ini menimbulkan fitnah.
Setiap orang pasti pernah mengalami kehilangan atas barang pribadinya. Barang pribadi yang dimaksud disini bukan barang yang ada 15 cm dibawah udel mu lho, tapi barang-barang seperti handphone, laptop, sepeda motor, pulpen, bahkan sesuatu yang kecil namun menimbulkan fitnah besar diantara sahabat, KOREK GASOLIN. Sebagai manusia yang manusiawi, kehilangan barang pribadi pasti menimbulkan efek psikologis terhadap diri pribadi, apalagi seperti penulis yang segala keperluan hidupnya masih nebeng orang tua. Sulit rasanya mengikhlaskan kehilangan barang pribadi, apalagi yang paling disukai dan dibutuhkan. Meski dalam ucap kita berkata, “ya wes lah, guduk rizki ne paling”, tapi dalam hati, tetap berharap barang itu kembali. Sehingga, setelah barang tersebut hilang, seseorang yang kehilangan biasanya berikhtiar terlebih dahulu untuk mencarinya sebelum akhirnya secara terpaksa mengikhlaskan (ikhlas ko terpaksa?) kepergian barangnya, sekali lagi, bukan barang yang dibawah udel, CAMKAN!
Ikhtiar yang dilakukan bermacam-macam, ada yang lapor ke pihak berwajib, ada pula yang melapor ke pihak yang bersunnah macam kelompok cingkrang dan jenggot panjang (eh…). Bahkan, untuk perkara seperti ini pun, ada yang melapor ke Kyai, Ustadz, Dukun, bahkan orang yang dianggap bisa menerawang pelaku penghilangan paksa barang pribadi tersebut.
Menjaga barang pribadi dalam konteks agama Islam adalah kewajiban. Sesuai dengan maqashid asy-syar’iyyah (tujuan syari’at), bahwa hifdzul maal (menjaga harta) adalah harus diupayakan, sehingga salah satu tujuan syariat pun salahsatunya adalah untuk menjaga harta/barang pribadi kita. Seringkali ayah dari penulis memberikan nasihat bahwa harta yang kita miliki adalah milik Allah, maka wajib kita menjaga titipan Allah tersebut dengan baik. Begitulah bagaimana Islam dengan syariatnya mencoba melindungi hak dasar individu para pemeluknya dalam konteks melindungi hartanya, sehingga ada syariat/aturan tersendiri bagi pelaku pencurian termasuk hierarki yang harus dilalui dalam mengusut tuntas kasus pencurian. Pun Indonesia sebagai negara hukum, memiliki aturan-aturan yang jelas terkait sanksi atau pidana bagi pelaku pencurian termasuk hierarki atau sistematika pengusutan kasus pencurian.
Dari uraian diatas, penulis mengambil sebuah intisari penting bahwa ketika kita kehilangan barang berharga milik pribadi, gunakanlah aturan-aturan yang ada untuk mengusut kasus tersebut, sehingga ikhtiar kita selaku korban kehilangan tidak kemudian menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan seperti fitnah dan grundel dalam hati. Apabila ingin dibantu pengusutannya oleh kepolisian, silahkan melapor ke kepolisian, apabila ingin diusut secara kekeluargaan, silahkan diusut secara kekeluargaan dengan hierarki dan sistematika pengusutan yang konkrit hingga terdapat saksi, barang bukti, dan alat pendukung lainnya.
Ikhtiar/upaya yang baik dalam menuju suatu pencapaian wajib dilakukan. Penulis masih ingat nasihat kyai saat masih belajar di pesantren, bahwa sesuatu yang baik apabila dicapai dan diupayakan dengan jalan yang tidak baik, maka hasilnya akan menjadi tidak baik. Begitupula dengan kasus pencurian, korban kehilangan harus pula berupaya mencari pelaku pencurian dengan cara yang benar/baik, yakni dengan sistematika dan regulasi yang benar. Dan yang terpenting adalah bagaimana konsepsi pengusutan tersebut dilalui dengan proses yang konkrit dan terbuka, bukan dengan sistem yang ngawang dan tidak jelas alias ghoib sehingga menimbulkan ambiguitas yang berkepanjangan.
Seringkali penulis menemukan korban-korban pencurian barang-barang yang cukup bernilai mencari jalan pintas dengan cara melapor ke orang yang dianggap bisa menerawang si pencuri. Mereka menganggap hal ini bisa secara praktis dan cepat memberikan jawaban kepada korban terkait identitas si pencuri. Kekuatan gaib yang dimiliki si penerawang tersebut dianggapnya mampu menemukan si pencuri. Namun, dalam pengamatan penulis selama hidup di dunia ini, tidak ada satupun kasus pencurian yang mampu diusut tuntas dengan teknik gaib ala si penerawang, yang ada si penerawang ini hanya memberikan jawaban yang ngawang alias tidak jelas, seperti “pencurinya tadi lari ke arah lor”,“pencurinya mungkin tetangga”, “pencurinya sepertinya masih sodara sama kamu”, “kamu sering berbicara dengan si pencuri di warung kopi, tapi tidak tahu”, “ciri-cirinya hidungnya pesek, perawakannya pendek dan hitam”, “kemungkinan besar, si pencurinya adalah orang yang satu kontrakan”, begitulah kira-kira jawaban yang sering penulis dengar dari korban yang mengadu kepada si orang pintar, ahli menerawang.
Sepintas, hal ini tidak menjadi masalah, wajar dan maklum saja ikhtiar seperti ini di kalangan kita, namun tidakkah sahabat-sahabat melihat ada potensi fitnah dari statemen-statemen dari si penerawang tersebut? Terdapat statemen yang secara jelas mencoba menuduh dan memfitnah tetangga, teman satu kos, bahkan saudara sendiri tanpa proses pengusutan yang jelas dan sistematis! Ini adalah sebuah problem sosial yang sederhana, namun berdampak luas bagi interaksi sosial. Semisal si Komar dan si Kardun adalah teman satu kos, kemudian handphone si Komar hilang, setelah itu, si Komar mengadu kepada seseorang yang dianggap bisa menerawang pencuri, lalu si penerawang berkata bahwa pencurinya kemungkinan besar adalah teman satu kosnya sendiri. Secara sederhana, pastilah si Komar di dalam hatinya akan menuduh si Kardun sebagai pencuri handphone nya, padahal si Kardun tidak pernah mengambil handphone si Komar, dan pada akhirnya, si Kardun mengetahuinya dari orang lain bahwa si Komar menuduhnya mencuri, dan merengganglah persahabatan keduanya. Meski sejatinya si Kardun tidak mencuri, tapi beban di hatinya membuat dia enggan berteman dengan si Komar lagi karena tidak diterima dituduh pencuri, dituduh dari belakang pula. Penulis berpikir alangkah besarnya dosa si penerawang yang karena statemennya, suatu ikatan pesahabatan menjadi renggang.Entahlah, dosa atau tidak dosa, itu urusan Tuhan. Namun yang patut digarisbawahi dari kasus ini adalah, apakah jalan macam ini adalah jalan yang waras yang bisa ditempuh korban pencurian dalam mengusut kasus pencurian? Penulis menegaskan bahwa ikhtiar seperti ini adalah ikhtiar yang TIDAK WARAS! Rasulullah tidak pernah mengajarkan sistem seperti ini, pun secara kontekstual, Rasulullah malah mengajarkan ikhtiar yang lebih waras melalui syariah jinayaat, mungkin yang melakukan hal-hal diatas perlu mengkaji kembali bagaimana tuntutan Rasulullah terkait bab jinayat, sehingga kembali ke jalan yang benar.
Penulis sebagai pemeluk agama islam percaya pada hal-hal ghoib. Malaikat dan Jin merupakan hal yang ghoib dan benar adanya, namun kepercayaan tersebut tidak terbangun atas dasar menduga-duga saja yang kemudian menimbulkan ketidakjelasan dan fitnah, namun dibangun atas dasar pondasi keilmuan yang jelas, melalui ngaji kitab-kitab teologis macam aqidatul awam, tijan addarory, jawaahirul kalamiyah, addasuqy ummu barohin, dll. Penulis tidak menafikan bahwa ada orang-orang yang memiliki kemampuan diatas orang normal, seperti mampu melihat jin, melihat malaikat, dan melihat hal-hal gaib lainnya. Namun, penulis secara pribadi menyarankan kepada sahabat-sahabat, ketika problem yang dihadapi adalah terkait interaksi terhadap manusia (hablumminannas), selesaikanlah di alam manusia, tidak perlu melibatkan alam gaib, jika memang ingin melibatkan sesuatu yang gaib, memintalah pertolongan kepada Dzat Sang Maha Ghaib, yakni Allah SWT, karena itulah yang benar, bukan malah meminta bantuan si penerawang yang menerawang ke awang-awang dan masih ngawang.
Mohon maaf apabila ada kata yang salah, karena penulis pun masih dalam proses belajar dan terus mencoba memperbaiki kesalahan, dan mohon maaf apabila ada yang tersudutkan oleh coretan ini, penulis hanya ingin mengutarakan suatu hal yang menurut penulis penting untuk disampaikan. Semoga kita semua terhindar dari fitnah sewaktu hidup dan fitnah setelah meninggal dunia, serta fitnah kubro dajjal. Amin. Wallahu’alam.
Berbicara mengenai simbolitas, maka kita akan berpikir mengenai simbol-simbol. Simbol ini bisa diartikan sebagai lambang yang mewakili sesuatu yang ada (eksis) dan berada (esensi). Simbolitas biasanya adalah sebuah manifestasi dari suatu ideologi bahkan tradisi yang melekat dan dijadikan landasan fanatisme terhadap sebuah tradisi/ideologi yang diyakini. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diartikan bahwa simbol adalah brand (lambang) yang digunakan oleh seseorang maupun komunal untuk mendeskripsikan suatu ideologi, gagasan maupun tradisi yang dianutnya. Secara praktis, kita mampu mengenali GARUDA sebagai simbol Negara Kesatuan Republik Indonesia, dimana simbol tersebut mendeskripsikan landasan ideologi Indonesia itu sendiri, yakni PANCASILA.
Seperti yang dijelaskan diatas, simbolitas adalah mewakili eksistensi dan esensi, sehingga simbol bukanlah hanya sekedar ada atau eksis saja, melainkan memiliki nilai esensi pula didalamnya. Dalam proses kita bernegara, simbolitas yang dibangun sudah kemudian mewakili kedua hal tersebut, dimana Indonesia adalah sesuatu yang ada, bukan tidak ada (tentu dalam konteks fenomena, bukan nomena), dan secara esensi pun, Indonesia ada, dimana terdapat rakyat, wilayah, pemerintahan yang berdaulat, dan pengakuan dari negara lain. Penulis teringat ketika dulu belajar PKn, dimana rakyat, wilayah, pemerintahan yang berdaulat dan pengakuan dari negara lain adalah kriteria sebuah negara sah dan bisa diakui baik secara de facto maupun de jure.
Dalam konteks relasinya, esensi dan eksistensi sangatlah erat berkaitan. Esensi sangat membutuhkan eksistensi. Tanpa eksistensi, esensi bukanlah apa-apa, karena esensi (hakikat) memerlukan keberadaan yang mewakilinya. Begitu pula eksistensi sangat membutuhkan esensi, karena tanpa esensi, keberadaannya menjadi tidak bernilai dan dipertanyakan (absurd). Sebagai contoh, kita mengenal tanah jawa, tanah toraja, tanah pasundan yang kesemuanya masuk dalam tatanan esensi dan secara eksistensi adalah sama-sama tanah. Pembaca boleh cek, dalam iklim dan kondisi (tekanan & suhu) yang sama, tanah jawa dan pasundan tidaklah memiliki perbedaan dalam konteks eksistensinya (dalam kajian inderawi), namun secara esensi, jelaslah berbeda (ditinjau dari segi karakteristik penduduk dan tradisi sosial kemasyarakatannya). Ketika nilai esensi dan eksistensi sudah berpadu, maka akan muncul sebuah simbolitas yang diangkat atas nama kedua hal tersebut. Menurut penulis, keadaan tersebut merupakan keadaan yang sangat ideal, dimana simbolitas diangkat dengan jalan yang konstruktif yang merepresentasikan relasi sempurna dari kedua hal tersebut.
Namun, dalam realitas kehidupan kita bermasyarakat, seringkali penulis menemukan sebuah fenomena yang tidak dalam kondisi yang konstruktif dan terkesan timpang. Simbolitas yang diangkat banyak yang tidak mewakili eksistensi dan esensi. Simbolitas seringkali diangkat hanya atas nama eksistensi tanpa dibarengi dengan suatu esensi yang jelas, sehingga terjadilah sebuah distorsi atas relasi kedua hal tersebut. Kita dapat melihat ini dalam berbagai praktek bermasyarakat, baik praktek pendidikan, pemerintahan, beragama, berorganisasi, dan lain-lain.
Sebagai contoh, penulis mencoba melihat fenomena sertifikasi, akreditasi, dan penilaian. Sebenarnya, sertifikasi, akreditasi dan penilaian adalah sebuah usaha simbolitas yang bernilai eksistensi untuk mencapai esensi yang diharapkan. Namun dalam praktiknya, entah disadari atau tidak, subjek maupun objek dari akreditasi, sertifikasi dan nilai seringkali berpikir subjektif dan parsial dalam memandang eksistensi dan esensi, mereka cenderung hanya berpikir atas eksistensi dan melemahkan posisi dari esensi yang sejatinya adalah sesuatu yang juga penting dalam suatu praktik akreditasi. Yang penting dapat akreditasi A, sertifikasi internasional dan nilai bagus, bagaimanapun caranya, entah dengan membuat kebohongan besar demi mendapatkan hal tersebut demi kejayaan simbolnya. Menurut hemat penulis, praktik seperti ini jelas-jelas menghancurkan tradisi konstruktif-intelektual, dan mendewakan kebiasaan buruk berupa pemikiran destruktif-pragmatis yang berdampak pada lemahnya integritas dan intelektualitas yang seharusnya dimiliki oleh pemuja-pemuja simbol.
Begitu pula penulis melihat fenomena dalam praktek beragama yang cenderung mengagungkan eksistensi tanpa memperhatikan eksistensinya secara matang. Sangat marak kita lihat, bahkan di dunia pendidikan seperti kampus, praktik-praktik beragama dibawa ke ranah simbolitas yang tidak menyeimbangkan antara eksistensi dan esensi secara cerdas dan cermat. Eksistensi yang terlalu diagungkan membawa mereka kedalam praktek-praktek radikalisasi yang secara tidak langsung membawa mereka terjebak ke dalam simbolitas yang semu. Mungkin pembaca akan bertanya-tanya, mengapa hal ini bisa terjadi? bahkan di dunia pendidikan yang seharusnya menciptakan kaum-kaum terdidik yang (seharusnya lagi) mampu memahami hal ini? Entahlah, mungkin karena para pendidiknya pun ada yang sudah menjadi tersangka dan terdakwa dalam kasus simbolitas semu ini. Terus bagaimana? Penulis juga tidak tahu.
Selain praktik tersebut, masih banyak praktik-praktik sejenis dalam keseharian kita yang seharusnya penulis dan pembaca sadari untuk kemudian di transformasikan menjadi praktik-praktik yang mampu memposisikan relasi esensi dan eksistensi secara adil. Penulis kemudian teringat dengan sebuah kalimat yang tertulis dalam sebuah jaket saat penulis jalan-jalan yang berbunyi, “Dont think to be the best, but think to do the best”, yang berarti “Janganlah berpikir untuk menjadi yang terbaik, namun berpikirlah untuk melakukan yang terbaik”. Dalam kacamata penulis, statemen ini sangatlah keren, dimana secara implisit, statemen ini memposisikan eksistensi dan esensi secara sepadan, meski ketika kita baca secara tekstual, kita hanya akan melihat adanya pengebirian atas eksistensi. Berangkat dari hal tersebut, semoga penulis dan pembaca sekalian termasuk makhluk yang mampu menyeimbangkan eksistensi (gelar, nilai, akreditasi, IPK, brand, dll) dan esensi (hakikat dari gelar, nilai, akreditasi, IPK, brand, dll). Semoga.
Saya menulis kado ini tepat 4 hari sebelum PMII berulang tahun. Secara momentum, insya Allah tulisan ini tidak menjadi kado yang terlambat untuk saya berikan kepada PMII. PMII akan genap berusia 56 tahun. Usia yang tak lagi muda untuk ukuran sebuah organisasi kemahasiswaan. Usia yang apabila dimiliki oleh manusia, adalah usia yang kenyang akan pengalaman, dan sudah banyak kontribusi yang diberikan dalam sebuah masyarakat. Sehingga kemudian saya berharap, semoga dalam momentum ini, dengan berbagai pengalaman yang telah dimiliki PMII di masa lalu, PMII mampu berkontribusi secara nyata melalui gagasan dan gerakan yang dimiliki kader PMII untuk agama dan bangsa. Seperti yang termaktub dalam Mars PMII, alunan indah nada “Pembela Bangsa, Penegak Agama” menjadi sebuah alunan indah pergerakan revolusi Indonesia menuju tercapainya cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia.
PMII yang merupakan singkatan dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia memiliki diksi ideal yang menggambarkan sebuah organisasi yang notabene memiliki asas dinamis, progresif, dan berkemajuan. Bergerak berarti maju, tak berdiam, dan anti-stagnansi. Berbeda dengan organisasi lain yang notabene banyak menggunakan kata “Himpunan”. Himpunan yang berarti berkumpul, sering dikonotasikan sebagai antonim dari kata “Pergerakan”. Himpunan cenderung diasumsikan dengan bahasa stagnasi, anti-dinamis, anti-progresif, diam, dan tak berkemajuan. Secara kontekstual, dapat diartikan bahwa PMII dengan Pergerakannya selalu harus lebih maju dari organisasi yang hanya berlabel Himpunan. Begitu kata senior saya saat mengikuti MAPABA tiga tahun silam.
Meskipun perkataan senior saya ini cenderung berbau doktrinasi, namun perkataan ini tak serendah bahasa doktrinasi. Memang pada dasarnya, diksi Pergerakan lebih bermakna daripada diksi Himpunan, meski dalam konteks yang lain, penggabungan 2 kata ini bisa dibilang memberikan arti yang lebih ideal. Saya teringat akan sebuah quote berbahasa arab yang berarti, “Tidak ada kemenangan tanpa kekuatan, tiada kekuatan tanpa pergerakan, tiada pergerakan tanpa kebersamaan, tiada kebersamaan tanpa persatuan”. Statemen ini menggambarkan hubungan kata pergerakan, himpunan, dan persatuan yang saling membangun satu sama lain. Terlepas dari hal tersebut, sebagai organisasi yang didalam namanya mengandung kata pergerakan, PMII dan kadernya memiliki nilai lebih, yakni bagaimana kemudian secara moril, PMII dan para kadernya dituntut untuk terus bergerak secara dinamis dan progresif menuju terealisasinya tujuan organisasi (Pasal 4 AD PMII). Sehingga kemudian, kader PMII pantas menyandang sebagai kader pergerakan, warga pergerakan atau apapun istilah yang berkonotasi ke arah sana. Bagaimana PMII mengartikan sebuah makna pergerakan juga tersirat dari idiom yang masyhur di PMII, “Mundur satu langkah adalah suatu bentuk PENGKHIANATAN!”. Idiom tersebut mensinyalir akan bagaimana PMII sangat menuntut kadernya untuk bergerak maju dan dinamis, tak boleh mundur sedikitpun, bahkan hanya satu langkah.
Sebetulnya, dalam tulisan ini, saya hanya ingin menyampaikan sedikit hal terkait pengalaman pribadi saya dalam berproses di PMII. Secara eksplisit, tidak ada sedikitpun hubungan antara judul yang saya ambil dengan tujuan saya menulis ini. Bisa dibilang, judul tulisan ini agak ngawur. Namun secara implisit, insya Allah pembaca akan mendapatkan korelasi antara judul yang saya ambil dengan isi tulisan ini. Karena pada proses saya belajar di PMII, saya merasa ada beberapa tahapan dimana saya merasa berkembang dan mengalami progres secara keorganisasian dan soft skill di PMII, meskipun saya masih tetap bodoh dan tak kunjung pandai hingga saat ini.
Mengawali tulisan ini, saya mencoba menerawang kembali atas apa yang terjadi 3 tahun yang lalu, dimana saya menginjakkan kaki pertama kali di PMII. Sebelumnya, saat SMA, saya sudah mengenal PMII dari adik sepupu saya yang berkuliah di ITS. Pada saat itu, saya hanya tahu bahwa PMII adalah organisasi berhaluan ASWAJA. Maklum, saya merupakan alumni pondok pesantren dan ber-background NU. Ketika saya masuk kampus dan menemukan banyak senior di kampus yang merupakan kader PMII, saya tak berpikir panjang lagi untuk bergabung dan menjadi bagian dari PMII. Berhubung saya berkuliah di Fakultas Sains dan Teknologi, bergabunglah saya dengan PMII Rayon “Pencerahan” Galileo yang merupakan rayon yang menaungi kader-kader eksakta di UIN Maliki Malang
Dalam proses mengikuti MAPABA, saya sejujurnya terkagum-kagum dengan narasumber MAPABA. Materi-materi yang ada memang benar-benar ilmu baru bagi saya dan terdapat pengembangan pemikiran daripada apa yang pernah saya pelajari di pondok pesantren dulu, salahsatunya adalah bagaimana PMII memposisikan ASWAJA sebagai Manhaj. Singkatnya, ada perubahan paradigma berpikir. Yang paling membuat saya sangat terinspirasi adalah grand design kaderisasi PMII Rayon “Pencerahan” Galileo pada saat itu yang mengusung gagasan “SAINTIS AKTIVIS”. Sepemahaman saya, SAINTIS AKTIVIS bisa didefinisikan sebagai mahasiswa yang berlatarbelakang disiplin ilmu sains yang berbeda dengan mahasiswa sains lainnya. Mereka dituntut untuk aktif pula dalam berbagai macam interaksi sosial di lingkungannya, belajar berkontribusi terhadap masyarakat sekitar, dan berorganisasi sebagai langkah pengkolektifan pengembangan sains di Indonesia. Saya benar-benar terilhami akan gagasan tersebut.
Gagasan tersebut juga berhubungan dengan berbagai fakta menarik terkait bagaimana perjalanan PMII dalam bingkai perkembangan dunia sains dan teknologi. Hingga saya menjadi pengurus rayon, saya sering mendapatkan beberapa ungkapan akan adanya perbedaan antara mahasiswa eksakta (baca: sains) dengan mahasiswa non-eksakta, baik itu dari konsep kaderisasi, pengembangan wacana, bahkan arah dan lapangan geraknya. Sahabat-sahabat saya juga sering bercerita kalau mereka pernah mendapatkan dongeng dari senior, bahwa sahabat-sahabat senior (baca: pasca-rayon) pernah mengemukakan gagasan-gagasan akan pentingnya perumusan silabus kaderisasi khusus rayon eksakta di beberapa forum-forum formal PMII, seperti MUSPIMCAB, namun seringkali tak menemukan hasil yang konkrit dan selesai di meja forum saja.
Secara pribadi, saya menilai bahwa gagasan diatas sangat perlu untuk diperjuangkan karena memiliki unsur-unsur progresif dan dinamis yang patut diperjuangkan. Di era globalisasi yang sarat akan persaingan pengembangan IPTEK, menurut saya, sangat penting untuk kemudian Indonesia dibawa ke ranah pengembangan IPTEK berkelanjutan. Dan saya sangat berharap, gagasan dan gerakan tersebut lahir dari PMII selaku organisasi yang (seharusnya) menjunjung tinggi progresivitas dan anti-stagnansi. Sehingga, saya beserta sahabat-sahabat mencoba untuk menjadi promotor akan pengembangan wacana pengembangan sains dan teknologi di PMII dari berbagai aspek melalui sebuah gerakan menulis dengan mengangkat tema “PMII dalam bingkai Eksakta”, yang nantinya diharapkan menjadi sebuah buku yang menampung gagasan sahabat-sahabat yang berasal dari rayon/komisariat eksakta terkait wacana ini. Semoga.
Dalam konteks eksistensi, saya juga sempat dipercayai untuk menjadi delegasi di organisasi intra kampus sebagai Ketua HMJ Kimia, menjadi Sekretaris DEMA-FST dan berupaya pula untuk mencalonkan diri menjadi presiden DEMA UIN Maliki Malang meski gagal di konvensi heksa rayon pada saat itu. Pengalaman ini tentu tidak akan saya lupakan dan menjadi pelajaran berharga bagi saya pribadi.
Selain pengalaman diatas, banyak pengalaman berharga yang saya dapati di PMII yang akan melebihi syarat penulisan esay ini apabila saya tulis seluruhnya. Kepercayaan, persahabatan, pembelajaran, nasihat, dan dinamika berorganisasi PMII secara menyeluruh sangat mempengaruhi progresivitas keilmuan saya hingga saat ini. Sebuah pengalaman yang tidak akan bisa didapatkan oleh saya di luar PMII. Saya adalah seorang perantau dari kota kecil di Jawa Barat. Sebagai manusia yang perlu diakui keberadaannya, adalah sebuah kebanggaan yang luar biasa bisa bertemu sahabat-sahabat yang menyambut baik keberadaan saya di PMII hingga saya masih tetap bertahan bersama PMII hingga hari ini. Terimakasih untuk sahabat-sahabati PMII di seluruh Indonesia. Terimakasih atas ilmu yang telah diberikan oleh sahabat-sahabati sekalian.
Akhir kata, semoga tulisan saya ini pantas menjadi kado ulang tahun PMII ke 56 dan bisa menjadi inspirasi bagi warga pergerakan dimanapun berada. Saya sadar bahwa tulisan ini banyak terdapat unsur subjektif dalam opini-opini yang tertuang didalamnya. Hal tersebut tak luput dari kebodohan saya selaku manusia yang masih goblok dan perlu terus belajar dalam menjalani kehidupan. Tulisan ini saya dedikasikan sebagai kado Ulang Tahun PMII yang ke 56. Semoga ke depan, PMII terus istiqomah melahirkan generasi “Pembela Bangsa, Penegak Agama”. Semoga PMII mampu untuk terus mendinamisasi pergerakannya (karena bukan sekedar himpunan/ikatan), sehingga memiliki relevansi output kader yang mampu menjadi garda terdepan bangsa ini. Teringat akan apa yang pernah dikatakan sahabat Rodli Kaelani, “Kun Ibna Zamaanika!, Jadilah Generasi Emas di Zamanmu!”, maka kader PMII harus menjadi generasi emas yang mampu membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik dimasa depan. Selaku bagian dari kader PMII eksakta, saya berharap ke depan akan tercipta sebuah blueprint pola pengembangan kader eksakta di PMII. Bahkan tak hanya eksakta, mungkin bisa juga dirancang sebuah blueprint pengembangan kader PMII sesuai disiplin ilmunya, sehingga pengembangan potensi kader PMII bisa lebih terarah dan mampu menjadi leader di sektor-sektor penting komponen bangsa ini. Tentunya dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai dan tujuan PMII. Selamat Ulang Tahun PMII yang ke-56!Bersemilah, bersemilah, Tunas PMII… Tumbuh Subur, Tumbuh Subur, Kader PMII, Kau Harapan Bangsa….
Esai sering juga disebut artikel, tulisan, atau komposisi. Dalam arti yang lebih luas, esai juga dipahami sebagai sebuah karangan. Secara umum, esai didefinisikan sebagai sebuah karangan singkat yang berisi pendapat atau argumen penulis tentang suatu topik. Biasanya, seseorang menulis esai karena ia ingin memberikan pendapat terhadap suatu persoalan atau fenomena yang terjadi dalam masyarakat. Penulis esai, atau sering disebut esais, dapat juga mengupas suatu topik atau persoalan dan memberikan tanggapan dan pendapatnya atas topiik atau persoalan yang dibahasnya. Secara umum, esai memiliki beberapa ciri yang menonjol.
Ciri pertama berkaitan dengan jumlah kata dalam sebuah esai. Memang tidak ada aturan baku yang menyebutkan berapa jumlah kata dalam sebuah esai. Patokannya adalah bahwa sebuah esai harus selesai dibaca dalam sekali duduk. Pengertian ini bisa diilustrasikan sebagai berikut. Ketika seseorang sedang duduk menunggu giliran periksa kesehatan di sebuah klinik, dia harus sudah selesai membaca sebuah esai saat dia berdiri dipanggil masuk ke kamar periksa. Meskipun aturan ini tidak begitu jelas, patokan “sekali duduk” ini cukup membantu ketika seseorang ingin menulis sebuah esai.
Terkait dengan jumlah kata ini, beberapa buku komposisi memberikan batasan yang lebih jelas. Sebuah karangan dikategorikan esai bila karangan tersebut berjumlah antara 500 sampai dengan 1500 kata. Bila diketik dalam bentuk dokumen microsoft word, panjang sebuah esai berkisar antara tiga sampai dengan tujuh halaman ukuran kertas A4 yang diketik dengan font berukuran 12 dan berspasi ganda. Sebuah esai yang melebihi 1500 kata, misalnya 3000 atau 4000 kata, akan digolongkan sebagai extended essay (esai yang diperpanjang).
Ciri lain esai adalah struktur penulisannya. Struktur esai terbagi dalam tiga bagian yang diwujudkan dalam bentuk paragraf. Bagian pertama esai adalah paragraf pendahuluan atau pengantar. Dalam bagian ini, penulis memberikan pengantar yang mencukupi dan relevan tentang topik yang ia tulis. Yang paling penting dalam paragraf pendahuluan adalah kalimat tesis (thesis statement) yang berfungsi sebagai gagasan pengontro (controlling idea) untuk bagian isi esai. Bagian kedua adalah paragraf-paragraf isi yang merupakan penjabaran atau pembahasan lebih lanjut dari gagasan yang ingin disampaikan penulis. Jumlah paragraf dalam bagian ini tergantung dari jumlah gagasan utama yang hendak disampaikan dalam esai. Bagian terakhir adalah paragraf penutup. Bagian ini dapat berisi ringkasan dari gagasan yang telah disampaikan dalam isi esai atau penegasan atas gagasan utama yang telah disampaikan.
Ciri yang paling membedakan esai dengan jenis karangan lain berkaitan dengan gaya bahasa. Pilihan kata, struktur kalimat, dan gaya penulisan merupakan hal terkait erat dengan penulis esai. Penulis esai yang berpengalaman biasanya memiliki ciri tertentu ketika menulis esai. Semakin sering seseorang menulis esai, semakin mudah gaya bahasa orang tersebut dikenali. Misalnya, esai tulisan Gunawan Muhamad tentu berbeda dengan esai yang ditulis oleh Bakti Samanto atau oleh Umar Kayam. Keunikan gaya bahasa ini menjadi ciri esai yang menonjol.
Sebagai simpulan, esai merupakan buah pikir yang ditulis secara ringkas. Topik apa pun dapat ditulis dalam bentuk esai. Karena itu esai menjadi salah satu jenis tulisan yang sering dijadikan alat uji untuk mengukur intelegensi seseorang. Seorang yang berpengetahuan luas akan dapat menyampaikan gagasannya secara runtut, logis, dan menarik. Semakin sering kita membaca, semakin besar kemungkinan kita untuk dapat menulis esai dengan baik.Dengan banyak membaca, kita akan memiliki lebih banyak gagasan untuk ditulis. Persoalan utamanya tinggal mewujudkan gagasan yang sudah tertanam dalam benak kita melalui tulisan yang harus terus-menerus kita latih agar semakin lama semakin sempurna. Selamat mencoba.
Sumber :http://www.menulisesai.com/2012/09/apa-itu-artikel.html
Hai, Saya Fawwaz Muhammad Fauzi, suatu produk hasil persilangan genetik Garut-Majalengka. Menjadi Dosen Kimia adalah profesi utama saya saat ini. Selain itu, ya membahagiakan istri, anak dan orang tua. Melalui blog ini, saya ingin menuliskan kisah-kisah keseharian saya yang pasti receh. Mungkin sedikit esai-esai yang sok serius tapi gak mutu. Jadi, tolong jangan berharap ada naskah akademik atau tulisan ilmiah disini ya, hehe.
Kalau ada yang mau kontak, silahkan email ke [email protected]. Udah itu aja.