Peluang Kontribusi Santri di Bidang Sains dan Teknologi

Peluang Kontribusi Santri di Bidang Sains dan Teknologi

Beberapa dekade lalu, santri diidentikkan sebagai komunitas masyarakat yang tradisional, kaku dan terbelakang. Masyarakat perkotaan notabene seringkali memandang sebelah kaum santri karena dianggap kolot dan anti kemajuan karena dianggap mendahulukan kepercayaan mistis dibanding tradisi pengetahuan modern. Padahal dalam kesehariannya, santri sangat erat kaitannya dengan tradisi akademik yang progresif. 

Tri Dharma ala Santri

Jika dibandingkan dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, santri juga melakukan Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. Hanya saja Tri Dharma santri tak dilaporkan dalam sister BKD seperti dosen, dan terhitung SKS yang formal seperti mahasiswa. Pengajaran dilakukan santri dengan berbagai metode. Kyai atau ustadz bisa melakukannya dengan Bandongan, atau dalam bahasa akademik disebut metode ceramah satu arah. Bisa juga dilakukan dengan sorogan, disimak oleh kyai satu per satu terkait satu pelajaran, bahkan bisa jadi seperti halnya Sidang Komprehensif Skripsi. Teknis sidang kompre santri kira-kira mirip seperti Musabaqoh Qiroatul Kutub. 

Penelitian dilakukan santri melalui studi literatur dan dipublikasi melalui “prosiding” forum bahtsul masail di berbagai tingkatan.  Bahtsul masail adalah kegiatan berkumpulnya para santri dengan bekal buku-buku akademik keislaman (misal:fiqih) dari generasi ke generasi, dari metode satu ke metode lainnya, dari madzhab satu ke madzhab lainnya untuk membahas persoalan-persoalan keislaman kontemporer, kemudian dicari solusi dari persoalan tersebut dan diambil kesepakatan bersama. Kira-kira jika BM level nasional setara dengan jurnal Sinta 1, BM level internal pondok setara dengan Sinta 3-5. Sehingga Bahtsul masail adalah salah satu contoh dari rutinitas santri yang erat kaitannya dengan tradisi akademik bidang Penelitian.

Untuk banyak santri satu dua dekade kebelakang, mungkin Pengabdian Masyarakat adalah kegiatan sehari-hari karena relasi santri dan masyarakat saat itu sangatlah cair dan mutualisme. Santri saat ini dengan sistem dan aturan pesantren yang lebih terstruktur, biasanya pengmas dilakukan selepas santri lulus dari pendidikan pesantren. Meski tak semuanya, beberapa pesantren mewajibkan santri melakukan pengmas wajib selama 1 tahun pasca lulus. Berbeda dengan pendidikan tinggi yang merealisasikan pengmas hanya 1 bulanan.

Peluang Santri terhadap Sains dan Teknologi

Lalu apa hubungan santri dan saintek? Saya membayangkan keunggulan santri dengan metode-metode pembelajarannya, serta fokus yang lebih baik karena konsep boarding schoolnya. Jika dibuat visi, misi, tujuan, rencana induk, rencana strategis, kurikulum dan turunannya yang mengarah pada pembelajaran yang difokuskan pada bidang saintek tertentu, saya yakin jebolannya akan menjadi ahli sains yang handal. Jika di bidang Kesehatan, maka akan menjadi ahli kesehatan yang handal. 

Lantas, bagaimana pembelajaran agamanya? Jangan terlalu dalam, cukup beri pengetahuan praktis dasar saja, misal fiqihnya Safinah mentok-mentok Taqrib, tauhid bisa Tijan atau Jawahirul Kalamiyah, Akhlak cukup Ta’lim Muta’alim, selebihnya fokuskan untuk santri belajar bidang saintek yang ia pilih, konsistenkan proses ini sejak SMP hingga Perguruan Tinggi yang terintegrasi dan tersistem dalam satu naungan Yayasan Pesantren tertentu. Yang farmasi biar farmasi, yang bioteknologi biar bioteknologi, yang nanomaterial biar nanomaterial. Bila masih banyak waktu tersisa, keilmuan multidisplin yang masih beririsan pun bisa dibabad habis.

Dengan konsep yang matang dan implementasi yang terkontrol dengan baik, saya yakin santri jebolan lembaga tersebut akan menjadi terang dalam gelap, jawaban atas pertanyaan, dimana islam dan agama-agama saat dunia saat ini dikuasai oleh orang-orang yang menuhankan sains dan teknologi. Santri harus hadir mencoba menghadapi fenomena dunia yang demikian mengarah kepada penafian kebenaran agama, atau lebih jauhnya menafikan keberadaan Tuhan.

Mengapa saya sebegitu yakin? Karena santri dengan berbagai metode pembelajarannya yang efektif dan sudah eksis sejak dahulu kala, serta model boarding school yang lebih mampu menyingkirkan distraksi, fokus santri terhadap studi bisa lebih dari sekedar siswa dan mahasiswa biasa. Yang lebih mudah teralihkan perhatiaannya dengan hal-hal diluar kepentingan akademisnya.

Maka akan ada yang skeptis, masa santri hanya brlajar kitab-kitab tipis? Nanti ilmu agamanya dangkal dong? Ya jika ingin pembelajaran agama yang lebih mendalam, ada banyak sekali Pesantren “Salaf” yang secara kurikulum mapan di kajian kitab kuning yang bisa dipilih. Pilihlah yang itu. Daripada kita memaksa santri untuk benar-benar “MASAGI”, namun pada akhirnya “Tidak Kemana-mana”, Ilmu Fiqihnya nanggung, Fisikanya ngambang. Sehingga memang perlu satu dua pesantren yang mengadaptasi role model pesantren sains yang lebih mengeksplorasi keilmuan sains. Dan peran pesantren ini nantinya di bidang agama, lebih difokuskan pada pembentukan karakter dari santri itu sendiri.

Mengutip dawuh Romo KH. Anwar Manshur Lirboyo, bahwa Tidak perlu semua santri itu menjadi kyai. Yang penting menjadi santri yang “khoirunnas anfauhum linnas”. Sehingga, poin penting dari santri adalah kemanfaatan. Dimana sayap kemanfaatan santri yang perlu diperlebar lagi adalah dengan berkontribusi lebih dalam pengembangan sains dan teknologi. Yang mana saat ini di sektor tersebut belum banyak terdistribusi santri yang punya kapasitas intelektual terkait.

Hemat saya, peluang untuk santri ini harus kita sambut dengan antusiasme dan kemauan yang tinggi, untuk sedikit keluar dari mainstream, tentu bukan karena ingin gaya-gayaan, tetapi ini dilakukan demi perbaikan ummat, agar kontribusi umat islam terhadap sains dan teknologi lebih berefek dan meluas. Para kyai dan gus gus masa kini saya kira harus merespon peluang ini dengan cermat. Sehingga persepsi masyarakat terhadap santri yang pelan-pelan sudah mulai terbangun baik, akan semakin baik dengan keberanian beliau-beliau untuk mengambil inisiatif merespon peluang ini.

Cerita tentang Gaya Hidup Sehat

Cerita tentang Gaya Hidup Sehat

Sudah sejak beberapa tahun lalu pola hidup saya ini saya rasa sangatlah tidak sehat. Terbukti dengan beberapa bagian di tubuh saya yang mengalami pembengkakan, hahaha. Timbunan lemak semakin bejibun, terkhusus di bagian perut yang kian hari kian membuncit. Saya termasuk dalam kategori “Orang-orang Besar”, hahaha. Dalam beberapa kesempatan, saya merasa kesulitan bernafas, mudah lelah dan mudah terserah penyakit musiman macam flu, sedikit-sedikit pusing dan sakit kepala, dan berbagai keluhan lainnya.

Dengan berat yang sudah mencapai 90 kg pada bulan Juli yang lalu, diikuti dengan gejala sindrom metabolik yang menyertai, saya seringkali berpikir. Akan sampai mana hidup saya jika pola hidup saya begini-begini aja. Apakah akan bisa hidup hingga tua nanti, menyertai anaka-anak bertumbuh dan berkembang. Dan saat tua nanti tak terlalu merepotkan mereka. Benar, bahwa umur adalah rahasia-Nya, takdir dari-Nya, tapi manusia punya kuasa untuk berupaya dan berikhtiar, dan itu bukan suatu kesalahan!

Berbekal keilmuan, saya niatkan untuk mengatur pola makan dan olahraga dengan mempelajari dasar ilmu nutrisinya terlebih dahulu, mulai dari metode diet sampai analisis nutrition fact. Dan alhamdulillah rasa-rasanya tak terlalu sulit untuk memahami dan menerima keilmuannya karena saya punya latar belakang seorang Magister Kimia, kira-kira masih beririsan dengan ilmu nutrisi saat saya pelajari. Belajarlah saya melalui berbagai macam saluran, baik youtube, instagram, dll. Langkah pertama yang saya lakukan untuk menangani obesitas ini adalah membatasi konsumsi sumber-sumber gula, baik gula sederhana maupun kompleks.

Gula disini bukan berarti gula pasir ya. Karena gula ini dalam terminologi gizi adalah salah satu nutrien primer, yakni kelompok karbohidrat (baca:karbo). Gula pasir (sukrosa) adalah karbo sederhana yang mudah dicerna tubuh, karena hanya tersusun dari 2 molekul gula (1 glukosa, 1 fruktosa). Nasi dan tepung adalah gula kompleks, yang perlu waktu yang lebih lama untuk dicerna tubuh daripada gula sederhana. Namun tetap saja, jika terlalu banyak, akan dengan cepat menaikkan berat badan. Mekanisme lebih jauh tentang eksresi insulin dari pankreas, resistensi, gula darah, penyakit sindrom metabolik, silahkan dicari-cari sendiri ya. Karena akan sangat panjang jika dijelaskan disini. Pada intinya, terlalu banyak konsumsi gula, menyebabkan naiknya berat badan dan berpotensi obesitas, atau paling tidak meningkatkan resiko penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus tipe 2.

Jadi, menghindari gula ini, saya tidak mengkonsumsi gula pasir dan semua minuman yang ditambahkan gula pasir. Anti minuman minimarket yang kadar gulanya diatas 8 gram per serving. Dan persis, sulit untuk saya memenuhi kategori itu. Jadi saat saya beli minuman di minimarket, air putih adalah andalan. Selanjutnya, Tidak memakan olahan tepung seperti gorengan, cilor, cilok, sosis, bakso, waakhwatuha. Jika saya terpaksa membeli ayam crispy, crispy nya saya unboxing, wkwkwk. Terakhir, mengurangi segala asupan karbohidrat kompleks seperti nasi dalam sajian makan berat. Selebihnya, saya mempraktekkan intermitter fasting 16-8 setiap hari, jadi sarapan jam 10 siang, tetep pake nasi ya, tapi dibawah 150 gram. Lauknya berfokus di protein dan sayuran. Sore makan maksimal jam 18.00, juga tetep makan nasi dibawah 100 gram dengan lauk prioritas sumber protein dan serat yang tinggi.

Sumber protein utama yang saya pilih adalah telur dan dada ayam, terkadang juga dari seafood, protein nabati macam tahu dan tempe. Alhamdulillah, istri dan orang tua adalah support system terbaik, saya disiapkan berbagai macam olahan dada ayam hampir setiap hari. Bosan? Tentu saja TIDAK. SAYA SUKA DADA AYAM, WKWKWK. Untuk cemilan disela-sela makan berat? Saya biasa makan 1-2 buah-buahan setiap hari. Saya tetap batasi buah-buahan karena beberapa cukup tinggi gula sederhana. Kemudian, jika tergoda makanan-makanan pantangan, saya tak perlu menahan, cukup ambil secuil, yang penting udah nyobain. Jika dulu tergoda bakso pesen 1 mangkok, sekarang cukup 1 biji bakso kecil saja, hehe.

Oh, iya, selain pendekatan analisis nutrisi dan intermitten fasting, saya juga melakukan defisit kalori. Ini dilakukan karena memang salah satu tujuan (kecil) saya adalah fat loss. Kalori perharinya saya batasi maksimal 1900 saja. Dan setiap hari saya catat di aplikasi fat secret, dan berlangsung sekitar 2 bulan. Sejak pertengahan oktober hingga saat ini, saya sudah tak mencatat kalori makanan saya karena saya sedikit banyak sudah bisa memprediksi kalori yang masuk ke tubuh saya yang berasal dari makanan yang saya konsumsi.

Untuk olahraga, saya masih belum bisa mengobati kemalasan olahraga. Di awal-awal, saya sempat mencoba mengikuti gerakan-gerakan olahraga di aplikasi, misal High Intensity Interval Training. Tapi karena kesibukan, olahraga yang dirutinkan saat ini mungkin hanya push up, sit up dan plank kurang lebih 2-3 kali perhari dan terkadang bolong-bolong. Sebetulnya olahraga ini akan saya planning ke depan.

Alhamdulillah, pendekatan-pendekatan gaya hidup diatas saya praktekkan dengan konsisten hingga saat ini. Hasilnya adalah BB saya turun hingga 77 kg. Meskipun tujuan awal saya mengatur gaya hidup ini bukan untuk menurunkan BB, namun saya cukup senang atas pencapaian ini. Lebih dari itu, saya lebih senang ketika saya merasa lebih berenergi, tidak mudah lelah, tidak mudah sakit, mood terkontrol dan kepercayaan diri semakin meningkat pesat, hahaha. Lebih dari semua itu, saya ingin indeks harapan hidup saya meningkat, karena orang dengan obesitas tentu lebih beresiko terkena penyakit sindrom metabolik yang kronis dan mematikan. Dan alhamdulillah, saya rasa saya sedang berada pada jalur yang tepat.

Ada sebuah cerita unik, saya punya 2 kemeja sport hem yang saya beli karena saya menyukainya. Saya membelinya kira-kira sudah 3 tahun yang lalu. Saat dicoba di rumah, ternyata dibagian perut, kemeja tak bisa dikancingkan karena terlalu buncit. Akhirnya, beberapa bulan yang lalu saya berikan ke adik saya untuk dia gunakan sehari-hari. Eman-eman daripada gak kepake. Syahdan, beberapa hari yang lalu, saya iseng membuka lemari adik saya, dan baju yang saya berikan itu belum pernah ia pakai. Kemudian saya iseng mencobanya dan “slep!”, bagian perut bisa terkancing dan masih longgar sekitar 2 jari. Saya terperangah dan terheran-heran sendiri sembari mesam mesem. WOW!!! saya sama sekali tak menyangka bisa sampai ke titik ini! Tak menyangka baju impian itu bisa saya gunakan saat ini, wkwkwk. Akhirnya saya minta lagi baju itu ke adik saya. Toh, adik saya ternyata belum pernah memakainya karena dirasa terlalu longgar, hahaha.

Saya merasa senang dan bahagia. Seperti muslim pada umumnya, saya juga seringkali memanjatkan doa panjang umur kepada Tuhan, memohon di beri kesehatan dan umur yang panjang dan memberi manfaat, sehingga bisa membersamai orang-orang tersayang dengan kondisi yang sehat, prima dan tak merepotkan mereka. Mungkin, konsistensi saya, komitmen saya untuk menciptakan habit baru, pola baru, gaya hidup baru saya ini adalah jawaban dari doa-doa yang senantiasa terpanjatkan. Karena, bukankah dikabulkannya doa itu tidak ujug-ujug dikabulkan seketika? tapi melalui wasilah ataupun isyarat yang mesti dilalui maupun diikuti hamba-Nya itu? Begitu kan?

Semoga, ke depan, konsistensi ini saya bisa coba terapkan pada komitmen saya untuk memulai olahraga yang teratur, melalui ikut serta pada gym yang berfokus pada latihan beban dan kardio. Selain itu, saya juga ingin mencoba menambahkan satu pendekatan yang belum maksimal, yakni mengurangi penyajian makanan dengan deep frying. Semoga dua upaya ini dimudahkan dan diberi jalan konsistensi yang lebih lagi dari apa yang pernah saya praktekkan. Karena memang buncitnya masih ada meskipun hanya tinggal sedikit lagi, wkwkwk.

Wallahu a’lam.

Faylashufa Nayra Fauziya si Nomor 3

Faylashufa Nayra Fauziya si Nomor 3

Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmus sholihaat

Menginjak usia saya yang sudah kepala tiga, saya dan @choirotul.amin diberi anugerah kelahiran anak ketiga kami.

2019, hadir putra pertama kami, MUHAMMAD FAQIH ZEWAIL ALFAUZI, tak terasa kini ia sudah bertumbuh dan berkembang, beberapa bulan lalu sudah mulai masuk TK/RA dan selalu bersemangat untuk berangkat sekolah dan belajar.

2021, hadir putri cantik pertama kami, FATHIA KAMILA PUTRI FAUZIYA, saat ini usianya 2 tahun 8 bulan. Tingkahnya sangat menggemaskan, dan seringkali berdebat dengan Bundanya saat memilih outfit sehari2.

2023, tepatnya 3 oktober lalu, anak ketiga kami lahir, FAYLASHUFA NAYRA FAUZIYA. 7 hari sudah ia hadir melengkapi warna warni kehidupan kami. Semoga kelak ia tumbuh menjadi anak yang sholihah.

Seperti namanya, FAYLASHUFA yang berarti Filsuf, mencintai kebijaksanaan, berpikir secara mendalam dan radikal, hingga banyak keputusan hidupnya lahir atas kebijaksanaannya dalam berfikir dan berperilaku. NAYRA, semoga ia menerangi orang-orang disekelilingnya dengan cahaya kebijaksanaan, mengharap luberan syafaat Kanjeng Nabi SAW, karena ia lahir pada bulan dimana sang “Nur fauqo nur” juga dilahirkan dengan diiringi “imtalaatissamawatu anwaroo”. Shollu alan nabi. FAUZIYA, semoga seperti kakakmu @faqihzewail & @fathiakamilaputri kemenangan, kesuksesan, kejayaan, semoga kau mengilhaminya dalam kehidupanmu di masa depan nanti.

Selamat Datang di Gelanggang Dunia, kami pastikan kami akan menuntunmu untuk melewati semua dinamika kehidupan hingga Sang Khaliq mengatakan kepada kami, waktumu di dunia ini sudah cukup.

Panggilannya? Tidak seperti kakakmu yang sudah dideklarasikan dengan nama KAKA & TETEH, kami akan memanggilmu “FEY”, singkat, padat dan indah, 😁

Terkhusus istriku, terimakasih telah menjadi ibu yang hebat bagi anak2 kita, semoga kebahagiaan selalu menyertai kita semua, amiin 🥰🤲

Fey ini mau punya adik? Ntar dulu ya 🤣🤣🤣

Halo Fey, semoga hidupmu dipenuhi keberkahan, amin 🤗🙏

اللهم اجعلها برا تقيا رشيدا وأنبتها فى الإسلام نباتا حسنا

Sawang Sinawang dan Filsafat Stoikisme

Sawang Sinawang dan Filsafat Stoikisme

Setiap pulang kampung ke Malang, saya pasti menyempatkan untuk selalu bersilaturahmi ke rumah beberapa sahabat saat kuliah dulu, khususnya satu konco kentel yang rumahnya tak begitu jauh ke rumah mertua saya, Fikri. Obrolan akrab menghiasi perjumpaan saya dengannya. Termasuk menyoal hidup dan kehidupan yang kita jalani saat ini.

Dalam satu topik, kami berbicara tentang beberapa kawan yang dianggap memiliki karir yang “lebih sukses”, kawan yang dianggap lebih bisa menikmati hidup, dan lain-lain. Semakin dalam obrolan, kami bicara semakin sok bijak, “Wes wes, pokok ngene lho, ancen urip iku sawang sinawang, kene ndelok urip e konco seng ketok luweh sukses, durung tentu arek e ngeroso luweh sukses, sopo ngerti seng mbok arani sukses iku malah ngeroso urip e kene iki seng luweh bahagia, fokus ae nang urip e dewe, ngelakoni seng isok dilakoni, nikmati seng mbok nduweni, ojok ndelok seng nduwur2, maleh stress dewe ngko, hahaha.”.

Sepenggal obrolan kami menyoroti apa yang dipahami untuk bagaimana menikmati hidup. Bahwa dalam menjalani hidup, kita jangan terlalu melihat kehidupan yang dijalani orang lain, menganggap dan mempersepsikan diri bahwa mereka yang kita anggap lebih sukses itu lebih bahagia dari kita, atau sederhananya, rumput tetangga lebih hijau. Siapa tau kehidupan yang seringkali kita keluhkan ini adalah kehidupan yang mereka harapkan. Maka dalam pepatah jawa ada yang disebut, “Urip iku mung sawang sinawang”, atau dalam bahasa yang sederhana, hidup itu tak lebih dari sekedar permainan persepsi dan cara pandang.Melihat apa yang disebut “kesuksesan” orang lain dan membandingkannya dengan pencapaian kita sah sah saja. Namun, jika tak pandai mempersepsikannya, maka yang terjadi adalah negative effect, seperti rasa iri, dengki, stress, menyalahkan kondisi kehidupan hingga menganggap Tuhan tak adil kepada kita. Sayangnya, impact dari “nyawang lan mbanding-mbandingke urip” ini seringkali dominan mengarah kepada efek negatif terhadap mental kita.

Terlebih, kita hidup di zaman keterbukaan informasi, dimana setiap hari kebanyakan dari kita menghabiskan waktu untuk melihat feed instagram dan status whatsapp orang lain yang “menunjukkan kesuksesannya”. Si A di umur sangat muda bisa menghasilkan 1M pertamanya, si B bisa bertengger di posisi-posisi penting dalam pekerjaannya, si C dianggap sudah mencapai financial freedom dan sering plesiran ke banyak negara, dan seterusnya. Dari situ, kita terkadang merasa, “Kenapa dia bisa begitu, sedangkan saya begini-begini aja, padahal kita sama-sama bekerja keras, padahal kita sama-sama pintar, sama-sama makan nasi, sama-sama berupa manusia “ahsan taqwim”.

Melihat fenomena ini, pada dasarnya, pembelajaran hidup di pesantren bisa dibilang bisa memitigasi bagaimana cara untuk keluar dari permainan persepsi itu agar selamat. Nilai-nilai akhlak dalam islam banyak menjelaskan bagaimana kita harus bisa menginternalisasikan rasa syukur kedalam diri kita agar tak mudah terombang ambing. Sifat qonaah, tawakkal, menerima qodlo dan qodar adalah rentetan teori yang diajarkan untuk menjinakkan rasa kesal kita dalam menangani “ketidakbahagiaan”. Misal, dawuh syaikh Ibnu Athoillah dalam kitab hikam, “Liyaqilla ma tafrohu bihi, yaqilla ma tahzanu alaihi”, Standar kebahagiaan itu jangan tinggi-tinggi, agar kekecewaannya juga gak tinggi-tinggi. Meski secara teori anggaplah sudah mapan, memang dalam prakteknya, perlu belajar yang lebih atas apa yang disebut dengan rasa “nriman” ini.

Beberapa hari yang lalu, saya tak sengaja mendengarkan podcast buku kutu melalui youtube saat perjalanan dinas. Peresensi pada saat mengulas buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring, yang menjelaskan mengenai Filosofi Stoa. Mendengar aliran filsafat ini, membuat saya penasaran untuk menggali lebih lanjut, membuka tulisan demi tulisan di internet, video demi video di youtube yang menjelaskan tentang filosofi stoa ini. Memahami filsafat ini rasa-rasanya kok cukup banyak hal yang relate dengan berbagai keputusan yang saya ambil dalam hidup, juga dengan beberapa sikap saya dalam menghadapi beberapa persoalan.

Dari sinilah saya baru ngeuh bahwa beberapa prinsip decision making dalam hidup saya ini beriringan dengan apa yang disebut filosofi stoa. Bahwa dalam hidup ini ada yang disebut dikotomi kendali, yakni ada hal-hal yang bersifat internal yang berada dalam kendali kita, ada juga yang bersifat eksternal di luar kendali kita. Nah, agar hidup kita lebih bahagia, pilihan terbaiknya adalah memfokuskan diri untuk menggantungkan kebahagiaan kita pada kendali internal. Jika kita menyandarkan kebahagiaan pada sesuatu yang di luar kendali kita, kecemasan, stress hingga depresi akan terus menghantui kita hingga kita tak pernah merasa bahagia. Intinya, dalam hidup kita, kita jangan terlalu menaruh ekspektasi yang terlalu tinggi, agar saat ekspektasi tidak senada dengan realitanya, kita tak terlalu kecewa akan itu. Ini selaras juga dengan konsep kebahagiaan yang diajarkan dalam kitab hikam yang sudah saya sebutkan diatas.

Saat kuliah dahulu, atau bahkan sejak kecil, kita selalu diajarkan untuk menjadi seorang yang harus bekerja keras, tak kenal lelah meraih mimpi, ambisius demi meraih kesuksesan-kesuksesan. Ide-ide besar untuk merubah dunia diajarkan, mencoba memposisikan diri sebagai poros perubahan untuk dunia yang lebih baik, menjadi orang yang dalam setiap gerak langkahnya harus memberikan impact yang signifikan dalam masyarakat, dan segenap teori besar lainnya. Ndilalah, kita malah terjebak dalam peran yang sama sekali tak strategis macam menjadi “figuran” dalam suatu film. Peran kita sama sekali tak signifikan, kita tak sebesar apa yang kita kira. Kondisi ini sangat kontras, terlebih beberapa teman kita misal punya karir dan pekerjaan yang lebih cemerlang. Jika tak memahami treatment mental yang tepat, maka distraksi itu akan cukup mengganggu mentalitas kita.

Saya setuju dengan Fery Irwandi bahwa stoikisme ini bisa menjadi obat mental yang ampuh di era keterbukaan informasi ini. Seperti yang diulas pada Homo Deus-nya Yuval Noah Harari, bahwa saat ini manusia rata-rata sudah lepas dari problem kelaparan, wabah dan perang. Tapi akhir-akhir ini, dibanyak negara, angka bunuh diri cukup tinggi dan diindikasikan bukan karena mereka tak berkecukupan, kemungkinan mereka memiliki tekanan batin, tidak bahagia karena terlalu ambisius, kurang mengapresiasi pencapaiannya sendiri, bahkan terlalu besar mengharap validasi orang lain. Ada kutipan menarik dari Salah satu imam besar kaum Stoa, Syeikh Seneca, “Kita lebih sering takut daripada terluka, dan kita lebih menderita dalam imajinasi daripada dalam kenyataan.”, begitulah adanya manusia.

Prinsip “Sawang sinawang” bisa dianggap tahap identifikasi/skrining awal dalam melihat realitas, sedangkan stoikisme mengekstraksi dan mempartisi antara kendali internal dan eksternal. Kedua filosofi ini saling melengkapi, sehingga menjadi instrumen yang baik dalam mengatasi kekhawatiran berlebihan dalam hidup. Maaf, saya tahu yang bahwa dalam alQur’an,ketenangan hidup bisa didapatkan dengan berdzikir dan mengingat Allah. Nah, dzikir ini jika tarik spektrum luasnya, salah satu rentang gelombangnya bisa didapat melalui implementasi stoikisme. Melalui filosofi ini, dzikir lisan maupun hati jika dibarengi dengan perenungan-perenungan rasional akan hal-hal baik dan positif, akan membuat kita semakin yakian akan keagungan Tuhan, bahwa Tuhan telah mendesain kehidupan ini dengan keselerasan dan keseimbangan, atau yang biasa kita sebut dengan sunnatullah.

Saya masih sangat awam juga terkait stoikisme ini. Masih banyak yang perlu dipelajari. Mendengar ngaji Dr. Fahrudin Faiz dan lebih lanjut membaca (membeli) buku Filosofi Teras dan buku lainnya yang terkait dengan Stoa ini. Sejauh yang saya ketahui tentang filosofi ini, karena memang secara prinsip filsafat ini sangat islami dengan beberapa aspek selaras terhadap pembelajaran sufistik di pesantren, bisa dibilang saya sudah melakukannya. Untuk saat ini, setidaknya ada istilah keren untuk apa yang saya amalkan, Saya adalah seorang Stoik, hahaha. Oke, saya tutup dengan dawuh Sayyidina Ali Kw, “Jika ada kata-kata yang menyakitimu, menunduklah dan biarkanlah ia berlalu, agar hatimu tak merasa lelah.”.

Wallahu a’lam

Belajar dari Masa Lalu

Belajar dari Masa Lalu

Jejak digital tidak akan pernah bisa hilang. Hati-hati dalam beropini dan bermedia sosial. Atau ada yang dulu berpandangan atheis, kemudian menjadi theis. Lalu kemudian dianggap tidak konsisten dan mencla-mencle. Saya termasuk tidak setuju dengan anggapan itu. Manusia adalah makhluk dinamis. Otak adalah instrumen bagi manusia untuk menikmati dinamika dalam spektrum kehidupan yang luas. Artinya, ketika pemikiran dan sikap berubah, itu biasa saja. Bagi saya itu adalah proses dimana manusia memang seharusnya berubah-ubah cara pandang dan sikapnya, sebagai akibat otaknya belajar hal-hal baru dalam setiap tarikan nafasnya, menemukan premis-premis baru dari peristiwa yang ia alami dan renungi.

Kita yang sekarang, berbeda dengan kita 5 tahun yang lalu, bahkan berbeda dengan kita 5 menit yang lalu. Jadi, saat ada jejak digital yang menunjukkan inkonsistensi sikap kita, tak perlu cemas, santai saja. Justru kita dapat belajar daripadanya. Masa lalu, baik yang telah kita alami sendiri maupun orang lain bisa menjadi modal untuk kita belajar kebijaksanaan lebih jauh lagi. Peristiwa masa lalu menceritakan kebodohan, kenaifan, kecerdikan, kejeniusan seseorang dan lainnya. Begitulah kita bisa belajar dari apa yang disebut dengan Sejarah.

Sejarah adalah salah satu keilmuan yang saya sukai, namun suka disini bukan untuk menjadi ahli ataulah pakar. Hanya sekedar penikmat saja, karena jika saya membaca satu peristiwa sejarah saja yang mengandung titimangsa, beberapa menit kemudian saya sudah tak mengingatnya. Jadi tentu saya hanya penikmat cerita masa lalu. Seperti tentang kekaisaran romawi, mongol, dinasti di tiongkok, dinasti islam pasca khulafaurrasyidin hingga sejarah lokal macam kesultanan mataram, banten, demak, majapahit dan pajajaran. Saya masih ingat saat mahasiswa melahap habis roman sejarah Gajah Maja karya Langit Kresna Hariadi, mengkhatamkan Atlas Walisongo, menikmati buku Di Bawah Bendera Revolusi-nya Sang Proklamator hingga Bung Karno Sang Penyambung Lidah Rakyat dari Cindy Adams. Agaknya sudah banyak bacaan yang terlupakan.

Setelah berumah tangga saat ini, buku memang sudah lama tak disentuh karena beberapa hal. Namun film dengan genre dokumenter sejarah adalah yang cukup sering saya tonton jika punya waktu luang. Di Netflix misalnya, Serial Roman Empire, Rise of Empire: Ottoman, Age of Samurai: Battle of Japan, Queen Cleopatra, the Last Czars dan Vikings adalah film-film sejarah yang keren nan epik yang bisa saya nikmati. Dan yang paling terbaru adalah film lokal garapan Hanung Bramantyo, SULTAN AGUNG: Tahta, Perjuangan, Cinta.

Sembari menonton serial-serial tersebut, acapkali saya imbangi dengan berselancar di google, membuka wikipedia laman demi laman tentang tokoh-tokoh yang saya temukan sepanjang serial itu berlangsung. Semisal saat menonton tentang Mataram Islam, saya berselancar hingga tentang kerajaan-kerajaan tetangganya, seperti kesultanan cirebon, banten, dan lain-lain.

Dari sejarah masa lalu itu, banyak pelajaran yang dapat kita ambil, ambisi, kekuasaan, kenaifan, kepolosan, pengorbanan, kekakuan, perpecahan dan bahkan cinta. Dari peristiwa lampau, bangsa kita pun belajar, dari semula berupa kerajaan-kerajaan kecil yang seringkali bermusuhan, menjadi sasaran empuk devide et impera penjajah, kini sama-sama menurunkan egonya, bersedia menyatakan diri berada dibawah panji merah putih dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bagi saya, ini bukanlah inkonsistensi atau mencla mencle, jejak sejarah dimana bangsa Indonesia yang dulu terpecah-pecah, kini berubah menjadi bangsa yang bahu membahu menyusun pecahan-pecahan itu menjadi bangunan yang kokoh dibawah semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Kita harus berbangga dengan langkah para founding fathers kita yang senantiasa mempelajari sejarah, mengambil ibrah dari peristiwa masa lampau, menginternalisasinya dalam setiap langkah lahir maupun batin dalam mendirikan dan mempertahankan bangsa ini.

Beberapa hari lagi kita akan memperingati ulah tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 78 tahun. Sebagai warga negara yang lahir dengan menikmati indahnya menjadi bangsa yang merdeka, sepatutnya memiliki tanggungjawab untuk mengisi kemerdekaan ini dengan sebaik-baiknya. Saat ini, disintegrasi bangsa mengancam kita, dari mulai intoleransi hingga gaduh media sosial, tentu ada potensi potensi yang menuju kearah sana. Meski demikian, sedikit banyak saya yakin, jumlah pembuat gaduh tak seberapa, tapi kita perlu mengingat ungkapan populer yang konon diungkapkan sayyidina Ali Kw., “Kejahatan yang merajalela bukan disebabkan oleh banyaknya orang jahat, tapi karena banyaknya orang baik yang memilih diam.”. Selamat memyongsong HUT RI ke 78, semoga di usia 100 tahun Indonesia di tahun 2045 nanti, kita menjadi saksi hidup kemajuan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang mampu menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, berbekal pengalaman dan pembelajaran yang diambil dari masa lalu para pendahulu kita, Amin ya robb.