Cheminsight: Belajar Seni Berbagi dari Nukleofil

Cheminsight: Belajar Seni Berbagi dari Nukleofil

Saat berhadapan dengan penguji dalam suatu wawancara, ada pertanyaan unik nan menarik dari salah seorang penguji. “Coba jelaskan nilai-nilai kimia yang relevan dalam tasawuf”. Seketika otak saya dituntut untuk berpikir cepat untuk mencari bahan jawaban. Seketika saya teringat akan peran nukleofil, suatu spesi kimia yang kaya elektron, yang secara sukarela memberikan elektronnya untuk berikatan dengan spesi yang kekurangan elektron dalam suatu mekanisme reaksi substitusi nukelofilik.

Akhirnya saya jelaskanlah relevansinya, bahwa dalam hidup, kita sebagai seorang yang punya kelebihan, baik berupa ilmu, harta, tenaga, dan aspek lain harus punya kepedulian untuk membantu mereka yang membutuhkan dan kekurangan. Seperti halnya nukleofil, yang rela berbagi elektronnya kepada substrat yang membutuhkan, memberikan dukungan yang berarti. Bahkan, nukleofil ini mendonorkan elektronnya seraya mengajak substrat untuk berikatan dengannya dan  melepaskan belenggu ikatan sebelumnya yang tak memberikan kestabilan yang selayaknya.

Begitulah terkadang, dalam berbagi, ada yang memang benar-benar kekurangan, seperti karbokation, atau yang dia kekurangan, namun tak benar-benar memahami bahwa ia sebenarnya butuh uluran tangan, seperti spesi parsial positif.

Karena saya adalah seorang dosen dan guru, maka dimensi berbagi saya lebih banyak pada berbagi ilmu pengetahuan. Di kampus kepada mahasiswa dan di pesantren kepada para santri. Seringkali kita temukan di kelas, ada mahasiswa atau santri yang memang ia menunjukkan dirinya perlu perhatian lebih untuk memahami materi, sehingga tentu saja itu perlu kita beri tambahan pemahaman materi. Saya kira mendekati dan memahamkan jenis mahasiswa begini lebih mudah. Ibarat karbokation, secara dzohir ia memang butuh diberi elektron untuk berikatan, artinya mahasiswa tersebut perlu bonding lebih dengan kita dalam pembelajaran.

Adalagi jenis mahasiswa yang ia tidak menunjukkan atau mungkin tidak tahu bahwa ia butuh perhatian lebih dalam pemahaman materi, tetapi sebenarnya ia membutuhkannya. Satu kesamaan dari keduanya adalah mereka sama-sama membutuhkan perhatian dalam pembelajaran. Namun tentu saja yang kedua ini tantangannya lebih berat bagi seorang dosen, ibarat spesi karboh parsial positif, meminjam istilah imam algazali, ini tergolong pada kelompok “rojulun la yadri wa la yadri annahu yadri”, begitu kira-kira.

Nukleofil dalam hal ini, ia menyiapkan dua mekanisme dalam membantu kedua jenis spesi berbeda ini, yaitu dengan mekanisme SN1 dan SN2. SN1 untuk mahasiswa tipe 1 dan SN2 untuk mahasiswa tipe 2. Dari kedua mekanisme ini, anggaplah kita seorang nukleofil, kita sebagai dosen perlu menyiapkan mekanisme pembelajaran yang adaptif untuk kedua jenis mahasiswa ini, sehingga goals nya sama. Mereka dapat kita bantu meningkatkan pemahamannya dalam ilmu pengetahuan.

Saya percaya bahwa berbagi itu ada seninya, perlu strategi khusus dalam berbagi, dan ini tidak hanya berlaku pada dunia pendidikan seperti diatas. Contoh lainnya adalah dalam realitas perekonomian masyarakat Indonesia. Jikalah pemerintah ini ibarat nukleofil yang punya segudang kekuasaan untuk mensejahterakan kita, maka pemerintah sudah seharusnya memperhatikan dua tipe substrat yang harus ia bantu. Ibaratnya, spesi karbokation adalah masyarakat kelas bawah, mereka memang perlu dan harus dibantu secara ekonomi dengan mekanisme tertentu.

Disamping itu, pemerintah juga harus perhatikan juga substrat lainnya, yaitu si parsial positif tadi, atau mereka yang ada di kelas menengah. Kelas menengah ini seolah-olah tidak butuh bantuan, namun sebenarnya mereka sangat memerlukan bantuan, sepakat kan ya? Nah, pemerintah ini juga harus menyiapkan mekanisme untuk memberikan bantuan elektronnya kepada kelas menengah untuk lebih berdaya. Ini yang saya maksud berbagi itu perlu kecerdasan dan kejelian.

Yah, mungkin ada yang berekspektasi saya akan membahasnya dengan makna sufistik “mainstream” dari cerita nukleofil, tapi pada akhirnya adalah aspek ekonomi juga yang dibahas, hehehe. Meski anggapan umum tasawuf itu dimensinya endogen, tapi sebetulnya ada dimensi sosial eksogen dari tasawuf. Bagi saya, tasawuf sudah tak bisa dipahami sebagai pengasingan diri dari hal-hal duniawi. Jikalau tasawuf ini berakar dari dimensi ihsan, maka sebagai pelaku tasawuf, kita harus mampu menunjukkan keihsanan kita dalam kehidupan sosial kita.

Saya teringat definisi ihsan “an ta’budallaha kannaka tarohu, fain lam takun tarohu fainnahu yaroka, beribadah seolah-olah kita melihat-Nya. Kalu tidak begitu, beribadahlah dengan meyakini bahwa Allah melihat kita.”. Kalo memahami ihsan dari definisi tersebut, ihsan berkaitan dengan ibadah, dimana jenis ibadah yang kita lakukan tentu saja tak hanya ibadah personal, ada juga ibadah sosial yang mengisi relung-relung kemasyarakat.

Maka, tasawuf zaman sekarang harus dipahami lebih luas, harus berangkat dari dimensi pribadi ke dimensi sosial, dari endogen ke eksogen. Peduli pada berbagai isu, seperti climate change, pangan, perkembangan AI, ekonomi global dan regional, termasuk PPN 12%, hehehe. Jadi seorang sufi zaman now haram bersikap asosial, wkwkwk.

Kembali ke bahasan semangat berbagi, mari kita belajar berbagi pada nukleofil, dimana berbagi butuh strategi dan seni, tidak bisa monoton dan asal-asalan. Wallahu a’lam.

Selamat Tahun Baru Masehi 2025

Presentasi Kimia dengan Bahasa Arab

Presentasi Kimia dengan Bahasa Arab

Karena suatu alasan, saya harus mencari argumentasi dan bukti yang menguatkan bahwa saya punya kapasitas berbicara dalam bahasa arab. Tentu saja saya cukup memahami, meski tak seperti alumni gontor dan pesantren bahasa, presentasi adalah sesuatu yang dipersiapan, by design, sehingga dengan basic yang cukup. Kita bisa melakukannya.

Kebetulan saja saya adalah seorang santri yang dulu cukup concern mempelajari gramatika bahasa arab, nahwu, shorof dan (sedikit) balaghoh. Kekurangannya santri salaf, tentu saja dari aspek speaking, kalo aspek reading sudah paling jago mereka. Tapi lemah bukan berarti tidak bisa sama sekali, bisa dipersiapkan, bisa dilatih, bisa disetting.

Saat pembukaan pendaftaran seminar proposal skripsi saat S1 dulu, terdapat edaran bahwa presentasi dapat disampaikan menggunakan bahasa arab atau inggris atau indonesia. Melihat itu, saya mulai tertarik dan berpikir untuk melakukan presentasi menggunakan bahasa arab. Ada beberapa alasan mengapa saya memilih bahasa arab. Pertama, tentu saja men-challenge diri. Tantangannya tentu saja bagaimana mentranslate istilah-istilah kimia ke dalam bahasa arab. Google translate menjadi salah satu opsi, tapi tentu saja saya harus mengecek kembali istilah sebenarnya melalui riset kata per kata. Karena jangan sampai, misal saya translate “Lidah buaya” ke dalam bahasa inggris jadi “Crocodile tongue” atau “Lisanut Timsal”, wkwkwk.

Kedua, ingin berbeda dari yang lain. Terbukti di satu angkatan saya, hanya saya sendiri yang mempresentasikan proposal skripsi hingga sidang skripsi dengan bahasa arab, hehe. Sombong amat. Ketiga, agar tak banyak dikomen penguji terkait performa presentasi, wkwkwk. Tapi ini tak terlalu ampuh, karena dosen sudah punya naskah skripsi saya yang berbahasa indonesia, dan secara konteks, slide per slide mereka paham apa yang sedang saya jelaskan. Jadi pertanyaan-pertanyaan penguji tetap saja horor, hahaha.

Yes! Jadi itulah pengalaman saya mempresentasikan Kimia dalam bahasa arab. Ya, ternyata bisa-bisa saja. Karena pasti di timur tengah sana pun, bahasa pengantar pembelajaran ilmu kimia maupun ilmu alam, teknik hingga kesehatan dengan bahasa arab juga bukan?

ChemInsight : Belajar inklusivitas dan Meritokrasi dari Reseptor Protein

ChemInsight : Belajar inklusivitas dan Meritokrasi dari Reseptor Protein

Hari demi hari berlalu, ternyata cukup lama blog ini tak memuat tulisan receh. Kalau boleh saya beralasan, kemandekan ini akibat sibuknya saya persiapan tes CPNS, hehe. Selepas tes SKD, barulah saya bisa sedikit bernafas lega. Meski nilai belum memenuhi target, setidaknya sudah saya lalui dengan usaha yang cukup keras. Tinggal menunggu pengumuman apakah lolos ke tahap SKB atau tidak.

Selepas masuk di kelas mengisi Mata Kuliah Kimia Medisinal di Semester VII tadi. Pikiran saya serasa melayang terus menerus. Saya merasa ada insight menarik yang perlu ditulis. Dalam materi yang saya sampaikan tadi sore, ada konsep yang cukup menarik pada kimed, yaitu tentang Isosterisme.

Isosterisme adalah konsep yang terus berkembang sejak diusulkan oleh Langmuir (1919), Hukum pergeseran hidrida Grimm (1925) hingga menjadi konsep Bioisosterisme yang dikenalkan Friedman (1951). Singkatnya, konsep ini menceritakan bahwa dalam pengembangan atau modifikasi struktur obat, bisa dilakukan penggantian gugus fungsi tertentu. Gugus fungsi yang menggantikan haruslah gugus yang isosterik, artinya gugus yang memiliki distribusi elektron dan karakter sterik yang relatif sama.

Sebagai contoh, misal dalam suatu molekul obat, ada gugus -NH2, maka kita bisa substitusi gugus -NH2 itu dengan gugus -OH. -NH2 dan -OH adalah pasangan isoster karena punya distribusi elektron yang sama, yakni 9. Ini harus diikuti agar modifikasi struktur yang dilakukan tidak terlalu mengubah sifat kimia dan fisika molekul obat yang (misal) pada awalnya sudah baik sebagai obat. Tetapi harapannya, ketika berinteraksi dengan reseptor untuk menimbulkan efek terapi terhadap tubuh kita, ia bisa memberikan efek yang lebih baik pasca modifikasi struktur.

Reseptor protein didalam tubuh kita ternyata memang cukup unik. Ia punya sifat yang inklusif. Ia tak mempermasalahkan adanya pergantian gugus selama sifat dan karakteristik gugusnya relatif sama. Tak masalah atomnya apa, yang penting sesuai dengan kriteria yang diharapkan. Ia tak perlu nanya ke molekul, asal gugusnya darimana, atau punya orang dalam atau tidak, hehe. Barulah kemudian saat gugus itu berikatan dengan reseptor, ada kebolehjadian bahwa gugus itu bisa menjadi lebih baik dari yang digantikan atau sebaliknya.

Dari sini, kita perlu belajar nilai inklusivitas dari reseptor protein-protein di dalam tubuh kita dalam berbagai aspek kehidupan kita. Contohnya, dalam berbagai lini kehidupan kita, selayaknya kita memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang yang dianggap mampu. Tak masalah ia dari suku apa, kelompok apa, kelas masyarakat apa, yang penting sesuai dengan kualifikasi yang dipersyaratkan. Tak perlu kita membeda-bedakan asal usulnya, yang penting ia bisa berkontribusi. Saya jadi teringat kutipan dari Gus Dur, “Tidak penting apapun agamamu atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan tanya apa agamamu.”.

Perilaku reseptor protein juga seolah menjunjung tinggi budaya meritokrasi. Dalam konteks ini, ia memilih molekul berdasarkan atas asas kemampuan, kompetensi dan fungsi paling efektif dalam kinerjanya, sehingga tercipta afinitas terbaik molekul-reseptor yang (misalkan) “meningkatkan aktivitas biologisnya”. Dalam keseharian kita, budaya meritokrasi pun harus dijunjung tinggi. Dalam isu kepemimpinan, ada kaidah populer dalam bahasa arab yang berbunyi “Tasharruful imam ala roiyah, manutun bil maslahah”, artinya keabsahan seorang pemimpin bergantung pada bagaimana ia mampu menciptakan sebanyak-banyaknya kemaslahatan.

Maka, dalam kita memilih pemimpin, selayaknya kita memilih seperti reseptor protein dengan pertimbangan bioisosterisme yang meritokratis. “Tidak penting ia anak siapa”, yang terpenting adalah pemimpin dipilih harus berdasarkan atas kompetensi, kapabilitas dan track record kinerjanya sehingga antara pemimpin dan kita selaku rakyatnya, tercipta “afinitas” terbaik, dan harapannya adalah “meningkatkan aktivitas pembangunan negara” yang sesuai dengan rel yang telah ditetapkan seperti yang dicita-citakan para founding fathers.

Wallahu alam.

Sikap Meremehkan Ilmu dan Pendidikan

Sikap Meremehkan Ilmu dan Pendidikan

gambar hanya pemanis

Di era yang serba digital ini, ilmu sudah bukan menjadi barang langka. Kita bisa dengan mudah search di google untuk apapun yang ingin kita ketahui. Terlebih, fitur artificial intelegence (AI) macam chatgpt yang luar biasa canggih. Meski tak sepenuhnya akurat, ia bisa menjadi alat bantu yang baik untuk pengetahuan.

Saya adalah bagian dari pengguna yang merasa terbantu dengan kehadiran teknologi yang semakin berkembang. Dengan prompt atau keywords yang tepat, apapun yang kita ingin kita tanyakan akan dijawab oleh teknologi, entah melalui google, chatgpt, youtube, fyp tiktok, dll. Algoritma mengaturnya secara epik.

Jika ada yang bilang kepada saya, “Jangan belajar dari google, youtube, dsj karena belajar itu harus ada gurunya, belajar dengan google akan menyebabkan kita digurui oleh setan, kita akan tersesat.”. Saya tak sepenuhnya setuju dengan pernyataan ini. Disatu sisi ada benarnya, namun dengan panduan dan cara penggunaan yang tepat, teknologi informasi adalah alat bantu yang luar biasa. Tak semerta-merta kita belajar ke setan. Asal kita paham, informasi yang diunggah ke internet banyak mengandung kebenaran, tergantung dari bagaimana kita menverifikasi, memvalidasi dan memprofiling sumbernya, dan tentu saja jangan menjadikannya sebagai rujukan primer. Jika anda menjadikan info di grup WA keluarga sebagai rujukan utama, falyatabawwa’ maq’adahu minannar, hahaha.

Dibalik kemudahan-kemudahan mengakses ilmu pengetahuan, ada aspek negatif yang lebih saya khawatirkan daripada mengenai sumber kredibel yang diperdebatkan,  yaitu tentang atensi manusia terhadap ilmu pengetahuan dan pendidikan di generasi mendatang. Saya melihat, generasi saat ini, paling tidak di circle pergaulan saya sehari-hari, terdapat indikasi dimana mereka seperti tidak lagi menghargai ilmu pengetahuan, bahkan cenderung meremehkan.

Saking mudahnya sehari-hari kita mengakses sumber pengetahuan, kita seolah-olah meremehkan proses belajar yang harus ditempuh. Kita cenderung menggampangkan segala hal. Semuanya hanya tinggal browsing dan ketemulah jawabannya. Contoh pertama, di suatu kelas mahasiswa saya, ada sesi presentasi, sudah mah makalah dan ppt dibuat dengan asal-asalan tanpa rujukan buku-buku dan sumber yang baik karena hasil chatgpt atau downloadan scribd, saat tanya jawab, mereka mendadak browsing jawabannya saat kelas berlangsung lalu membacakannya tanpa pemahaman. Saya rasa ini adalah salah satu sikap yang mendegradasi marwah keilmuan.

Contoh kedua, saat mengobrol dengan seseorang, saya cukup kesal jika ditanya adakah perkuliahan (S1 atau S2) yang tidak perlu masuk kelas, tidak perlu skripsi, tinggal menunggu dan langsung lulus dapat ijazah? Toh, semua yang diajarkan di kuliah sudah ada di internet. Ini adalah pertanyaan yang cukup sering ditanyakan kepada saya oleh sebagian orang. Kita tau bahwa pendidikan di Indonesia memang punya segudang persoalan kronis. Tapi jangan kita perparah dengan kita ikut serta dengan praktek demikian. Memang, seperti dalam teori ekonomi, supply praktek jual beli gelar itu ada akibat dari adanya demand di masyarakat. Namun, kita harus hentikan ini paling tidak dimulai dari diri kita sendiri.

Gelar bagi saya juga memang tak penting. Tak penting dari sisi penyebutan oleh orang lain atau bangga-banggaan. Namun jika untuk diri kita sendiri, kita yang menyandang gelar ini harus punya refleksi mendalam pada diri kita masing-masing. Sudahkan kita menguasai keilmuan sesuai dengan tuntutan gelar yang kita miliki? Kita punya tanggungjawab moral untuk terus memantaskan diri kita memiliki gelar tersebut. Memiliki gelar akademik berarti menginformasikan kepada masyarakat bahwa kita punya kompetensi dalam bidang tersebut. Jika kita ternyata tak punya kompetensinya, bukankah kita dzolim dan tak menghargai pendidikan?

Contoh ketiga, joki skripsi. Contoh keempat, Gaji honorer. Contoh kelima, keenam, dan masih banyak lagi. Persoalan pendidikan di Indonesia memang multi multi. Tentu saja tak bisa kita selesaikan sendiri. Selemah-lemahnya usaha, paling tidak jangan biarkan kita ikut-ikutan menjadi pihak yang meremehkan ilmu dan pendidikan, dengan tidak menggampang-gampangkan.

Saya tau di era teknologi informasi ini semua serba gampang. Mari jadikan kemajuan teknologi dan kemudahan yang diberikannya ini sebagai media bagi kita untuk terus berkembang. Bukan kemudian kita bersembunyi dibalik kemajuan teknologi dan menyombongkan diri, padahal kita kosong dan tak berisi. Menggampangkan adalah sifat sombong terhadap ilmu. Bukankah Syekh Azzarnuji dalam Ta’limul Muta’allim mensyaratkan bahwa salah satu cara mengagungkan ilmu adalah dengan cara menghindari kita bersikap sombong terhadap ilmu?

Wallahu a’lam.

Krisis Kompetensi

Krisis Kompetensi

Bersama Prof. H. Moh. Nasir, Ph.D (Stafsus Wapres)

Sering kali dalam obrolan ringan di warung kopi, saya mendengar banyak orang meremehkan gelar akademik. Mereka berpandangan, kultur pendidikan formal dari SD hingga SMA, bahkan hingga perguruan tinggi, tidak punya kemampuan untuk mencetak lulusan yang sesuai dengan kompetensinya.

Lho, sejak SMP belajar Bahasa Inggris, tapi hingga keluar SMA masih belum juga bisa bahasa inggris, begitupun lulusan Perguruan tinggi, masih nihil. Itu paling tidak adalah salah satu argumentasi untuk “mendelegitimasi” sistem pendidikan formal.

Pada akhirnya, mereka berpikir, intinya sekolah itu bukan mencari ilmu, tapi cukup orientasikan saja untuk mencari gelar dan mendapatkan ijazah, dimana ijazah bisa digunakan sebagai prasyarat untuk melamar pekerjaan. Semua pembelajaran sekolah “tidak penting”, yang penting ijazahnya.

Maka belakangan, banyak fenomena orang mencari tempat kuliah gratis, atau bahkan kuliah berbayar, tapi langsung skripsian, parahnya lagi, skripsinya dikerjakan oleh seorang joki, kita tinggal duduk manis dan menikmati hasilnya. Mirisnya, hal ini banyak dinormalisasi, paling tidak dalam obrolan-obrolan kecil sirkel warung kopi atau masyarakat kecil. Saya tidak bisa berword-word jika menemukan hal seperti ini.

Sebenarnya, ini semua tidak sepenuhnya salah dari masyarakat. Sistem pendidikan di Indonesia yang masih carut marut, kesejahteraan pendidik, mahalnya biaya pendidikan, conflict of interest, politisasi, perubahan aturan yang sporadis, melengkapi mendungnya masa depan pendidikan di Indonesia. Namun, meski dengan banyak kekurangan, seperti dalam adagium populer santri, “ma la yudraku kulluh, la yutraku kulluh,”, sesuatu yang tidak dapat kita raih sepenuhnya, jangan kita tinggalkan sepenuhnya pula.

Artinya, meski pendidikan di Indonesia masih jauh dari kata ideal, kita tak boleh menggeneralisir bahwa semua tahapan pendidikan yang ada itu tidak berguna, sehingga kita menganggap semuanya tidak penting dan tidak berharga, gelar akademik hanya berguna untuk melamar kerja, bodo amat dengan beban pengetahuan yang diemban.

Kita harus paham, bahwa gelar yang kita punya mengandung beban moral dan beban pengetahuan. Orang dengan gelar dr. didepan namanya tentu akan dianggap cakap dan kompeten untuk mendiagnosis penyakit dan mengobati orang, terlepas ia tak serius saat kuliah. Orang dengan gelar S.Pd akan dianggap cakap dan kompeten dalam mengajar dan mendidik, terlepas ijazahnya hasil beli jutaan maupun skripsinya hasil jokian.

Maka ketika kita memiliki gelar, namun tak punya kompetensi yang sepadan, kita telah membohongi publik dan masyarakat, kita telah dzolim kepada diri sendiri dan orang lain. Kita tidak bersikap adil (menempatkan sesuatu pada tempatnya), dan bisa dikatakan, standar moral kita sangatlah rendah dan tak tahu malu. Eh, bukankah ini memang lumrah ada di konoha?

Terlepas dari ketidaksempurnaan sistem pendidikan nasional kita, mari kita tingkatkan kompetensi keilmuan, mari kita pantaskan diri kita atas gelar yang kita punya, mari kita hargai ilmu pengetahuan, mari kita muliakan kedudukan ilmu, terlepas dari carut marut yang ada. Dan, untuk kaum santri, berhenti untuk mendikotomi ilmu agama dan ilmu umum, mergo wes ora usum. Semua harus sama-sama serius dipelajari dan dipahami, karena pada dasarnya, semua ilmu adalah ilmu Allah, memiliki nilai kemanfaatan untuk masing-masing bidangnya. Jangan mendiskreditkan satu sama lain.

Jangan biarkan Indonesia menjadi krisis kompetensi. Banyak orang memiliki gelar akademik, namun nihil kompetensi. Sudah mah orang indonesia yang mampu menyelesaika  pendidikan tinggi hanya 10%, misal 30% diantaranya inkompeten, ini akan jadi kiamat akademik dan krisis kompetensi. Serius masih yakin Indonesia Emas 2045?

Memegang Tongkat Komando Wisuda

Memegang Tongkat Komando Wisuda

Saya sudah dua kali di Wisuda, tentu yang saya hitung adalah wisuda sarjana dan magister. Wisuda TK, meski dulu saya juga pakai toga, tidak saya masukkan hitungan. Konon, wisuda ini berasal dari bahasa Sanskerta, ‘visuddha’ yang berarti selesai. Lulus dari TK masa iya sekolahnya udahan, hahaha.

Perbedaan dari dua wisuda yang saya ikuti, seperti yang saya tulis di tulisan lama, wisuda sarjana terkesan biasa saja, namun saat magister, rasanya memang emosional! Terlepas dari itu, ada satu kesamaan dari kedua wisuda yang pernah saya ikuti, saya tak benar-benar mengikuti dan memahami rangkaian prosesinya! Yang penting saya duduk manis, lalu hape-an, dan tentu saja, nundutan, wkwkwk. Apalagi saat wisuda S2, beuuuh, daring bosss, atasan toga, bawahan kolor, ngenes!

Sialnya, kira-kira dua bulan yang lalu, di Kampus tempat saya mengajar, saya didapuk menjadi Ketua Panitia Wisuda, dan rumitnya lagi, itu adalah Wisuda Perdana untuk lulusan angkatan pertama dimana kampus belum pernah sekalipun menyelenggarakan wisuda. Tentu saja saya tak punya modal legacy, misal draft-draft atau pedoman wisuda yang bisa saya pegang. Saya dan tim panitia harus berupaya keras merancang konsep dan atribut wisuda dari nol, bahkan kami mendadak merancang Mars dan Hympe Kampus! Bagaimana susunan acaranya, bagaimana toga wisudanya, untuk mahasiswa, pimpinan, siapa saja yang diundang, dan tetek bengek lainnya.



Syukurlah, panitia bentukan kami bermental baja. Dengan semangat “Kami adalah perintis, bukan pewaris” seperti sabda bokong truk, kami jalan terus, segala aral merintang kita hadapi. Persiapan demi persiapan kita jalani. Dan alhamdulillah, tepat pada hari kamis, 18 Juli 2024 lalu, kegiatan wisuda itu rampung terlaksana, sukses, meriah dan menggelegar! Beruntunglah saya dikelilingi tim yang kompak dan keren. Tim kesekretariatan yang gercep, tim media yang professional, tim protokoler yang sigap, dan tim keamanan, konsumsi dan lainnya yang siaga dan rela ngelembur-ngelembur demi kesuksesan acara perdana ini.

Wisuda perdana yang diselenggarakan di Sapphire Grand Ballroom, Aston Hotel Cirebon itu menjadi catatan sejarah epik, dimana wisuda perdana kampus kami berjalan dengan lancar dan meriah. InsyaAllah tidak memalukan untuk dijadikan barometer pada pelaksanaan wisuda berikutnya. Legacy yang cukup layak! Terimakasih kepada seluruh panitia, dosen, petugas acara, wisudawan, dzurriyah KHAS Kempek yang senantiasa kompak bekerja bersama. Karena tentu saja, ketua panitia tanpa anggota yang solid tak akan bisa mensukseskan suatu acara. Dan yang paling penting, terimakasih untuk inisiatif penyewaan Handy-Talky di H-1 yang sangat-sangat berguna. Hahaha.



Selamat untuk 70 wisudawan wisudawati Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan KHAS Kempek dari Program Studi Farmasi dan Gizi. Seperti kata banyak orang, wisuda itu bukan akhir, justru awal untuk anda semua memulai langkah hidup dengan gelar yang menempel dibelakang nama. Gelar itu menyimpan beban moral yang berat. Semoga anda semua dapat menjadi orang yang adil, dapat mengaplikasikan dan mempertanggungjawabkan gelar yang anda miliki dengan keterampilan dan pengetahuan yang sepadan. See all of you on top! Semoga Allah senantiasa merahmati dan membimbing kita semua. Amin ya robb.