Sudah menjadi tradisi di daerah tempat tinggal saya jika bulan robiul awwal tiba, undangan untuk menghadiri acara maulid nabi datang bertubi-tubi. Undangan itu berasal dari jamaah musholla, majlis, lingkungan, keluarga besar, bahkan personal rumah per rumah.
Suasana maulid di kampung saya memang sangat semarak. Saya juga baru tau beberapa tahun belakangan ini. Ya, karena memang sejak kecil saya jarang ada di rumah. Dan di pesantren saya dulu, bulan maulid bukan jadwalnya libur untuk pulang kampung. Cuma libur saja, tak boleh pulang.
Terhitung sudah sekitar 4 tahunan saya mengikuti rutinitas tahunan maulid di kampung. Bahkan, rowi maulid diba macam fayaqulul haqqu waizzati, ahdiruu quluubakun dan fahtazzal arsyu itu bisa hafal dengan sendirinya, tanpa dihafal. Saking seringnya mendengar. Karena memang rowi diba ini tidak hanya dibaca saat maulid tiba, di agenda rutinan mingguan yasinan keluarga juga dibaca. Jadi, wajarlah kalo tiba-tiba hafal.
Saya tidak sedang membahas khilafiyah tentang hukum maulidan ya. Karena bagi saya, seperti yang didawuhkan oleh Habib Abu Bakar Al Adni, bahwa Kita tidak perlu dalil untuk mencintai Rasulullah SAW, sebagaimana Rasulullah SAW tidak perlu syarat untuk mencintai ummatnya. Jika untuk mencintai Rasulullah SAW saja kita masih perlu mencari dalil, layakkah kita untuk mendapatkan syafaatnya? Jadi, barangkali ada yang berbeda pendapat dengan saya terkait peringatan maulid ini, silahkan saja. Itu hak masing-masing dari anda untuk punya cara sendiri dalam mengungkapkan kecintaan terhadap Baginda Nabi Muhammad SAW, itu urusan anda. Tapi jangan usik cara kami dalam mengungkapkan rasa cinta terhadap kanjeng Nabi Muhammad SAW. Oke?
Yang membedakan maulid sekarang ini dengan tahun-tahun sebelumnya adalah ketika saya diutus menemani saudara untuk sowan-sowan kepada para kyai di wilayah cirebon. Rutenya dimulai dengan menuju daerah Susukan, kemudian daerah tegalgubug di PP. Al Anwariyah dan Arjawinangun di PP. Daruttauhid (KH. Ibnu Ubaidillah Syatori), PP. Darul Quran (KH. Ahsin Sakho Muhammad) dan PP. Darul Fikr (KH. Husein Muhammad). Selanjutnya, menuju PP. Geyongan dengan melalui lintasan yang cukup menantang. Dan alhamdulillah kami disambut dengan baik oleh pengasuh PP. Roudlotul Qur’an Geyongan, KH. Ridwan Anas Tahmid. Kesan saya, beliau adalah sosok kyai yang sangat santun dan ramah, atau dalam bahasa kerennya, sangat low profile. Masalahnya, saya baru pertama kali bertemu dengan beliau, tapi beliau dengan senang hati mengajak kami mengobrol banyak hal. Menanyai kami tentang kehidupan kami dan sesekali menceritakan hikmah dari kehidupan para kyai dan ulama terdahulu. Salam takdzim kepada beliau.
Selesai dari Geyongan, perjalanan dilanjutkan menuju PP. Tahsinul Akhlaq Winong dan PP. Kempek. Di Winong, kami sowan kepada Kyai Ulin, sedangkan di Kempek, kami sowan kepada KH. Mustofa Aqiel Siroj. Sebetulnya kami berupaya sowan kepada para kyai yang lainnya, namun mungkin beliau-beliau ini belum bisa ditemui karena kesibukannya. Destinasi pamungkas adalah Babakan, Ciwaringin yang diakhiri di PP. Kebon Jambu. Disitu kami disuguhi kopi hitam yang rasanya mantap oleh kyai muda yang luar biasa, K. Hasan Rohmat (Kang Omat, sapaan akrabnya). Haturnuhun kang.
Agenda puncak maulid di kampungku biasanya jatuh pada tanggal 8 robiul awwal. Namun karena pada tanggal tersebut ternyata hari jumat, jadi semua bersepakat untuk di majukan ke tanggal 7. Hari itu, para tamu undangan tiba, termasuk para kyai yang sebelumnya kami sowani juga alhamdulillah berkenan menghadiri. Alhamdulillah acara maulid berjalan dengan lancar, syair-syair pujian dan sejarah Nabi Muhammad SAW dilantunkan dengan syahdu dan tentu saja khidmat. Dan yang paling penting, kami selaku panitia harus memastikan, jangan sampai jamaah maulid ada yang tidak kebagian berkat, hehe.
Yang lebih mantap lagi adalah saat malam tanggal 12 robiul awwal. Di kampung saya, ada istilah mulud ider. Ider artinya berkeliling, jadi maksud ider ini nantinya ada beberapa tim yang diutus dari musholla setempat untuk ditugaskan berkeliling rumah-rumah untuk melantunkan maulid. Dan pemilik rumah akan menyiapkan suguhan-suguhan sederhana untuk tim mulud ider tersebut. Tak ketinggalan nasi tumpeng/nasi kuning disiapkan. Setelah pembacaan maulid selesai di satu rumah, tumpeng kemudian dibawa ke musholla setempat, dikumpulkan bersama tumpeng dari rumah lainnya. Mantap.
Yang lebih joss dari mulud ider di desa saya adalah di desa tetangga. Sebetulnya meskipun beda desa juga satu kampung sih, karena rumah saya ini perbatasan desa, toh saya juga jumatan di desa tetangga, karena masjidnya lebih dekat, dan rumah saya juga menghadap ke desa tetangga, hehe. Kembali ke urusan mulud ider, jika di desa saya yang dibaca per rumah hanya 3-4 rowi plus mahallul qiyam dan do’a, di desa sebelah itu, yang dibaca per rumah itu satu khataman full, misal barzanji sampai khatam, dibai, maulid azab dan syaroful anam pun demikian. Waktunya, dimulai bakda isya, selesai menjelang shubuh, mantap betul bukan? Yah, selain memang sudah tradisi, ini juga tak lepas dari besarnya mahabbah kepada Nabi Agung Muhammad SAW. Laulaaka laulaaka lamaa kholaqtul aflaaka.
Seperti di awal tulisan saya singgung, undangan menghadiri maulid itu datang bertubi-tubi, terkadang sehari ada sampai tiga tempat. Bahkan ada yang waktunya bertabrakan, sehingga harus membagi personil dengan cermat, agar berkatnya tetap bisa didapat, hahaha. Yah, begitulah tradisi maulid di daerah saya. Bagaimana di daerahmu? Saya yakin ada yang lebih militan dari kami. Selamat memperingati maulid Nabi Muhammad SAW, 12 Robiul Awwal 1443 H. Semoga shalawat dan salam selalu tercurahkan kepadanya, kepada para sahabatnya, para tabiin, atbauttabiin, para ulama salafussholih, hingga sampai kepada kita. Amiiin ya Robbal Alamin.
Seperti keluarga middle-class muslim negara ber-flower pada umumnya. Hari sabtu sesekali kami isi dengan nge-Mall ke Cirebon. Terlebih, aturan PPKM sekarang semakin longgar. Anak-anak sudah diperbolehkan masuk Mall, saya dan istri juga sudah mengikuti vaksinasi lengkap. Dengan ini, setidaknya tubuh kami akan lebih banyak memproduksi endorfin yang menyebabkan perasaan lebih tenang dan senang.
Entah sudah berapa lama kami gak nge-Mall, yang pasti, si sulung, Faqih loncat-loncat kegirangan, khususnya ketika saya ajak ke tempat bermain di Mall. Faqih yang sekarang sudah hampir menginjak usia 3 tahun, sudah lebih mahir bermain ‘sosorodotan‘ dan sejenisnya.
Jika waktu sholat tiba, kami biasanya menggunakan fasilitas musholla yang terdapat di pusat perbelanjaan itu. Karena Faqih sedang bermain di lantai 3 bersama kakek neneknya dan Fathia lagi disuapi bundanya, pergilah saya sendiri ke mushola, sholatnya bergantian, saya kebagian duluan. Seperti biasanya, sholat maghrib di mushola mall tepat di malam minggu seringkali padat. Saya antri berwudhu hingga tibalah giliran saya. Saya buka kran, lalu saya tempelkan kedua tangan saya dan menengadahkannya untuk nampani air dari pancuran kran. Tiba-tiba,
“Ceplak, ceplak, ceplak.”,
cipratan air dari orang yg berwudhu di sebelah saya. Ternyata ia sedang membasuh mukanya. Seketika saya buang air yang sudah saya tampani dengan tangan. Spontan saya mengernyitkan dahi dan menggerutu. Saya heran, kenapa ngebasuh muka aja kok sampe kayak ngepretin muka sendiri. Kan bisa lebih selow gitu ya. Atau sekalian minta dikepretin ustadz ujang bustomi sekalian, pak pak pak! Sokbeker! Sebetulnya bukan masalah musta’malnya air itu, karena saya juga belum tau apakah ikatan hidrogen pada air itu melemah atau menguat jika dibandingkan dengan air thohir muthohir. Eh, maksudnya, saya ngerasa gelay aja sama cara wudhunya, Kadita aja kalo ulti cipratannya gak segitunya. Ah, sudahlah.
Saya berhenti sejenak menunggu ia selesai basuh muka. Mungkin saja untuk membasuh tangan dan rukun lainnya gak akan sampe sebegitunya. Eh, ternyata pas ia basuh rambut,
“Plok plok plok”,
Haduh, ini bapak-bapak, basuh rambut sampe dahinya dipukul-pukulnya sendiri. Mbok ya sekalian pakek palu Terizla atau Lolita gitu loh. Saya yang baru sampai basuh tangan akhirnya masa bodo lah. Meneruskan lagi rukun demi rukun hingga selesai berwudhu. Kemudian mendirikan sholat.
Selesai sholat, saya berdiri kembali dan bergegas keluar dari musholla. Membaca wirid singkat saya sembari berjalan saja. Karena memang, kondisi musholla yang lumayan antri, agar jamaah lain bisa segera mendirikan sholat lagi, hematku. Saya tidak tau kondisi selepas itu, apakah semuanya melakukan hal yang sama dengan saya, bergegas keluar dari musholla, atau malah duduk berlama-lama dan berdzikir. Tapi saya beberapa kali menemukan, dimana ada beberapa orang yang masa bodo dengan orang yang mengantri tempat sholat setelahnya.
Kejadian itu memang sepele. Gak perlu dibesar-besarkan. Tapi dari hal sepele itulah kita bisa melihat gambaran sejauh mana kepekaan seseorang terhadap kondisi sosialnya, ini gambaran kecil. Contoh lain, di gang menuju rumah saya yang hanya cukup satu mobil itu, seringkali ada orang yang bertamu. Kadang-kadang, mereka yang bertamu ini berkendara dengan mobil dan diparkir sembarangan. Dan rumah yang ia sambangi cukup jauh dari tempat ia parkir, agak masuk-masuk gang lagi lah. Urusan parkir ini kadang memang pelik. Ketika ada saudara atau tetangga yang mau keluar dengan mobil. Aksesnya terhalang oleh mobil tamu yang parkir sembarangan itu. Dan kadang-kadang, gak ada yang tau kemana si empunya mobil itu bertamu. Akhirnya, banyaklah orang yang menggerutu terkait si tamu itu,
“Kalo bertamu harusnya tau etika dong, parkir gak boleh sembarangan. Gimana kalo ada mobil lain yang mau lewat? Disuruh loncat?”, ungkap salah seorang tetangga yang kesal.
Seringnya kejadian itu berulang, bapak saya beberapa kali menasihati, “Kalo kamu bertamu, misal parkirin mobil itu ya harus pake otak, pikirin orang lain atau warga setempat, mengganggu orang lain apa engga. Kita harus punya kepekaan atau rasa peduli dengan sekitar kita.”. Ya, saya cukup mengilhami nasihat bapak terkait ini.
Dari kisah berwudhu yang barbar, parkir yang gak ngotak, atau kisah lain yang serupa, kita perlu belajar, bahwa melatih kepekaan sosial bisa dimulai dari hal-hal kecil, sehingga bisa jadi, kedepan, kita bisa punya kepekaan sosial pada hal-hal yang lebih besar. Laa dhoror, walaa dhiror, Tidak boleh memudhorotkan diri sendiri maupun orang lain. Mungkin, disinilah letak konsep yang disebut Gusmus sebagai “KESALEHAN SOSIAL”, memiliki kepekaan terhadap kondisi sosial sekecil apapun itu. Sebisa mungkin, kita hindari perilaku kita yang mungkin akan mengganggu orang lain, meskipun kemungkinannya kecil. Karena itu juga bernilai ibadah. Tapi, saya tidak tau dengan tragedi ibu-ibu yang sen kanan belok kiri, apakah itu manifestasi ketidakpekaan? atau memang faktor genetik wanita yang hanya dapat di transkripsi oleh RNA polymerase saat wanita itu sudah sah bergelar ibu-ibu? Saya tidak tahu.
Kemarin, baru saja saya membaca pesan di grup WA Ngaji Aswaja NU mengenai perilaku kehidupan dan saat kematian Mustafa Kemal Attaturk, Revolusioner dan Bapak Bangsa Turki.
Pesan itu menceritakan Attaturk yg sangat an ti-Arab dengan gagasan sekuler-radikal nya. Mengganti Adzan dengan bahasa turki, melarang pakaian ‘kearab-araban, hingga membunuh ulama-ulama yg tidak sepaham dengannya. Kemudian diceritakan bahwa “SI ANTI ARAB” ini diakhir hayatnya menderita berbagai macam penyakit, kemudian disebut bahwa bumi tidak menerima jasad Attaturk, sehingga Attaturk tidak dikebumikan, melainkan jasadnya hanya ditanam di celah-celah batu marmer.
Diakhir pesan grup itu, si penyebar menulis : ” Begitulah kematian si Anti Arab, ada yang mau mengikutinya?”
Saya memandang pesan ini sangat tendensius. Mencoba mendogmatisasi umat muslim, khususnya Nahdliyyin untuk menjauhi NU dan Kyainya secara perlahan.
Pesan itu mencoba menipu pemahaman kita akan apa yang diperjuangkan NU. Harus kita pahami, bahwa apa yang dikampanyekan NU bukanlah kampanye anti-Arab atau bahkan program sekularisme seperti yg dilakukan Kamal Atatturk di Turki. Yang dilakukan NU dalam melindungi tradisi Nusantara dan mengintegrasikannya dengan praktik keagamaan islam adalah bahwa NU sangat memahami akan pentingnya budaya sebagai pondasi kemajuan suatu bangsa. Sehingga budaya hari ini, termasuk dalam praktik asimilasi kebudayaan dan religiusitas harus dilindungi sebagai identitas dan local wisdom.
Sedangkan apa yang dilakukan Attaturk terhadap Turki adalah dengan tidak mengakui islam sebagai agama yang memiliki nilai progresivitas dalam membangun bangsa. Ia meminggirkan islam ke pojokan dan memandang islam sebagai agama yang tidak bisa mendukung kemajuan dalam praktik bernegara. Hal ini jelas jauh berbeda dengan pemahaman NU dimana NU mengimani bahwa nilai-nilai keislaman memiliki ruh yang berkemajuan sebagai modal bagi bangsa kita untuk tetap kokoh bersatu dan terus melaju. Terbukti dengan diterimanya Pancasila sebagai ideologi negara dan meyakini bahwa didalam Pancasila mengandung nilai-nilai inklusif islam yang layak diperjuangkan oleh seluruh elemen Nahdliyyin Nusantara.
Selain itu, mengenai klaim anti-Arab secara tidak langsung pada NU, tuan-tuan dan puan-puan bisa cek di pesantren-pesantren NU, bahwa pembelajaran awal yang dilakukan adalah pembelajaran bahasa arab melalui kitab-kitab klasik macam Jurumiyah, Imrithi, Al Maqshud, Alfiyyah Ibn Malik, dan Amtsilah Tasrifiyyah. Termasuk pesantren almamater saya sendiri yang memiliki kekhasan takhossus Ilmu Bahasa Arab.
Bagaimana bisa NU anti-Arab dengan mempelajarinya. Sama dengan tuan tidak menyukai kopi, tetapi tetap meminumnya. 😁
Mengenai relasi Arab dan Islam, bahwa islam memiliki kaitan dengan arab, tapi tidak selalu yang berbau arab itu islam.
“Kelapa memang bulat, tapi tidak setiap yg bulat itu kelapa.”
Jadi, sudahlah, jangan sampai kita mau dijauhkan dari NU dan para kyai dengan asumsi dangkal dan penggiringan opini kaum sumbu pendek, bahwa NU sedang melakukan kampanye anti-Arab. NU hanya sedang mengajak kita untuk bangga menjadi umat islam dan bangsa indonesia yang berkepribadian.
Anti Arab memang salah, karena seharusnya Huwa Arab atau Anti Arabti, hehe
Selamat malam sahabat. Selamat Malam Madiun, Kereta yg mengantarkan saya pulang kebetulan sudah sampai Madiun, Kota yang namanya saya kenal dari Buku Sejarah SD/SMP/SMA tentang pemberontakan PKI dulu. Sekarang saya kebetulan berkuliah di Malang, Kota yang satu provinsi dengan Madiun. Karena secara geografis cukup dekat, maka tak heran kalau teman-teman saya di Malang, ada yg berasal dari madiun. Pertama kali melihat mereka, teman-teman madiun saya itu, saya sama sekali tak melihat ada wajah-wajah pelaku atau korban pemberontakan PKI dulu. Mereka tampak baik-baik saja, tetap guyon dengan saya yang secara biologis berdarah Nahdliyyin ini.
Mereka mungkin terlihat baik-baik saja karena memang tidak mengalami masa pemberontakan itu. Itu sudah lama sekali. Katanya, pelaku 1948 juga sudah diadili, rekonsiliasi sudah dilakukan. Berbeda dengan tragedi 1965, yang sampai hari ini, tuntutan korban belum terpenuhi, tindakan diskriminatif terhadap “terduga” PKI juga masih banyak terjadi, pembredelan diskusi pengungkapan tragedi itu juga masih sering saya jumpai. Kata salah seorang yg pernah saya temui, kalo mau ngobrol terkait PKI, harus pintar mem-framming acara, jangan sampai lebay meng-share info diskusinya. Kalo terlalu lebay, tamatlah kau ditangan intel.
Berbicara mengenai kata “Share”, hari ini sudah sangat familiar. Bagi pemakai media sosial Facebook di Android, kata share ada di pojok kanan bawah setiap status. Kalo facebook sahabat-sahabat pembaca berbahasa indonesia, tidak akan ditemui tulisan “Share”, kata “share” diganti dengan kata “Bagikan”. Meskipun berbeda, artinya sama saja. Jangan sampai karena saya lebih sering menggunakan kata “share” dibandingkan kata “bagikan”, sahabat-sahabat share tulisan ini dengan kutipan berikut : “Tulisan ini adalah tulisan antek Amerika, agen CIA, anti-nasionalisme, karena lebih sering menggunakan kata SHARE, daripada kata BAGIKAN.” Lha wong saya ini orang biasa, kok disebut agen, bahkan untuk disebut agen of change ala mahasiswa pun, saya belum pantas.
Alhamdulillah nih, setiap status si zaidun sekarang sudah ribuan yang share, dan puluhan juta yang komentar. Sehingga, dia mendapat gelar “Imam Asshareiyyah Wal Komentariyyah” Pemimpin alirah Shareiyyah Komentariyyah. Selain si Zaidun, masih banyak imam-imam lain dari aliran ini, jumlahnya ribuan.
Ada lagi cerita Imam aliran Shareiyyah dan Komentariyah selain zaidun, kiprahnya juga cukup luar biasa dibanding Zaidun. Penasaran? Siapa dia? Bagaimana kiprahnya? (JANGAN) DITUNGGU KELANJUTANNYA! Karena kelanjutannya adalah realitas praktek bermedia dan besosial kita, termasuk saya.
Assalamualaikum, Selamat Malam, Salam sejahtera bagi kita semua, semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah SWT serta eksis dalam menjalani kehidupan sehari-hari (ko pembukaannya ala-ala surat resmi ya?). Kali ini penulis hanya ingin sekedar menceritakan pengalaman pribadi penulis dalam suatu kejadian yang cukup lumrah terjadi dimana-mana. Namun, semoga kejadian yang lumrah ini tidak menjadi kejadian yang membudaya dalam kehidupan bersosial, karena seringkali kejadian ini menimbulkan fitnah.
Setiap orang pasti pernah mengalami kehilangan atas barang pribadinya. Barang pribadi yang dimaksud disini bukan barang yang ada 15 cm dibawah udel mu lho, tapi barang-barang seperti handphone, laptop, sepeda motor, pulpen, bahkan sesuatu yang kecil namun menimbulkan fitnah besar diantara sahabat, KOREK GASOLIN. Sebagai manusia yang manusiawi, kehilangan barang pribadi pasti menimbulkan efek psikologis terhadap diri pribadi, apalagi seperti penulis yang segala keperluan hidupnya masih nebeng orang tua. Sulit rasanya mengikhlaskan kehilangan barang pribadi, apalagi yang paling disukai dan dibutuhkan. Meski dalam ucap kita berkata, “ya wes lah, guduk rizki ne paling”, tapi dalam hati, tetap berharap barang itu kembali. Sehingga, setelah barang tersebut hilang, seseorang yang kehilangan biasanya berikhtiar terlebih dahulu untuk mencarinya sebelum akhirnya secara terpaksa mengikhlaskan (ikhlas ko terpaksa?) kepergian barangnya, sekali lagi, bukan barang yang dibawah udel, CAMKAN!
Ikhtiar yang dilakukan bermacam-macam, ada yang lapor ke pihak berwajib, ada pula yang melapor ke pihak yang bersunnah macam kelompok cingkrang dan jenggot panjang (eh…). Bahkan, untuk perkara seperti ini pun, ada yang melapor ke Kyai, Ustadz, Dukun, bahkan orang yang dianggap bisa menerawang pelaku penghilangan paksa barang pribadi tersebut.
Menjaga barang pribadi dalam konteks agama Islam adalah kewajiban. Sesuai dengan maqashid asy-syar’iyyah (tujuan syari’at), bahwa hifdzul maal (menjaga harta) adalah harus diupayakan, sehingga salah satu tujuan syariat pun salahsatunya adalah untuk menjaga harta/barang pribadi kita. Seringkali ayah dari penulis memberikan nasihat bahwa harta yang kita miliki adalah milik Allah, maka wajib kita menjaga titipan Allah tersebut dengan baik. Begitulah bagaimana Islam dengan syariatnya mencoba melindungi hak dasar individu para pemeluknya dalam konteks melindungi hartanya, sehingga ada syariat/aturan tersendiri bagi pelaku pencurian termasuk hierarki yang harus dilalui dalam mengusut tuntas kasus pencurian. Pun Indonesia sebagai negara hukum, memiliki aturan-aturan yang jelas terkait sanksi atau pidana bagi pelaku pencurian termasuk hierarki atau sistematika pengusutan kasus pencurian.
Dari uraian diatas, penulis mengambil sebuah intisari penting bahwa ketika kita kehilangan barang berharga milik pribadi, gunakanlah aturan-aturan yang ada untuk mengusut kasus tersebut, sehingga ikhtiar kita selaku korban kehilangan tidak kemudian menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan seperti fitnah dan grundel dalam hati. Apabila ingin dibantu pengusutannya oleh kepolisian, silahkan melapor ke kepolisian, apabila ingin diusut secara kekeluargaan, silahkan diusut secara kekeluargaan dengan hierarki dan sistematika pengusutan yang konkrit hingga terdapat saksi, barang bukti, dan alat pendukung lainnya.
Ikhtiar/upaya yang baik dalam menuju suatu pencapaian wajib dilakukan. Penulis masih ingat nasihat kyai saat masih belajar di pesantren, bahwa sesuatu yang baik apabila dicapai dan diupayakan dengan jalan yang tidak baik, maka hasilnya akan menjadi tidak baik. Begitupula dengan kasus pencurian, korban kehilangan harus pula berupaya mencari pelaku pencurian dengan cara yang benar/baik, yakni dengan sistematika dan regulasi yang benar. Dan yang terpenting adalah bagaimana konsepsi pengusutan tersebut dilalui dengan proses yang konkrit dan terbuka, bukan dengan sistem yang ngawang dan tidak jelas alias ghoib sehingga menimbulkan ambiguitas yang berkepanjangan.
Seringkali penulis menemukan korban-korban pencurian barang-barang yang cukup bernilai mencari jalan pintas dengan cara melapor ke orang yang dianggap bisa menerawang si pencuri. Mereka menganggap hal ini bisa secara praktis dan cepat memberikan jawaban kepada korban terkait identitas si pencuri. Kekuatan gaib yang dimiliki si penerawang tersebut dianggapnya mampu menemukan si pencuri. Namun, dalam pengamatan penulis selama hidup di dunia ini, tidak ada satupun kasus pencurian yang mampu diusut tuntas dengan teknik gaib ala si penerawang, yang ada si penerawang ini hanya memberikan jawaban yang ngawang alias tidak jelas, seperti “pencurinya tadi lari ke arah lor”,“pencurinya mungkin tetangga”, “pencurinya sepertinya masih sodara sama kamu”, “kamu sering berbicara dengan si pencuri di warung kopi, tapi tidak tahu”, “ciri-cirinya hidungnya pesek, perawakannya pendek dan hitam”, “kemungkinan besar, si pencurinya adalah orang yang satu kontrakan”, begitulah kira-kira jawaban yang sering penulis dengar dari korban yang mengadu kepada si orang pintar, ahli menerawang.
Sepintas, hal ini tidak menjadi masalah, wajar dan maklum saja ikhtiar seperti ini di kalangan kita, namun tidakkah sahabat-sahabat melihat ada potensi fitnah dari statemen-statemen dari si penerawang tersebut? Terdapat statemen yang secara jelas mencoba menuduh dan memfitnah tetangga, teman satu kos, bahkan saudara sendiri tanpa proses pengusutan yang jelas dan sistematis! Ini adalah sebuah problem sosial yang sederhana, namun berdampak luas bagi interaksi sosial. Semisal si Komar dan si Kardun adalah teman satu kos, kemudian handphone si Komar hilang, setelah itu, si Komar mengadu kepada seseorang yang dianggap bisa menerawang pencuri, lalu si penerawang berkata bahwa pencurinya kemungkinan besar adalah teman satu kosnya sendiri. Secara sederhana, pastilah si Komar di dalam hatinya akan menuduh si Kardun sebagai pencuri handphone nya, padahal si Kardun tidak pernah mengambil handphone si Komar, dan pada akhirnya, si Kardun mengetahuinya dari orang lain bahwa si Komar menuduhnya mencuri, dan merengganglah persahabatan keduanya. Meski sejatinya si Kardun tidak mencuri, tapi beban di hatinya membuat dia enggan berteman dengan si Komar lagi karena tidak diterima dituduh pencuri, dituduh dari belakang pula. Penulis berpikir alangkah besarnya dosa si penerawang yang karena statemennya, suatu ikatan pesahabatan menjadi renggang.Entahlah, dosa atau tidak dosa, itu urusan Tuhan. Namun yang patut digarisbawahi dari kasus ini adalah, apakah jalan macam ini adalah jalan yang waras yang bisa ditempuh korban pencurian dalam mengusut kasus pencurian? Penulis menegaskan bahwa ikhtiar seperti ini adalah ikhtiar yang TIDAK WARAS! Rasulullah tidak pernah mengajarkan sistem seperti ini, pun secara kontekstual, Rasulullah malah mengajarkan ikhtiar yang lebih waras melalui syariah jinayaat, mungkin yang melakukan hal-hal diatas perlu mengkaji kembali bagaimana tuntutan Rasulullah terkait bab jinayat, sehingga kembali ke jalan yang benar.
Penulis sebagai pemeluk agama islam percaya pada hal-hal ghoib. Malaikat dan Jin merupakan hal yang ghoib dan benar adanya, namun kepercayaan tersebut tidak terbangun atas dasar menduga-duga saja yang kemudian menimbulkan ketidakjelasan dan fitnah, namun dibangun atas dasar pondasi keilmuan yang jelas, melalui ngaji kitab-kitab teologis macam aqidatul awam, tijan addarory, jawaahirul kalamiyah, addasuqy ummu barohin, dll. Penulis tidak menafikan bahwa ada orang-orang yang memiliki kemampuan diatas orang normal, seperti mampu melihat jin, melihat malaikat, dan melihat hal-hal gaib lainnya. Namun, penulis secara pribadi menyarankan kepada sahabat-sahabat, ketika problem yang dihadapi adalah terkait interaksi terhadap manusia (hablumminannas), selesaikanlah di alam manusia, tidak perlu melibatkan alam gaib, jika memang ingin melibatkan sesuatu yang gaib, memintalah pertolongan kepada Dzat Sang Maha Ghaib, yakni Allah SWT, karena itulah yang benar, bukan malah meminta bantuan si penerawang yang menerawang ke awang-awang dan masih ngawang.
Mohon maaf apabila ada kata yang salah, karena penulis pun masih dalam proses belajar dan terus mencoba memperbaiki kesalahan, dan mohon maaf apabila ada yang tersudutkan oleh coretan ini, penulis hanya ingin mengutarakan suatu hal yang menurut penulis penting untuk disampaikan. Semoga kita semua terhindar dari fitnah sewaktu hidup dan fitnah setelah meninggal dunia, serta fitnah kubro dajjal. Amin. Wallahu’alam.
Berbicara mengenai simbolitas, maka kita akan berpikir mengenai simbol-simbol. Simbol ini bisa diartikan sebagai lambang yang mewakili sesuatu yang ada (eksis) dan berada (esensi). Simbolitas biasanya adalah sebuah manifestasi dari suatu ideologi bahkan tradisi yang melekat dan dijadikan landasan fanatisme terhadap sebuah tradisi/ideologi yang diyakini. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diartikan bahwa simbol adalah brand (lambang) yang digunakan oleh seseorang maupun komunal untuk mendeskripsikan suatu ideologi, gagasan maupun tradisi yang dianutnya. Secara praktis, kita mampu mengenali GARUDA sebagai simbol Negara Kesatuan Republik Indonesia, dimana simbol tersebut mendeskripsikan landasan ideologi Indonesia itu sendiri, yakni PANCASILA.
Seperti yang dijelaskan diatas, simbolitas adalah mewakili eksistensi dan esensi, sehingga simbol bukanlah hanya sekedar ada atau eksis saja, melainkan memiliki nilai esensi pula didalamnya. Dalam proses kita bernegara, simbolitas yang dibangun sudah kemudian mewakili kedua hal tersebut, dimana Indonesia adalah sesuatu yang ada, bukan tidak ada (tentu dalam konteks fenomena, bukan nomena), dan secara esensi pun, Indonesia ada, dimana terdapat rakyat, wilayah, pemerintahan yang berdaulat, dan pengakuan dari negara lain. Penulis teringat ketika dulu belajar PKn, dimana rakyat, wilayah, pemerintahan yang berdaulat dan pengakuan dari negara lain adalah kriteria sebuah negara sah dan bisa diakui baik secara de facto maupun de jure.
Dalam konteks relasinya, esensi dan eksistensi sangatlah erat berkaitan. Esensi sangat membutuhkan eksistensi. Tanpa eksistensi, esensi bukanlah apa-apa, karena esensi (hakikat) memerlukan keberadaan yang mewakilinya. Begitu pula eksistensi sangat membutuhkan esensi, karena tanpa esensi, keberadaannya menjadi tidak bernilai dan dipertanyakan (absurd). Sebagai contoh, kita mengenal tanah jawa, tanah toraja, tanah pasundan yang kesemuanya masuk dalam tatanan esensi dan secara eksistensi adalah sama-sama tanah. Pembaca boleh cek, dalam iklim dan kondisi (tekanan & suhu) yang sama, tanah jawa dan pasundan tidaklah memiliki perbedaan dalam konteks eksistensinya (dalam kajian inderawi), namun secara esensi, jelaslah berbeda (ditinjau dari segi karakteristik penduduk dan tradisi sosial kemasyarakatannya). Ketika nilai esensi dan eksistensi sudah berpadu, maka akan muncul sebuah simbolitas yang diangkat atas nama kedua hal tersebut. Menurut penulis, keadaan tersebut merupakan keadaan yang sangat ideal, dimana simbolitas diangkat dengan jalan yang konstruktif yang merepresentasikan relasi sempurna dari kedua hal tersebut.
Namun, dalam realitas kehidupan kita bermasyarakat, seringkali penulis menemukan sebuah fenomena yang tidak dalam kondisi yang konstruktif dan terkesan timpang. Simbolitas yang diangkat banyak yang tidak mewakili eksistensi dan esensi. Simbolitas seringkali diangkat hanya atas nama eksistensi tanpa dibarengi dengan suatu esensi yang jelas, sehingga terjadilah sebuah distorsi atas relasi kedua hal tersebut. Kita dapat melihat ini dalam berbagai praktek bermasyarakat, baik praktek pendidikan, pemerintahan, beragama, berorganisasi, dan lain-lain.
Sebagai contoh, penulis mencoba melihat fenomena sertifikasi, akreditasi, dan penilaian. Sebenarnya, sertifikasi, akreditasi dan penilaian adalah sebuah usaha simbolitas yang bernilai eksistensi untuk mencapai esensi yang diharapkan. Namun dalam praktiknya, entah disadari atau tidak, subjek maupun objek dari akreditasi, sertifikasi dan nilai seringkali berpikir subjektif dan parsial dalam memandang eksistensi dan esensi, mereka cenderung hanya berpikir atas eksistensi dan melemahkan posisi dari esensi yang sejatinya adalah sesuatu yang juga penting dalam suatu praktik akreditasi. Yang penting dapat akreditasi A, sertifikasi internasional dan nilai bagus, bagaimanapun caranya, entah dengan membuat kebohongan besar demi mendapatkan hal tersebut demi kejayaan simbolnya. Menurut hemat penulis, praktik seperti ini jelas-jelas menghancurkan tradisi konstruktif-intelektual, dan mendewakan kebiasaan buruk berupa pemikiran destruktif-pragmatis yang berdampak pada lemahnya integritas dan intelektualitas yang seharusnya dimiliki oleh pemuja-pemuja simbol.
Begitu pula penulis melihat fenomena dalam praktek beragama yang cenderung mengagungkan eksistensi tanpa memperhatikan eksistensinya secara matang. Sangat marak kita lihat, bahkan di dunia pendidikan seperti kampus, praktik-praktik beragama dibawa ke ranah simbolitas yang tidak menyeimbangkan antara eksistensi dan esensi secara cerdas dan cermat. Eksistensi yang terlalu diagungkan membawa mereka kedalam praktek-praktek radikalisasi yang secara tidak langsung membawa mereka terjebak ke dalam simbolitas yang semu. Mungkin pembaca akan bertanya-tanya, mengapa hal ini bisa terjadi? bahkan di dunia pendidikan yang seharusnya menciptakan kaum-kaum terdidik yang (seharusnya lagi) mampu memahami hal ini? Entahlah, mungkin karena para pendidiknya pun ada yang sudah menjadi tersangka dan terdakwa dalam kasus simbolitas semu ini. Terus bagaimana? Penulis juga tidak tahu.
Selain praktik tersebut, masih banyak praktik-praktik sejenis dalam keseharian kita yang seharusnya penulis dan pembaca sadari untuk kemudian di transformasikan menjadi praktik-praktik yang mampu memposisikan relasi esensi dan eksistensi secara adil. Penulis kemudian teringat dengan sebuah kalimat yang tertulis dalam sebuah jaket saat penulis jalan-jalan yang berbunyi, “Dont think to be the best, but think to do the best”, yang berarti “Janganlah berpikir untuk menjadi yang terbaik, namun berpikirlah untuk melakukan yang terbaik”. Dalam kacamata penulis, statemen ini sangatlah keren, dimana secara implisit, statemen ini memposisikan eksistensi dan esensi secara sepadan, meski ketika kita baca secara tekstual, kita hanya akan melihat adanya pengebirian atas eksistensi. Berangkat dari hal tersebut, semoga penulis dan pembaca sekalian termasuk makhluk yang mampu menyeimbangkan eksistensi (gelar, nilai, akreditasi, IPK, brand, dll) dan esensi (hakikat dari gelar, nilai, akreditasi, IPK, brand, dll). Semoga.
Hai, Saya Fawwaz Muhammad Fauzi, suatu produk hasil persilangan genetik Garut-Majalengka. Menjadi Dosen Kimia adalah profesi utama saya saat ini. Selain itu, ya membahagiakan istri, anak dan orang tua. Melalui blog ini, saya ingin menuliskan kisah-kisah keseharian saya yang pasti receh. Mungkin sedikit esai-esai yang sok serius tapi gak mutu. Jadi, tolong jangan berharap ada naskah akademik atau tulisan ilmiah disini ya, hehe.
Kalau ada yang mau kontak, silahkan email ke [email protected]. Udah itu aja.