Beberapa hari ini setelah membeli HDD untuk saya pasang di PC, saya mulai merapikan file di laptop saya yang hampir over capacity, merah semua. Yang namanya beres-beres arsip, saya mengupayakan efisiensi waktu, tapi tetap saja kadang ada satu dua hal yang bisa menghambat. Lembaran lama memang seringkali mengundang kita untuk kembali mengenangnya, dan saya lalu tergoda untuk membuka kembali rekaman video sidang tesis saya beberapa tahun lalu.
Sebelum lanjut tulisannya, saya merasa perlu berterimakasih untuk semua dosen-dosen saya di UNPAD. Terimakasih kepada Prof. Tri Mayanti, Prof. Tati Herlina, Dr. Darwati, Dr. Nurlelasari, Pak Ari Hardianto, Ph.D dan seluruh dosen atas bimbingan dan masukan selama proses studi S2 lalu. Tak lupa juga pada semua rekan-rekan di Lab, Zul, Amel, Rona, teman seangkatan baik yang fastrack maupun slowtrack, hehe.
Oke, lanjut ya, saya kembali menonton presentasi & tanya jawab sidang tesis saya. Satu yang cukup mengejutkan adalah diferensiasi fisik saya, wkwkwkwk. Begitu tembemnya pipi saya, begitu ngos ngosan nya nafas saja saat presentasi, hahaha. Dan yang tak kalah penting adalah bagaimana saya memahami apa yang saya sampaikan saat itu.
Bagian pada riset saya salah satunya terdapat metode in silico, khususnya topik molecular docking. Saat itu, ternyata saya punya banyak miss understanding tentang interpretasi data hasil docking, dan secara dini menyimpulkan bahwa senyawa saya punya mekanisme antagonis non kompetitif, padahal docking sendiri adalah pendekatannya agonis/antagonis kompetitif, wkwkwkwk.
Untungnyaaaa, bumi masih berputar. Selepas lulus, saya berkesempatan untuk bekerja sebagai Dosen di Program Studi Farmasi. Sebagai seorang dosen, belajar adalah keharusan, dan pada satu titik, saya tertuntut untuk melakukan riset, dan in silico adalah riset yang paling feasible pada saat itu. Saya kembali mendalaminya dengan mengikuti beberapa short course dari mulai docking, molecular dynamics, hingga membeli buku studi QSAR. Terlebih, saya di challenge oleh rekan-rekan untuk mengampu mata kuliah Kimia Medisinal.
Disinilah semua tabir pengetahuan tentang mekanisme obat, hubungan struktur aktivitas senyawa obat, fase-fase aksi obat, mekanisme agonis, antagonis kompetitif, non kompetitif, interpretasi docking, MD, hingga bagaimana QSAR yang sebenarnya bernas dibahas. Dititik ini, saat mendengar presentasi sidang saya tadi, saya menertawakan diri saya saat dulu, wkwkwkwk, yang disisi lain, kembali saya bersyukur bahwa kesempatan berkarir sebagai dosen di Prodi Farmasi benar-benar menyenangkan. Saya mendapat banyak privilege untuk mempelajari lebih jauh tentang dunia obat-obatan.
Tentu saja semua yang saya ketahui saat ini masihlah secuil dari luasnya keilmuan Farmasi yang menantang. Dan ada potensi pemahaman saya hari ini ditertawakan oleh saya di masa depan, selama saya tetap terus belajar dan belajar. Yah, belajar bagi dosen itu memang kewajiban. Bahkan level belajarnya pun harus ekstra, karena kita bukan hanya belajar untuk kita sendiri, melainkan kita harus bisa menyampaikan dan memahamkan mahasiswa kita terhadap suatu materi.
Beberapa bulan lagi, saya mungkin akan sedikit melakukan pergeseran. Tetapi, menjadi bagian dari Prodi Farmasi di STIKes KHAS Kempek adalah bagian yang sangat sangat wajib disyukuri, karena mungkin saja jika saya tak pernah terlibat disana, keilmuan saya ya segitu-gitu aja, dan mungkin saja volatilitas keilmuan bisa terjadi. Bahkan pada satu titik, sempat terpikir untuk melanjutkan studi doktoral di bidang ini.
Terimakasih untuk semua pengalaman dan kehangatannya. Saya akan selalu mengingatnya sebagai bagian dari perjalanan hidup yang sangat berkesan. Sukses selalu untuk keluarga besar STIKes KHAS Kempek, tetaplah menjadi lentera yang menerangi asa dan cita!
Hari demi hari berlalu, ternyata cukup lama blog ini tak memuat tulisan receh. Kalau boleh saya beralasan, kemandekan ini akibat sibuknya saya persiapan tes CPNS, hehe. Selepas tes SKD, barulah saya bisa sedikit bernafas lega. Meski nilai belum memenuhi target, setidaknya sudah saya lalui dengan usaha yang cukup keras. Tinggal menunggu pengumuman apakah lolos ke tahap SKB atau tidak.
Selepas masuk di kelas mengisi Mata Kuliah Kimia Medisinal di Semester VII tadi. Pikiran saya serasa melayang terus menerus. Saya merasa ada insight menarik yang perlu ditulis. Dalam materi yang saya sampaikan tadi sore, ada konsep yang cukup menarik pada kimed, yaitu tentang Isosterisme.
Isosterisme adalah konsep yang terus berkembang sejak diusulkan oleh Langmuir (1919), Hukum pergeseran hidrida Grimm (1925) hingga menjadi konsep Bioisosterisme yang dikenalkan Friedman (1951). Singkatnya, konsep ini menceritakan bahwa dalam pengembangan atau modifikasi struktur obat, bisa dilakukan penggantian gugus fungsi tertentu. Gugus fungsi yang menggantikan haruslah gugus yang isosterik, artinya gugus yang memiliki distribusi elektron dan karakter sterik yang relatif sama.
Sebagai contoh, misal dalam suatu molekul obat, ada gugus -NH2, maka kita bisa substitusi gugus -NH2 itu dengan gugus -OH. -NH2 dan -OH adalah pasangan isoster karena punya distribusi elektron yang sama, yakni 9. Ini harus diikuti agar modifikasi struktur yang dilakukan tidak terlalu mengubah sifat kimia dan fisika molekul obat yang (misal) pada awalnya sudah baik sebagai obat. Tetapi harapannya, ketika berinteraksi dengan reseptor untuk menimbulkan efek terapi terhadap tubuh kita, ia bisa memberikan efek yang lebih baik pasca modifikasi struktur.
Reseptor protein didalam tubuh kita ternyata memang cukup unik. Ia punya sifat yang inklusif. Ia tak mempermasalahkan adanya pergantian gugus selama sifat dan karakteristik gugusnya relatif sama. Tak masalah atomnya apa, yang penting sesuai dengan kriteria yang diharapkan. Ia tak perlu nanya ke molekul, asal gugusnya darimana, atau punya orang dalam atau tidak, hehe. Barulah kemudian saat gugus itu berikatan dengan reseptor, ada kebolehjadian bahwa gugus itu bisa menjadi lebih baik dari yang digantikan atau sebaliknya.
Dari sini, kita perlu belajar nilai inklusivitas dari reseptor protein-protein di dalam tubuh kita dalam berbagai aspek kehidupan kita. Contohnya, dalam berbagai lini kehidupan kita, selayaknya kita memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang yang dianggap mampu. Tak masalah ia dari suku apa, kelompok apa, kelas masyarakat apa, yang penting sesuai dengan kualifikasi yang dipersyaratkan. Tak perlu kita membeda-bedakan asal usulnya, yang penting ia bisa berkontribusi. Saya jadi teringat kutipan dari Gus Dur, “Tidak penting apapun agamamu atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan tanya apa agamamu.”.
Perilaku reseptor protein juga seolah menjunjung tinggi budaya meritokrasi. Dalam konteks ini, ia memilih molekul berdasarkan atas asas kemampuan, kompetensi dan fungsi paling efektif dalam kinerjanya, sehingga tercipta afinitas terbaik molekul-reseptor yang (misalkan) “meningkatkan aktivitas biologisnya”. Dalam keseharian kita, budaya meritokrasi pun harus dijunjung tinggi. Dalam isu kepemimpinan, ada kaidah populer dalam bahasa arab yang berbunyi “Tasharruful imam ala roiyah, manutun bil maslahah”, artinya keabsahan seorang pemimpin bergantung pada bagaimana ia mampu menciptakan sebanyak-banyaknya kemaslahatan.
Maka, dalam kita memilih pemimpin, selayaknya kita memilih seperti reseptor protein dengan pertimbangan bioisosterisme yang meritokratis. “Tidak penting ia anak siapa”, yang terpenting adalah pemimpin dipilih harus berdasarkan atas kompetensi, kapabilitas dan track record kinerjanya sehingga antara pemimpin dan kita selaku rakyatnya, tercipta “afinitas” terbaik, dan harapannya adalah “meningkatkan aktivitas pembangunan negara” yang sesuai dengan rel yang telah ditetapkan seperti yang dicita-citakan para founding fathers.
Belakangan, tagar JanganJadiDosen mengemuka dan viral di jagat maya. Tagar itu menggema disertai dengan banyak skrinsutan slip gaji dosen yang jauh dari kata kategori sejahtera. Untuk dikategorikan sejahtera, slip gaji yang ditunjukkan pada cuitan di tagar JanganJadiDosen itu memang sangat miris. Sudah gaji kecil, ada yang dirapel pula, dan lain-lain. Padahal, menjadi dosen memiliki kualifikasi yang tak main-main. Sejak beberapa tahun yang lalu, untuk menjadi dosen, seseorang diharuskan memiliki minimal strata pendidikan magister (S-2), dan jika ingin berkarir serius di dunia perdosenan, mengejar gelar doktor adalah kewajiban.
Dan, seperti yang anda tahu, biaya studi sarjana di negeri kita ini masih jauh dari kata “terjangkau”, apalagi untuk S-2 dan S-3. Memang ada banyak pilihan beasiswa, itu bisa menjadi topik lain yang tak perlu dibahas pada tulisan ini. Hal ini sangat memprihatinkan saat kita mengetahui satu fakta bahwa persentase warga Indonesia yang berpendidikan tinggi masih dibawah 10%.
Saya sudah berprofesi menjadi dosen selama kurang lebih satu tahun di salah satu kampus swasta di Cirebon. Menjadi dosen atau paling tidak berkecimpung di dunia pendidikan adalah salah satu cita-cita saya. Entah mengapa saat SMA tiba-tiba cita-cita itu muncul, mungkin sistem pembelajaran pesantren tempat saya belajar adalah salah satu yang mempengaruhi diri saya.
Semakin kuat harapan itu saat saya kuliah di Malang. Dunia aktivis mahasiswa adalah salah satu yang memperkuat itu. Dipertemukan dengan orang-orang yang hebat dalam fasilitasi forum, firm saat berbagi cerita, pemikiran, semangat dan keilmuan. Sedikit demi sedikit, ada satu dua forum yang bisa saya coba isi, saya fasilitasi. Meski tak sebaik senior-senior saya, saya merasa berbagi cerita, semangat, pemikiran dan sudut pandang dengan orang lain, berdiskusi, bertukar pikiran itu terasa menyenangkan.
Disamping dari aspek transfer keilmuan yang sesuai dengan disiplin ilmu saya, dari aspek moril, banyak hal yang saya rasa ingin saya bagikan dan ceritakan dengan orang lain, tentang banyak hal dari sisi ideologis, keyakinan, semangat dan sudut pandang yang ingin saya sebarkan kepada sebanyak mungkin orang, meski entah sebetulnya sekuat dan sebaik apa pikiran saya itu. Tapi setidaknya itulah yang saya yakini baik dan perlu disebarkan.
Selepas S-2, saya tentu mencoba mencari lowongan kerja dosen. Singkat cerita, akhirnya saya diterima di salah satu kampus swasta. Awalnya saya cukup idealis, menjadi dosen saya hanya ingin mengajar saja, jadi dosen non tetap. Namun saat saya terjun lebih dalam lagi, saya akhirnya memutuskan untuk menjadi dosen tetap, menikmati tahap demi tahap menjalankan tri dharma perguruan tinggi.
Kelas pertama tentu tak semudah yang dibayangkan, apalagi saat S-1, saya bukan tergolong mahasiswa yang rajin-rajin amat, perlu mutholaah yang sangat mendalam, karena untuk menyampaikan ilmu, tak cukup hanya paham untuk diri sendiri, tapi juga harus mampu memahamkan anak didik kita. Setelah satu tahun lebih, saya cukup menikmati masa-masa awal ini. Penelitian pertama, membimbing mahasiswa pertama, pengabdian pertama, isi BKD pertama, ritme perdosenan pertama, meski masih terbata-bata, saya menikmatinya.
Meski menjadi dosen ini tak menjanjikan secara finansial seperti yang beredar belakangan, saya menikmatinya. Saya berupaya mengisi kebutuhan cuan dari bisnis yang saya jalani bersama istri, dan tak bergantung dari penghasilan saya sebagai dosen. Terdengar ideal bukan? sebenarnya tak seideal itu. Apalagi saat kedua sisi itu menuntut fokus yang sama. Pekerjaan administratif dosen yang seabrek, dan kompetisi jualan onlen yang semakin tak masuk akal terkadang membuat saya cukup pusing. Tapi, bukankah pusing itu tandanya kita berpikir? intinya, saya menikmati semua kepusingan dalam hidup ini, hehehe.
ATOMIC OF ME
Hai, Saya Fawwaz Muhammad Fauzi, suatu produk hasil persilangan genetik Garut-Majalengka. Menjadi Dosen Kimia adalah profesi utama saya saat ini. Selain itu, ya membahagiakan istri, anak dan orang tua. Melalui blog ini, saya ingin menuliskan kisah-kisah keseharian saya yang pasti receh. Mungkin sedikit esai-esai yang sok serius tapi gak mutu. Jadi, tolong jangan berharap ada naskah akademik atau tulisan ilmiah disini ya, hehe.
Kalau ada yang mau kontak, silahkan email ke [email protected]. Udah itu aja.