Perspektif Baru Kang Iip
Hari ini adalah hari dimana seharusnya saya menghadiri pengajian alumni Pondok Pesantren Baitul Hikmah Haurkuning, Tasikmalaya atau yang dikenal dengan sebutan PESANHIKMAH zona Ciayumajakuning & Jateng. Dorongan kuat untuk hadir sebetulnya sangat tinggi, terlebih yang akan hadir adalah salah satu dewan kyai yang paling saya idolakan sejak masih di pondok dahulu, beliau adalah KH. Iip Miftahul Faoz, atau yang akrab disapa Kang Iip.
Namun, terkait dengan realitas kehidupan dan sekelumitnya, saya harus mengerem hasrat untuk menghadiri agenda tersebut. Ya Allah, ingin sekali rasanya hadir bertemu Guru yang selalu menggetarkan hati dengan motivasinya selepas shubuh, tapi tangan tak sampai, semoga dilain waktu silaturahmi bisa tetap bisa saya haturkan kepada beliau.
Sebagai obat kesedihan karena tidak bisa hadir di acara tersebut, mungkin akan sedikit akan saya luapkan melalui tulisan ini, satu dua hal dari sekian banyak pengalaman yang saya dapatkan saat belajar kepada beliau. Saya masih ingat betul cara bicaranya, cara beliau memegang kitabnya, memaknai dan menjelaskan dengan gamblang hadits demi hadits dalam kitab mukhtarul ahadits, sembari mengkorelasikannya dengan konteks global. Sekali-kali beliau lontarkan ide-ide bagaimana harusnya santri hidup dan berkontribusi di masa depan nanti.
Hal yang paling saya ingat betul adalah beliau beberapa kali pernah kurang lebihngendika begini, “Santri teh ulah caricing disisi wae, ulah nyararisi wae. Ayeuna mah kudu wani katarengah, asup ka perkotaan, asup ka pamarentahan, asup ka perusahaan. Da kaluar tidieu maraneh teh moal jadi kyai kabeh, aya nu bakal jadi PNS, supir, karyawan, menteri, presiden saha nu apal. Matak tingkatkan kapasitas diri ulah ngan saukur nalar jurumiyah imrithi alfiyah, nu kitu mah geus loba. Tapi santri nu nalar wawasan kontemporer, nalar hukum, nalar sains, nalar ekonomi, can aya, can loba. Matak sok sing rarajin diajarna, cita-cita sing luhur, udag sebisa mungkin, tantangan kahareup geus leuwih beurat.”.
Bagi saya, kata-kata itu terasa seperti suatu pelecut semangat untuk kembali berpikir. Apa benar begini, apa benar begitu, berkontemplasi dan berefleksi. Dan disitulah titik balik dimana saya sedikit memutarkan kemudi, “Oke, setelah ini, saya harus berkuliah pada bidang Sains, bidang yang bisa dibilang belum banyak digandrungi dan disukai oleh para santri dan orang-orang NU pada umumnya.”. Setidaknya itulah motivasi saya hingga bisa lulus S2 Kimia saat ini. Tentunya kedepan saya masih punya harapan untuk lanjut lagi S3 dan seterusnya. Mohon doanya.
Sebetulnya, saat ini santri dengan gelar pendidikan umum sudah mulai banyak bermunculan. Dari periode 2000 an sampai sekarang ini, jumlah santri yang menimba multidisplin keilmuan semakin banyak, sehingga harapan positif ke depan, bahwa diaspora santri diberbagai sektor kehidupan bisa benar-benar mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara kita, menebarkan benih-benih positif, membela agama dan mencintai negara.
Dalam pandangan saya, pemangku kepentingan lebih baiknya dipegang oleh seorang santri. Karena santri ini digembleng dan diajarkan moralitas setiap hari oleh guru-gurunya di pesantren. Boleh dibilang, praktik pendidikan di pesantren lah yang benar-benar mengimplementasikan transfer of knowledges and transfer of values. Sehingga mudah-mudahan, saat pengambilan kebijakan, ia tidak berpaling akibat tarikan duniawi, dan mengambil suatu putusan yang didasarkan pada kaidah yang mereka pelajari, yaitu “tasharruful imam ala roiyyah manutun bil maslahah.”. Namun syaratnya, santri yang ingin menggenggam amanah itu haruslah MASAGI, atau dalam bahasa kerennya, intelektual yang ulama, ulama yang intelek. Jangan sampai ia hafal dan faham kitab-kitab klasikal, namun gagap dalam memimpin.
Untuk membentuk SDM yang “MASAGI” itu, paling tidak para santri harus diberi Perspektif baru, seperti perspektif baru yang diungkapkan Kang Iip di kelas saya dan teman-teman dulu, yang membuka cakrawala berpikir saya, untuk mau mengambil pilihan-pilihan tidak populer dari para santri. Karena bagaimanapun, hal yang paling mempengaruhi seseorang untuk sukses, untuk kaya, untuk berhasil, untuk bermanfaat, adalah berangkat dari mindset, atau perspektif yang dia ambil dalam melihat kehidupan.
Terimakasih Kang Iip, terimakasih semua guruku, laula al murabbi, ma araftu robbi.