Kecepatan penyebaran informasi saat ini memang bukan main. Saking cepatnya bahkan dalam satu hari, ada 1-2 isu nasional yang muncul, belum clear itu isu, sudah switch ke isu lainnya. Mantapnya lagi, bahkan ada sebuah isu yang udah lewat “greng”nya kemarin, dan saya ketinggalan info padahal mantengin hape udah 7 jam perhari sesuai laporan riwayat mingguan. Gendeng memang zaman medsos ini.
Pernjataan ngawoer anggauta DPR memang mendjadi satoe hal jang ditunggu oleh khalayak masjarakat. Setelah demo besar akhir agustus yang dipicu statemen anggota DPR, kemaren-kemaren ini ada statemen tentang rokok yang sebenernya bener, tapi gabener. Duh, gimana ya, intinya begitulah.
Persoalan statemen blio ini sebenernya sudah banyak ditanggapi oleh banyak ahli bahwa ada perbedaan antara faktor resiko, dan penyebab langsung. Korelasinya rokok dengan kanker, sakit jantung, dan penyakit paru ini permainan 3-4 premis nih, bukan 2 premis doang.
Saya berdiri dalam argumentasi-argumentasi ini. Sehingga 3 bulan lalu ketika saya mulai meletakkan korek dan memberikan sebungkus Sampoerna Mild yang baru kalong 2 itu ke orang lain, saya berangkat dari pemahaman ini. Yes, menjawab tulisan saya sebelumnya, dengan penuh kerendahan hati, saya mudah-mudahan akan selalu menjadi alumni perokok.
Sejujurnya keinginan berhenti merokok itu sudah muncul sejak zama penjajahan. Tapi menghetikan aktivitas ternikmat setelah makan dan pas boker itu sangat-sangatlah tidak mudah bagi saya. Butuh 2 tahun dari sejak perencanaan ke pelaksanaan, hehe. Tapi, bermodalkan alasan yang sama saat saya melakukan penurunan berat badan, alhamdulillah sekarang sudah sampe di BAB IV, semoga segera nyampe ke Bab V, sehingga bisa memberikan kesimpulan dan saran-saran untuk mereka yang punya niat berhenti merokok.
Oh iya, menyoal bahaya kesehatan rokok, sebagai orang kimia yang ngajar farmasi, sulit bagi saya menjadi orang yang denial atas bahaya rokok. Maka, meskipun dulu adalah perokok, saya bukan tipe orang yang ngeyel ketika ada orang yang menasihati bahaya merokok, apalagi beretorika mencari pembenaran merokok dengan mentauhidkan sampoerna A mild, ampuuuun.
Tapi memang urusan rokok ini bukan urusan kesehatan bloko. Ada faktor ekonomi yang perlu dipikirkan. Perlu dipertimbangkan rokok sebagai sebuah industri yang menghasilkan cukai dan penerimaan negara yang besar. Ada banyak keluarga yang menggantungkan hidupnya dari industri ini. Jika tiba-tiba industri ini dihabisi tanpa pemilik usaha diberi waktu untuk melakukan diversifikasi, tentu bahaya bagi keberlangsungan hidup banyak keluarga.
Saya sepakat bahwa rokok lebih banyak madhorotnya dibanding maslahatnya. Tapi seperti kata sebuah kaidah, “dar’ul mafasid muqoddamun ala jalbil masholih”, menghindari kerusakan harus didahulukan daripada menciptakan kemaslahatan. Menyelamatkan penghidupan keluarga pekerja industri rokok harus didahulukan daripada memberangus industri rokok.
Kunci utamanya pasti di pemerintah. Pemerintah harus berpikir dan memiliki perencanaan yang baik dalam menangani industri rokok dan perokok muda yang megancam masa depan bangsa. Yaaah, saya masih percaya ada hal-hal baik yang akan terjadi pada masa depan kita semua.
Dan untuk semua teman, keluarga, pembaca yang masih merokok. Silakan merokok, karena saya tahu, berhenti merokok itu tantangannya luar biasa sulit. Kalo boleh saya spill laporan tracer study alumni pengepul asap seperti saya ini, ada peningkatan intensitas membuka kulkas tanpa tujuan, clingak clinguk abis makan, dan planga plongo saat di jamban. Meski begitu, ditemukan peningkatan signifikan dalam durasi tidur, rasa apresiasi diri, dan uang jajan yang lebih awet.
Jadi gini ajalah, paling tidak kita harus berhenti menjadi perokok yang bebal dan banyak berdalih bahwa rokok tidak berbahaya, merokok berpahala, atau bahkan merokok mengandung nilai tauhid. Mari kita sudahi itu. Akuilah bahwa merokok itu berbahaya bagi kesehatan, tapi memang untuk berhenti dari kebiasaan itu, perlu sesuatu yang lebih dari sekedar ilmu dan pengetahuan.
Perjuangan setelah berbulan-bulan berkutat dengan pembangunan rumah akhirnya semakin dekat menuju “check point”. Sore tadi, rumah saya dan istri telah “DIADZANI” oleh para Kyai dan tamu undangan.
Ya, Ritual keagamaan di Rajagaluh, daerah tempat saya tinggal memang kental dengan ritual Islam Aswaja. “Ngadzanan rumah baru” adalah salah satu dari sekian banyak ritual keagamaan yang sudah menjadi bagian dari potret sosial keislaman di Rajagaluh.
Tentunya, saya ucapkan terimakasih kepada para kyai, asatidz, kerabat, sahabat dan seluruh tamu undangan yang berkenan menghadiri dan mendoakan untuk keberkahan rumah kami. Semoga amal baik semuanya dibalas oleh Allah SWT berlipat-lipat, amin.
Meskipun rumah ini memang belum selesai 100%, karena memang masih kurang ‘sana sini’, setidaknya sudah bisa kami tinggali. Keluarga mertua dari Malang pun berkenan untuk datang jauh-jauh dan tidur di rumah baru kami. Padahal, saat itu posisi jendela ada yang belum terpasang akibat kemoloran “pemborong jendela” dari deadline yang telah disepakati.
Ditulisan saya sebelumnya terkait dengan MASWINDO, awalnya memang rumah ini akan saya pasrahkan kepada Kontraktor besar itu. Tujuannya agar saya tidak terlalu repot mengontrol pembangunan terus menerus, tidak perlu stand-by mengecek kinerja tukang setiap hari. Namun karena prasyaratnya tidak bisa kami penuhi, khususnya terkait biaya yang harus masuk full diawal, kami akhirnya legowo untuk menghandle sendiri pembangunan rumah kami, meski sebetulnya, pembangunan kami tetap dibangun oleh satu tim kontraktor tertentu, tapi dengan sistem pembayaran upah harian dan material diatur secara penuh oleh saya pribadi.
Dengan sistem seperti itu, tentulah proses pembangunan itu sangat menguras energi saya setiap hari, untungnya saya bukan PNS dan karyawan yang jam kerjanya terjadwal padat. Jadi, setiap hari saya selalu menyempatkan memantau pembangunan, mengecek material yang kurang stau habis,berkonsultasi dengan Pak Mandor, belanja dan mencari info-info tentang material yang bagus dan murah, serta tektek bengek lainnya. Sampe kulit saya belang-belang meski sudah menggunakan sunscreen.
Alhamdulillah, semua proses yang menguras tenaga, emosi dan tentu saja, semua duit yang kami punya ini “sementara” telah usai. Kenapa “sementara” atau “checkpoint” ? Karena masih ada proyek lanjutan dari sekedar rumah tinggal saja. Mohon doanya saja dari seluruh pembaca, semoga apa yang menjadi hajat kami diberi jalan oleh Allah untuk mencapainya. Amin ya robb. Akhiron. Mudah-mudahan rumah baru kami menjadi rumah dengan penuh keberkahan. Amin ya robbal alamin.
Emosional. Kata itu yang mendeskripsikan wisuda saya kemarin. Memang jika dilihat dari berbagai sisi, studi S2 ini berbeda 360° dengan saat saya menyelesaikan studi S1 dulu. Jika dulu, urusan menyelesaikan S1 ini terbilang saya capai dengan target-target yang santai. Sejak saya masuk Jurusan Kimia di UIN Malang, saya memang realistis saja. Berangkat dari Pesantren yang notabene salaf, dimana urusan sekolah bukan prioritas utama, saya cukup keteteran untuk mengimbangi ritme pembelajaran di Jurusan Kimia. Jelas saja, yang awalnya dipesantren dulu sibuk menghafal jurumiyah hingga alfiyyah dan mengkaji kitab-kitab kuning, saya tiba-tiba harus banting setir menjadi arsitek molekul. Maka memang sejak awal, target saya gak muluk-muluk, tidak akan lulus tepat waktu, melainkan akan lulus di waktu yang tepat, hehe.
Saya menempuh studi S1 selama 10 semester, ngaret setahun dari target umum mahasiswa lain. Selain memang realistis akibat latar belakang saya diatas, saya juga bersyukur bisa memaksimalkan waktunya dengan berkecimpung di organisasi kemahasiswaan, baik di OMIK maupun di OMEK, sehingga soft-skill saya macam public speaking, menulis perjuangan nilai, manajerial dan lain-lain menjadi terasah. Dengan berbagai keriweuhan yang ada saat S1 dulu, jika meminjam istilah Tan Malaka, saya terbentur, terbentur, terbentur, lalu terbentuk. Terimakasih saya ucapkan untuk semua mentor dan rekan organisasi saya. Jadi bagi saya, lulus 10 semester bukan aib, tapi ‘kebanggaan’, hahaha. Saya jadi teringat saat saya masuk perkuliahan pertama kali, saat itu dosen menanyakan satu per satu mengenai alasan masuk Kimia UIN Malang, banyak dari teman-teman saya menjawab ‘kepleset’, sebenernya ingin masuk UB/UM/UNAIR/ITS/DLL, tapi lotrean SNMPTN menunjuknya ke UIN Malang itu, apa boleh buat. Jawaban saya berbeda dari mereka, “Bisa kuliah saja saya bersyukur terlebih di Jurusan Kimia yang di mata teman-teman saya saat MA di pesantren dulu adalah mapel yang menakutkan.”. Begitu.
Saat wisuda S1 dulu, saya merasa tidak perlu ada euforia yang menggebu-gebu. Saya pikir, ya namanya mahasiswa, selama ia tetap ada keinginan dan usaha untuk lulus, kelulusan adalah keniscayaan. Ia akan dilalui. Jadi ya biasa saja. Wisuda hanyalah perayaan atas keniscayaan itu. Begitu pikir saya. Dan saya melakukan apa yang perlu saya lakukan untuk lulus dengan lurus-lurus saja. Seminar Proposal, Ujian Komprehensif, Sidang Skripsi hingga Yudisium saya lalui tanpa emosi yang gimana-gimana gitu. Datar saja.
Tapi saat S2, ternyata pengalamannya berbeda. Saya melanjutkan studi magister kimia di UNPAD Jatinangor. Saat memulai studi, saya memang sudah menikah, bahkan saat wisuda kemarin, saya sudah punya dua bocil. Dengan kondisi yang sudah berkeluarga dan tinggal bersama orang tua, jelas cara menjalaninya sangat berbeda dengan saat S1. Setiap minggunya saya pulang pergi menempuh perjalanan 3-4 jam dari Rajagaluh ke Jatinangor dengan ‘si putih’ Vario yang setia menemani. Berangkat senin pagi, pulang jumat sore. Hal itu terjadi selama satu setengah tahun. Jelaslah kerinduan terhadap istri dan anak adalah magnet yang kuat yang menarik saya untuk tidak menghabiskan akhir pekan di Jatinangor. Apalagi jika istri mulai melantunkan rayuan-rayuan maut, meski raga masih di Jatinangor, jiwa saya sudah otw duluan, haha.
Selain itu, memang saya di rumah merintis usaha bersama istri dengan berjualan online. Yah, alhamdulillah lancar dan cukup untuk menghidupi kami dan keluarga. Karena jualan online ini modalnya otak atik marketplace, bidang ini setidaknya kapasitas dan andil saya. Mempelajari sistem, daftar promo, dekorasi toko hingga desain grafis untuk toko kurang lebih adalah jobdesc saya. Disamping itu juga, sesekali membantu meringankan pekerjaan orang tua. Jadi setiap weekend, saya istirahat dan juga, bekerja. Terlebih, dari semester 3 hingga lulus di semester 6, saya sudah tidak mendapatkan ‘beasiswa orang tua’ lagi alias biaya sendiri.
Corona pun tiba. Semuanya hampir lumpuh dan jatuh. Terlebih si corona ini juga ‘bertamu’ ke keluarga kami pada november 2020 lalu. Studi mandek, bisnis merosot, untungnya saat itu perkuliahan saya sudah selesai dan tinggal tesis saja. Tapi gak untung juga sih, karena mahasiswa kimia tugas akhirnya ya harus ngelab kan, dan laboratorium ditutup saat pandemi COVID-19 melanda. Kadang-kadang dibuka dengan protokol ketat, yang jelas menurunkan efektivitas dan produktivitas kerja lab. Efeknya, studi saya molor sampe 2 semester. Dan, SPP/UKT harus tetap dibayarkan full dengan waktu studi yang angin-anginan akibat si kopid nain tin. Keringanan? Tak seperti mahasiswa S1 yang banjir dukungan dalam keringanan pembayaran, mahasiswa pascasarjana ini bagai dianak tirikan. Bayarnya tetep full, meskipun ada toleransi dalam mekanisme pembayaran yang dibagi kedalam 2 tahap, itupun jika melakukan pengajuan.
Selesailah urusan lab, mulailah melanjutkan BAB IV dan penyusunan jurnal untuk publikasi yang harus internasional. Saya kerjakan semuanya saat mudik ke kampung halaman istri di Malang. Sebetulnya ya bukan mudik sih. Soalnya saya berangkat ke Malang dua bulan setelah hari raya idul fitri, menunggu dulu kira-kira situasi pandemi sudah cukup tertangani. Malu juga sih sama mertua, karena setiap malam mesti melekan untuk berjibaku dengan ‘sandi rumput’-nya NMR wakhwatuha. Syahdan, selesailah penyusunan tesis dan publikasi ini. Saya mendaftar untuk sidang tesis dan terselenggara di tanggal 21 Juli 2021 secara daring, dan alhamdulillah di tanggal 4 November 2021 kemarin bisa mengikuti prosesi ‘WISUDA DRAMATIS’ yang juga daring. Dramatisnya, dilain waktu mungkin akan saya dongengkan.
Berbeda juga dengan saat lulus S1 dulu, saya kurang lebih bersikap bodo amat terkait foto-foto. Mau foto-foto wisuda atau engga pun gak masalah. Cuek cuek saja. Foto-foto itu cenderung tidak penting. Yang penting itu perjuangan setelahnya, begitulah idealisnya saya pada saat itu, hahaha. Tapi sekarang ini, tensi untuk pengen foto-foto ini cukup tinggi. Mungkin efek dari nilai perjuangan untuk lulus yang lebih keras kali ya. Jadi, pagi nya prosesi wisuda, sorenya langsung meluncur ke studio foto untuk melangsungkan cekrek-cekrek bersama keluarga. Meski sebenarnya, kegupuhan foto-foto itu lebih kepada sulitnya nyari waktu di hari-hari setelahnya, kebetulan adik saya lagi persiapan pembekalan internship dokter, sedangkan toga harus segera di kembalikan ke pihak UNPAD. Oh iya, bagi saya toga UNPAD ini keren. Ada kombinasi batik dan warna yang ciamik. Katanya sih sekilas mirip jubah Sekolah Sihir Hogwarts di film Harry Potter. Jika toga sarjana berwarna merah yang mirip merahnya Gryffindor, yang magister ini mirip hijaunya Slytherin. Dan ada juga yang berwarna biru layaknya Ravenclaw.
Mungkin dari pembaca sekalian ada yang berujar, “Ah, perasaan biasa saja, gak ada perjuangannya, sok iyes aja nih,”, dll. Mungkin ini memang berangkat dari aspek yang subjektif, bahwa pergulatan yang terjadi saat studi S2, dimana harus saya bagi waktunya untuk anak istri, juga membantu orang tua atau dalam bahasa lainnya, birrul walidain, kemudian harus menjalankan bisnis untuk minimal, bisa menghidupi keluarga dan membayar uang kuliah, yang waktunya tidak bisa digunakan secara maksimal akibat kopid nain tin itu. Semua itu bagi saya sangat terasa emosional. Kelulusan itu terasa melegakan, atau dalam peribahasa sunda disebut ‘asa bucat bisul’.
Saya sadar bahwa kelulusan ini bukanlah akhir dari perjuangan hidup. Ini justru baru awal. Sama seperti S1 dulu. Lulus menjadi sarjana adalah titik awal dimana hidup yang sebenarnya dimulai. Bahkan saya dan teman-teman sering beranekdot terhadap mereka yang wisuda itu. “Wah, barisan pengangguran baru telah diluncurkan, wkwkwk.”. Tapi katanya, mereka yang melanjutkan ke jenjang magister adalah pengangguran yang terhormat, hahahaha. Dan, apakah saya akan melanjutkan ke jenjang S3 untuk melanjutkan status sebagai pengangguran terhormat? Ya, saya punya keinginan itu. Tapi belum untuk saat ini. Saya ingin mencari pengalaman dulu. Semisal berkecimpung di dunia pendidikan dengan mengajar di kampus. Semoga saja ada peluang itu.
Akhiron, apapun yang terjadi dalam hidup saya kedepan. Yang penting adalah berupaya untuk bermanfaat untuk sesama. Saya teringat dawuh dari Mbah Sahal Mahfudz ini, “Menjadi baik itu mudah, dengan diam, maka yang terlihat adalah kebaikan. Yang sulit itu menjadi bermanfaat, karena itu butuh perjuangan.”. Terimakasih saya ucapkan kepada keluarga saya, orang tua, istri, kedua anak saya, karyawan-karyawan saya yang baik hati, dan semua yang membantu dalam proses studi saya, baik secara moril dan materil. Jazaakumullah ahsanal jaza. Terimakasih juga kepada ibu Dr. Tri Mayanti, M.Si dan ibu Prof. Dr. Tati Herlina, M.Si, duet pembimbing saya yang sangat baik dan sabar dalam membimbing saya. Kepada guru-guru saya, kyai-kyai saya, dosen-dosen saya baik saat S1 maupun S2. Semoga sehat selalu, bahagia dan panjang umur. Amiiin.
Wallahu a’lam.
ATOMIC OF ME
Hai, Saya Fawwaz Muhammad Fauzi, suatu produk hasil persilangan genetik Garut-Majalengka. Menjadi Dosen Kimia adalah profesi utama saya saat ini. Selain itu, ya membahagiakan istri, anak dan orang tua. Melalui blog ini, saya ingin menuliskan kisah-kisah keseharian saya yang pasti receh. Mungkin sedikit esai-esai yang sok serius tapi gak mutu. Jadi, tolong jangan berharap ada naskah akademik atau tulisan ilmiah disini ya, hehe.
Kalau ada yang mau kontak, silahkan email ke [email protected]. Udah itu aja.