Belajar dari Masa Lalu
Jejak digital tidak akan pernah bisa hilang. Hati-hati dalam beropini dan bermedia sosial. Atau ada yang dulu berpandangan atheis, kemudian menjadi theis. Lalu kemudian dianggap tidak konsisten dan mencla-mencle. Saya termasuk tidak setuju dengan anggapan itu. Manusia adalah makhluk dinamis. Otak adalah instrumen bagi manusia untuk menikmati dinamika dalam spektrum kehidupan yang luas. Artinya, ketika pemikiran dan sikap berubah, itu biasa saja. Bagi saya itu adalah proses dimana manusia memang seharusnya berubah-ubah cara pandang dan sikapnya, sebagai akibat otaknya belajar hal-hal baru dalam setiap tarikan nafasnya, menemukan premis-premis baru dari peristiwa yang ia alami dan renungi.
Kita yang sekarang, berbeda dengan kita 5 tahun yang lalu, bahkan berbeda dengan kita 5 menit yang lalu. Jadi, saat ada jejak digital yang menunjukkan inkonsistensi sikap kita, tak perlu cemas, santai saja. Justru kita dapat belajar daripadanya. Masa lalu, baik yang telah kita alami sendiri maupun orang lain bisa menjadi modal untuk kita belajar kebijaksanaan lebih jauh lagi. Peristiwa masa lalu menceritakan kebodohan, kenaifan, kecerdikan, kejeniusan seseorang dan lainnya. Begitulah kita bisa belajar dari apa yang disebut dengan Sejarah.
Sejarah adalah salah satu keilmuan yang saya sukai, namun suka disini bukan untuk menjadi ahli ataulah pakar. Hanya sekedar penikmat saja, karena jika saya membaca satu peristiwa sejarah saja yang mengandung titimangsa, beberapa menit kemudian saya sudah tak mengingatnya. Jadi tentu saya hanya penikmat cerita masa lalu. Seperti tentang kekaisaran romawi, mongol, dinasti di tiongkok, dinasti islam pasca khulafaurrasyidin hingga sejarah lokal macam kesultanan mataram, banten, demak, majapahit dan pajajaran. Saya masih ingat saat mahasiswa melahap habis roman sejarah Gajah Maja karya Langit Kresna Hariadi, mengkhatamkan Atlas Walisongo, menikmati buku Di Bawah Bendera Revolusi-nya Sang Proklamator hingga Bung Karno Sang Penyambung Lidah Rakyat dari Cindy Adams. Agaknya sudah banyak bacaan yang terlupakan.
Setelah berumah tangga saat ini, buku memang sudah lama tak disentuh karena beberapa hal. Namun film dengan genre dokumenter sejarah adalah yang cukup sering saya tonton jika punya waktu luang. Di Netflix misalnya, Serial Roman Empire, Rise of Empire: Ottoman, Age of Samurai: Battle of Japan, Queen Cleopatra, the Last Czars dan Vikings adalah film-film sejarah yang keren nan epik yang bisa saya nikmati. Dan yang paling terbaru adalah film lokal garapan Hanung Bramantyo, SULTAN AGUNG: Tahta, Perjuangan, Cinta.
Sembari menonton serial-serial tersebut, acapkali saya imbangi dengan berselancar di google, membuka wikipedia laman demi laman tentang tokoh-tokoh yang saya temukan sepanjang serial itu berlangsung. Semisal saat menonton tentang Mataram Islam, saya berselancar hingga tentang kerajaan-kerajaan tetangganya, seperti kesultanan cirebon, banten, dan lain-lain.
Dari sejarah masa lalu itu, banyak pelajaran yang dapat kita ambil, ambisi, kekuasaan, kenaifan, kepolosan, pengorbanan, kekakuan, perpecahan dan bahkan cinta. Dari peristiwa lampau, bangsa kita pun belajar, dari semula berupa kerajaan-kerajaan kecil yang seringkali bermusuhan, menjadi sasaran empuk devide et impera penjajah, kini sama-sama menurunkan egonya, bersedia menyatakan diri berada dibawah panji merah putih dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bagi saya, ini bukanlah inkonsistensi atau mencla mencle, jejak sejarah dimana bangsa Indonesia yang dulu terpecah-pecah, kini berubah menjadi bangsa yang bahu membahu menyusun pecahan-pecahan itu menjadi bangunan yang kokoh dibawah semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Kita harus berbangga dengan langkah para founding fathers kita yang senantiasa mempelajari sejarah, mengambil ibrah dari peristiwa masa lampau, menginternalisasinya dalam setiap langkah lahir maupun batin dalam mendirikan dan mempertahankan bangsa ini.
Beberapa hari lagi kita akan memperingati ulah tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 78 tahun. Sebagai warga negara yang lahir dengan menikmati indahnya menjadi bangsa yang merdeka, sepatutnya memiliki tanggungjawab untuk mengisi kemerdekaan ini dengan sebaik-baiknya. Saat ini, disintegrasi bangsa mengancam kita, dari mulai intoleransi hingga gaduh media sosial, tentu ada potensi potensi yang menuju kearah sana. Meski demikian, sedikit banyak saya yakin, jumlah pembuat gaduh tak seberapa, tapi kita perlu mengingat ungkapan populer yang konon diungkapkan sayyidina Ali Kw., “Kejahatan yang merajalela bukan disebabkan oleh banyaknya orang jahat, tapi karena banyaknya orang baik yang memilih diam.”. Selamat memyongsong HUT RI ke 78, semoga di usia 100 tahun Indonesia di tahun 2045 nanti, kita menjadi saksi hidup kemajuan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang mampu menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, berbekal pengalaman dan pembelajaran yang diambil dari masa lalu para pendahulu kita, Amin ya robb.